BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Gagasan mengenai hak anak bermula sejak berakhirnya
perang dunia I sebagai reaksi dari penderitaan yang timbul akibat dari bencana
peperangan terutama yang dialami oleh kaum perempuan dan anak-anak yang menjadi
yatim piatu akibat perang. Awalnya ide hak anak bermula dari gerakan aktivis
perempuan yang melakukan protes dan meminta perhatian publik atas nasib
anak-anak yang menjadi korban perang.
Salah seorang diantara para aktivis tersebut bernama
Eglantyne Jebb ( pendiri Save the Children ) kemudian mengembangkan 10 butir
pernyataan tentang hak anak / rancangan deklarasi hak anak (Declaration of the
Rights of the Child) yg pada tahun 1923 diadopsi oleh lembaga Save the Children
Fund International Union.
Kemudian pada tahun 1924 untuk pertama kalinya
Deklarasi Hak Anak diadopsi secara internasional oleh LBB deklarasi ini dikenal
dengan deklarasi Jenewa.
Setelah berakhirnya perang dunia II pada tahun 1948 Majelis
umum PBB kemudian mengadopsi deklarasi universal hak asasi manusia pada tanggal
10 desember. Peristiwa ini dianggap dan diperingati tiap tahunnya sebagai hari
Hak Asasi Manusia se-dunia , ini merupakan perkambangan penting dalam sejarah
HAM dan beberapa hal menyangkut hak khusus bagi anak-anak tercakup dalam
deklarasi ini.
Pada tahun 1959 Majelis umum PBB kembali mengeluarkan
pernyataan mengenai hak anak yang merupakan deklarasi internasional kedua bagi
hak anak. Tahun 1979 saat dicanangkannya tahun anak internasional, pemerintah
polandia mengajukan usul bagi perumusan suatu dokumen yang meltakkan standar
internasional bagi pengakuan thdp hak-hak anak dan mengikat secara yuridis.
Inilah awal perumusan konvensi hak anak.
Tahun 1989, rancangan Konvensi Hak Anak diselesaikan
dan pada tahun itu juga naskah akhir tersebut disahkan dengan suara bulat oleh
PBB tanggal 20 November, konvenan ini diratifikasi oleh setiap bangsa kecuali
somalia dan amerika serikat.
B.
Rumusan
dan Identifikasi Masalah
Dalam penulisan makalah ini kami tentulah memiliki
beberapa perumusan masalah guna meminimalisir keraguan atau pelebaran masalah.
Perumusan masalah ini, yakni sebagai berikut :
1. Apa
itu kovensi hak anak?
2. Dibagi
ke dalam berapa klasifikasi materi hukum mengenai hak-hak anak dalam konvensi
hak-hak anak?
3.
Apa saja usaha yang dilakukan pemerintah
dalam melindungi hak-hak anak berdasarkan konvensi hak anak?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan dari
penulisan makalah yang kami buat ini yakni,sebagai berikut :
1. Untuk
mengetahui mengenai kovensi hak anak
2. Untuk
mengetahu pengklasifikasian materi hukum mengenai hak-hak anak dalam konvensi
hak-hak anak
3.
Untuk mengetahui usaha apa
saja yang dilakukan pemerintah dalam melindungi hak-hak anak berdasarkan
konvensi hak anak
D.
Manfaat
Penulisan
Dengan
diselesaikannya penulisan makalah ini,penulisan makalah ini diharapkan hasilnya
dapat memberikan manfaat teoritis dan praktis sebagai berikut :
1.
Secara teoritis, hasil penelitian ini
dapat memberikan sumbangan pemikiran pada pengembangan ilmu hukum di bidang Hak
Azasi Manusia tentang perlindungan hak-hak anak. Selain itu dapat memperluas
pandangan ilmiah mengenai fungsi pemerintah dalam memberikan perlindungan
terhadapa hak-hak anak.
2.
