BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Persoalan
Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan persoalan bersama yang harus diselesaikan.
Dalam hal ini perlu adanya koordinasi dari pemerintah daerah, para PKL, dan
masyarakat. Koordinasi tersebut diwujudkan dengan adanya dialog yang
memperbincangkan persoalan-persoalan PKL serta bagaimana penataan dan
pengaturannya, sehingga keberadaan PKL di tiap daerah bisa menunjang
perekonomian masyarakat daerah. Keberadaan PKL juga diharapkan tidak merusak
atau menurunkan kualitas lingkungan hidup yang ada disekitarnya agar dapat
tercipta tata ruang yang mempertahankan ekosistem lingkungan fisik maupun
social yang ada di dalamnya. Oleh karena itu diperlukan adanya penataan bagi
PKL untuk mewujudkan fungsi tata ruang kota yang optimal, dalam hal ini
menyangkut aspek ekonomi, social budaya dan lingkungan itu sendiri.
Selain itu, di Kabupaten Garut Khususnya
di sepanjang Jalan Jendral Ahmad Yani yang menjadi pusat Kota dan lalu lintas
kendaraan justru di tempat inilah banyak PKL yang berjualan. Sebagian besar PKL
menawarkan berbagai barang dagangan di trotoar sebagai kawasan ruang publik.
Berdasarkan hal tersebut para pejalan kaki telah terganggu atau terenggut
haknya untuk berjalan kaki di atas trotoar, karena telah dipenuhi oleh PKL yang
menjajankan berbagai barang dagangannya. Trotoar sebagai kawasan ruang public
menjadi hilang fungsinya dengan keberadaan PKL yang berada di sekitarnya.
Selain permasalahan di atas, keberadaan
PKL juga dapat berdampak pada kesehatan
masyarakat seperti adanya limbah cair dan padat sebagai dampak dari PKL.
Sebagai contoh, PKL yang bergerak di bidang usaha makanan pada umumnya akan
membuang sisa makanan dan minuman di tempat umum. Dari sisi lokasi dan letak,
keberadaan PKL yang kurang tertata mengganggu eksistensi ruang terbuka hijau
dan lalu lintas kendaraan yang berlalu lalang.
Banyak kasus yang mendasari keberadaan PKL
terhadap fungsi tata ruang kota. Di satu sisi, para PKL tetap ingin menjalankan
usahanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, tetapi da sisi lain
perlu adanya perwujudan penataan fungsi tata ruang kota yang memperhatikan aspek
lingkungan secara optimal. Dalam hal ini berarti diharapkan para PKL tetap
berjualan menjalankan usahanya untuk mendapatkan penghasilan mereka
sehari-hari, tetapi tidak mengganggu optimalisasi fungsi tata ruang yang ada.
Sebagai contoh banyak PKL yang berjualan di trotoar, padahal kaki, sehingga
pejalan kaki terenggut haknya tidak dapat menikmati fasilitas umum yang ada dan
keselamatannya terganggu. Selain hal tersebut banyak PKL yang tidak
memperhatikan kondisi kebersihan di sekitar tempat berjualan, sehingga
menyebabkan lokasi tersebut terlihat kotor atau kumuh.
Banyak dari PKL mengalami kondisi dilematis.
Di satu sisi, mereka ingin berjualan di tempat yang strategis sehingga akan
lebih mudah mendapatkan keuntungan, tetapi loksi strategis tersebut mengganggu
fungsi tata ruang kota yang ada,yang berkaitan dengan ketersediaan fasilitas
ruang public yang teganggu. Oleh karena itu dari pihak Pemerintah Daerah
berupaya untuk menata keberadaan PKL yang berjualan di sekitar ruang publik.
B.
Rumusan
dan Identifikasi Masalah
Dalam
penulisan makalah ini tentulah kami memiliki beberapa perumusan masalah guna
meminimalisir keraguan atau pelebaran masalah. Perumusan masalah ini, yakni
sebagai berikut :
1. Apakah sudah optimal penegakan
Peraturan Daerah K3 mengenai Keindahan, Kebersihan, dan Ketertiban Umum oleh
SATPOL PP terhadap pedagang kaki lima di Kabupaten Garut?
2. Dampak apa yang akan ditimbulkan
oleh Pedagang Kaki Lima (PKL) yang berjualan khususnya di sepanjang Jalan
Jenderal Ahmad Yani yang tidak sesuai dengan tata ruang kota di Kabupaten
Garut?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah yang kami buat ini yakni, sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui penegakan Peraturan
Daerah K3 mengenai Keindahan, Kebersihan, dan Ketertiban Umum oleh SATPOL PP
terhadap pedagang kaki lima di Kabupaten
Garut.
2. Untuk mengetahui dampak yang akan
ditimbulkan oleh Pedagang Kaki Lima (PKL) yang berjualan khususnya di sepanjang
Jalan Jenderal Ahmad Yani yang tidak sesuai dengan tata ruang kota di Kabupaten
Garut.
D.
