Setiap negara didirikan atas dasar falsafah tertentu. Falsafah itu adalah merupakan perwujudan dari keinginan rakyatnya. Karena itu setiap negara mempunyai falsafah yang berbeda. Umpamanya Amerika Serikat mempunyai falsafah negara yang tercantum dalam declaration of independence yang berbeda dengan Republik Indonesia yang mempunyai falsafah Pancasila, dan begitu pula dengan negara lainnya.
Karena suatu falsafah itu indentik dengan keinginan dan watak rakyat dan bangsanya, maka adalah tidak mungkin untuk mengambil oper begitu saja falsafah negara lain untuk dijadikan falsafah bangsanya. Karena falsafah itu merupakan perwujudan dari watak dan keinginan dari suatu bangsa, maka segala aspek kehidupan bangsa tersebut harus sesuai dengan falsafahnya. Misalnya hidup kekeluargaan yang terdapat di tengah-tengah Kehidupan bagsa Indonesia, belum tentu terdapat dalam kehidupan bangsa lain. Begitu pula azas liberalisme yang terdapat di negara-negara Barat, tidak tepat untuk dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia.
Pada waktu Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dalam rapat-rapatnya mencari philosofische grondslag untuk Indonesia yang akan merdeka, maka diputus kan Pancasila sebagai dasar negara. Hal ini berarti bahwa setiap tindakan raayat dan negara Indonesia harus sesuai dengan Pancasila yang sudah ditetapkan sebagai dasar negara itu.
Dalam bidang hukum, Pancasila merupakan sumber hukum materiil. Karena setiap isi peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengannya dan jika hal itu terjadi, maka peraturan itu harus segera dicabut.
Pancasila sebagai azas bagi Hukum Tata Negara Indonesia dapat dilihat sebagai berikut:
a. Azas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bah-
wa: * maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa ” 99)
(e.b. dari penyusun).
Begitu pula dalam batang tubuhnya dapat terlihat rumusan yang mencerminkan azas tersebut, ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap, penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya” 100) (e.b. dari penyusun). Ketentuan ini menjadi dasar bagi Pemerintah dan alat perlengkapan negara lainnya dalam mengatur soal beragama bagi penduduk Indonesia, jadi bukan hanya warganegara Indonesia saja, tetapi juga termasuk bukan warganegara Indonesia.
Dalam bidang eksekutif realisasi dari azas Ketuhanan Yang Maha Esa dapat dilihat dengan adanya Departemen Agama dan segala bagian-bagiannya yang mengatur segala soal yang menyangkut agama di Indonesia. _ .
Dalam bidang legislatif tercermin pelaksanaan dari azas Ketuhanan Yang Maha Esa antara lain pada lahirnya Undang-Undang
Perkawinan (UU. No. 1/1974). .
Begitu pula dalam bidang yudikatif, seperti disebutkan dalam
Undang-Undang no. 14 tahun 1970 pasal 4 ayat (1) bahwa "Peradilan dilakukan "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", dan ini tercermin dalam setiap ke-putusan Peradilan umum di Indonesia. Dan begitu pula dengan adanya peradilan agama yang khusus diadakan bagi mereka yang beragama Islam, adalah tidak lain sebagai realisasi dari Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut.
b. Azas Prikemanusiaan.
Selain Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 juga pasal 34 adalah merupakan perwujudan azas Prikemanusiaan dalam hukum positif Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari hal ini terlihat pada lembaga-lembaga yang didirikan untuk menampung segala ketidak seimbangan dalam kehidupan sosial, umpamanya panti asuhan untuk anak-anak yatim-piatu, dan orang jompo. Dari segi legislatif dapat dilihat dari lahirnya Undang-Undang Perburuhan yang menghilangkan prinsip penghisapan manusia oleh manusia. Dalam bidang eksekutif terlihat pula adanya Departemen Sosial yang juga berusaha untuk menanggulangi masalah yang banyak kaitannya dengan prikemanusiaan, umpamanya dengan adanya Direktorat Bencana Alam, yang dengan aktif memberikan bantuan dan menyalurkan bantuan dari masyarakat untuk daerah-daerah yang terkena bencana alam.
c. Azas Kebangsaan.
