BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Manusia
menurut Aristoteles merupakan makhluk zoon
politicon, yang bermakna sebagai makhluk sosial yang membutuhkan interaksi
diantara manusia. Namun, dalam sebuah proses interaksi tak selamanya akan
berjalan mulus-mulus saja, akan terjadi beberapa kasus atau kejadian dimana
sebuah proses interaksi tidak berjalan sesuai dengan diharapkan, atau terjadi
kendala dalam proses interaksi.
Terjadinya
hambatan dalam proses interaksi manusia salah satu sebabnya adalah karena
manusia memiliki kepentingan yang berbeda, ketika kepentingan tersebut berjalan
beriringan maka tidak akan terjadi gesekan kepentingan atau konflik
kepentingan. Namun, apabila kepentingan manusia yang satu dengan manusia yang
lain itu bertentangan, maka terjadilah conflict
of human interest atau terjadilah konflik kepentingan manusia.
Adakalanya
dalam proses penyelesaian conflict of
human interest tersebut manusia bisa menyelesaikan hingga tuntas. Namun,
ada pula masalah-masalah yang tidak dapat terselesaikan. Akhirnya, kadang
masalah ini bisa memicu tindakan-tindakan kejahatan yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang dengan berbagai motif kejahatan.
Kriminologi
dalam hal ini sebagai science (ilmu)
yang mempelajari sebab musabab mengapa orang berbuat kejahatan memiliki
kepentingan untuk membahas hal-hal tersebut. Banyak sekali teori-teori yang
terdapat dalam kriminologi, salah satunya adalah Teori Anomie yang dikenalkan
oleh Emile Durkheim. Teori ini menjelaskan sebuah tindakan kejahatan dari perspektif
sosiologis. Dalam teori yang dikenalkan oleh Emile Durkheim ada satu kajian
menarik yang akan kami kaji dalam makalah yang kami bahas ini, yaitu mengenai
tindakan suicide atau tindakan bunuh
diri yang dibahas menurut perspektif Teori Anomie milik Emile Durkheim.
B.
Rumusan
Masalah
Ada
dua masalah yang akan coba kami jawab dalam pembahasan makalah yang kami buat
ini, yaitu:
1. Apakah
yang dimaksud dengan Teori Anomie?
2. Bagaimanakah
tindakan Suicide menurut perspektif
Teori Anomie?
C.
Tujuan
Penulisan
Tujuan
penulisan dari makalah ini adalah untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang
ada dalam rumusan masalah, yaitu:
1. Mengetahui
apa yang dimaksud dengan Teori Anomie.
2. Mengetahui
tindakan Suicide menurut perspektif
Teori Anomie.
D.
Sistematika
Penulisan
Sistematika dari makalah
yang kami buat yaitu:
Pada bab I dibahas
mengenai pendahuluan, disana dibahas mengenai latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan.
Pada bab II adalah
mengenai tinjauan teoritis mengenai Teori Anomie yang dicetuskan oleh Emile
Durkheim dan juga kritik atas teori yang dibuat oleh Emile Durkheim tersebut.
Pada bab III adalah
pembahasan, yaitu pada poin pertama dibahas mengenai dinamika interaksi sosial
yang menimbulkan terjadinya conflict of
human interest, kemudian mengenai hancurnya keteraturan sosial menurut
perspektif Teori Anomie, kemudian yang terakhir dibahas juga mengenai tindakan Suicide menurut perspektif teori ini.
Pada bab IV yaitu bab
terakhir dalam makalah ini terdapat kesimpulan dan saran dari makalah yang kami
buat.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.
Definisi
Teori Anomie
Anomie dalam kamus ilmiah yang disusun
oleh Soesilo Riwayadi, dimaknai sebagai ketidak pedulian terhadap sesuatu.
Menurut Wikipedia, Anomie adalah sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Emile
Durkheim untuk menggambarkan keadaan yang kacau, tanpa peraturan. Kata ini
berasal dari bahasa Yunani a yang berarti “tanpa”, dan
nomos yang berarti “hukum” atau “peraturan”.
Konsep Durkheim tentang anomi (teori
anomi) termasuk kelompok teori Undercontrol (lihat bagian teori Hagan, 1987).
Riset Durkheim tentang “suicide” (1897) atau bunuh diri dilandaskan pada asumsi
bahwa rata-rata bunuh diri yang terjadi di masyarakat yang merupakan tindakan
akhir puncak dari suatu anomie: bervariasi atas dua keadaan sosial, yaitu social integration dan social regulation.