Manfaat
Penulisan
Dengan
diselesaikannya penulisan makalah ini, penulisan makalah ini diharapkan
hasilnya dapat memberikan manfaat teoritis dan praktis sebagai berikut :
1. Kegunaan
teoritis
Semoga
makalah ini bermanfaat untuk memberikan wawasan dan masukan yang sangat penting
bagi kami selaku penyusun makalah penelitian ini, terutama dalam pembentukan
asimsi khususnya dala ruang lingkup kewargaegaraan dan social.
2. Kegunaan
praktis
Semoga
makalah ini dapat dijadikan sebagai acuan yang penting bagi pihak-pihak yang
terkait dengan permasalahan yang menyangkut tentang peran satuan polisi pamong
praja (SATPOL PP) dalam menertibkan pedagang kaki lima untuk melaksanakan
Peraturan Daerah K3 tentang Keindahan, Kebersihan dan Ketertiban Umum.
E.
Metode
Penulisan
Dalam
penyusunan makalah ini, kami menggunakan metode yuridis normatif yang berbentuk
studi pustaka. Yaitu tekhnik pengambilan data yang didasarkan pada
sumber-sumber primer dan sekunder.
F.
Sistematika
Penulisan
Adapun
sistematika penulisan dalam karya tulis ini adalah :
Bab
I : pendahuluan, yang terdiri dari
: latar belakang masalah, identifikasi dan rumusan masalah, tujuan penulisan,
manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
Bab
II : tinjauan pustaka, yang terdiri
dari : teori hukum, asas hukum, dan landasan hukum.
Bab III : pembahasan,
yang terdiri dari : penegakan peraturan daerah k3 mengenai keindahan, kebersihan,
dan ketertiban umum oleh SATPOL PP terhadap pedagang kaki lima, dampak yang
ditimbulkan oleh pedagang kaki lima yang berjualan khususnya di sepanjang Jalan Jenderal
Ahmad Yani yang tidak sesuai dengan tata ruang kota di Kabupaten Garut.
Bab
IV : penutup, yang terdiri dari :
kesimpulan dan saran.
DAFTAR
PUSATAKA
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Teori
Hukum
1. Teori Penegakan Hukum
Menurut Black’s Law Dictionary,
penegakan hukum (law enforcement), diartikan sebagai “the act of putting
something such as a law into effect; the execution of a law; the carrying out
of a mandate or command”. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penegakan
hukum merupakan usaha untuk menegakkan norma-norma dan kaidah-kaidah hukum
sekaligus nilai-nilai yang ada di belakangnya. Aparat penegak hukum hendaknya
memahami benar-benar jiwa hukum (legal spirit) yang mendasari peraturan hukum
yang harus ditegakkan, terkait dengan berbagai dinamika yang terjadi dalam
proses pembuatan perundang-undangan (law making process).
2. Teori Efektifitas Hukum
Berdasarkan teori efektivitas hukum
yang dikemukakan Soerjono Soekanto, efektif atau tidaknya suatu hukum
ditentukan oleh 5 (lima) faktor. Pertama; faktor hukumnya sendiri
(undang-undang). Kedua; faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum. Ketiga; faktor sarana atau fasilitas yang mendukung
penegakan hukum. Keempat; faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum
tersebut berlaku atau diterapkan. Kelima; faktor kebudayaan, yakni sebagai
hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam
pergaulan hidup.
Menurut Mochtar Koesoemaatmadja
bahwa tujuan pokok penerapan hokum apabila hendak direduksi pada satu hal saja
adalah ketertiban (order). Ketertiban
adalah tujuan pokok dan merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya mesyarakat yang teratur ; di samping itu
tujuan lainnya adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan
ukurannya,menurut masyarakat pada zamannya.
B.
Asas
Hukum
Sesuai
dengan hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara hukum. Satuan
Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) dalam menertibkan pedagang kaki lima yang
berjualan di sembarang tempat khususnya di Jalan Jendral Ahmad Yani (sekitar
pengkolan) harus berlandaskan dasar hukum yang jelas, tegas dan menyeluruh guna
menjamin kepastian hukum bagi upaya penegakan Peraturan Daerah mengenai K3
(Keindahan, Kebersihan, dan Ketertiban Umum) yang sekaligus berhubungan dengan
penataan ruang kota di Kabupaten Garut.
Dasar
Hukum itu dilandasi oleh asas penataan
ruang sebagaimana disebutkan dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang penataan
ruang :
1. Asas
Keterpaduan
Asas
Keterpaduan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengintegrasikan
berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas
pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan, antara lain, adalah Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat.
2. Asas
Keserasian, Keselarasan, dan Keseimbangan
Asas
Keserasian, Keselarasan, dan Keseimbangan adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan mewujudkan keserasian antara struktur ruang dan pola
ruang, keselarasan antara kehidupan manusia dengan lingungannya, keseimbangan
pertumbuhan dan perkembangan antar daerah serta antara kawasan perkotaan dan
kawasan pedesaan.