Secara praktis, sebagai bahan masukan bagi
pembuat Undang-undang di bidang H Azasi Manusia untuk melakukan pembaharuan
peraturan perundang-undangan serta sistem hukumnya. Selain itu, sebagai bahan
informasi bagi para pelaksana kebijakan dalam mengambil langkah-langkah
perumusan kebijakan mengenai Hak Azasi Manusia di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konvensi Hak Anak
Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child)
telah disahkan pada tanggal 20 November 1989, dan mulai mempunyai kekuatan
memaksa (entered in to force) pada tanggal 2 September 1990. Sebelum
disahkannya Konvensi Hak-Hak Anak, perlindungan dan penegakan hak-hak anak
mengalami sejarah perjalanan yang sangat panjang. Sejarah perjalanan hak anak
dimulai dengan usaha perumusan draf hak-hak anak yang dilakukan oleh Mrs.
Eglantynee Jebb, pendiri Save the Children Fund.Berdasarkan catatan
UNICEF, beberapa tahapan penting dalam sejarah perkembangan hak-hak anak adalah
:
1. Tahun 1923
Hak-hak anak disetujui oleh Save
the Children International Union
1. Tahun 1924
Hak yang disetujui oleh League Of
Nation (hal ini merupakan upaya internasional menanggapi pengalaman anak
yang menjadi korban perang)
1. Tahun 1948
Mejelis Umum PBB mengesahkan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Walapun hak anak secara implisit sudah
termasuk didalamnya, namun banyak yang beranggapan bahwa kebutuhan khusus anak
perlu disusun dalam suatu dokumen secara terpisah
1. Tahun 1959
Majelis Umum PBB mengangkat
Deklarasi Kedua Hak Anak. Kelompok Komisi Hak Asasi Manusia PBB mulai
mengerjakan konsep Konvensi Hak-Hak Anak
1. Tahun 1989
Konsep Konvensi Hak-Hak Anak
disetujui oleh Majelis Umum PBB
Konvensi Hak-Hak Anak merupakan
instrumen yang merumuskan prinsip-prinsip universal dan norma hukum mengenai
kedudukan anak. Konvensi Hak-Hak anak merupakan hasil dari konsultasi dan
pembicaraan negara-negara, lembaga-lembaga PBB dan lebih dari lima puluh
organisasi Internasional (Joni&Tanamas, 1999). Dalam Mukadimah Konvensi
Hak-Hak anak, di jelaskan bahwa latar belakang disahkannya Konvensi tersebut
adalah berdasarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, PBB menyatakan bahwa
anak-anak berhak atas perawatan dan bantuan khusus. Selain itu juga disebutkan
bahwa, demi pengembangan kepribadian secara utuh dan harmonis, anak harus
dibesarkan dalam lingkungan keluarga, dalam suasana kebahagiaan, kasih sayang
dan pengertian.
Konvensi Hak-Hak anak disahkan
dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap anak, dan menegakan
hak-hak anak di seluruh dunia. Perlindungan hak-hak anak diwujudkan sebagai
gerakan global negara-negara di seluruh dunia dengan mensahkan Konvensi Hak-Hak
Anak sebagai bagian dari hukum nasional negara tersebut, hal ini merupakan
sebuah kemajuan penting untuk meletakan pembangunan sosial anak sebagai bagian
dari keseluruhan proses pembangunan negara-negara di dunia.
Menurut keyakinan UNICEF sebagai
badan dunia yang mengurusi masalah dana anak-anak internasional, “sudah tiba
saatnya bagi negara-negara di dunia untuk menempatkan kebutuhan anak dan
hak-hak anak pada pusat strategi pembangunan” (Joni&Tanamas, 1999).