Durkheim mengemukakan bahwa bunuh diri
atau suicide berasal dari dari tiga
kondisi sosial yang menekan (stres) yaitu:
- Deregulasi
kebutuhan atau anomie
- Regulasi
yang keterlaluan atau fatalisme, dan
- Kurangnya
integrasi struktural atau egoisme
Hipotesis ke-4 dari suicide menunjukan pada proses sosialisasi dari seorang individu
kepada suatu nilai budaya “alturistik” yang mendorong yang bersangkutan untuk
melaksanakan bunuh diri.
Konsep yang menarik pada teori Durkheim
adalah kegunaan konsep dimaksud lebih lanjut untuk menjelaskan penyimpangan
tingkah laku yang disebabkan karena kondisi ekonomi di masyarakat.
B. Kritik Terhadap Teori
Anomie
Traub
dan Little (1975) memberikan kritiknya sebagai berikut: “Teori anomie nampaknya
beranggapan bahwa di setiap masyarakat terdapat nilai-nilai dan norma-norma
yang dominan yang diterima sebagian besar masyarakatnya, dan teori ini tidak
menjelaskan secara memadai mengapa hanya individu-individu tertentu dari
golongan masyarakat bawah yang melakukan penyimpangan-penyimpangan. Analisis
Merton sama sekali tidak mempertimbangkan aspek-aspek interaksi pribadi untuk menjadi deviant, dan juga tidak memperhatikan hubungan erat antara kekuatan
sosial dengan kecenderungan bahwa seseorang akan formal memperoleh cap sebagai deviant.”
Cohen
(1955) dalam bukunya Delinquent Boys,
menolak analisis Merton karena tidak dapat digunakan untuk menjelaskan Juvenile Delinquency. Menurut Cohen,
teori anomie tidak dapat menjelaskan secara memadai kegiatan-kegiatan anak dan
remaja delinkuen. Di samping mereka melibatkan diri mereka ke dalam cara-cara
yang ilegal untuk memperoleh sukses, mereka juga melakukan tindakan-tindakan
yang bersifat “non-utilitarian”, kejam, dan negatif.
Cullen
(1983) menyampaikan kritikannya sebagai berikut:
1. Bahwa
Durkheim tidak secara jelas merinci sifat dari keadaan sosial yang sedang
terjadi. Sekalipun Durkheim mengemukakan pengertian-pengertian umum dengan
menunjuk pada istilah common ideas,
beliefs, costums, tendencies, dan opinions;
namun pengertian-pengertian tersebut berdiri sendiri dan bersifat eksternal
dari kesadaran individu. Di pihak lain, sekalipun dalam kedudukan demikian,
pengertian-pengertian dimaksud tetap mampu mengarahkan atau membatasi kegiatan
individu (termasuk bunuh diri). Bunuh diri (suicide) dimaksud oleh Durkheim
disebut sebagai Current Anomy.
2. Durkheim
tidak konsisten dalam menjelaskan bagaimana Current
Anomy menyebabkan bunuh diri. Ia
sekurang-kurangnya telah mengaitkan Current
Anomy kepada bunuh diri melalui dua cara yang terpisah. Pertama, logika
analisis Durkheim pada bab tentang Anomic
Suicide mendukung hipotesis bahwa kejadian-kejadian yang tiba-tiba seperti
perceraian dan kemakmuran yang mendadak cenderung mengakibatkan bunuh diri.
Kedua pernyataan Durkheim mengenai peran Social
Currents menunjukan adanya penyimpangan yang mendasar dari pembahasannya
tentang deregulasi. Menurut Durkheim, Social
Currents membawa pengaruh sepenuhnya terhadap bunuh diri. Dari pernyataan
ini, jelaslah bahwa upaya untuk memperluas skema sebab-sebab yang terdapat
dalam hipotesis deregulasi tidak tampak. Bahkan, ia menyampaikan penjelasan
lain yang berbeda mengenai bunuh diri.
3. Dalam
seluruh tulisannya tentang “suicide”, Durkheim tidak berhasil membahas mengenai
kondisi sosial dapat membentuk penyimpangan tingkah laku di masyarakat. Hal ini
sebagian besar disebabkan strategi metodologi yang digunakan Durkheim. Ia
pertama mempelajari bunuh diri, dan kemudian mulai mengungkapkan
penyebab-penyebabnya.