3. Asas
Keberlanjutan
Asas
Keberlanjutan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan menjamin
kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya tamping lingkungan dengan
memperhatikan kepentingan generasi mendatang.
4. Asas Keberdayagunaan
dan Keberhasilgunaan
Asas
Keberdayagunaan dan Keberhasilgunaan adalah bahwa penataan ruang
disellenggarakan dengan mengoptimalkan manfaat ruang dan sumber daya yang
terkandung di dalamnya serta menjamin terwujudnya tata ruang yang berkualitas..
5. Asas Keterbukaan
Asas
Keterbukaan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan memberikan akses
yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang
berkaitan dengan penataan ruang.
6. Asas Kebersamaan
dan Kemitraan
Asas
Kebersamaan dan Kemitraan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan melibatkan
seluruh pemangku kepentingan.
7. Asas Perlindungan
Kepentingan Hukum
Asas
Perlindungan Kepentingan Hukum adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan
dengan mengutamakan kepentingan masyarakat.
8. Asas Kepastian
Hukum dan Keadilan
Asas
Kepaastian Hukum dan Keadilan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan
dengan berlandaskan hukum/ketentuan peraturan perundang-undangan dan bahwa
penataan ruang dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat
serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak secara adli dengan jaminan
kepastian hukum.
9. Asas Akuntabilitas
Asas
Akuntabilitas adalah bahwa penyelenggaraan penataan ruang dapat
dipertanggungjawabkan, baik prosesnya, pembiayaanya.
C.
Landasan
Hukum
Regulasi
mengenai Keindahan, Kebersihan, Ketertiban Umum dan Penataan Ruang yang menjadi
kewenangan Pemerintah Daerah dalam menjalankan fungsinya adalah :
a. Pasal
33 UUD 1945 :
1)
Perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
2)
Cabang-cabang produksi
yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai
oleh Negara.
3)
Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
4)
Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
b. Pasal
1 angka 1 UU No. 26 Tahun 2007
Ruang adalah wadah yang meliputi ruang
darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu
kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan,
dan memelihara kelangsungan hidupnya.
c. Pasal
1 (30) UU No. 26 Tahun 2007
Kawasan
strategis kabupaten/kota adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan
karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten/kota terhadap
ekonomi, sosial, budaya,dan/atau
lingkungan.
d. Pasal
11 (1) dan (2) UU No. 26 Tahun 2007
1) Wewenang
pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi
:
a. pengaturan,
pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah
kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota;
b. pelaksanaan
penataan ruang wilayah kabupaten/kota;
c. pelaksanaan
penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan
d. zzkerja
sama penataan ruang antarkabupaten/kota
2) Wewenang
pemerintah daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. perencanaan
tata ruang wilayah kabupaten/kota;
b. pemanfaatan
ruang wilayah kabupaten/kota; dan
c. pengendalian
pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota.
c. Pasal
28 huruf c UU No. 26 Tahun 2007
Ketentuan
perencanaan tata ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25,
Pasal 26, dan Pasal 27 berlaku mutatis mutandis untuk perencanaan tata ruang
wilayah kota, dengan ketentuan selain rincian dalam Pasal 26 ayat (1)
ditambahkan :
rencana
penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki, angkutan
umum, kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi bencana, yang dibutuhkan
untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan
pusat pertumbuhan wilayah.
d. Pasal 3
(5) Peraturan Daerah No 2 Tahun 1988
Setiap pedagang
keliling, kaki ima, penjual makanan yang menimbulkan sampah diwaibkan
menyediakan tempat sampah sendiri dan atau membuang sampah pada bak sampah yang
telah tersedia dan melarang membuang sampah ke kali atau selokan
e. Pasal 7
huruf a Peraturan Daerah No. 2 Tahun 1988
Pada jalan, jalur
hijau, trotoar dan taman dilarang : Mengotori dan merusak jalan, jalur hijau,
trotoar dan taman dan tempat umumlainnya kecuali untuk kepentingan dinas.
f.
Pasal 15 (8) dan (9) Peraturan Daerah no 2
Tahun 1988
(8) Setiap
orang dilarang untuk berjualan selain pada lokasi yang telah ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah.
(9) Setiap
orang dilarang berjualan di atas trotoar.
BAB
III
PEMBAHASAN
A.
Penegakan
Peraturan Daerah K3 Mengenai Keindahan, Kebersihan, dan Ketertiban Umum oleh
SATPOL PP terhadap Pedagang Kaki Lima
Pedagang
kaki lima atau yang biasa disingkat dengan kata PKL adalah istilah untuk
menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering
ditafsirkan karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah
sua kaki pedagang ditambah tiga kaki gerobak (yang sebenanya adalah tiga roda
atau dua roda dan satu kaki). Dahulu namanya adalah pedagang emperan jalan,
sekarang menjadi Pedagang Kaki Lima, namun saat ini istilah PKL memiliki arti
lebih luas, Pedagang Kaki Lima digunakan pula untuk menyebut pedagang di jalan
umumnya. Tapi menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W. J. S
Poerwadarminta, istilah kaki lima adalah lantai yang diberi atap sebagai
penghubung rumah dengan rumah, arti yang kedua adalah lantai (tangga) dimuka
pintu atau tepi jalan. Arti yang kedua ini lebih cenderung diperuntukan bagi
bagian depan bangunan rumah took,dimana di jaman sialm telah terjadi
kesepakatan antar perencanaan kota bahwa bagian depan dari toko lebarnya harus
sekitar lima kaki dan diwajibkan dijadikan suatu jalur dimana pejalan kaki
dapat melintas.
