BAB II
HUKUM WARIS ISLAM
A. Hukum
Waris
1. Pengertian
Ilmu Mawaris
Mawaris adalah
bentuk jamak dari “mirats” yang artinya “harta yang ditinggalkan oleh orang
yang meninggal dunia”. Sedangkan menurut istilah ialah:
“Ilmu untuk mengetahui orang-orang yang berhak
menerima warisan,orang-orang yang tidak berhak menerimanya,bagian masing-masing
ahli waris dan cara pembagiannya”.
Atau juga didefinisikan dengan:
“Pengetahuan yang berkaita dengan harta warisan dan
perhitungan utuk mengetahui kadar harta pusaka yang wajib diberikan kepada tiap
orang yang berhak”.
Ilmu
mawaris disebu juga dengan “faraidh”,bentuk jamak dari “faridhah” yang artinya
“bagian tertentu”,atau ”ketentuan”.
Disebut
dengan ilmu mawaris karena dalam ilmu ini dibicarakan hal-hal yang berkenaan
dengan harta yang ditinggalkan oleh orang-orang yang meninggal dunia. Dinamakan
ilmu faraidh karena dalam ilm ini dibicarakan bagian-bagian tertentu yang telah
ditetapkan besarnya bagi masing-masing ahli waris. Kedua istilah tesbut
prinsipnya sama yaitu ilmu yang membicrakan tentang segala sesuatu
yangberkenaan dengan tirkah (harta peninggalan) orang yang meninggal.
2. Hukum
Mempelajari Ilmu Mawaris
Kalau melihat
hadis Nabi saw. yang memerintahkan mempelajari ilmu mawarits,maka hukum
mempelajarinya wajib.”Asal hukum perintah adalah wajib”. Pengertian wajib
disini adalah wajib kifayah. Jika di suatu tempat tertntu ada yang
mempelajarinya, maka sudah terpenuhi tuntuan Rasul. Tapi jika tidak ada yang
mempelajarinya, maka semua orang berdosa. Rasulallah Saw bersabda:
Pelajarilah
Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang-orang da pelajarilah ilmu faraidh serta
ajarakanlah kepada orang-orang. Karena saya adalah orang yang bakal direnggut
(mati), sedang ilmu itu bakal diangkat. Hamper-hampirsaja dua oang bertengkar
tentang pembagian pusaka maka mereka berdua tidak menemukan seorang pun yag
sangup memfatwakannya kepada mereka. (HR.Ahmad,An-Nasa’i, dan Ad-Daruquthni).
3. Tujuan
Ilmu Mawarits
a. Secara umum tujuan mempelajari ilmu mawarits adalah
agar dapat melaksanakan pembagian harta warisan kepada ahli waris yang berhak
menerimanya sesuai dengan ketentuan syariat islam.
b. Agar diketahui secara jelas siapa orang yang berhak
menerima harta warisan dan berapa bagian masing-masing.
c. Menentukan pembagian harta warisan secara adil dan
benar, sehingga tidak terjadi perselisihan diantara manusia yang dikarenakan
oleh harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal.
Allah swt.berfirman:
(Hukum-hukum) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa
yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukannya kedalam surge
yang mengalir di dalamnya sungai-sungai,sedang meaka kekal di dalamnya , dan
itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa
menduhakai Allah dan Rasul-Nya, dan melnggar ketetuan-ketentuan-Nya,
niscaya Allah memasukanya ke dalam apineraka, sedangkan ia kekal di dalamnya,
da baginya siksa yag menghinakannya. (QS An-Nisa’[4]:13-14).
4. Kedudukan
Ilmu Mawarits
Ilmu mawarits
adalah ilmu yang sangat penting dalam Islam, karena dalam ilmu mawarits harta
peninggalan seseorang dapat disalurkan kepada orang yang berhak, sekaligus
dapat mencegah kemungkinan adanya perselisihan karena memperebutkan bagian dari
harta peninggalan tersebut. Dengan ilmu mawarits ini, maka tidak ada
pihak-pihak yang merasa dirugikan. Karena pembagian harta warisan ini adalah
yang terbaik dalam pandangan Allah dan manusia.