Azas Kebangsaan ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat. Merdeka berarti bahwa bangsa Indonesia bebas untuk menentukan nasibnya sendiri. Dan berdaulat berarti bahwa bangsa Indonesia tidak membolehkan adanya campur tangan dari bangsa lain dalam hal-hal yang merupakan urusan dalam negeri Indonesia. Untuk mengokohkan azas kebangsaan ini maka dikaitkan pula beberapa lambang seperti lambang Republik Indonesia, Sang Saka Merah Putih, bahasa kesatuan Indonesia adalah bahasa Indonesia, lagu kebang-saan Indonesia adalah Indonesia Raya, serta lambang kesatuan bangsa Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika.
Azas kebangsaan ini terlihat dalam Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Realisasinya terdapat dalam tindakan bangsa Indonesia, umpamanya dalam mewujudkan maksud pasal 33, bahwa bumi dan air dikuasai oleh Negara dan diusahakan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan rakyat. Begitu pula dalam rangka perlindungan untuk bangsa Indonesia terhadap kemungkinan pengaruh buruk dari luar negeri, bahkan orang asing yang ada di Indonesia juga diawasi demi kepentingan bangsa Indonesia.
Dalam bidang legislatif azas ini terlihat dengan lahirnya Undang-Undang Kewarganegaraan dan Undang-Undang tentang Agraria, yang jelas banyak hubungannya dengan kehidupan rakyat Indonesia.
Azas kebangsaan ini oleh pengadilan-pengadilan dijalankan antara lain dalam bentuk keputusannya, apabua terjadi perselisihan antara warga negara Indonesia dan orang asing di wilayah Indonesia di mana diperlukan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia.
d. Azas Kedaulatan rakyat.
Azas ini terlihat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan sebagai berikut:
”maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang berkedaulatan rakyat ” 101) (e.b. dari penyusun),
serta pasal 1 ayat (2) 102)
Azas ini menghendaki agar setiap tindakan dari Pemerintah harus berdasarkan kemauan rakyat dan pada akhirnya semua tindakan pemerintah harus dapat dipertanggung jawabkan kepada rakyat melalui wakil-wakilnya. Persetujuan dari rakyat atas tin--dakan Pemerintah itu dapat ditunjukkan bahwa Presiden tidak dapat menetapkan Peraturan Pemerintah tanpa terlebih dahulu adanya Undang-Undang, artinya tanpa persetujuan rakyat Presiden tidak dapat menetapkan suatu Peraturan Pemerintah. Dan akhirnya Presiden harus memberikan pertanggungan jawabnya kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat yang merupakan penjelmaan dari rakyat Indonesia yang memegang kedaulatan rakyat. Demikianlah pula halnya dengan kontrol dari Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden adalah dalam rangka perwujudan dari azas kedaulatan rakyat,
Hal ini dapat kita lihat dari pelaksanaan pemilihan umum oleh Presiden pada pemilihan umum tahun 1971. Ini tidak lain adalah kehendak rakyat yang dituangkan dalam Undang-Undang rio. 15 tahun 1969 dan pelaksanaan dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XLH/MPRS/1968. Dan adanya pertanggungan jawab tersebut di atas dapat dilihat dari penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, 103) dan kemudian pada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. VT/MPR/1973.
Dalam bidang legislatif terlihat perwujudan dari azas kedaulatan rakyat pada wewenang yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan dari segi yudikatif terlihat pula azas ini bahwa hakim-hakim Agung baru dapat diangkat setelah oleh Anggauta Dewan Perwakilan Rakyat diusulkan kepada Presiden,
e. Azas Keadilan Sosial.
Dalam bentuk lembaga azas keadilan sosial ini dapat dilihat pada adanya Departemen Sosial yang menyelenggarakan masalah-masalah sosial dalam negara.
Dalam bidang legislatif pelaksanaan dari azas ini terdapat dalam rangka mewujudkan Undang-Undang tentang jaminan sosial.
Dalam bidang yudikatif setiap keputusan hakim senantiasa berpedoman kepada keadilan sosial. Terutama dengan lahirnya pusat-pusat industri yang memungkinkan timbulnya perselisihan atau sengketa antara fihak pimpinan dan fihak kaum buruhnya, perlu adanya suatu badan yang akan menyelesaikan sengketa itu tidak secara sefihak dan sewenang-wenang, melainkan dengan berpedoman kepada keadilan sosial selalu memperhitungkan nasib Kaum buruh itu.