Dalam rangka penegakan
Perda, unsur utama sebagai pelaksana di lapangan adalah pemerintah daerah,
dalam hal ini kewenangan tersebut di emban oleh SATPOL PP yang didalamnya juga
terdapat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, yang sudah dididik, dilatih dan sudah
memiliki surat keputusan sebagai penyidik. Sebagaimana tertuang dalam Pasal
148, 149 UU No 34 tahun 2004 Tentang Pemerintahan daerah, bahwa (1) Untuk
membantu kepala daerah dalam menegakkan Perda dan penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong
Praja.
Adapun wewenang
Satpol PP No. 6 Th 2010 tentang satuan
polisi Pamong Praja bab III Pasal 6, Polisi Pamong Praja berwenang :
a)
melakukan tindakan penertiban nonyustisial
terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan
pelanggaran atas Perda dan/atau peraturankepala daerah;
b)
menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan
hukum yang mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;
c)
fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas
penyelenggaraan perlindungan masyarakat;
d)
melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga
masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang didugamelakukan pelanggaran atas
Perda dan/atau peraturankepala daerah; dan
e)
melakukan tindakan administratif terhadap warga
masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda
dan/atau peraturan kepala daerah.
Namun dalam kenyataan di
lapangan penegakan Perda yang menyangkut ketertiban dan ketentraman umum amat
bersinggungan dengan kepentingan masyarakat banyak, dalam hal ini masyarakat
menengah kebawah, betapa banyaknya hal-hal dan kegiatan masyarakat yang
diwarnai dengan pelanggaran, namun pelanggaran itu sendiri tidak dirasakan oleh
sipelanggarnya, dan bahkan jauh dari itu masyarakat yang melanggar malah
meyakini bahwa tindakan yang dilakukan mereka bukan suatu pelanggaran, walau
sudah ada aturan yang mengaturnya. Hal ini tentu yang menjadi salah satu
penyebab adalah masyarakat tidak pernah mendapat informasi ataupun
peringatan-peringatan dari aparat yang berwenang mengenai larangan-larangan
yang tertuang dalam suatu Perda yang berlaku secara syah dan kurangnya
ketegasan pihak Pemda terhadap aturan dimaksud.
Memang dirasakan
oleh berbagai kalangan bahwa suatu Perda yang sudah diberlakukan secara
efektif tidak pernah disosialisasikan oleh pemerintah daerah bersama aparat kepolisian
atau instansi terkait, sehingga pemahaman masyarakat akan pentingnya Perda ini
amat dangkal. Dilain pihak Penegakan peraturan tidak memberikan rasa dan
kesan keadilan bagi masyarakat. Aparat kadang kala melakukan tindakan
setelah pelanggaran tersebut sudah terakumulasi sehingga dalam penegakannya
memerlukan tenaga, biaya dan pikiran yang cukup berat, karena bagaimanapun
dengan sudah banyaknya pelanggaran akan banyak juga resiko yang dihadapai dalam
penegakan Perda, bahkan akan berpotensi besar terhadap timbulnya masalah yang
lebih serius yang bisa membahayakan kepentingan masyarakat luas /
kepentingan umum. Tidak jarang penegakan hukum atas Perda dilaksanakan
oleh Sat Pol PP dan PPNS yang bertindak sangat represif dan terkesan arogan.
Sebagai suatu daerah
yang otonom Pemerintah daerah mempunyai wewenang dalam mengeluarkan suatu
Perda, dimana salah satu tujuannya adalah guna menjamin kepastian hukum dan
menciptakan serta memelihara ketentraman dan ketertiban umum. Berbicara
tentang kepastian hukum dan penegakan Perda dalam penyelenggaraan pemerintahan,
tentu tidak terlepas dari terciptanya keamanan dan ketertiban masyarakat, yang
dalam perwujudannya diperlukan suatu kemampuan manajemen dan
profesionalisme dalam menangani berbagai pelanggaran-pelanggaran menyangkut
ketertiban sehingga hasil yang dicapai sesuai dengan apa yang diharapkan,
dimana langkah-langkah tersebut meliputi kegiatan:
1.
Perencanaan. Dalam pelaksanaan kegiatan
perencanaan perlu adanya kemampuan untuk menyusun stategi baik Pre-emtif,
Pre-ventif, berupa :
1)
Tujuan yang akan dicapai dalam penegakan
suatu Perda.