Ilmu mawarits ini
benar-bear harus dipahami, agar dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Rasulullah Saw. bersabda:
Dari Abu Hurairah ,berkata: Rasulullah saw. bersabda:
“Hai Abu hurairah, pelajarilah faraidh dan ajakanlah kepada orang lain, karena
masalah ini adalah separuh ilmu, dan mudah dilupakan,serta ilmu itu yang
pertama-tama akan dicabut dari umatku”. (HR.Ibnu Majah dan Daruquthni ).
5. Sumber
Hukum Ilmu Mawarits
a. Al-Qur’an
Ketentuan-ketentuan tentang
ilmu mawarits, khususnya yang berkaitan dengan pembagian harta warisan,
pokok-pokoknya telah ditentukan oleh Al-Qur’an. Al-Qur’an telah menjelaskannya
dengan tegas dan jelas. Bahkan tidak ada hukum-hukum yang dijelaskan secara
terperinci seperti hukum waris ini, antara lain dijelaskan dalm QS
An-Nisa”(4):7-14,176,Al-Ahzab (33):6 dan surat-surat lainnya.
b. Al
–Hadits
Al-Hadits adalah sumber hokum yang kedua setelah Al-Qur’an. Sesuai
dengan kedudukannya, Al-Hadits memberikan dorongan dan motivasi mengenai
pelaksanaan mawarits.
c. Ijma’
dan Ijtihad
Ijma’ dan Ijtihad para ulama banyak berperan dalam menyelesaikan
masalah-masalaha yang berkaitan dengan mawarits, terutama menyangkut masalah
teknisnya
6. Rukun-Rukun
dan Syarat-Syarat mempusakai/Mewarisi
Pusaka-mempusakai mempunyai 3 (tiga) rukun, yaitu:
1)
Tirkah,
yaitu harta peninggalan si mati setelah
diambil biaya-biaya perawatan, melunasi utang-utang, dan melaksanakan wasiat;
2)
Muwarits
(pewaris), yaitu orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan harta
peninggalan; dan
3)
Warits
(ahli-waris), yaitu orang yang akan mewarisi/menerima harta peninggalan.
Syarat-syarat yang harus
dipenuhi dalam pusaka-mempusakai adalah sebagai berikut:
1)
Matinya
muwarits,
2)
Hidupnya
warits,dan
3)
Tidak
ada penhalang-penghalang mempusakai.
Matinya
muwarits (pewaris) mutlak hrus dipenuhi. Seseorang baru disebut muwarits jika
dia telah meninggal dunia. Itu berarti bahwa, jika seseorang memberikan harta
kepada ahli warisnya ketika dia masih hidup, maka itu bukan waris.
Kematian
muwarits, menurut ulama, dibedakan kedalam 3 macam, yaitu:
a)
Mati
haqiqy (sejati),
b)
Mati
hukmy (menurut putusan hakim), dan
c)
Mati
taqdiry (menurut dugaan).
Mati haqiqy
adalah kematian yang dapat disaksikan leh panca indra.
Mati hukmy adalah kematian
yang disebabkan adanya putusan hakim,baik orangnya masih hidup maupun sudah
mati.
Mati taqdy adalah kematian
yang didasarkan pada dugaan kuat bahwa orang yang bersangkutan telah mati.
Hidupnya warits (ahli waris) mutlak harus dipenuhi.
Seseorang ahli waris hanya akan mewarisi jika dia masih hidup ketika pewaris
meninggal dunia. Masalahnya yang boleh jadi muncul berkaitan dengan hal ini
antara lain adalah mafqud, anak dalam kandungan, dan mati berbarengan.
7. Hikmah
Mempelajari Ilmu Mawarits
a)
Dapat
memahami hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan pembagian harta peninggalan.
b)
Terhindar
adanya kelangkaan orang yang faham dalam pembagian harta waris di suatu tempat.
c)
Dapat
dilaksanakannya pembagian harta waris dengan benar
d)
Terhindar
adanya perselishan di antara manusia dalam hal pembagian harta warisan kaena
ketidaktahuan dalam pembagian harta waris.
