PRINSIP DAN TEKNIK MENYUSUN PLEDOI
(pembelaan)
Setelah Penuntut Umum (PU) membacakan Requisitoir maka Ketua
Sidang atau Ketua Majelis Hakim memberi kesempatan kepada terdakwadan/atau Penasihat
Hukum (PH) untuk mengajukan Pembelaan atau pledoi. Pedoi tersebut dapat
diajukan masing-masing oleeh terdakwa dan PH atau hanya PH saja.
Kata Pledoi dalam Kamus Besar Bahsa Indonesia diartikan
pidato pembelaan terhadap terdakwa yang dibacakan oleh Advocaat atau pembela
atau oleh terdakwa sendiri.
Maksud pembuatan Pledoi adalah untuk melemahkan isi dari tuntutan (requisitoir) PU dengan
kata lain jika isi requisitoir berusaha membuktikan kesalahan terdakwa dengan
alat bukti yang diajukan di sidang pengadilan dengan melihat isi
pledoi/pembelaan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana karena
bukti-bukti yang diajukan ke sidang pengadilan tidak cukup.
Apakah Pidato pembelaan terseb ut cukup dilakukan secara
lisan ?
Pada KUHAP pengajuan pledoi diatur dalam pasal 182 ayat(1) huruf b yang bunyinya :
“Selanjutnya terdakwa dan/atau PH
mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh PU...”
Penjelasan pasal tersebut : cukup jelas, sehingga KUHAP
tidak menjelaskan cara pengajuan pledoi.
Dalam Keputusan MENKEH No. N.01.PW.07.03 tahun 1982,
tanggal 2 Februari 1982, bidang Penuntutan bab 3 :
Pemeriksaan di sidang pengadilan, menjelaskan hal tersebut
antara lain sebagai berikut :
Sehubungan dengan itu, apabila Hakim
Ketua menyatakan pemeriksaan telah selesai, tuntutan pidana tertulis dibacakan,
PU, demikan pula jawaban atas pembelaan terdakwa atau PH nya dan setekah
dibacakan diserahkan kepada hakim ketua Sidang dan tururnanya diserhkan kepada
pihak yang berkepentingan.
Dengan demikian, jelas bahwa pledoi dibuat tertulis dan
dibacakan di sidang, sasaran pembelaan pada hakikatnya adalah kontra terhadap
Requisitoir. Jika pada requisitoir, PU mengutarakan pembuktian setiap unsur
delik berdasarkan alat bukti sah maka dalam pledoi, PH berupaya meneliti
kelemahan-kelemahan pembuktian yang diajukan PU yang tujuanya agar Hakim sidang
atau majelis menjadi ragu, karena apabila hakim ragu, maka akan menguntungkan
terdakwa. Hal ini sesuai dengan motto :
“
Lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah, daripada menghukum seorang
yang benar ”.
Sebagai seorang Pengacara/Advokat yang profesional di
bidang hukum, sudah seharusnya menguasai lawyer skills, yang selalu berhubungan
dengan bidang tugasnya. Misalnya, memberikan advice, membuat surat kuasa,
membuat pledoi, membuat memori banding, memory kasasi, dan surat-surat penting
lainya dalam perkara keperdataan. Biasanya PH dengan cermat dan teliti memperhatikan
fakta dipersidangan dan mengajukan pertanyaan yang mengkin akan menguntungkan
terdakwa. Ia tidak akan mengajukan sesuatunya jika hal tersebut merugikan
terdakwa. Itulah sebabnya PH selalu berusaha, ke arah unsur subjektif yaitu
terdakwa tidak bersalah dengan mengutarakan hal-hal yang memungkinkan terdakwa
dapat dianggap tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Pledoi itu sendiri berupa berupa bantahan atas dakwaan PU.
Kalau PU misalnya, mengatakan bahwa terdakwa A telah melakukan perbuatan
penipuan. Tetapi terdakwa A atau PH mengajukan bantahan dengan mengatakan,
bahwa A tidak benar melakukan perbuatan pidana penipuan. Sekadar analogi, kalau
PU mengatakan bahwa telapak tangan si A itu kotor,tetapi pembela mengatakan
bahwa telapak tangan si A itu bersih, tidak kotor. Dan, alasan tidak kotor itu
harus dibuktikan dan harus ditunjukkan argumentasinya. Dalam membuat bantahan
atau pembelaan, terdakwa atau pembela, tentulah bukan sekadar membantah atau
sekadar “debat kusir” belaka. Namun,
bantahan atau pembelaan itu haruslah berdasarkan bukti-bukti, baik berupa
keterangan saksi, keterangan ahli, maupun bukti tertulis lainnya. Selain
berdasarkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan, pembelaan juga harus
berisi pandangan atau tinjauan hukum dari seorang pembela terhadap perkara atau
kasusnya tersebut.
