BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan Campuran di
Indonesia
Dalam
beberapa hal, aspek perkawiinan campuran telah diatur di dalam UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, yang untuk selanjutnya disingkat dengan UU Perkawinan.
Menurut Ketentuan Pasal 57 UU Perkawinan, pengertian Perkawinan Campuran adalah
“perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang
berlainan karena perbedaan kewarga-negaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia”.
Berdasarkan
Ketentuan Pasal 57 tadi, dapat diketahui bahwa sesungguhnya perkawinan campuran
yang dimaksud menurut UU Perkawinan adalah perkawinan yang berbeda
kewarga-negaraan saja, sedangkan perkawinan lintas agama tidaklah diatur
sehingga dengan demikian perkawinan lintas agama tidak terkandung di dalam
muatan materi yang terdapat di dalam UU Perkawinan. Dengan kata lain,
perkawinan lintas agama bukan menjadi yurisdiksi dari hukum nasional tentang
perkawinan sebagaimana dimaksud di dalam Ketentuan Pasal 57 UU Perkawinan,
khususnya yang menyangkut tentang perkawinan campuran.
Namun
demikian, jika ditilik secara lebih seksama lagi, UU Perkawinan tidak menutup
sama sekali pengaturan yang terkait dengan masalah perkawinan lintas. Hal ini
dapat dilihat dari Ketentuan Penutup Pasal 66 UU Perkawinan yang menyebut
sebagai berikut:
“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya
Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (burgelijk Wetboek), Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen
(Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia 1933 No.74, Peraturan Perkawinan
Campuran (Regeling op gemeng de Huwelijken S.1898 No. 158), dan
Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur
dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.
Dari
Ketentuan Penutup UU Perkawinan tadi, penting kiranya memperhatikan hal-hal
yang diatur di dalam peraturan lainnya, termasuk pula peraturan hukum kolonial
mengingat di dalam UU Perkawinan, masalah perkawinan lintas agama tidaklah
diatur.
Di dalam peraturan lainnya,
perkawinan beda agama ternyata diatur di dalam Staatsblad 1898 No. 158 (Keputusan
Raja 29 Des1896 No. 23) tentang Peraturan Perkawinan Campuran. Namun
demikian, pengaturan yang terdapat di dalam peraturan kolonial tersebut hanya
sedikit sekali menyinggung tentang perkawinan lintas agama.
Salah satu bagian dari Ketentuan
Pasal 7 Staatsblad 1898 No. 158 (Keputusan Raja 29 Des1896 No. 23) yang
mengatur tentang perkawinan lintas agama hanya menyebutkan sebagai berikut:
“Perbedaan agama, bangsa atau keturunan sama sekali
bukan menjadi penghalang terhadap perkawinan”
Selanjutnya pengaturan lain mengenai
prosedur dan tata cara perkawinan lintas agama tersebut tidaklah diatur lebih
lanjut sehingga kiranya dapat diketahui bahwa perkawinan lintas agama menurut
Staatsblad1898 No. 158 (Keputusan Raja 29 Des1896 No. 23) tentang
Peraturan Perkawinan Campuran adalah tidak dilarang namun tidak pula diberikan
pengaturan lebih lanjut yang berguna sebagai pedoman, terutama menyangkut
prosedur dan tata cara bagi pihak-pihak yang melaksanakannya.
B. Beberapa
Permasalahan Hukum Seputar Perkawinan Campuran Lintas Agama
Bagi para
pelaku perkawinan campuran lintas agama, beberapa permasalahan yang dapat
timbul antara lain sebagai berikut:
1.
Masalah
Keabsahan Perkawinan
Mengenai
sahnya perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaanya yang diatur
dalam pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan
keputusannya sesuai dengan ajaran dari agama masing-masing. Namun,
permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak tersebut
membolehkan untuk dilakukannya perkawinan lintas agama. Misalnya, dalam ajaran
Islam wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam [Al
Baqarah (2):221]. Selain itu juga dalam ajaran Kristen perkawinan lintas agama
dilarang (I Korintus 6: 14-18).