Pendekatan
yang digunakan kemudian adalah mengaitkan faktor tertentu (anomie) secara
langsung kepada bunuh diri (suicide). Cara orientasi demikian justru tidak
segera diikuti dengan (menimbulkan) pertanyaan pada Durkheim, apakah kondisi
stres melalui deregulasi juga memungkinkan membawa seseorang memasuki suatu alternatif
yang lain dari penyimpangan tingkah laku.
Teori
anomie (Merton) diperbaiki oleh Cloward dan Ohlin (1959) dengan mengetengahkan
teori differential opportunity,
Cloward dan Ohlin mengatakan bahwa sesungguhnya terdapat cara-cara untuk
mencapai sukses, yaitu cara yang disebut olehnya mengakui cara yang pertama.
Apabila
masyarakat sangat integratif, remaja delinquent
merupakan kader-kader penjahat professional dan sekaligus merupakan partner
dari penjahat dewasa, sehingga menurut Cloward dan Ohlin, dalam masyarakat
tersebut akan tumbuh dengan subur apa yang disebutnya sub-kultur kriminal.
Sebaliknya, jika masyarakat tidak bersifat integratif, maka akan terdapat
pertentangan antara kultur kriminal dan kultur non-kriminal sehingga akan
tampak keadaan yang disebut konflik sub-kultur.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Dinamika
Interaksi Sosial: Terjadinya Conflict of
Human Interest
Interaksi
sosial adalah hubungan timbal balik yang dinamis, menyangkut hubungan individu
dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok.
Secara
sederhana, interaksi sosial dapat terjadi apabila dua individu atau kelompok
saling bertemu dan saling berhubungan. Kondisi ini, ditandai dengan adanya
saling menegur, berjabat tangan, berbicara, dan sebagainya. Seiring dengan
perbedaan suku bangsa, ras, agama, adat istiadat, dan perkembangan teknologi,
pola interaksi sosial suatu kelompok atau individu, memiliki keanekaragaman
cara.
Memahami
pola-pola interaksi sosial, sangat berguna untuk memahami dan mempelajari
berbagai masalah di masyarakat. Contoh: terjadinya kerusuhan yang berbau suku,
ras, dan agama (SARA) di Sampit dan Ambon, di Poso, di Papua, dan lainnya.
Salah satunya disebabkan oleh tidak berjalannya proses interaksi sosial antara
individu atau kelompok masyarakat yang
menimbulkan sikap saling curiga.
Sikap saling curiga yang terjadi diantara manusia bisa memicu terjadinya conflict of human interest dan
berkembang menjadi tindakan kejahatan yang bisa dilakukan oleh salah satu atau
semua pihak yang terlibat pada interaksi sosial tersebut, dan menimbulkan
kerugian yang besar.
Kerugian
masyarakat karena kejahatan adalah besar sekali. Kita berhadapan dengan suatu
gejala yang luas dan mendalam, yang bersarang sebagai penyakit dalam tubuh
masyarakat, sehingga membahayakan hidupnya, sedikitnya sangat merugikannya.
Kejahatan yang diperbuat dalam sekian tahunnya tak terhitung banyaknya dan
jutaan penjahat dihukum.
B.
Hancurnya
Keteraturan Sosial Menurut Perspektif Teori Anomie
Perkembangan
masyarakat dunia terutama setelah era depresi besar yang melanda, khususnya
masyarakat Eropa pada tahun 1930-an telah banyak menarik perhatian pakar
sosiologi saat itu. Hal ini disebabkan telah terjadi perubahan besar dalam
struktur masyarakat sebagai akibat dari depresi tersebut yaitu tradisi yang
telah menghilang dan telah terjadi “deregulasi” di dalam masyarakat. Keadaan
inilah yang dinamakan sebagai “anomie” oleh Durkheim.
Yaitu hancurnya keteraturan sosial sebagai akibat dari hilangnya patokan dan
nilai-nilai.
Salah
satu cara dalam mempelajari suatu masyarakat adalah dengan melihat pada
bagian-bagian komponennya dalam usaha mengetahui bagaimana masing-masing
berhubungan satu sama lain. Dengan kata lain kita melihat kepada struktur dari
suatu masyarakat guna melihat bagaimana ia berfungsi. Jika masyarakat itu
stabil, bagian-bagiannya beroperasi secara lancar, susunan-susunan sosial
berfungsi. Masyarakat seperti itu ditandai oleh kepaduan, kerja sama dan
kesepakatan.