2)
Konsep kegiatan yang akan dilaksanakan termasuk
didalamnya cara bertindak dengan sasaran yang telah ditetapkan.
3)
Kekuatan yang akan digunakan dalam penegakan
Perda.
4)
Menentukan konsep pengendalian yang dilakukan,
agar semua kegiatan yang dilaksanakan dapat terkontrol dengan baik sehingga
akan membuahkan hasil sebagaimana yang diharapakan.
2.
Pengorganisasian. Dalam rangka pelaksanaan
penegakan Perda perlu adanya pengorganisasian sehingga akan dapat
ditentukan secara pasti, siapa berbuat apa, siapa bekerja sama dengan siapa
serta bertanggung jawab kepada siapa, dengan tanpa melupakan prinsip-prinsip dalam
pengorganisasian yakni :
1)
Adanya kesatuan perintah.
2)
Adanya pembagian tugas yang jelas.
3)
Terjaminnya rentang kendali yang efektif.
4)
Penyelenggaraan pendelegasian wewenang yang
jelas.
5)
Adanya lapis kekuatan dan lapis kemampuan guna
keperluan back up dalam pelaksanaan tugas.
3.
Pelaksanaan. Dalam pelaksanaan penegakan suatu
Perda tentunya berpedoman pada hal-hal yang sudah direncanakan, dengan
menggunakan kekuatan yang telah dipersiapkan sebelumnya sebagaimana tertuang
dalam surat perintah yang berisikan antara lain :
1)
Tugas apa yang akan dilaksanakan.
2)
Mengapa tugas itu harus dilakukan.
3)
Apa sasaran yang akan dicapai.
4)
Bagaimana tindakan yang harus dilakukan.
5)
Siapa penanggung jawab kegiatan.
4.
Pengendalian. Guna keberhasilan pelaksanaan
tugas dilapangan dan agar rencana yang sudah ditetapkan dalam penegakan
Perda dapat berjalan sebagaimana mestinya perlu adanya suatu pengendalian oleh
pimpinan Satuan Polisi Pamong Praja dengan tujuan :
1)
Menjamin keberhasilan tugas.
2)
Menghindari timbulnya berbagai penyimpangan.
3)
Sebagai tindakan korektif bila terjadi
kesalahan.
Dalam
rangka penerapan Peraturan Daerah No.2 tahun 1988 tentang Kebersihan, Keindahan
dan Ketertiban di Kabupaten Garut dan atas dasar Keputusan Bupati Garut No.211
tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan pemeliharaan ketentraman dan ketertiban
umum serta penegakan peraturan daerah di kabupaten Garut pada dasarnya adalah
untuk kelancaran pelaksanaan pemeliharaan ketentraman dan ketertiban umum serta
dalam rangka penegakan dan mempedomani pelaksanaan ketertiban.
Pedoman
Surat Keputusan Bupati ini dilaksanakan sebagai pedoman kerja bagi setiap
aparat polisi pamong praja dan anggota pejabat pegawai negeri sipil serta
aparat lainnya dalam menjalakan tugas dan fungsinya dengan tujuan untuk
mewujudkan ketentraman dan ketertiban umum serta penegakkan peraturan daerah
dan peraturan pelaksanaannya serta norma-norma yang berlaku.
Dalam
pelaksanaan ketertiban berdasarkan peraturan daerah dan keputusan Bupati
tersebut dilakukan petugas keamanan dalam hal ini polisi pamong praja yang
melaksanakan pemantauan ketentraman dan ketertiban umum serta melaporkan
hasilnya secara tertulis kepada atasan langsung yang selanjutnya dilaporkan
kepada Pimpinan secara berjenjang.
Yang
dimaksud dengan Pemantauan tersebut adala pemantauan terhadap pelaksanaan
Peraturan Daerah yang menjadi tugas dan fungsi Dinas/lembaga teknis lainnya
dilakukan oleh Satuan olisi Pamong Pradjabersama-sama Dinas/ Lembaga Teknis
terkait.
Dalam
melaksanakan tugas tersebut, Kantor Satuan Polisi Pamong Pradja menyelenggarakan
fungsi yaitu menyusun rencana pelaksanaan dibidang ketentraman dan ketertiban
sesuai dengan kebijakan Bupati dan melaksanakan langkah dan tindakan untuk
menciptakan terwujudnya ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat dan
tegaknya peraturan perundang-undangan yang berlaku serta melaksanakan
koordinasi dan konsultasi dengan perangkat daerah dalam membina dan memelihara
ketentraman dan ketertiban masyarakat.
Tetapi,
tugas Satuan Polisi Pamong Praja dalam pelaksanaan fungsi di bidang ketentraman
dan ketertiban tetap belum optimal dan belum bias menertibkan para Pedagang
Kaki Lima. Hal ini tampak terlihat bagaimana keberadaan Pedagang Kaki Lima di
Pengkolan makin marak dan beragam dagangannya, khususnya pada Sabtu malam dan
Minggu pagi.
