Menurut ketentuan Pasal 1233 BW perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang bersumber dari perjanjian diatur dalam titel II (Pasal 1313 s.d. 1351) dan titel V s.d. XVIII (Pasal 1457 s.d. 1864) Buku III B W. Sedangkan perikatan yang bersumber dari undang-undang diatur dalam titel III (Pasal 1352 s.d. 1380) Buku III BW.
Perikatan yang bersumber dari undang-undang menurut Pasal 1352 B W dibedakan atas perikatan yang lahir dari undang-undang saja (uit de wet alien) dan perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia (uit de wet door’s mensen toedoen). Kemudian perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia menurut Pasal 1353 BW dibedakan lagi atas perbuatan yang sesuai dengan hukum (rechtmatige) dan perbuatan yang melawan hukum (onrechtmatige).
Sumber-sumber perikatan dan pembeda-pembedanya tersebut dapat diskemakan sebagai berikut ini.
Dieplmis, Asser dan Suyling sebagaimana dikutip R. Soetojo Prawirohamidjojo, S.H. dalam Hukum Perikatan mengatakan bahwa: antara perikatan yang bersumber pada perjanjian dan perikatan yang bersumber pada undang-undang pada hakikatnya tidak ada perbedaan, sebab semua perikatan meskipun bersumber pada perjanjian pada hakikatnya baru mempunyai kekuatan sebagai perikatan karena diakui oleh undang-undang dan karena mendapat sanksi dari undang-undang.9)
Meskipun demikian, menurut penulis-penulis yang lebih muda seperti Van Brakel, Losecaat - Vermeer dan Hofmann - Opstaal, kedua macam perikatan itu tetap ada perbedaannya. Pada perikatan yang bersumber dari undang-undang, perikatan itu diciptakan secara langsung karena suatu keadaan tertentu -perbuatan atau kejadian- dan memikulkan suatu kewajiban dengan tidak menghiraukan kehendak orang yang harus memenuhinya.
Sedangkan pada perikatan yang bersumber dari perjanjian, meskipun mendapat sanksi dari undang-undang, tetapi keharusan untuk memenuhi kewajiban barulah tercipta setelah yang bersangkutan yang harus memenuhinya memberikan persetujuannya atau menghendakinya.10)
Vollmar, Pitlo, H. Drion dan Meyers dalam ajaran umumnya menyatakan bahwa tidak ada pertentangan (tegenstelling) yang hakiki antara perikatan yang bersumber dari perjanjian dan perikatan yang bersumber dari undang-undang. Sebab pada akhirnya selalu undang-undang yang memberi sanksinya meskipun yang menjadi sumbernya perjanjian. Meskipun demikian, tidak perlu ada keberatan terhadap pembagian yang diadakan Pasal 1233 B W itu.11)
Pada umumnya, para ahli hukum perdata sependapat bahwa sumber perikatan sebagaimana disebut Pasal 1233 B W yaitu perjanjian dan undang-undang adalah kurang lengkap. Sumber perikatan yang lain adalah Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata, hukum tidak tertulis dan keputusan hakim (yurisprudensi).12)
Namun, sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian, sebab dengan melalui perjanjian pihak-pihak mempunyai kebebasan untuk membuat segala macam perikatan, baik perikatan yang bernama yang tercantum dalam titel V s.d. XVIII Buku III BW mapun perikatan yang tidak bernama. Hal ini sesuai dengan asas kebebasan berkontrak (contract vrijheid) sebagai salah satu asas yang menjadi dasar lembaga-lembaga hukum yang disebutkan pada titel V s.d. XVIII sebagai perjanjian bernama, juga menjadi dasar lembaga-lembaga hukum yang tidak disebutkan di dalan titel-titel itu sebagai perjanjian yang tidak bernama.
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang menyatakat bahwa setiap erang pada dasarnya boleh membuat kontral (perjanjian) yang berisi dan macam apapun asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketatibaa«umum.^)
Asas* kebebasan berkontrak itu dituan^kanoleh1 pembentuk undang-undang dalam Pasal 1338 ayat (ff BW. Dalam hukum perdata asas kebebasan berkontrak yang diabai Buku III BW ini merupakan sistem (materiil) terbuka sebagai lawan sistem (maferiiD tertutup yang dianut Buku II BW- (HUkum Benda).14) BaitWa dengan kebebasan membuat perjanjian tersebut berarti orang dapat menciptakan hak-hak perseorangan yang tidak diatur dalam Buku III BW, tetapi diatur sendirKlaiaiii penjanjian, sebab perjanjian yang dibuat secara sah berlalowsebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338-ayat (-l) BW). Namun, kebebasan berkontrak bukan berarti boleh membuat kontrak (perjanjian) secara bebas, tetapi kontrak (perjanjian) harus tetap dibuat dengan mengindahkan syarat-syarat untuk sahnya perjanjian, baik syarat umum sebagaimana disebut Pasal 1320 BW maupun syarat khusus untuk perjanjian-perjanjian tertentu.
Dengan adanya kebebasan berkontrak, kedudukan rangkaian pasal-pasal Buku III BW khususnya pasal-pasal pada titel V s.d. XVIII banyak yang hanya bersifat sebagai hukum pelengkap (aanvullens recht) saja. Artinya, pasal-pasal tersebut boleh dikesampingkan sekiranya para pihak pembuat perjanjian menghendakinya, dan pihak pembuat perjanjian diperbolehkan menciptakan ketentuan sendiri untuk mengatur kepentingan mereka sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. Pasal-pasal tersebut baru mengikat terhadap mereka, jika mereka tidak mengatur sendiri kepentingannya atau mengaturnya dalam perjanjian, tetapi tidak lengkap sehingga soal-soal yang tidak diatur tersendiri itu diberlakukan pasai-pasal hukum perikatan.
Selanjutnya, dengan aadanya asas kebuasan berkontrak itu, perjanjian-perjanjian dengan sebutan perjanjian-perjanjian bernama itu hanyalah sebagai contoh belaka. Karena Itu, orang boleh membuat perjanjian yang lain daripada contoh tersebut atau membuatnya secara sama dengan salah satu daripadanya sesuai dengan kebutuhan untuk apa perjanjian termaksud dibuat.