Pandangan ini bukan berdasarkan kepentingan sempit UNICEF, melainkan didasarkan
pada kenyataan bahwa anak-anak perlu mendapatkan perlindungan, dan hak-hak anak
perlu untuk ditegakkan. Pembangunan haruslah pro anak, karena anak harus mendapat
perhatian prioritas, masalah-masalah anak seperti anak jalanan, pekerja anak,
eksploitasi sex pada anak harus segera ditanggulangi. Anak sebagai pewaris
zaman harus mendapat perlindungan demi masa depan dunia. Konvensi Hak-Hak Anak
disahkan untuk kepentingan anak di seluruh dunia, bukan untuk kepentingan
negara-negara tertentu. Hak-hak anak merupakan bagian dari hak-hak asasi
manusia yang perlu mendapatkan perlindungan karena anak-anak belum mampu untuk
mempertahankan hak-haknya tanpa bantuan orang dewasa.
Konvensi Hak-Hak Anak tahun 1989
yang disepakati dalam sidang Majelis Umum (General Assembly) PBB ke-44,
yang selanjutnya telah dituangkan dalam Resolusi PBB No. 44/25 Tanggal 5
Desember 1989. Berdasarkan materi hukum yang tercakup dalam Konvensi Hak-Hak
Anak, maka dapat dikualifikasikan beberapa isi Konvensi, yaitu:
1. Penegasan hak-hak anak
2. Perlindungan anak oleh negara
3. Peran serta berbagai pihak
(pemerintah, masyarakat, dan swasta) dalam menjamin penghormatan terhadap
hak-hak anak
Berdasarkan sistematikanya, Konvensi
Hak-Hak Anak terdiri atas beberapa bagian, yaitu:
1. Preambule
2. Substansi
3. Mekanisme penerapannya
B. Pengklasifikasian Materi Hukum
Mengenai Hak-hak Anak Dalam Konvensi Hak-hak Anak
Konvensi Hak-Hak Anak terdiri dari
54 (limapuluhempat) pasal yang berdasarkan materi hukumnya mengatur mengenai
hak-hak anak dan mekanisme implementasi hak anak oleh negara peserta yang
meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak. Materi hukum mengenai hak-hak anak dalam
Konvensi Hak-Hak anak dapat dikelompokkan dalam 4 kategori/klasifikasi hak-hak
anak, yaitu:
1. Hak terhadap Kelangsungan Hidup (survival
rights), yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi
hak-hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup (the rights of life)
dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang
sebaik-baiknya (the rights to the higest standart of health and medical care
attainable).
2. Hak terhadap Perlindungan (protection
rights), yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi hak
perlindungan dari diskriminasi, perlindungan dari eksploitasi anak, tindak
kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi
anak-anak pengungsi.
3. Hak untuk Tumbuh Kembang (development
rights), yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi
segala bentuk pendidikan (formal dan non formal) dan hak untuk mencapai
standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, dan spiritual, moral,
dan sosial anak.
4. Hak untuk Berpatisipasi (participation
rights), yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi hak
anak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak (the
rights of a child to express her/his views in all metters affecting that child)
Pasal 46 dan Pasal 48 Konvensi
Hak-Hak Anak secara tegas menyatakan bahwa Konvensi Hak-Hak Anak merupakan
perjanjian internasional yang bersifat terbuka. Artinya Konvensi Hak-Hak Anak
terbuka untuk diratifikasi oleh negara-negara lain yang belum menjadi perserta
(state parties). Pada tanggal 25 Agustus 1990, Indonesia telah
meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak dengan mengeluarkan Keputusan Presiden
(Keppres) No. 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Convention on the Rights of
the Child.
Konvensi Hak-Hak Anak merupakan
sumber hukum yang memberikan materi pada pembuatan hukum dan harmonisasi hukum
tentang anak. Kaidah hukum yang terdapat dalam Konvensi Hak-Hak Anak merupakan
materi hukum yang memberi isi peraturan perundang-undangan tentang anak, oleh
karena itu Konvensi Hak-Hak Anak menjadi bagian integral dari hukum tentang anak.