B. Sebab-Sebab
dan Halangan Waris Mewarisi
1. Sebab-sebab
waris-mewarisi
Sebab-sebab mempusakai/mewarisi dapat terjadi karena 4 (empat) hal,
yaitu:
a)
Hubungan
perkawinan. Ahli waris berdasarkan perkawinan adalah janda, yaitu orang yang
berstatus suami atau istri pewaris pada saat pewaris meninggal dunia.
b)
Hubungan
wala’. Ahli waris wala’ meliputi kekerabatan menurut hukum yang timbul karena
membebaskan budak, atau adanya perjanjian dan sumpah setia antara seseorang
dengan seseorang lainnya.
c)
Hubungan agama. Jika orang islam meninggal
dunia dan tidak mempunyai ahli waris, baik karena hubungan kerabat , pernikahan
maupun wala’, maka harta peninggalannya diserahkan ke baitul mal untuk
kepentingan kaum muslimin.
Rasulallah saw bersabda:
“Saya menjadi ahli waris orang
yang tidak mempunyai ahli waris. Aku membayar dendanya dan aku mewarisnya.”
(HR.Abu Dawud dan Ahmad).
d)
Hubungan
kekabatan/keluarga (nasab). Ahli waris berdasarkan kekerabatan meliputi ushul (leluhur),furu’
(keturunan),dan hawasy (saudara).
2. Halangan
Waris Mewarisi dan Dasar Hukumnya.
Ahli waris gugur haknya untuk mendapatkan warisan karena sebab-sebab di
bawah ini:
1) Hamba
sahaya
Hamba sahaya tidak mendapatkan warisan , baik dari tuannya maupun dari
orang tua kandungnya. Kecuali hamba tersebut sudah merdeka, ia mendapat warisan
sebagaimana orang merdeka lainya. Tapi ia tidak mendapat warisan dari orang
yang memerdekakannya.
Allah swt berfirman: ”Hamba yang dimiliki tidak mempunyai kekuasaan atas
sesuatu apa pun juga”. (QS An-Nahl [16]:75)
2) Pembunuh
Orang yang membunuh keluargannya tidak mempunyai hak menerima warisan
dari orang yang dibunuh. Artinya hak menerima warisan menjadi gugur karena
membunuh. Misalnnya anak yang membunuh orang tuannya , maka ia tidak berhak
mendapatkan warisan dari ayahnya.
Rasulullah saw. bersabda: ”Yang membunuh tidak mewarisi dari yang
dibunuhnnya.” (HR.An-Nasa’i).
Dalam hadits lain ditegaskan: “Barangsiapa yang membunuh seorang, maka
ia tidak dapat mewarisinya, walaupun orang yang dibunuh tidak mempunyai ahli
waris selain dirinnya, dan jika yang terbunuh itu ayah atau anaknnya, maka bagi
pembunuh tidak ada hak untuk mewarisi.”(HR.Ahmad)
3) Murtad
Murtad artinya keluar dari agama islam. Orang yang murtad gugur hak
mewarisinya, baik itu dari atas, bawah maupun dari samping. Demikian pula
sebaliknya, ia tidak dapat mewariskan hartanya kepada keluarganya yang muslim.
4) Berlainan
agama
Antara orang Islam dengan orang non Islam (kafir) tidak ada hak saling
mewarisi, meskipun ada hubungan kerabat yang sangat dekat. Kedudukannya sama
dengan orang murtad.
Rasulullah saw. bersabda:”Dari Usamah bin Zaid, Dari Nabi saw. bersabda:
“Tidak mewarisi orang Islam dari orang kafir. Demikian pula orang kafir tidak
pula mewarisi dari orang Islam.”(HR.Jamaah.)
3. Ahli
Waris dan Pembagian Masing-Masing Ahli Waris
A. Kelompok
Ahli Waris
Secara lengkap ahli waris di dalam hukum waris islam dibagi ke dalam
Sembilan kelompok, yaitu:
1.
Janda;
2.
Leluhur
perempuan;
3.
Leluhur
laki-laki;
4.
Keturunan
perempuan;
5.
Keturunan
laki-laki;
6.
Saudara
seibu;
7.
Saudara
sekandung/sebapak;
8.
Kerabat
lainnya; dan
9.
Wala’.
B. Golongan
Ahli Waris
Berdasarskan besar hak yang akan diteima oleh pera ahli-waris, maka
ahli-waris di dalam hukum waris Islam dibagi ke dalam tiga golongan, yaitu:
1.
Ashchabul-furudh,
yaitu golongan ahli-waris yang bagian haknya tertentu, yaitu 2/3, ½, 1/3, ¼,
1/6, atau 1/8.