Pedagang
Kaki Lima khususnya di Jalan Ahmad Yani pun selama ini seringkali menjadi salah
satu penyebab kemacetan lalu lintas di jalan itu. Hal itu dilihat banyaknya
Pedagang Kaki Lima yang masih berjualan di pinggiran jalan, yang walau sudah
ditertibkan tetapi mereka masih tetap melakukan aktivitsanya. Selain itu dalam
pelaksanaan Perda mengenai K3 ini sanksinya lemah sehingga tidak bisa menjerat
atau membuat jera para PKL yang berjualan tersebut.
Kemudian dalam hal pembuatan sebuah
kebijakan, dalam implementasinya kebijakan pemerintah itu harus dilakukan
dengan pemikiran yang rasional dan proporsional. Logikanya pemerintah dalam
mengeluarkan kebijakan dalam hal ini relokasi, relokasi tersebut adalah
pemerintah berupaya mencari win-win solution atas permasalahan PKL. Dengan
dikeluarkannya kebijakan relokasi, pemerintah dapat mewujudkan tata kota yang
indah dan bersih, namun juga dapat memberdayakan keberadaan PKL untuk menopang
ekonomi daerah. Pemberdayaan PKL melalui relokasi tersebut ditujukan untuk
formalisasi aktor informal, artinya dengan ditempatkannya pedagang kaki lima
pada kios-kios yang disediakan maka pedagang kaki lima telah legal menurut
hukum. Sehingga dengan adanya legalisasi tersebut pemkab dapat menarik
restribusi secara dari para pedagang agar masuk kas pemerintah dan tentunya
akan semakin menambah Pendapatan Asli Daerah.
B.
Dampak
Yang Ditimbulkan oleh Pedagang Kaki Lima yang Berjualan Khususnya di Sepanjang Jalan Jenderal Ahmad Yani yang Tidak
Sesuai dengan Tata Ruang Kota di Kabupaten Garut
Munculnya
Pedagang Kaki Lima atau yang sering disebut PKL telah memberikan banyak dampak,
baik itu dampak positif maupun dampak negative. Di bawah ini akan diuraikan
beberapa dampak positif dan dampak negatif :
1. Dampak
Positif
Pada
umumnya barang-barang yang diusahakan PKL memiliki harga yang relative
terjangkau oleh pembelinya, dimana pembeli utamanya adalah masyarakat menengah
ke bawah yang memiiki daya beli yang rendah.keberadaan PKL bias menjadi potensi
pariwisata yang cukup menjanjikan, sehingga keberadaan PKL benyak menjamur di
sudut-sudut kota. Dampak positif lainnya terlihat pula dari segi social dan
ekonomi, karena seltor informal memiliki karakteristik efisien dan ekonomis.
Hal tersebut menurut Sethurahman selaku coordinator penelitian sector informal
yang dilakukan ILO di 8 negara berkembang, karena kemampuan menciptakan surplus
bagi investasi dan dapat membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hali ini
dikarenakan usaha-usaha sector informal bersifat subsistem dan modal yang
digunakan kebanyakan berasal dari usaha sendiri. Modal ini sama sekali tidak
menghabiskan sumber daya ekonomi yang besar.
2. Dampak
Negatif
Penurunan kualitas ruang
kota ditunjukkan oleh semakin tidak terkendalinya perkembangan PKL sehingga
seolah-olah semua lahan kosong yang strategis maupun
tempat-tempat yang strategis merupakan hak PKL. PKL
mengambil ruang dimana-mana tidak hanya ruang kosong atau terabaikan, tetapi
juga pada ruang yang jelas peruntukkannya secara formal. PKL secara ilegal
berjualan hampir di seleruh jalur pedestrian, ruang terbuka, jalur hijau dan
ruang kota lainnya. Alasannya karena aksestabilitasnya
yang tinggi dan lokasi yang strategis sehingga berpotensi besar
untuk mendatangkan konsumen juga. Akibatnya adalah kaidah-kaidah penataan ruang
menjadi mati oleh pelanggaran-pelanggaran yang terjadi akibat keberadaan PKL
tersebut. Keberadaan PKL yang tidak terkendali mengakibatkan pejalan kaki
berdesak-desakkan, sehingga dapat menimbulkan tindak kriminal (pencopetan).
Mengganggu kegiatan ekonomi pedagang formal karena lokasinya yang cenderung
memotong jalur pengunjung seperti pinggir jalan dan depan toko. Selain itu,
pada beberapa tempat keberadaan PKL mengganggu para pengendara kendaraan
bermotor dan mengganggu kelancaran lalu lintas.
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan di atas jelaslah bahwa peran SATPOL PP dalam penegakan Perda No. 2
Tahun 1988 mengenai K3 sudah optimal. Dalam pelaksanaan Perda ini SATPOL PP berpedoman
atas dasar Keputusan Bupati Garut No.211 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
pemeliharaan ketentraman dan ketertiban umum serta penegakan peraturan daerah
di kabupaten Garut pada dasarnya adalah untuk kelancaran pelaksanaan
pemeliharaan ketentraman dan ketertiban umum serta dalam rangka penegakan dan
mempedomani pelaksanaan ketertiban.
