Kendatipun debitur yang wanprestasi dapat dituntut oleh kreditur untuk membayar ganti kerugian, tetapi kerugian yang dapat dituntut oleh kreditur jumlahnya tidak dapat diperhitungkan dengan sekehendak hati, melainkan dibatasi sedemikian rupa oleh undang-undang.
Pembatasan pertama untuk segala macam wanprestasi disebutkan dalam Pasal 1248 BW yang menentukan demikian;
Bahkan, jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan karena tipu daya siberutang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekadar mengenai kerugian yang diderita oleh siberpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tidak dipenuhinya perikatan.
Apakah yang dimaksud “akibat langsung" dalam Pasal 1248 BW di atas ini? Prof. Dr, Wirjono Prodjodikoro, S.H., dalam bukunya Asas-asas Hukum Perjanjian menyatakan bahwa yang dimaksud dengan akibat langsung dalam Pasal 1248 BW itu adalah suatu akibat yang tidak begitu jauh ketinggalan daripada hal dilakukannya suatu wanprestasi. Namun, penentuan yang demikian Ini kata beliau, tentunya juga masih belum tegas karena pengertian jauh adalah kabur juga, Oleh karena itu, hakimlah yang pada akhirnya harus menetapkan ini in konkrito menurut rasa keadilan masyarakat.
Menuruet teori tentang sebab akibat yang lazim dianut sekarang yaitu teori adequate veroor zaking, suatu peristiwa dianggap sebagai akibat dari suatu peristiwa yang lain, apabila peristiwa yang pertama secara langsung diakibatkan oleh peristiwa yang kedua dan menurut pengalaman dalam masyarakat dapat diduga akan terjadi. ’2)
Pembatasan kedua termuat dalam Pasal 1247 BW yang menentukan:
Siberutang hanya diwajibkan mengganti biaya, rugi dan bunga yang nyata telah, atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perikatan dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan oleh sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya.
Pasal 1247 BW ini jelas membedakan antara debitur yang jujur dan debitur yang tidak jujur. Pasal tersebut memakai perkataan arglist dan menurut Hoge Raad di Negeri Belanda dalam keputusannya tanggal 18 Mei 1923 perkataan itu harus diartikan dengan kwade trouw (tidak jujur). Apabila debitur jujur, yang harus digantinya hanyalah kerugian yang sejak semula dapat dikira akan terjadi. Sedangkan apabila debitur tidak jujur, ia juga harus mengganti kerugian yang tidak dapat diperkirakan orang akan terjadi.33)
Masalahnya apakah perihal dapat atau tidak dapat diduga tersebut bisa ditujukan kepada kemungkinan tentang timbulnya kerugian saja? Ataukah meliputi juga jumlahnya kerugian itu?
Hoge Raad di Negeri Belanda dalam keputusannya tanggal 2 November 1919 menyatakan bahwa persyaratan-persyaratan dapat atau tidak dapat diduga itu bukan saja ditujukan kepada kemungkinan tentang timbulnya kemgian saja, tetapi meliputi juga jumlah atau besarnya kerugian itu.34)
Berikut pembatasan ganti kerugian dalam Pasal 1250 B W yang mengatur tentang bunga moratoir yang berbunyi sebagai berikut:(1) Dalam tiap-tiap perikatan xang semata-mata berhubungan dengan pembayaran sejumlah uang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekadar disebabkan oleh terlambatnya pelaksaaan, hanya terdiri atas bunga yang ditentukan oleh undang-undang, dengan tidak mengurangi peraturan-peraturan undang-undang khusus.
(2) Penggantian biaya, rugi dan bunga tersebut wajib dibayar, dengan tidak usah dibuktikannya sesuatu kerugian oleh siberpiutang.
(3) Penggantian biaya, rugi dan bunga itu hanya harus dibayar terhitung mulai dari ia diminta di muka pengadilan kecuali dalam hal-hal dimana undang-undang menetapkan bahwa ia berlaku demi hukum.
Dari bunyi Pasal 1250 B W di atas ini dapat disimpulkan bahwa debitur yang lalai membayar sejumlah uang kepada kreditur diwajibkan membayar penggantian kerugian berupa bunga yaitu Ininga moratoir. Bunga moratoir ini hanya terdiri atas bunga yang ditentukan undang-undang, terhitung mulai gugatan diajukan di muka pengadilan. Sedangkan bunga menurut undang-undang, demikian Pasal 1767 BW, adalah bunga menurut Staatsblad Tahun I848 No. 22 besarnya 6% setahun.
Seandainya A mempunyai piutang Rp, 1.000.000,00 terhadap B karena suatu perikatan yang harus dibayar lunas tanggal 1-1-1984, lapi ternyata B lalai membayarnya, menurut Pasal 1250 B W, B w;i|ib membayar penggantian kerugian berupa bunga moratoir (di samping utang pokok tentunya) kepada A. Jika penuntutan ganti kerugian ini baru diajukan A ke pengadilan setahun kemudian netolah hari dimana B harus memenuhi kewajibannya yaitu tanggal I I 1985, bunga moratoir yang harus dibayar B kepada A karena kelalaiannya untuk membayar utang itu hanya 6% setahun sejak tanggal 1-1-1985 sampai lunas membayar utang pokok.
Apakah ketentuan BW yang menetapkan besarnya bunga Miotaioir 69c setahun terhitung sejak diajukannya gugatan di pengadilan ini masih dapat dipertahankan pada waktu sekarang7 Apukah ketentuan Pasal 1250 BW tersebut masih sesuai dengan rasa keadilan masyarakat Indonesia dewasa ini dimana keadaan sosial ekonominya sudah sedemikian jauh berkembang dibandingkan dengan keadaan ratusan tahun yang lampau?