Sebagai perwujudan komitmen
Pemerintah dalam meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak, maka pada tanggal 22
Oktober 2002, Pemerintah mengesahkan UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak yang berorientasi pada hak-hak anak seperti yang tertuang dalam Konvensi
Hak-Hak Anak. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Konvensi Hak-Hak Anak, yang
dimaksud dengan anak adalah : “setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun
kecuali, berdasarkan undang-undang menetapkan kedewasaan dicapai lebih awal”,
pengertian tersebut sedikit berbeda dengan pengertian anak dalam UU No. 23
Tahun 2002, yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah : “Anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan. UU No. 23 Tahun 2002, telah memperluas
pengertian anak, yaitu meliputi anak yang masih berada di dalam kandungan.
Dalam ketentuan Pasal 1 butir 2 UU No. 23 Tahun 2002 yang dimaksud dengan
perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak
dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Dalam Pasal 2 UU No. 23 Tahun 2002
disebutkan bahwa: Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan
berlandaskan UUD 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak yang
meliputi: a. non diskriminasi, b. kepentingan yang terbaik bagi anak; c. hak
untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d. penghargaan terhadap
pendapat anak, hal ini tentu saja merupakan cerminan bahwa prinsip-prinsip
dalam Konvensi Hak-Hak Anak merupakan materi pokok yang diatur dalam UU No. 23
Tahun 2002. Secara keseluruhan materi pokok yang diatur dalam UU No. 23 Tahun
2002 memuat ketentuan dan prinsip-prinsip Konvensi Hak-Hak Anak.
Konvensi Hak-Hak Anak merupakan
dokumen HAM yang secara specific mengatur tentang hak-hak anak. Oleh karena itu
dalam ketentuan hukum nasional sebelum disahkannya UU No. 23 Tahun 2002,
perlindungan hak asasi anak sebelumnya sudah diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia. Dalam UU No. 39 Tahun 1999 disebutkan bahwa hak-hak
asasi manusia termasuk juga anak-anak, yaitu seseorang yang berusia dibawah 18
tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih didalam kandungan harus
dihormati dan mendapatkan perlindungan. Secara khusus perlindungan anak dalam
lingkup keluarga juga diatur dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Pengahapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dalam ketentuan Pasal 2 disebutkan bahwa anak
merupakan bagian dari keluarga yang harus mendapatkan perlindungan dari
kekerasan secara fisik maupun psikis.
Ketentuan hukum mengenai
kesejahteraan anak dalam Konvensi Hak-Hak Anak dapat dilihat dalam Pasal 25
yang mengatur peninjauan penempatan anak secara berkala (periodic review of
placement) Pasal 26 yang mengatur hak anak atas jaminan sosial dan
tunjangan sosial, dan pasal 27 yang mengatur tentang hak anak untuk menikmati
standar hidup yang memadai. Jauh sebelum Konvensi Hak-Hak anak di sahkan, hukum
nasional telah mengatur kesejahteraan anak dalam UU No. 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak. Substansi pengaturan kesejahteraan anak dalam konvensi
Hak-Hak Anak dan dalam UU No. 4 tahun 1979 tidak jauh berbeda.
Salah satu hak yang dilindungi dalam
Konvensi Hak-Hak Anak adalah hak untuk mengenyam pendidikan. Perwujudan jaminan
pendidikan anak dalam hukum nasional diatur dalam UU No 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU No. 20 Tahun
2003 (1) Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun
wajib mengikuti pendidikan dasar, (2) Setiap warga negara bertanggung jawab
terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan. Berdasarkan ketentuan
Pasal 6 tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa negara menjamin pendidikan bagi
anak-anak Indonesia dengan sistem wajib belajar.
Perwujudan konvensi hak-hak anak
tentang kewarganegaraan juga diatur dalam UU No 12 Tahun 2006. Dalam ketentuan
pasal 4-6 UU No. 12 Tahun 2006 diatur secara rinci tentang kewarganegaraan
anak, baik anak hasil perkawinan orang tua yang berwarga Negara Indonesia,
maupun anak hasil perkawinan campuran. Pengertian anak dalam UU No. 12 Tahun
2006 juga sejalan dengan pengertian anak dalam Konvensi Hak-Hak anak, yaitu
seseorang yang berumur kurang dari 18 tahun.