2.
Ashabah,
yaitu golongan ahli-waris yang bagian haknnya tidak tertentu, tetapi mendapatkan
ushubah (sisa) dari ashchabul-furudh aau mendapatkan semuanya jika tidak ada
ashchabul-furudh.
3.
Dzawil-arham,
yaitu golongan kerabat yang tidak temasuk golongan pertama dan kedua.
Beberapa Ahli waris yang termasuk golongan
ashchabul-furudh memiliki kedudukan rangkap sebagia ashabah, beberapa lainnya
dapatberubah menjadi ashabah.
1. Ashchabul-furudh
Para ahli
fara’id membedakan ashchabul-furudh ke dalam dua macam yaitu ashchabul-furudh
is-sababiyyah, dan ashchabl-furudh in-nasabiyyah.
Ashchabul-furudh
is-sababiyyah adalah golongan ahli waris sebagai akibat adanya ikatan
perkawinan dangan si pewaris. Golongan ahli waris ini adalah janda (laki-laki
atau perempuan).
Ashchabuk-furudh
in-nasabiyyah adalah golongan ahli waris sebagai akibat adanya hubungan darah
dengan si pewaris. Yang terasuk kedalam golongan ini adalah:
1.
Leluhur
perempuan: Ibu dan nenek;
2.
Leluhur
laki-laki: Bapak dan kakek;
3.
Keturunan
perempuan : Anak perempuan dan cucu perempuan pancar laki-laki;
4.
Saudara
seibu: Saudara perempuan seibu dan saudara laki-laki seibu; dan
5.
Saudara
sekandung/sebapak: Saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan sebapak
2. Ashabah
Para ahli
fara’id membedakan ashabah ke dalam tiga macam, yaitu ashabah binnafsih,
ashabah bil-ghair, dan ashabah ma’al-ghair.
Ashabah
binnafsih adalah kerabat laki-lakiyang dipertalikan dengan si mati tanpa
diselingi oleh perempuan, yaitu:
1.
Leluhur
laki-laki: Bapak dan kakek;
2.
Keturunan
laki-laki: Anak laki-laki dan cucu laki-lk; dan
3.
Saudara
sekandung/sebapak: Saudara laki-laki sekandung/sebapak.
Ashabah
bil-ghair adalah kerabat perempuan yang memerlukan orang lain untuk menjadi
ashabah dan untuk bersama-sama menerima ushubah, yaitu
1.
Anak
perempuan yang mewaris bersama dangan anak laki-laki;
2.
Cucu
perempuan yang mewaris bersama cucu laki-laki; dan
3.
Saudara
prempuan sekandung/sebapak yang mewaris bersama dengan saudara laki-laki
sekandung/sebapak.
Ashabah ma’al-ghair adalah kerabat perempuan yang memerlukan orang lan
untuk menjadi ashabah, tetapi orang lai tersebut tidak berserikat dalam
menerima ushubah, yaitu saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan
sebapak yang mewaris bersama anak perempuan atau cucu perempuan.
3. Dzawil-arham
Dzawil-arham adalah golongan kerabat yang tidak termasuk golongan
ashchabul-furudh dan ashabah. Kerabat golongan ini baru mewarisi jika tidak ada
kerabat yang termasuk kedua golongan di atas.
C. Bagian
Ahli Waris dan Dasar Hukumnya
Di bawah ini
akan dikemukakan tentang bagian hak para ahli-waris yang termasuk ke dalam
golongan ashchabul-furudh dan ashabah.
1. Ahli-waris
Utama
Yang termasuk
ahli waris utama ini terdiri dari 5 pihak, yaitu janda, ibu, bapak, anak
laki-laki, anak perempuan. Uraian tentang bagian waris para ahli-waris utama
adalah sebagai berikut:
a. Janda
Di dalam hukum waris Islam, bagian
waris untuk janda laki-laki dengan janda perempuan tidak sama, yaitu sebagai
berikut:
1)
Janda
perempuan
Bagian janda perempuan adalah:
a.
1/8
bagian jika pewaris mempunyai anak.
b.
¼
bagian jika pewaris tidak mempunyai anak.
Dasar hukumnya adalah sebagai
berikut.
…Jika kamu mempunyai anak,
maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan…((QS.An-Nisa’[4]:12).