2. Masalah Pencatatan perkawinan
Apabila
perkawinan lintas agama tersebut dilakukan oleh orang yang beragama Islam dan
Kristen, maka terjadi permasalahan mengenai pencatatan perkawinan. Apakah di
Kantor Urusan Agama atau di Kantor Catatan Sipil oleh karena ketentuan
pencatatan perkawinan untuk agama Islam dan di luar agama Islam berbeda. Apabila
ternyata pencatatan perkawinan lintas agama akan dilakukan di Kantor Catatan
Sipil, maka akan dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu apakah perkawinan lintas
agama yang dilangsungkan tersebut memenuhi Ketentuan Pasal 2 UU Perkawinan
tentang syarat sahnya suatu perkawinan. Apabila pegawai pencatat perkawinan
berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut UU
Perkawinan maka ia dapat menolak untuk melakukan pencatatan perkawinan
(Ketentuan Pasal 21 ayat (1) UU Perkawinan).
3. Status Kewarganegaraan
Menurut
Ketentuan Pasal 58 UU Perkawinan, bagi orang-orang yang berlainan
kewarga-negaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh
kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan
kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-Undang
Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.
Hal itu
dapat dilihat dari Ketentuan Pasal 26 ayat (1) s.d ayat (4) UU No. 12 tahun
2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang selanjutnya disingkat
dengan UU Kewarganegaraan sebagai berikut:
1)
Perempuan
Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga negara asing
kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal
suaminya kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat
perkawinan tersebut.
2)
Laki-laki
Warga Negara Indonesia yang kawin dengan perempuan warga negara asing kehilangan
Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal istrinya kewarganegaraan
suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut.
3)
Perempuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki sebagaimana dimaksud padaayat
(2) jika ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan
mengenai keinginannya kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya
meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut, kecuali pengajuan
tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda.
4)
Surat
pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan oleh perempuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki sebagaimana dimaksud pada ayat (2 setelah
3 (tiga) tahun sejak tanggal perkawinannya berlangsung.
Jadi, jika
kita melihat Ketentuan Pasal 26 ayat (1) dan ayat (3) UU Kewarganegaraan, dapat
diketahui bahwa apabila hukum negara asal si suami memberikan kewarga-negaraan
kepada pasangannya akibat perkawinan campuran, maka istri yang WNI dapat
kehilangan kewarga-negaraan Indonesia, kecuali jika dia mengajukan pernyataan
untuk tetap menjadi WNI.
Selanjutnya
perihal status kewarganegaraan anak, sebelum berlakunya UU Kewarganegaraan yang
baru, UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan (yang lama)telah
menggariskan bahwa asas kewarganegaraan Indonesia adalah Asas Ius
Sanguinus Patriarkhal dan Asas Tunggal. Namun setelah
berlakunya UU Kewarganegaraan yang baru, yakni UU No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan RI, terdapat suatu kemajuan dalam rangka perlindungan
terhadap hak anak terkait status kewarganegaraan karena di UU Kewarganegaraan
yang baru memperbolehkan seorang anak untuk memiliki kewarganegaraan ganda
sesuai Asas Kewarganegaraan Ganda Terbatas (vide Ketentuan Pasal
4 huruf c, d, h, l dan Pasal 5 jo. Pasal 6 ayat (1) s.d ayat (3) UU
Kewarganegaraan.
4. Masalah Kepemilikan Properti
Menurut
hukum, perempuan WNI yang terikat perkawinan sah dengan laki-laki WNA,
memperoleh hak-hak atas tanah berupa Hak Milik, Hak Guna Bangunan Hak Guna
Usaha, baik karena pewarisan, peralihan hak melalui jual beli, hibah atau
wasiat, maka
dia wajib melepaskan hak-haknya dalam jangka waktu satu tahun sejak
diperolehnya hak-hak tersebut. Hal tersebut berdasarkan Ketentuan Pasal
21 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, selanjutnya disingkat dengan UUPA yaitu:
“Orang asing
yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan
tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula
warga-negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya
Undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di
dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya
kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu
dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada
Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap
berlangsung”.