Namun,
jika bagian-bagian komponennya tertata dalam satu keadaan yang membahayakan
keteraturan atau ketertiban sosial, susunan masyarakat itu disebut dysfunctional (tidak berfungsi). Sebagai
analogi, jika kita melihat sebuah jam dengan seluruh bagian-bagiannya sangat
sinkron. Ia berfungsi dengan tepat. Ia menunjukan waktu dengan akurat. Namun
jika satu per-nya yang kecil rusak, keseluruhan mekanisme tidak lagi berfungsi
secara baik. Demikianlah perspektif structural
functionalist yang dikembangkan oleh Emile Durkheim sebelum akhir abad
ke-19.
C. Tindakan Suicide Menurut Perspektif Teori Anomie
Menurut
Durkheim, faktor demografik merupakan faktor terbesar dalam perubahan dan
perkembangan masyarakat. Faktor demografis tersebut menurutnya adalah
pertambahan jumlah penduduk. Menurutnya dengan bertambahnya volume penduduk
maka kepadatan penduduk dalam suatu ruang spasial tertentu meningkat. Dengan
meningkatnya kepadatan maka menimbulkan kebutuhan akan pembagian kerja yang
baru (new division of labour), dengan
munculnya spesialisasi kerja baru akan memunculkan struktur baru dalam
masyarakat fungsi dan peran baru. Semuanya melalui proses evolusi dan konsensus,
yaitu mengenai masalah moral dan intelektual masyarakat. Munculnya sruktur baru
sangat fungsional bagi masyarakat. Sedangkan dalam membahas peruahan dengan
revolusi kekerasan seperti di Perancis tahun 1789, Durkheim cenderung
menyebutnya kelainan atau anomali, yang artinya individu kehilangan pegangan
(kekaburan norma/tanpa norma).
Durkheim
kemudian membagi dua jenis masyarakat, yaitu masyarakat bersolidaritas mekanik
(masyarakat primitif homogen) dan masyarakat bersolidaritas organis (masyarakat
heterogen-modern). Masyarakat bersolidaritas mekanik tersusun karena semua
posisi dan peran yang dijalankan masyarakatnya sama sehingga muncul hubungan
yang mekanik. Sedangkan masyarakat bersolidaritas organis tersusun karena rasa
saling tergantung satu sama lain sehingga membentuk ikatan organis. Pada model
masyarakat organis ini maka tidak ada tempat bagi konflik dan ketegangan.
Konflik hanya dianggap sebagai suatu penyakit (patologi) dan hanya merupakan
suatu kondisi yang sementara. Masyarakat selalu memiliki pengaturan yang
membuat dirinya tetap bertahan dan tidak terjadi disintegrasi. Masyarakat
menurut pendekatan ini selalu mengusahakan terjadinya suatu posisi seimbang.
Dengan logika tersebut maka menurut Durkheim hierarki sosial dan konsentrasi
kekuasaan menjadi berguna bagi berthannya masyarakat. Gagasan ini disebut
gagasan struktural fungsional.
Durkheim
menolak dengan tegas anggapan-anggapan tentang penyebab bunuh diri disebabkan
oleh penyakit kejiwaan, akibat imitasi atau peniruan. Ia juga menolak teori
ras, teori klim, teori yang menghubungkan bunuh diri dengan alkoholisme, dan
juga menolak teori yang menghubungkan bunuh diri dengan kemiskinan.
Menurut
Durkheim, peristiwa-peristiwa bunuh diri sebenarnya merupakan
kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang karena itu dapat dijadikan sarana
penelitian dengan menghubungkannya terhadap struktur sosial dan integrasi
sosial dari suatu kehidupan masyarakat.