Namun dalam kenyataan di
lapangan penegakan Perda yang menyangkut ketertiban dan ketentraman umum amat
bersinggungan dengan kepentingan masyarakat banyak, dalam hal ini masyarakat
menengah kebawah, betapa banyaknya hal-hal dan kegiatan masyarakat yang
diwarnai dengan pelanggaran, namun pelanggaran itu sendiri tidak dirasakan oleh
sipelanggarnya, dan bahkan jauh dari itu masyarakat yang melanggar malah
meyakini bahwa tindakan yang dilakukan mereka bukan suatu pelanggaran, walau
sudah ada aturan yang mengaturnya. Hal ini tentu yang menjadi salah satu
penyebab adalah masyarakat tidak pernah mendapat informasi ataupun
peringatan-peringatan dari aparat yang berwenang mengenai larangan-larangan
yang tertuang dalam suatu Perda yang berlaku secara syah dan kurangnya
ketegasan pihak Pemda terhadap aturan dimaksud.
Selain itu dengan adanya
PKL ini akan menimbulkan dampak-dampak, selain dari dampak positif, tetapi
kebanyakan dampak negatifnya yaitu PKL
mengambil ruang dimana-mana tidak hanya ruang kosong atau terabaikan, tetapi
juga pada ruang yang jelas peruntukkannya secara formal. PKL secara ilegal
berjualan hampir di seleruh jalur pedestrian, ruang terbuka, jalur hijau dan
ruang kota lainnya. Alasannya karena aksestabilitasnya
yang tinggi dan lokasi yang strategis sehingga berpotensi besar
untuk mendatangkan konsumen juga. Akibatnya adalah kaidah-kaidah penataan ruang
menjadi mati oleh pelanggaran-pelanggaran yang terjadi akibat keberadaan PKL
tersebut. Keberadaan PKL yang tidak terkendali mengakibatkan pejalan kaki
berdesak-desakkan, sehingga dapat menimbulkan tindak kriminal (pencopetan).
Mengganggu kegiatan ekonomi pedagang formal karena lokasinya yang cenderung
memotong jalur pengunjung seperti pinggir jalan dan depan toko. Selain itu, pada
beberapa tempat keberadaan PKL mengganggu para pengendara kendaraan bermotor
dan mengganggu kelancaran lalu lintas.
B.
Saran
Dalam perencanaan tata kota,
relokasi PKL seharusnya melibatkan PKL mulai dari tahap penentuan lokasi hingga
kapan harus menempati. Rekomendasi kebijakannya adalah penciptaan forum
stakeholder pembangunan perkotaan untuk meningkatkan partisipasi dan akses ke
proses pengambilan keputusan. Pemerintah mestinya serius untuk mendengarkan
aspirasi para PKL melalui paguyuban-paguyuban PKL di lokasi masing-masing
sehingga program-program penataan yang diluncurkan tidak menjadi sia-sia
belaka.
Dalam keadaan Seperti ini sebaiknya
Pemerintah melakukan pembinaan mental, yaitu bagaimana mengelola PKL itu
sendiri. Kalau kita bicara tentang PKL itu bukan hanya mengelola tempat tetapi
juga mengelola orang. Salah satu keengganan orang untuk berbelanja di pasar
adalah kesadaran lingkungan yang rendah dan ketidakjujuran. Kesadaran
lingkungan yang rendah terhadap sampah dan aroma yang menyengat hidung juga
menyebabkan kalah populernya PKL dibanding pusat perbelanjaan modern. Dan
ketidakjujuran sangat mengganggu proses jual beli di PKL. Untuk mencegah dan
mengurangi hal tersebut salah satu cara dengan social value system atau
nilai-nilai yang mengikat di masyarakat. Upaya pembinaan mental terhadap PKL
perlu dilakukan agar PKL menjadi lebih jujur dan sadar lingkungan.
Kepada
Pemerintah Kabupaten Garut diharapkan agar segera merancang pembuatan Perda
mengenai masalah penertiban Pedagang Kaki Lima. Dikarenakan masalah mengenai
PKL di Kabupaten Garut ini sudah kompleks sekali. Selain dari itu pelaksanaan
tugas SATPOL PP pun akan lebih mudah dan bisa optimal dikarenakan mempunyai
payung hukum yang kuat dalam menertibkan PKL ini. Lalu mengenai Perda No. 2
Tahun 1988 mengenai K3 itu bersifat luas hanya mengenai keindahan, kebersihan,
ketertiban umum, tetapi tidak mengatur secara tegas dan rinci mengenai
penertiban PKL. Kemudian dalam hal sanksi juga masih bersifat lemah dan tidak
membuat jera para PKL. Oleh karena itu Pemerintah harus segera membuat Perda
mengenai penertiban PKL.