Pengaturan
tersebut berlaku ketika status kewarga-negaraan dalam perkawinan campuran masih
diatur menurut Ketentuan UU Kewarganegaraan yang lama. Dengan lahirnya UU
Kewarganegaraan yang baru, terjadi sedikit perubahan ketentuan menyangkut harta
bawaaan dimana dalam UU Kewarganegaraan yang lama mengharuskan pihak
istri yang berstatus WNI dalam perkawinan campuran untuk melepaskan hak milik
yang telah dimiliki sebelum perkawinan campuran dilangsungkan sebagai
aikbat dari konsekuensi yuridis berupa kehilangan kewarganegaraan. Namun demikian
setelah berlakunya UU Kewarganegaraan yang baru, Hak Milik, Hak Guna Bangunan
(HGB), maupun Hak Strata Title atas harta bawaan istri yang berstatus WNI
tetaplah diakui sebagai harta yang berada di bawah penguasaan masing-masing. Hal ini dikarenakan
oleh adanya perbedaan ketentuan yang menyangkut status kewarganegaraan antara
UU Kewarga-negaraan yang lama dengan UU Kewarganegaraan yang baru.
Ketentuan
Pasal 26 ayat (1) dan (2) UU Kewarga-negaraan menjelaskan bahwa pria atau
wanita Warga Negara Indonesia (WNI) yang menikah dengan pria atau wanita Warga
Negara Asing (WNA) akan kehilangan Kewarga-negaraan Republik Indonesia jika
menurut hukum negara asal suami atau isterinya, mengikuti kewarga-negaraan
suami atau isteri sebagai akibat perkawinan tersebut. Jika pria atau wanita
yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) tersebut ingin tetap menjadi
berkewarga-negaraan Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan ke pejabat atau
Perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal pria atau
wanita tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengabaikan kewarga-negaraan ganda
(Ketentuan Pasal 26 ayat (3) UU Kewarganegaraan). Surat pernyataan tersebut
dapat diajukan setelah tiga tahun sejak tanggal perkawinan campuran
dilangsungkan (Ketentuan Pasal 26 ayat (4) UU Kewarganegaraan).
Dalam hal
perkawinan campuran demikian, WNI pelaku perkawinan campuran tidak dapat
memiliki Hak Milik, Hak Guna Usaha ataupun Hak Guna Bangunan. Hal ini karena
dalam Ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan dinyatakan bahwa Harta benda
yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Jadi, ada percampuran
harta di sini, dan pasangan yang berstatus WNA akan turut menjadi pemilik atas
harta pihak yang berstatus WNI. Oleh karena itu, tidak boleh seorang WNI pelaku
perkawinan campuran memegang Hak Milik, atau Hak Guna Bangunan, atau Hak Guna
Usaha.
Ketentuan tersebut dapat dikecualikan dengan adanya perjanjian kawin
pisah harta yang dibuat sebelum perkawinan berlangsung. Perjanjian kawin
tersebut dibuat secara notariil yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan,
yaitu baik di Kantor Urusan Agama (KUA) maupun Kantor Catatan Sipil (Pasal 29 UU No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan). Dalam hal akta perjanjian kawin tersebut tidak
disahkan pada pegawai pencatat perkawinan terkait, maka secara hukum,
perkawinan yang berlangsung tersebut dianggap sebagai perkawinan percampuran
harta
C.
Status
Kepemilikan Saham (Modal) Suami-Istri dalam Perseroan Terbatas
Sesuai dengan landasan falsafah
pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 maka UU Pekawinan di satu pihak harus
dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam pencasila dan
Undang-Undang dasar 1945, sedangkan di lai pihak harus menampung “segala
kenyataan yang hidup” di masyarakat dewasa ini UU Perkawinan telah menampung di
dalamnya unsur-unsur dan ketentuan hukum agama dan kepercayaannya itu dari yan
bersangkutan.
Menurut UU Perkawinan, untuk orang
Indonesia ataupun perkawinan yang dilakukan menurut hukum Indonesia, maupun
berdasarkan pilihan hukumnya maka berlakulah sahnya perkawinan yaitu perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
UU Perkawinan merupakan suatu
unifikasi hukum, yang sebelumnya di dalam huum islam dan hukum adat, kedudukan
perempuan baik sebelum dan setelah menikah, adalah sama, tetap berkuasa
melakukan segala perbuatan hukum berbeda dengan hukum perdata barat. Pasal 108
KUH Perdata menyatakan bahwa :
Setelah kita mengetahui bahwa dalam
hukum perkawinan keluaraga nasional, perkawinan sebelum dan setelah berlakunya
UU Perkawinan terdapat perbedaan yang cukup mendasar mengenai konsepsi
perkawinan dan terutama hubungannya dengan harta kekayaannya, begitu
dipengaruhi asas hukum di dalam KUH Perdata, yakni pandangan hidup manusia eropa.