…Para istri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak…((QS.An-Nisa’[4]:12).
2)
Janda
laki-laki
Bagian janda laki-laki adalah:
a.
¼
bagian jika pewaris mempunyai anak.
b.
½
bagian jika pewaris tidak mempunyai anak.
Dasar hukumnya adalah sebagai
berikut:
…Jika istri-istrimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya…((QS.An-Nisa’[4]:12).
…Dan bagimu (suami-suami)
seperdua dari harta yang ditnggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak
mempunyai anak…((QS.An-Nisa’[4]:12).
b. Ibu
Bagian ibu adalah:
a.
1/6
bagian jika pewaris mempunyai anak.
b.
1/6
bagian jika pewaris mempunyai beberapa saudara.
c.
1/3
bagian jika pewaris tidak mempunyai anak.
Dasar hukumnya adalah sebagai
berikut:
…Dan untuk dua orang ibu-bapak,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan . Jika yang
meninggal itu mempunyai anak.; ((QS.An-Nisa’[4]:11).
…Jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam…((QS.An-Nisa’[4]:11).
…Jika yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga …((QS.An-Nisa’[4]:11).
c. Bapak
Bagian bapak adalah:
a.
1/6
bagian jika pewaris mempunyai anak.
b.
1/6
bagian + sisa jika pewaris hanya mempunyai anak perempuan.
c.
Sisa,
jika pewaris tidak mempunyai anak.
Dasar hukumnya adalah sebagai
berikut:
…Dan untuk dua orang
ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan. Jika
yang meninggal itu mempunyai anak.;…((QS.An-Nisa’[4]:11).
Serahkanlah ahlinya yang
berhak, maka sebagian bagian itu kepada lebihnya, adalah untuk laki-laki yang
lebih hampir (kepada si mati). (HR.Bukhari,Muslim, dan lainnya).
…Jika yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga …((QS.An-Nisa’[4]:11).
d. Anak
perempuan
Bagian anak perempuan adalah:
a.
½
bagian jika seorang.
b.
2/3
bagian jika beberapa orang.
c.
Masing-masing
1 bagian dari sisa jika mereka mewarisi bersama anak laki-laki. Dalam hal ini,
kedudukan anak perempun adalah sebagai ashabah bil-ghair.
Dasar hukumnya adalah sebagai
berikut:
…Jika anak perempuan itu
seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta…((QS.An-Nisa’[4]:11).
…Dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan…((QS.An-Nisa’[4]:11).
…Bagian seorang anak lelaki
sama dengan bagian dua orang anak permpuan; …((QS.An-Nisa’[4]:11).
e. Anak
laki-laki
Anak laki-laki tidak memiliki
bagian yang pasti, mereka menerima waris dengan jalan ushubah , baik di antara
sesama laki-laki atau bersama dengan anak perempuan. Bagian anak laki-laki
adalah:
a.
Masing-masing
1 bagian dari sisa jika mereka mewaris bersama dengan anak laki-laki lainnya.
Dalam hal ini, kedudukan anak laki-laki adalah
sebagai ashabah binnafsih.
b.
Masing-masing
2 bagian dari sisa jika mereka mewaris bersama anak perempuan. Dalam hal ini,
kedudukan anak perempuan adalah sebagai ashabah bil-ghair.
Dasar hukumnya adalah sebagai
berikut:
Serahkanlah ahlinya yang
berhak, maka sebagian bagian itu kepada lebihnya, adalah untuk laki-laki yang
lebih hampir (kepada si mati). (HR.Bukhari,Muslim, dan lainnya).
…Bagian seorang anak lelaki
sama dengan bagian dua orang anak permpuan; …((QS.An-Nisa’[4]:11).
2. Ahli-waris
Utama Pengganti
a. Nenek
Kedudukan
nenek sebagai ahli waris baru terbuka jika tidak ada ibu. Oleh sebab itu, maka
dapatlah dikatakan bahwa nenek mempunyai kedudukan sebagai pengganti ibu.
Bagian nenek adalah 1/6 bagian, baik sendirian maupun bersama.
Dasar hukumnya adalah sebagai
berikut:
Dari
Buraidah: Bahwasanya Nabi saw telah beri bagi nenek seperenam, apabila tidak
dihalangi dia oleh ibu. (HR. Abu Dawud).
b. Kakek
Kedudukan kakek sebagai ahli waris baru terbuka jika
tidak ada bapak. Oleh sebab itu, maka dapatlah dikatakan bahwa kakek mempunyai
kedudukan sebagai pengganti bapak.