Selain
dari itu, Pemerintah Daerah juga harus memperhatikan beberapa hal dalam
menangani PKL di Kabupaten Garut ini yaitu :
1. Mengawali dengan paradigma bahwa PKL
bukanlah semata-mata beban atau gangguan bagi keindahan dan ketertiban kota.
Tetapi, PKL juga punya hak hidup dan mendapatkan penghasilan secara layak,
namun tentunya alasan seperti ini jangan sampai digunakan pedagang untuk
berdagang tanpa mematuhi aturan karena tidak semua lokasi bisa dipakai sebagai
tempat usaha. Pemkot tetap harus tegas namun tentunya ini membutuhkan komunikasi
dengan penuh keterbukaan.
2. PKL sesungguhnya juga merupakan aset
dan potensi ekonomi jika benar-benar bisa dikelola dengan baik. Paradigma ini
akan berimplikasi pada cara pendekatan Pemkot ke PKL yang selama ini dianggap
sangat represif-punitif yang justru melahirkan perlawanan dan mekanisme
“kucing-kucingan” yang sama sekali tidak menyelesaikan masalah.
3. Masalah yang muncul berkenaan dengan
PKL ini adalah banyak disebabkan oleh kurangnya ruang untuk mewadahi kegiatan
PKL di perkotaan. Konsep perencanaan ruang perkotaan (RTRW) yang tidak didasari
oleh pemahaman informalitas perkotaan sebagai bagian yang menyatu dengan sistem
perkotaan akan cenderung mengabaikan tuntutan ruang untuk sektor informal
termasuk PKL. Kawasan yang dikhususkan untuk PKL telah terbukti menjadi solusi
dibeberapa tempat di Indonesia. Bahkan bisa menjadi alternative tempat wisata
jika dimodifikasi dengan hiburan yang menarik perhatian masyarakat.
4. Pemerintah Kota harus memiliki riset
khusus secara bertahap untuk mengamati dan memetakan persoalan PKL,
pasang-surut perkembangan PKL serta bangunan liar di berbagai wilayah kota, sehingga
bisa meletakkan argumen logis untuk aktivitas berikutnya. Sehingga model
pembinaan ke PKL bisa beragam bentuknya dan tidak mesti dalam bentuk bantuan
modal. Model pembinaan PKL dari Pemkot yang memang sudah berjalan dan dirasakan
efektif mungkin bisa dilanjutkan tinggal bagaimana memperkuat pengawasan
implementasi di lapangan karena masih banyak keluhan indikasi lemahnya
pengawasan penyimpangan.
5. Pemerintah Kota harus membuka diri
untuk bekerja sama dengan elemen masyarakat dalam penanganan masalah PKL ini.
Semisal LBH dan beberapa LSM atau pihak akdemis mungkin bisa dilibatkan untuk
melakukan riset pemetaan persoalan PKL dan advokasi ke mereka. Beberapa Ormas
bahkan Parpol pun bisa berperan dalam hal pembinaan ke mereka sehingga PKL ini
benar-benar menjadi tanggung jawab bersama masyarakat.
6. Pemerintah Kota harus memastikan
payung hukum (Perda) yang tidak menjadikan PKL sebagai pihak yang dirugikan.
Pelibatan semua elemen yang terkait baik itu masyarakat, pengusaha, dewan,
dinas terkait dan elemen yang lain dengan semangat keterbukaan justru akan
menjadikan kebijakan pemkot didukung dan dikawal implementasinya oleh banyak
kalangan.
7. Penertiban terhadap PKL liar
mestinya harus dilakukan dengan pendekatan dialog yang bernuansa pembinaan dan
bukan pendekatan represif yang justru memicu perlawanan dan tidak boleh
terkesan tebang pilih karena bisa memicu kecurigaan masyarakat tentang adanya
tekanan politis dari kekuatan tertentu yang mengarahkan penertiban hanya pada
komunitas tertentu. Penggusuran yang tidak disertai keberlanjutan program yang
pasti bisa berdampak pada peningkatan jumlah pengangguran dan kemiskinan.
Pengangguran yang jika tidak terkendali dengan baik justru memicu tindakan
kriminalitas baru.
DAFTAR PUSTAKA
H.Juniarso
Ridawan dan Achmad Sodik, Hukum Tata
Ruang dalam Konsep Kebijakan Otonomi Daerah, Nuansa, Bandung, cetakan III
2013
Undang-Undang
Dasar 1945
Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Peraturan
Daerah Nomor 2 Tahun 1988 Tentang Kebersihan, Keindahan, dan Ketertiban Umum
Keputusan
Bupati Garut No.211 tahun 2003
Kamus
Umum Bahasa Indonesia
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0305/28/jatim/336650.html/http://veronicakumurus.Blogspot.Com/2006/08/pedagang-kaki-lima-pkl-danpotensialnya.html/
http://www.scribd.com/doc/3499983/Formulasi-Kebijakan-Publik\
http://www.google.co.id/#hl=id&source=hp&q=pedagang+kaki+lima+dan+permasalahannya&btng