Setelah tahun 1974, perkawinan kembali lagi ke asasinya yang hakiki, yaitu
berlandasakan hukum bangsa Indonesia asli, yakni hukum adat yang dipengaruhi
hukum agama, yang demikian ke-timuran Indonesia.
Namun tetap kita harus sadari bahwa
konsepsi terhadap kebendaan termasuk kepada harta perkawinan, dimasa modern ini
berupa kemajuan dan berbagai perkembangan sosial, ekonomi dan budaya, konsepsi
harta benda demikian dipengaruhi dominasi barat, konkritnya ialah asas dan
kaidah hukum peradata barat di dalam KUH perdata yang sudah dipakai selama
kurang lebih 151 tahun lamanya semakinmelekat dan digunakan sehari-hari
dalamlalu lintas hukum nasional.
UU Perkawinan dan peraturan-peraturan
pelaksanaannya merupakan suatu norma yang diciptakan khusus mengatur tenang perkawinan
dan aturan hukum yang sebelumnya dicabut dan tidak berlaku seluruhnya, karena
Pasal 66 (aturan peralihan) menjembatani antara dimensi waktu, tempat,
persoalan dan orang.
Mengenai pengaturan harta benda
perkawinan menurut bab VII UU Perkawinan ada dua :
1. Harta
bersama :
a) Hara
yang diperoleh sepanjang perkawinan,
b) Harta
yang diperoleh sebagai hadiah pemberian atau warisan apabila ditentukan
demikian,
c) Hutang-hutang
yang timbul selama perkawinan berlangsung, kecuali yangmerupakan harta pribadi masing-masing
suami-istri.
2. Harta
Milik suami-istri atau harta pribadi :
a) Harta
yang dibawa masing-masing suami-isteri ke dalam perkawinan, termasuk di
dalamnya hutang-hutang yang dibuat sebelum perkawinan yang belum dilunasi,
b) Hara
benda yang diperoleh sebagai hadiah atau pemberian, kecuali kalau ditentukan
lain,
c) Harta
yang diperoleh masing-masing karena warisan, kecuali ditentukan lain,
d) Hasil-hasil
dari harta milik pribadi masing-masing suami-isteri sepanjang perkawinan
berlangsung, termasuk hutang-hutang yang ditimbulkan dalam melakukan.
Salah satu wujud harta di dalam
perkawinan adalah saham, saham yang merupakan benda bergerak, yang hanya
dikenal dalam hukum modern yang dikenal sejak jaman Hidia Belanda. Pemilikan
saham mempunyai 2 (dua) fungsi. Disatu pihak, belegings functie. Di lain pihak zeggenshaps functie. Dalam pendapatnya Setiawan maka :
1. Fungsi
yang pertama dari saham, yakni penanaman modal (belegings functie), terletak di bidang hukum harta kekayaan.
Seorang pemegang saham berhak atas deviden. Tentunya bergantung apakah
perseroan itu mempunyai keuntungan ataukah tidak. Seorang pemegang saham juga
berhak atas pembagian yang seimbang dari sisa harta kekayaan perseroan setelah
pembubaran,
2. Fungsi
kedua dari seorang pemegang saham ialah ikut bersuara (zeggenshaps functie), ikut menentukan jalannya perusahaan, melalui
Rapat Umum Pemegang Saham. zeggenshaps
functie seorang pemegang saham meliputi : a. Hak untuk menentukan pengurus
perusahaan dan memintakan pertanggungjawaban dari mereka, b. Hak untuk mengeluarkan
suara, c. Hak untuk mengetahui jalannya perusahaan, d. Hak untuk memeriksa
pembukuan perusahaan, dan e. Hak-hak yang berhubungan dengan likuidasi
perusahaan.