Perwujudan ketentuan Pasal 40
Konvensi Hak-Hak Anak tentang peradilan anak telah di atur secara khusus dalam
hukum nasional yaitu dalam UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.
Pengaturan tentang peradilan anak dalam UU No. 3 Tahun 1997 sejalan dengan
tujuan dari Konvensi Hak-Hak Anak, yaitu untuk memberikan perlindungan terhadap
anak, yaitu agar anak-anak yang melakukan pelanggaran tetap dihargai hak
asasinya, memperoleh manfaat dari segenap aspek proses hukum, termasuk bantuan
hukum atau bantuan lainnya dalam penyiapan dan pengajuan pembelaan. Dalam
Ketentuan Pasal 2 UU No. 3 Tahun 1997 disebutkan bahwa Pengadilan Anak adalah
pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada dilingkungan Peradilan Umum.
Peradilan anak bertugas dan berwenang untuk memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara anak. Sehingga dapat simpulkan bahwa UU No. 3 Tahun 1997
merupakan perwujudan dari kaidah hukum Konvensi Hak-Hak Anak mengenai peradilan
khusus untuk anak-anak yang berkonflik dengan hukum (children in conflict
with law).
Pengaturan tentang penculikan,
ekspolitasi seksual, perdagangan dan penyelundupan anak dalam Konvensi Hak-Hak
Anak secara khusus juga telah diatur dalam UU No. 21 Tahun 2007 Tentang
Pemberantasan tindak Pidana Perdagangan Orang. Dalam UU No. 21 Tahun 2007
pengertian anak meliputi seseorang yang berusia dibawah 18 tahun termasuk anak
didalam kandungan. Dalam ketentuan Umum Pasal 1 UU No. 21 tahun 2007
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perdagangan orang adalah tindakan
perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan
seseorang dengan ancaman kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang
kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan dalam negara mapun antar
negara, untuk tujuan ekspolitasi atau mengakibatkan orang terekpoitasi.
Dengan disahkannya UU No. 21 Tahun 2007, perlindungan hak-hak anak dari
eksploitasi seksual, penculikan dan perdagangan anak sebagaimana diatur dalam
Konvensi Hak-Hak Anak telah diwujudkan oleh negara.
Dalam Pasal 32 Konevensi Hak-Hak
Anak diatur larangan untuk melakukan ekspolitasi ekonomi terhadap anak-anak. Pasal
ini menegaskan bahwa anak-anak yang bekerja tidak boleh di ekpolitasi. Hukum
nasional juga telah mengatur ketentuan tersebut dalam UU No. 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 68 disebutkan bahwa pengusaha dilarang
memperkerjakan anak. Dalam Pasal 69 larangan tersebut dikecualikan untuk anak
yang berusia 13 tahun sampai dengan 15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan
sepanjang tidak menggangu perkembangan fisik, mental, dan sosial. Ketentuan ini
sejalan dengan ketentuan Pasal 32 Konvensi Hak-Hak Anak tentang ketentuan batas
usia minimum untuk diterima bekerja.
C.
Usaha Yang Dilakukan Pemerintah
Dalam Melindungi Hak-hak Anak Berdasarkan Konvensi Anak
Dalam prakteknya pengesahan suatu
perjanjian internasional yang dilakukan oleh Indonesia diwujudkan dengan
undang-undang atau dengan Keputusan Presiden (KEPPRES). Pengesahan atau
ratifikasi terhadap perjanjian internasional yang terpenting diatur dengan
dengan membuat undang-undang, sedangkan ratifikasi terhadap perjanjian
internasional yang kurang penting dilakukan dengan membuat KEPPRES.