Durkheim
menyatakan bahwa dibalik bergelimangnya sebuah kemakmuran dalam masyarakat
modern, sesuatu keadaan yang kurang ada pada masyarakat modern, pada mereka
banyak juga bermunculan penderitaan-penderitaan yang tidak ada pada masyarakat
tradisional. Karena itu dalam masyarakat modern banyak dijumpai terjadi bunuh
diri. Dalam mengkaji persoalan bunuh diri, Durheim melakukan distribusi
penggolongan fenomena bunuh diri, sebagai contoh menurutnya bunuh diri di
Protestan lebih tinggi daripada di Katholik, karena kebebasan di Protestan
lebih dihargai. Durkheim juga menyatakan bahwa orang yang tidak menikah
mempunyai tingkat bunuh diri yang lebih tinggi daripada yang sudah menikah,
jumlah keluarga dengan anak yang banyak akan sedikit bunuh dirinya daripada
kelurga yang mempunyai anak sedikit. Dia juga menyatakan bahwa adanya krisis
politik dan perang yang bisa menjadikan keterlibatan partisipasi masyarakat
akan menyebabkan tingkat integrasi yang tinggi, sehingga tingkat bunuh dirinya
pun relatif rendah. Durkheim membagi bunuh diri menjadi beberapa kelompok,
pertama bunuh diri egoistis, yaitu bunuh iri yang disebabkan kelakuan seseorang
yang bersifat egois. Bunuh diri egoistis adalah bunuh diri yang terjadi karena
indivudualisasi berlebihan yang terjadi bila individu tercerabut dari kesadaran
kolektif yang memberi arah dan makna kehidupan. Kedua, bunuh diri altruistik,
bunuh diri yang biasanya ada pada masyarakat tradisional, yaitu bunuh diri yang
dilakukan karena ingin berkorban untuk kesejahteraan umum (obligatory altruistic suicide), ketiga bunuh diri anomie, yaitu
bunuh diri yang terjadi karena tidak adanya peraturan moral. Bunuh diri semacam
ini bisa terjadi bila terjadi perubahan –perubahan keadaan, dimana individu
tidak siap dengan perubahan tersebut.
Dalam
kesimpulannya, Durkheim sampai pada perumusan-perumusan yang keras bahwa setiap
kelompok social mempunyai kecenderungan kolektif (egoisme, altruisme dan anomi)
yang mengadakan paksaan terhadap perilaku manusia untuk bunuh diri, yang
merupakan sumber bukannya hasil dari kecenderungan-kecenderungan individual.
Durkheim
menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat tertentu dengan dominasi
dari suatu sistem hukum. Ia menemukan bahwa masyarakat yang memiliki
solidaritas mekanis hukum seringkali bersifat represif: pelaku suatu kejahatan
atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas
kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu; hukuman itu bertindak
lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran. Sebaliknya, dalam masyarakat
yang memiliki solidaritas organic, hukum bersifat restitutif: ia bertujuan
bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu
masyarakat yang kompleks.
Jadi,
perubahan masyarakat yang cepat karena semakin meningkatnya pembagian kerja
menghasilkan suatu kebingungan tentang norma dan semakin meningkatnya sifat
yang tidak pribadi dalam kehidupan sosial, yang akhirnya mengakibatkan
runtuhnya norma-norma sosial yang mengatur perilaku. Durkheim menamai keadaan
ini anomie. Dari keadaan anomie muncullah segala bentuk perilaku menyimpang,
dan yang paling menonjol adalah bunuh diri.
Terdapat
empat alasan orang bunuh diri menurut Emile Durkheim, yaitu:
1. Karena
alasan agama
Dalam
penelitiannya, Durkheim mengungkapkan perbedaaan angka bunuh diri dalam penganut
ajaran Katolik dan Protestan. Penganut agama Protestan cenderung lebih besar
angka bunuh dirinya dibandingkan dengan penganut agama Katolik. Perbedaan ini
dikarenakan adanya perbedaan kebebasan yang diberikan oleh kedua agama tersebut
kepada penganutnya. Penganut agama Protestan memperoleh kebebasan yang jauh
lebih besar untuk mencari sendiri hakekat ajaran-ajaran kitab suci, sedangkan
pada agama Katolik tafsir agama ditentukan oleh pemuka Gereja. Akibatnya
kepercayaan bersama dari penganut Protestan berkurang sehingga menimbulkan
keadaan dimana penganut agama Protestan tidak lagi menganut ajaran/tafsir yang
sama. Integrasi yang rendah inilah yang menjadi penyebab laju bunuh diri dari
penganut ajaran ini lebih besar daripada penganut ajaran bagama Katolik.
2. Karena
alasan keluarga
Semakin
kecil jumlah anggota dari suatu keluarga, maka akan semakin kecil pula
keinginan untuk terus hidup. Kesatuan sosial yang semakin besar, semakin besar
mengikat orang-orang kepada kegiatan sosial di antara anggota-anggota kesatuan
tersebut. Kesatuan keluarga yang lebih besar biasanya lebih akan terintegrasi.