Walaupun apabila dicermati secara
lebih teliti, maka fingsi seorang pemegang saham untuk bersuara, untuk ikut menentukan
jalannya perseroan, sebenarnya tidak begitu menentukan sebagaimana selama ini
dikatakan. Sebagai akibat makin banyaknya jumlah saham serta makin tersebarnya
pemilikan saham pada suatu perseroan terbatas, maka zeggenshaps functie-nya surut ke latar belakang. Tampak lebih
menonjol adalah fungsi penanaman modal atas belleggings
functie-nya. Dalam kedudukannya ini,
maka pemilikan saham bisa merupakan aset yang sangat besar artinya. Ia
diperniagakan, dapat pula dibebani hak serta dijadikan agunan,
Dalam
kepemilikan saham tersebut, dapat terjadi karena :
a. Peristiwa
peralihan hak yaitu pewarisan karena kematian atau wasiat, atua ;
b. Karena
pemindahan hak, yaitu misalnya seperti jual beli, tukar menukar, hibah, ;
c. Karena
sengaja disetorkan atau disertakan ke dalam perseroan terbatas baik dengan uang
tunai ataupun pemsukan (inbreng)
kebendaan tanah atau kebendaan bukan tanah yang selanjutnya di konversikan
menjadi saham, maupun;
d. Peristiwa
hukum lainnya yang diatur oleh perseroan terbatas seperti terjadinya
restrukturisasi atau reorganisasi, yaitu perisiwa memperoleh go public (pendanaan secar terbuka dari
masyarakat melalui transaksi di bursa efek), pengambilalihan, peleburan,
penggabungan atau pemisahan.
Semua
peristiwa tersebut dapat terjadi pd pasangan suami istri sebelum atau setelah
mereka melangsungkan perkawinan, dimana mereka menjadi pemegang saham pasa
suatu perseroan terbatas yang sama baik secar langsung ataupun tidak langsung
karena merupakan suatu grup atau holding
dari beberapa perusahaan perseroan.
Satus dan kedudukan harta kekayaan
dengan pengertian kepemilikan bersama terikat, yaitu saham yang dimiliki oleh
pasangan suami-isteri sekaligus merupakan harta atau modal perseroan terbatas,
sebenarnya akan memberikan suatu persoalan hukum tersendiri, karena dalam hal
terjadi perbuatan hukum yang mengikatkan diri atas nama perseroan dengan pihak
ketiga, berarti sama saja mengikatkan harta kekayaan perkawinan, berikut dengan
konsekuensi hukumnya. Meskipun secara asasnya, begitu kekayaan suami dan isteri
disetorkan ke dalam badan hukum, berarti terpisah, dan sepenuhnya telah menjadi
harta perseroan terbatas. Karena itu, saham memiliki dua pengertian, yaitu
dalam pemikiran Setiawan adalah :
1. Pertama
sebagai suatu hak dalam artian deelgerechtigheid,
sebagaimana van Schlifgaarde mengemukakan het kapitaal van de venootschap is vrdeeld in aandelen, bahwa saham
itu merupakan suatu hak terhadap harta kekayaan perseroan. Kadang-kadang
dikaitkan juga sebagai deelgerechtigheid terhadap
harta kekayaanperseroan. Akan tetapi kedudukannya yang demikian itu, saham
termasuk harta kekayaan pemiliknya.
2. Kedua,
sebagai tanda bukti pemilikan saham tersebut. Oleh karenany kita berbicara
tentang aandel dan aandeebewijzen. Sebagaimana halnya
dengan setiap hak, maka hak atas suatu saham merupakan hak yang dimiliki oleh
seseorang tertentu. Selain dari itu, pada asasnya hak atas saham adalah hak
atas nama. Dalam hal diberikan bukti kepemilikan saham dan bukti kepemilikan
itu diberikan atas tunjuk, maka sifat hak tersebut berubah, ia menjadi hak atas
tunjuk (recht aan toonder). Namun
hendaknya senantiasa dibedakan atara saham itu sendiri (aandeel) di satu pihak. Yang pertama adalah suatu benda yang tidak
berwujud sedang yang kedua benda yang berwujud.
Pasal
48 ayat 1 UU Perseroan Terbatas menentukan bahwa saham sebagai modal di dalam
perseroan terbatas, kepemilikannya hanyalah berdasarkan saham atas nama. Saham
merupakan benda bergerak, yang merupakan instrumen surat berharga, yang diatur
baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) maupun Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUH Dagang).
Saham digolongkan kepada (surat-surat tanda keanggotaan dari suatu
persekutuan), termasuk di dalamnya ialah surat saham Perseroan Terbatas, isi
perikatan dasarnya ialah hak-hak tertentu yang diberikan oleh persekutuan
kepada pemegangnya, meskipun surat berharga diatur oleh KUH Dagang, atiran
demikian tidak ditemui, dengan demikian berlakulah ketentuan Pasal 1320 KUH
Perdata.