Hak Milik Perorangan
Hak milik perorangan adalah hak milik individu secara perorangan atas tanah yang asal muasalnya merupakan Hak Buka Pertama, yang dideskripsikan sebagai hak milik perorangan (ownership). J.J. Rousseau telah menempatkan persoalan pemilikan tanah sebagai bagian dari teori kontrak sosialnya (social contract) mengatakan bahwa dalam menentukan hak atas tanah penting dipertimbangkan siapa yang menempati pertama kalinya.20 Dalam perkembangan berikutnya, dinyatakan dari konsep fungsi keadilan untuk mengarahkan manusia dalam menggunakan hak milik bersama untuk kepentingan bersama dan hak milik perorangan untuk kepentingan individu. Hak milik perorangan dan hak milik bersama adalah dua variabel dalam perkembangan hak kepemilikan yang menunjukkan hubungan sebab akibat, karena kepentingan bersama dari akibat hubungan sosial para individu.
Hak Buka Pertama sebagai asal muasal dari lahirnya hak milik perorangan, bersifat turun-temurun, terkuat, terpenuh yang dapat dipunyai oleh setiap orang dan berimflikasi kepada lahirnya hak milik atas tanah yang bersifat komunal. Pemilikan komunal adalah suatu bentuk penguasaan masyarakat hukum atas tanah untuk kepentingan bersama, hal itu menjadi penting setelah terbentuknya organisasi masyarakat modern yang dikenal dengan negara. Kehadiran negara memun culkan klaim pemilikan oleh negara, seperti jaman kerajaan-kerajaan di Nusantara, pemerintahan Hindia Belanda, semua tanah yang dipunyai oleh seseorang tanpa bukti kepemilikan adalah milik raja (negara) atau pemerintah (domein verk/aring).
Negara dalam hal menguasai bumi, air dan ruang angkasa, sering ditafsirkan dan dipergunakan sebagai dalil untuk pembebasan hak atas tanah yang telah dikuasai oleh rakyat sejak lama (dalam hukum keperdataan melebihi masa daluar-sa selama 20 tahun bagi yang punya atas hak atas tanah yang sah dan 30 tahun bagi beziter yang tidak mempunyai alat bukti yang sah).22
Dalam membedakan hak penguasaan negara dengan negara sebagai pemegang hak, harus dilihat dari hak dan kewajiban negara dalam melaksanakan fungsi-fungsi umum pemerintahan yang publiekrechtelijk atau privaatrechtelijk. Menurut Bagir Manan,23 fungsi pemerintahan yang bersifat publik merupakan asal muasal dari keberadaan wewenang setiap pemerintahan yang pada awalnya dalam praktek memandang pemerintah semata-mata penjaga keamanan dan ketertiban (nachtwakersstaat) dan makin longgar sejak verzorgingsstaat, yaitu negara memikul kewajiban mewujudkan kesejahteraan umum.
Untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat, pemerintah menyelenggarakan berbagai fungsi di luar penyelenggaraan pemerintahan. Fungsi tersebut menuntut pemerintah terlibat dalam pergaulan kemasyarakatan sebagai pihak atau Hiibyek hukum yang tidak berbeda dengan subyek hukum perorangan atau badan hukum keperdataan pada umumnya. Hubungan (hukum) kesederajatan ini, merupakan hubungan keperdataan antara satuan pemerintahan dengan orang atau ba-iltin hukum keperdataan, yang timbul dari berbagai tindakan keperdataan, seperti: membuat perjanjian, mendirikan badan keperdataan.
Tampak perbedaan antara wewenang dalam hukum publik dan wewenang dalam hukum perdata,25 dapat dilihat dalam Pasal 2 ayat (1), (2), dan (3); Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUPA.
Pasal 2 UUPA, menyebutkan :
(1) . Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Un-
dang-Undang Dasar dan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
(2) . Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat
(1) pasal ini memberi wewenang untuk: a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, penyediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa; c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
(3) . Wewenang yang bersumber pada hak menguasai da-
ri Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerde kaan dalam masyarakat dan Negara Hukum Indone sia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
Pasal 4 UUPA, menyebutkan :
(1). Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam
macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
(2). Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Setelah negara Indonesia terbentuk (17 Agustus 1945) terjadi dualisme dalam hukum pertanahan, lahirnya undang-undang nomor 5 Tahun 1960 untuk mengakhiri dualisme hukum dibidang pertanahan, menghapus domein verklaring, dan bermaksud menjadikan hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat.26
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sebagai dasar fundamental dan normatif, pengembangan konsepsi hak milik atas tanah dan dinormativisasi dalam peraturan perundang-undangan secara cermat dan taat asas, sehingga tidak akan terjadi konflik berkepanjangan seperti yang terjadi saat sekarang. Dalam prak-liknya dan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, sering menimbulkan kerancuan antara aturan dasar dengan aturan pelnksana, seperti, orang asing tidak dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan tanah secara perorangan (Pasal 9 UU Nomor 5 Tahun 1960) jo Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 yang memperbolehkan orang asing mempunyai link utas tanah, dalam arti hak pakai privat yaitu hunian bagi wnni.i negara asing.
Pengaturan hak milik atas tanah dalam UU Nomor 5 Tahun I960 (UUPA) diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 27, yang memuat prinsip-prinsip umum tentang hak milik atas tanah, selanjutnya dalam Pasal 50 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1960, ditentukan bahwa ketentuan mengenai hak milik diatur dengan undang-undang, dari ketentuan tersebut UUPA menghendaki penjabaran yang lebih terinci lagi, sehingga nantinya bahwa hak milik atas tanah yang merupakan cetusan jiwa, kepribadian, dan pandangan hidup bangsa, yang memiliki hubungan dengan tanah adalah manusia perorangan, keluarga, masyarakat dan dapat disebut sebagai milik bangsa.
Undang-undang Pokok Agraria telah berusia empat puluh tahun, UU hak milik sebagaimana yang dikehendaki Pasal 50 ayat (1) UUPA belum juga lahir. Sebelum UU hak milik ditetapkan, diberlakukan Pasal 56 UUPA yang menyebutkan bahwa selama UU mengenai hak milik sebagai yang tersebut dalam Pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan hukum adat setempat dan peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dengan Pasal 20, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini.
Dalam UUPA ditegaskan bahwa subyek hukum pemegang hak atas tanah dapat berbentuk perorangan, badan hukum privat, dan Pemerintah republik Indonesia, penulis menyebutnya sebagai hak kepemilikan bangsa Indonesia.