Dalam hal Konvensi Hak-Hak Anak,
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi dengan mengeluarkan Keputusan Presiden
No. 36 Tahun 1990, tertanggal 25 Agustus 1990 Tentang Pengesahan Convention
on the Rights of the Child (Konvensi Hak Anak). Melihat status Konvensi
Hak-Hak Anak, dapat disimpulkan bahwa dari segi kebijakan, perlindungan anak
masih belum tertata dengan baik. Karena Konvensi Hak-Hak Anak hanya
diratifikasi dengan KEPPRES maka konskwensinya banyak kebijakan yang berkaitan
dengan perlindungan anak tidak menggunakan Konvensi Hak-Hak Anak sebagai dasar
pertimbangan, termasuk UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, hal ini
terjadi karena dalam UU No 10 Tahun 2004 Tentang Perundang-undangan disebutkan
bahwa Keppres tidak bisa menjadi dasar pertimbangan undang-undang, padahal
secara logika hukum, sumber hukum perlindungan anak seharusnya berasal dari
Konvensi Hak-Hak Anak, kemudian disesuaikan dengan nilai-nilai sosial budaya
negara bangsa Indonesia dan spirit agama-agama.
Untuk menyelesaikan masalah tersebut
pemerintah seharusnya segera meningkatkan status ratifikasi Konvensi Hak-Hak
Anak dari KEPPRES menjadi Undang-undang, hal ini merupakan kebutuhan bangsa
Indonesia dalam meningkatkan perlindungan anak mulai dari level peraturan
daerah sampai peraturan nasional, dan tentunya dunia internasional tidak lagi
mempertanyakan komitmen kesungguhan Indonesia dalam melakukan pemenuhan hak-hak
anak.
Dalam tataran implementasinya dengan
disahkannya berbagai peraturan perundang-undangan tentang anak belum sepenuhnya
masalah anak terselesaikan dengan baik, sehingga dapat dikatakan hak-hak anak
belum sepenuhnya dapat terlindungi. Masalah pendidikan, anak jalanan, anak
kekurangan gizi, pekerja anak, penculikan, perdagangan anak, kekerasan terhadap
anak merupakan masalah yang belum dapat diselesaikan oleh negara, bahkan yang
lebih ironis akhir-akhir ini marak berita tentang peradilan anak hanya karena
kasus-kasus sepele. Kasus peradilan anak karena kasus-kasus sepele tentu saja
bukan merupakan wujud perlindungan terhadap hak-hak anak, namun hal ini justru
dapat merusak psikis anak dengan melakukan pemidanaan.
Sejumlah langkah konkret harus
segera dilakukan. Pertama, perlunya pencerahan terhadap masyarakat akan
pentingnya perlindungan anak melalui sosialisasi berkelanjutan tentang
ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yaitu pengetahuan tentang hak-hak
anak yang harus diperoleh. Kedua, mendorong aparat hukum untuk melakukan
langkah aktif intensif bahkan ofensif dalam pembasmian segala bentuk
eksploitasi dan kejahatan terhadap anak-anak. Hukuman yang berat harus
dijatuhkan kepada mereka yang mengeksploitasi dan merusak masa depan anak
utamanya menyakut pelibatan anak dalam, trafficking, pelacuran anak, serta
tindakan sejenisnya. Ketiga, menciptakan model pendidikan alternatif bagi
anak-anak bermasalah, serta penyadaran hak-hak anak melalui kurikulum
integrated dalam proses belajar mengajar pada lembaga-lembaga pendidikan.
Keempat, menjadikan perlindungan anak sebagai sebuah gerakan, yang melibatkan
seluruh unsur dan potensi masyarakat baik lembaga pemerintah, swasta, lembaga
swadaya masyarakat, tokoh agama, dunia usaha, media massa, dan jaringan
internasional.