Pendirian Mahkamah Agung dalam mengadili dan memutuskan perkara-perkara perdata mengenai masalah bunga moratoir ini ternyata berbeda-beda sebagaimana terlihat pada keputusan-keputusannya sebagai berikut di bawah ini.35)
Dalam 4 buah keputusan masing-masing tanggal 7-1-1973 No. 367 K/Sip/1972, tanggal 19-2-1973 No. 1061 K/Sip/1972, tanggal 24-5-1973 No. 224 K/Sip/1973 dan tanggal 15-1-1973 No. 684 K/Sip/1973 Mahkamah Agung menetapkan besarnya bunga moratoir sesuai dengan undang-undang 6% setahun terhitung sejak gugatan diajukan di pengadilan.
Kemudian dalam 5 buah keputusan pada tahun yang sama 1975 yaitu tanggal 7-8-1975 No. 1098 K/Sip/1975, tanggal 20-8-1975 No. 1163 K/Sip/1973, tanggal 16-9-1975 No. 452 K/Sip/1975, tanggal 25-11-1975 No. 987 K/Sip/1974 dan tanggal 27-11-1975 No. 163 K/Sip/1975, Mahkamah Agung membenarkan putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi. Bahkan, mengambil keputusan sendiri dengan menetapkan besarnya bunga moratoir 2% sebulan terhitung sejalc gugatan diajukan di pengadilan. Dalam pertimbangan hukumnya disebutkan atas dasar perhitungan nilai bunga deposito Bank-bank Pemerintah yang besarnya 2% sebulan.
Berikut dalam 3 keputusannya masing-masing tanggal 28-11 1973 No. 655 K/Sip/1973, tanggal 13-5-1975 No. 1399 K/Sip/1975 dan tanggal 10-2-1976 No. 623 K/Sip/1973, Mahkamah Agung membenarkan keputusan dan pertimbangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang menetapkan besarnya bunga moratoir berdasarkan perhitungan bunga deposito yang diberikan Bank-bank Pemerintah di sekitar tahun 70-an (saat diajukannya gugatan di pengadilan oleh penggugat) sebesar 3x7< sebulan terhitung sejak gugatan diajukan di pengadilan.
Akan tetapi, dalam 2 buah keputusannya lagi vaitu keputusan tanggal 4-12-1975 No. 804 K/Sip/1973 dan tanggal 10-2-1976 No. 931 K/Sip/1973 iMahkamah Agung telah membenarkan pertimbangan Pengadilan Tinggi yang mengabulkan tuntutan penggugat mengenai pembayaran sejumlah uang pinjaman pokok ditambah bunga 67< sebulan terhitung mulai tergugat lalai sampai lunas membayar utang pokok, karena jumlah bunga 6ck sebulan tersebut merupakan bunga yang lazim pada saat perjanjian.
Dari 14 buah perkara perdata sejenis yang diputuskan Mahkamah Agung pada periode sejenis yang diputuskan Mahkamah Agung pada periode 1973 - 1975 tersebut, ternyata berbeda. Hal ini menimbulkan pertanyaan, berapakah bunga moratoir yang adil dan keputusan Mahkamah Agung yang manakah yang seyogianya harus diikuti?
Menurut hemat kami, masalah besarnya bunga moratoir yang udil menurut perasaan masyarakat sebenarnya banyak berkaitan dengan keadaan perekonomian dan keuangan (moneter) dalam negara/masyarakat, yang keadaannya tidak selalu tetap dan masa ke masa, tetapi selalu berubah-ubah. Bagaimana keadaan perekonmian dan keuangan dalam masyarakat dan negara kita yang sesungguhnya dan bagaimana perkembangannya adalah bidang yang lebih banyak ditelaah dan diketahui kalangan perbankan. Oleh karena itu, buat menetapkan besarnya bunga moratoir yang mill, sebaiknya disesuaikan dan didasarkan kepada besarnya bunga deposito yang diberikan secara resmi oleh Bank-bank Pemerintah. Dengan cara begini kepastian hukum sejauh mungkin dapat dlntpai, karena Bank-bank Pemerintah menetapkan besarnya bunga deposito tersebut secara resmi dan diumumkan kepada musyarakat. Dan karena penetapan besarnya bunga deposito itu benar benar didasarkan kepada situasi dan kondisi perekonomian (tan moneter yang sesungguhnya, besarnya bunga tersebut diletupkan secara adil menurut keadaan tertentu. Selanjutnya, Pasal 1251 B W menentukan bahwa bunga dari uang pokok hanya dapat berbunga, apabila hal itu dituntut di muka pengadilan atau karena ditetapkan dalam perjanjian khusus, asal tuntutan dan perjanjian khusus tersebut mengenai bunga yang harus dibayar untuk satu tahun. Bunga ini lazim dinamakan anatocisme atau samengstelde interesten.
Sedangkan Pasal 1252 BW mengatur tentang bunga dari uang pokok berupa pendapatan-pendapatan yang sudah dapat ditagih seperti uang gadai, uang sewa dan bunga abadi atau bunga selama hidupnya seseorang. Bunga dari uang pokok macam inipun hanya terhitung semenjak diajukan tuntutan di muka pengadilan atau dibuatnya perjanjian.
Sesuai dengan asas kebebasan berkontrak, Pasal 1249 BW secara umum memberi kemungkinan kepada para pihak untuk menentukan tersendiri mengenai ganti kerugian ini dalam perjanjian. Pasal 1249 BW selengkapnya berbunyi demikian.
Jika dalam suatu perikatan ditentukannya, baliwa si yang lalai memenuhinya sebagai ganti rugi harus membayar suatu jumlah uang tertentu, kepada pihak yang lain tidak boleh diberikan suatu jumlah yang lebih maupun yang kurang daripada jumlah itu.