Suatu sebab yang halal merupakan syarat yang keempat untuk sahnya perjanjian. Mengenai syarat ini Pasal 1335 BW menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena
sebatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.
Ternyata pembentuk undang-undang membayangkan 3 macam perjanjian mungkin terjadi yakni (1) perjanjian yang tanpa sebab,
(2) perjanjian dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, dan
(3) perjanjian dengan suatu sebab yang halal.
Yang menjadi persoalan pokok dalam hal ini adalah apakah pengertian perkataan sebab itu sebenarnya. Dari sejumlah interpretasi dan penjelasan para ahli, dapat disimpulkan bahwa pengertian perkataan sebab itu adalah sebagai berikut:15)
1. Perkataan sebab sebagai salah satu syarat perjanjian adalah sebab dalam pengertian Ilmu Pengetahuan Hukum yang berbeda dengan pengertian Ilmu Pengetahuan lainnya.
2. Perkataan sebab itu bukan pula motif (desakan jiwa yang mendorong seseorang melakukan perbuatan tertentu) karena
motif adalah soal bathin yang tidak diperdulikan oleh hukum.
3. Perkataan sebab secara letterlijk berasal dari perkataan oorzaak (bahasa Belanda) atau causa (bahasa Latin) yang menurut riwayatnya bahwa yang dimaksud dengan perkataan itu dalam perjanjian adalah tujuan yakni apa yang dimaksudkan oleh kedua pihak dengan mengadakan perjanjian. Dengan perkataan lain sebab berarti isi perjanjian itu sendiri.
4. Kemungkinan perjanjian tanpa sebab yang dibayangkan dalam Pasal 1335 BW adalah suatu kemungkinan yang tidak akan terjadi, karena perjanjian itu sendiri adalah isi bukan tempat yang harus diisi.
Kemudian yang perlu mendapat perhatian dalam hubungan ini adalah apa yang dinyalakan Pasal 1336 B W, bahwa jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada sesuatu sebab yang halal, ataupun jika sebab yang lain daripada yang dinyatakan] persetujuannya namun demikian adalah sah.
Oleh para ahli dikatakan bahwa sebab dalam Pasal 1336 BW itu adalah kejadian menyebabkan adanya hutang, misalnya perjanjian jual-beli barang atau perjanjian peminjaman uang dan sebagainya. Sehingga yang dimaksud dengan persetujuan dalam Pasal 1336 B W itu tidak lain adalah surat pengakuan hutang, bukan perjanjiannya sendiri. Oleh karena itu, surat pengakuan hutang yang menyebutkan sebabnya (causanya) dinamakan cautio discreta, sedangkan yang tidak menyebutkan sebabnya (causanya) dinamakan cautioindiscreta.
Akhirnya, Pasal 1337 BW menentukan bahwa sesuatu sebab dalam perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.26)
Demikianlah syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian pada umumnya sebagaimana dikehendaki Pasal 1320 B W. Untuk perjanjian-perjanjian tertentu adakalanya ditentukan syarat lain berupa formalitas-formalitas tertentu misalnya perjanjian perdamaian (Pasal 1851 ayat (2) BW), perjanjian tentang besarnya bunga (Pasal 1767 ayat (3) BW, perjanjian yang bermaksud mengalihkan hak atas tanah (Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1997).
Syarat 1 dan 2 dinamakan syarat-syarat subyekti/ karena mengenai subyek yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat ke-2 dan 3 dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai obyek perjanjian.
Kalau syarat-syarat subyektif tidak dipenuhi, perjanjiannya dapat dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang tidak cakap atau yang memberikan kesepakatan secara tidak bebas. Hak untuk meminta pembatalan perjanjian ini dibatasi dalam waktu 5 tahun (1454 BW). Selama tidak dibatalkan perjanjian tersebut tetap mengikat. Sedangkan kalau syarat-syarat obyektif yang tidak dipenuhi, perjanjiannya batal demi hukum. Artinya, dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada perikatan. Sehingga tiada dasar untuk saling menuntut di muka hakim (pengadilan).