3. Karena
alasan politik
Durkheim
disini mengungkapkan perbedaan angka bunuh diri antara masyarakat militer
dengan masyarakat sipil. Dalam keadaan damaiangka bunuh diri pada masyarakat
militer cenderung lebih besar daipada masyarakat sipil. Dan sebaliknya, dalam
situasi perang masyarakat militer angka bunuh dirinya rendah. Didalam situasi
perang masyarakat militer lebih terintegrasi dengan baik dengan disipilin yang
keras dibandingkan saat keadaan damai di dalam situasi ini golongan militer
cenderung disiplinnya menurun sehingga integrasinya menjadi lemah.
4. Karena
alasan kekacauan hidup (anomie)
Bunuh
diri dengan alasan ini dikarenakan bahwa orang tidak lagi mempunyai pegangan
dalam hidupnya. Norma atau aturan yang ada sudah tidak lagi sesuai dengan
tuntutan jaman yang ada.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Teori
Anomie merupakan salah satu teori dalam kriminologi yang ditemukan oleh Emile
Durkheim. Teori ini meneliti dan mencoba menjelaskan mengenai kejadian suicide (bunuh diri) dalam perspektif
sosiologis. Teori ini masih memiliki kelemahan, diantaranya tidak menjelaskan
secara rinci mengapa golongan masyarakat bawah yang melakukan
penyimpangan, Durkheim juga tidak
berhasil membahas mengenai kondisi sosial yang dapat membentuk penyimpangan
tingkah laku di masyarakat. Hal ini sebagian besar disebabkan strategi
metodologi yang digunakan Durkheim. Ia pertama mempelajari bunuh diri, dan
kemudian mulai mengungkapkan penyebab-penyebabnya. Menurut Durkheim,
peristiwa-peristiwa suicide (bunuh
diri) sebenarnya merupakan kenyataan-kenyataan sosial tersendiri.
B.
Saran
Teori
Anomie, menyatakan bahwa dibalik bergelimangnya sebuah kemakmuran dalam
masyarakat modern, sesuatu keadaan kurang yang ada pada masyarakat modern, pada
mereka banyak juga bermunculan penderitaan-penderitaan yang tidak ada pada
masyarakat tradisional. Karena itu dalam masyarakat modern banyak dijumpai
terjadi bunuh diri. Kemudian dikarenakan bahwa orang tidak lagi mempunyai
pegangan dalam hidupnya. Norma atau aturan yang ada sudah tidak lagi sesuai
dengan tuntutan jaman yang ada. Berangkat dari teori ini, bahwa setiap manusia
haruslah memiliki norma-norma yang dipegang dengan erat, seperti norma agama
yang dapat menjaga dari rasa frustasi ketika mengalami ketimpangan atau
kekacauan struktur sosial dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Buku:
Atmasasmita, Romli. 2005.
Teori dan Kapita Selekta Kriminologi.
Bandung: PT. Refika Aditama.
Bonger, W.A. 1995. Inleinding Tot De Criminologie terjemah:
Pengantar Tentang Kriminologi.
Jakarta: PT. Pembangunan.
Riwayadi, Soesilo. 2012. Kamus Populer Ilmiah Lengkap. Surabaya:
Penerbit Sinar Terang.
Santoso, Topo. 2011. Kriminologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Siahaan, Hotman. 1986. Pengantar Ke Arah Sejarah dan Sosiologi.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Soekanto, Soejono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia.
Wartiah, Euis Ida. 2008. Ilmu
Sosial Budaya Dasar. Bandung: Yapras.
Sumber
Internet:
http://id.wikipedia.org/wiki/Anomie,
diakses pada tanggal 12 Desember 2012, pukul 17:21.
http://oviefendi.wordpress.com/makalah/teori-anomie,
diakses pada tanggal 12 Desember 2012, pukul 18:43.
http://bocahdoyanmakan.blogspot.com/2009/02/teori-suicide-oleh-emile-durkheim.html,
diakses pada tanggal 12 Desember 2012, pukul 18:55.
http://romaromantika.wordpress.com/2011/01/25/teori-bunuh-diri-emile-durkheim,
diakses pada tanggal 12 Desember 2012, pukul 19:07.