Ada 4 prinsip dasar hak anak yang terkandung di dalam Konvensi Hak
Anak, yaitu:
1. Non-diskriminasi (setiap anak punya hak untuk tidak
dibeda-bedakan berdasarkan perbedaan latar belakang, warna kulit,
ras, suku, agama, golongan, keluarga, gender, kondisi fisik & mental, dll)
2. Kepentingan yang terbaik bagi anak (setiap anak berhak
mendapatkan yang terbaik)
3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup,
dan
perkembangan (setiap
anak berhak untuk hidup dan berkembang normal, oleh karenanya setiap anak
berhak memperoleh jaminan pertolongan, penyelamatan dan perawatan
kesehatan dalam kondisi sakit, berbahaya dan mengancam jiwa, hak
mendapatkan tumpangan dan makanan untuk kelangsungan hidupnya, hak memperoleh
pelayanan kesehatan dalam kondisi sakit maupun sehat, hak mendapatkan
perkembangan anak, fisik dan mental termasuk pendidikan rohani,
dan hak mendapatkan pengajaran hal-hal yang baik)
4. Penghargaan terhadap pendapat anak (setiap anak berhak untuk dihargai
pendapatnya dan diberikan kesempatan untuk berdiskusi/tanya jawab).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Konvensi Hak-Hak Anak merupakan
instrumen yang merumuskan prinsip-prinsip universal dan norma hukum mengenai
kedudukan anak. Konvensi Hak-Hak anak merupakan hasil dari konsultasi dan
pembicaraan negara-negara, lembaga-lembaga PBB dan lebih dari lima puluh organisasi
Internasional (Joni&Tanamas, 1999). Dalam Mukadimah Konvensi Hak-Hak anak,
di jelaskan bahwa latar belakang disahkannya Konvensi tersebut adalah
berdasarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, PBB menyatakan bahwa
anak-anak berhak atas perawatan dan bantuan khusus. Selain itu juga disebutkan
bahwa, demi pengembangan kepribadian secara utuh dan harmonis, anak harus
dibesarkan dalam lingkungan keluarga, dalam suasana kebahagiaan, kasih sayang
dan pengertian. Konvensi Hak-Hak Anak terdiri dari 54 (limapuluhempat) pasal
yang berdasarkan materi hukumnya mengatur mengenai hak-hak anak dan mekanisme
implementasi hak anak oleh negara peserta yang meratifikasi Konvensi Hak-Hak
Anak. Materi hukum mengenai hak-hak anak dalam Konvensi Hak-hak anak dapat dikelompokkan
dalam 4 kategori/klasifikasi hak-hak anak, yakni : Hak terhadap Kelangsungan
Hidup (survival rights), Hak terhadap Perlindungan (protection rights),
Hak untuk Tumbuh Kembang (development rights), Hak untuk Berpatisipasi (participation
rights).
Dalam tataran implementasinya dengan
disahkannya berbagai peraturan perundang-undangan tentang anak belum sepenuhnya
masalah anak terselesaikan dengan baik, sehingga dapat dikatakan hak-hak anak
belum sepenuhnya dapat terlindungi. Masalah pendidikan, anak jalanan, anak
kekurangan gizi, pekerja anak, penculikan, perdagangan anak, kekerasan terhadap
anak merupakan masalah yang belum dapat diselesaikan oleh negara, bahkan yang
lebih ironis akhir-akhir ini marak berita tentang peradilan anak hanya karena
kasus-kasus sepele. Kasus peradilan anak karena kasus-kasus sepele tentu saja
bukan merupakan wujud perlindungan terhadap hak-hak anak, namun hal ini justru
dapat merusak psikis anak dengan melakukan pemidanaan.
B.
Saran
Untuk menyelesaikan masalah
perlindungan hak anak tersebut, pemerintah seharusnya segera meningkatkan
status ratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak dari KEPPRES menjadi Undang-undang, hal
ini merupakan kebutuhan bangsa Indonesia dalam meningkatkan perlindungan anak
mulai dari level peraturan daerah sampai peraturan nasional, dan tentunya dunia
internasional tidak lagi mempertanyakan komitmen kesungguhan Indonesia dalam
melakukan pemenuhan hak-hak anak.