Denga kata lain, PH setelah mengutarakan terdakwa tidak
dapat dipertanggungjawabkan, seklanjutnya akan menyoroti unsur subjektif yaitu
unsur dolus. Hal ini berkenaan dengan motto :
“Tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan”
Perlu diperhatikandengan cermat tentang pembuktian unsur
subjektif ini karena memenqag pembuktianya memerlukan ketelitian. Jika hal
tersebut tidak mungkin maka PH dengan teliti mengamati unsur-unsur lainya dan
jika ada persepsi mengenai sesuatu istilah dalam surat dakwaan atau dalam
requisitoir, maka PH akan berupaya mengaburkanya. Persepsi yang diajukan PU
diusahakn oleh PH agar menjadi kabur. Tampaknya hal ytersebut kurang terpuji
dan berkesan membalikan fakta, namun tujuanya adalah mulia (baik) yakni agar
hakim benar-benar meneliti hal tersebut, sehingga tidak keliru menerapkanya.
Kecermatan, ketelitian, dan kejelian memahami dakwaan,
unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan dan hukum pembuktian merupakan inti
pokok pada penyusunan/perumusan pembelaan (pleidoi).
Selain hal-hal tersebut diatas, perlu juga diamati tentang
unsur melawan hukum karena semua delik baik dirumuskan pada pasal undang-undang
maupun tidak dirumuskan mengandung unsur melawan hukum.
Dalam praktek, membuat pledoi itu bentuknya sangat
variatif. Maksudnya, antara perkara yang satu dengan perkara yang lain, yang
mungkin kelihatannya sama kasus posisinya, namun sebetulnya ada perbedaan soal
substansinya dan ditambah pula selera para pembelanya. Sehingga oleh karena
itulah, maka pembuatan pledoi itu tidak ada contoh yang baku, dan juga
sistimatika yang baku pula, kesemuanya sangat tergantung pada kasus
posisinya,dan selera pembelanya.
Bahwa didalam sebuah pleldoi juga tidak jarang ditemukan
adanya pledoi yang disusun secara penuh dengan mengedepankan teori-teori atau
ajaran hukum dan minim porsi fakta hukum dari perkara yang sebenarnya dihadapi,
namun ada juga pledoi yang diisi penuh dengan fakta-fakta tetapi minim didukung
oleh teori-teori atau ajaran hukum. Kecenderungan-kecenderungan tersebut
tentunya tidak baik bagi sebuah penyusunan pledoi dan menunjukan bahwa
pembuatan pledoi tersebut tampak tidak maksimal. Idealnya pembuatan pledoi
adalah kombinasi antara fakta perbuatan dalam persidangan dengan dukungan atau
diperkuat teori/ajaran hukum.
Dalam hal membuat pledoi sistematikanya boleh berbeda-beda sesuai keinginan
sang pembela, namun substansinya haruslah tetap sama. Karena, substansi dari
sebuah pledoi yang baik itu adalah menyangkut sistematikanya atau alur
berpikirnya harus jelas, logikanya baik, Bahasa Indonesianya baik dan benar,
dasar hukumnya ada, dan obyektifitasnya
jelas. Naskah sebuah pledoi dapat berupa sebuah karya tulis yang dibuat
berdasakan fakta-fakta persidangan dengan dukungan teori-teori hukum yang pada
intinya untuk mematahkan requisitoir Penuntut Umum dengan maksud untuk membela
kepentingan hukum terdakwa.
Sebenarnya terdapat banyak aspek teknis lainya dalam pembuatan pledoi,
tetapi hal ini tidak akan menjadi penting jika pledoi dibuat hanya sbagai
syarat saja atau hanya sekedar memenuhi tuntutan formalitas belaka dari
kewajiban seorang pengacaradalam mendampingi klienya dalam persidangan.
Perlu juga diketahui bahwa tidak selamanya terdakwa
ataupun PU mempergunakan haknya untuk membuat/mengajukan Pledoi, bisa saja
karena terdakwa sudah sepenuhnya mengakui kesalahanya dan perbuatanya tersebut
adalah benar – benar telah terdakwa lakukan. Apabila hal ini terjadi,
selanjutnya ketua Majelis Hakim
melanjutkan pada tahap putusan pidana. Namun apabila terdakwa/PH
mempergunakan haknya untuk mengajukan pledoi maka selanjutnya persidangan
memasuki pada tahap pembuatan/pengajuan Replik dan duplik.