BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kedudukan
harta bersama dalam hukum perkawinan Indonesia diatur pada Pasal 35 dan
Pasal 36 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang menyatakan, bahwa harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dan dapat
dipergunakan atas persetujuan kedua belah pihak, sedangkan harta bawaan,
hadiah, dan warisan tetap di bawah penguasaan masing-masing dan merupakan hak
sepenuhnya sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Artinya, harta yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa
ikatan perkawinan. Oleh karena itu, harta bersama
merupakan harta perkawinan yang dimiliki suami istri secara bersama-sama.
Yakni, harta baik bergerak maupun tidak bergerak yang diperoleh sejak
terjalinnya hubungan suami istri yang sah, yang dapat dipergunakan oleh suami
dan istri untuk membiayai keperluan hidup mereka beserta anak-anaknya, sebagai
satu kesatuan yang utuh dalam rumah tangga. Karena itu, harta bersama adalah
harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan tanpa
mempersoalkan terdaftar atas nama siapa.Awal terbentuknya harta bersama
dalam perkawinan ini, karena masih adanya prinsip masing-masing suami dan istri
untuk berhak menguasai harta bendanya sendiri, sebagaimana halnya sebelum
mereka menjadi suami istri, kecuali harta bersama yang tentunya dikuasai
bersama.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 35 dan 36 di atas, maka UU No. 1 Tahun 1974 tidak menganut asas
percampuran atau penyatuan harta akibat adanya perkawinan, sehingga harta
bawaan, hadiah, dan warisan suami dan istri terpisah dan tetap di bawah
penguasaan masing-masing dan merupakan hak sepenuhnya, sepanjang para pihak
tidak menentukan lain melalui perjanjian perkawinan. Sedangkan harta bersama
yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan, menjadi milik bersama suami
istri, tanpa mempersoalkan siapakah sesungguhnya yang menguras jerih payahnya
untuk memperoleh harta tersebut serta dikuasai dan dikelola secara bersama dan
masing-masing suami istri merupakan pemilik bersama atas harta bersama
tersebut.
Semua
pendapatan atau penghasilan suami istri selama ikatan perkawinan, selain harta
asal dan/atau harta pemberian yang mengikuti harta asal adalah harta bersama. Tidak dipermasalahkan apakah istri ikut aktif bekerja atau
tidak, walaupun istri hanya tinggal di rumah mengurus rumah tangga dan anak,
sedangkan yang bekerja suami sendiri. Hal ini sesuai
dengan putusan Mahkamah Agung tanggal 7 September 1956 No. 51/K/Sip/1956, bahwa
menurut hukum adat, semua harta yang diperolehkan selama berlangsungnya
perkawinan termasuk dalam gono gini, meskipun mungkin hasil kegiatan suami
sendiri.
Ketentuan
di atas berbeda dengan Pasal 119 KUH Perdata yang menyatakan, bahwa sejak saat
dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh
antara suami-istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan
lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan
berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara
suami-istri. Dengan demikian, sejak mulai perkawinan
sudah terjadi suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri (algehele
gemeenschap van goederen) kalau tidak diadakan suatu perjanjian. Keadaan
yang demikian itu berlangsung seterusnya dan tak dapat diubah lagi selama
perkawinan. Kalau orang ingin menyimpan dari peraturan tersebut, maka harus
diletakkan keinginannya itu dalam suatu perjanjian perkawinan (huwelijksvoorwaarden).
Perjanjian yang demikian itu, harus diadakan sebelum perkawinan ditutup di
depan Pegawai Pencatatan Sipil dan harus diletakkan dalam suatu akta notaris.
Undang-undang menghendaki supaya keadaan kekayaan dalam suatu perkawinan itu
tetap, demi melindungi kepentingan-kepentingan pihak ketiga.
Ketika terjadi perceraian, maka harta bersama ini dibagi dua antara suami istri
tanpa perlu memperhatikan dari pihak mana barang-barang itu dahulu diperoleh.
B.
Identifikasi
Masalah
1. Apa pengertian dan dasar
hukum perkawinan campuran di Indonesia?
2. Pemasalahan apa saja yang
timbul dari perkawinan campuran lintas agama?
3. Bagaimana status
kepemilikan saham (modal) suami-istri dalam perseroan terbatas?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk mengetahui,
memahami dan menganalisa pengertian dan dasar hukum perkawinan campuran di
Indonesia.
2. Untuk mengetahui,
memahami dan menganalisa pemasalahan yang timbul dari perkawinan campuran
lintas agama.
3. Untuk mengetahui,
memahami dan menganalisa status kepemilikan saham (modal) suami-istri dalam
perseroan terbatas.