Dasar hukumnya adalah sebagai
berikut:
Abu Bakar As-Shiddiq,
Ibnu’Abbas, Ibnu’Umar, Al-Hasan, Ibnu Sirin, dan Abu Hanifah berpendapat bahwa
kakek sama dengan bapak. Kedudukan saudara sebagai ahli-waris baru terbuka
tidak saja tidak ada bapak, melainkan juga tidak ada kakek. Dalam hal ini
kedudukan kakek dipandang sebagai pengganti kedudukan bapak secara mutlak, maka
bagian warisnya adalah sebagai berikut:
a.
1/6
bagian jika pewaris mempunyai anak.
b.
1/6
bagian + sisa jika pewaris hanya mempunyai anak perempuan.
c.
Sisa,
jika pewaris tidak mempunyai anak.
Hukum waris menurut BW
Hukum waris
menurut konsepsi hukum perdata Barat yang bersumber pada BW, merupakan bagian
dari hukum harta kekayaan. Oleh karena itu, hanyalah hak dan kewajiban yang
berwujud harta kekayaan yang merupakan warisan dan yang akan diwariskan. Hak
dan kewajiban dalam hukum publik, hak dan kewajiban yang timbul dari kesusilaan
dan kesopanan tidak akan diwariskan, demikian pula halnya dengan hak dan
kewajiban yang timbul dari hubungan hokum keluarga, ini juga tidak dapat
diwariskan. Kiranya akan lebih jelas apabila kita memperhatikan rumusan hukum
waris yang diberikan oleh Pitlo di bawah ini, rumusan tersebut
menggambarkan bahwa hukum waris merupakan bagian dari kenyataan, yaitu :
“Hukum waris
adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya
seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati
dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam
hubungan antar mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan
pihak ketiga”.
Adapun
kekayaan yang dimaksud dalam rumusan di atas adalah sejumlah harta kekayaan
yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia berupa kumpulan aktiva dan
pasiva. Pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli
warisnya, yang dinamakan pewarisan, terjadi hanya karena kematian. Oleh karena
itu, pewarisan baru akan terjadi jika terpenuhi tiga persyaratan, yaitu :
- ada
seseorang yang meninggal dunia;
- ada
seseorang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan
pada saat pewaris meninggal dunia;
- ada
sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris.
Dalam hukum waris menurut BW berlaku
suatu asas bahwa “apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga
segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya”. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang beralih pada ahli
waris adalah sepanjang termasuk dalam lapangan hukum harta kekayaan atau hanya
hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.
Yang merupakan ciri khas hukum waris
menurut BW antara lain “adanya hak mutlak dari para ahli waris masing-masing
untuk sewktu-waktu menuntut pembagian dari harta warisan”.
Ini berarti, apabila seorang ahli waris menuntut pembagian harta warisan di
depan pengadilan, tuntutan tersebut tidak dapt ditolak oleh ahli waris yang
lainnya. Ketentuan ini tertera dalam pasal 1066 BW, yaitu:
- Seseorang
yang mempunyai hak atas sebagian dari harta peninggalan tidak dapat
dipaksa untuk memberikan harta benda peninggalan dalam keadaan tidak
terbagi-bagi di antara para ahli waris yang ada;
- Pembagian
harta benda peninggalan itu selalu dapat dituntut walaupun ada perjanjian
yang melarang hal tersebut;
- Perjanjian
penangguhan pembagian harta peninggalan dapat saja dilakukan hanya untuk
beberapa waktu tertentu;
- Perjanjian
penagguhan pembagian hanya berlaku mengikat selama lima tahun, namun dapat
diperbaharui jika masih dikehendaki oleh para pihak.
Dari ketentuan pasal 1066 BW tentang
pemisahan harta peninggalan dan akibat-akibatnya itu, dapat dipahami bahwa
system hukum waris menurut BW memiliki ciri khas yang berbeda dari hukum waris
yang lainnya. Ciri khas tersebut di antaranya hokum waris menurut BW
menghendaki agar harta peninggalan seorang pewaris secepat mungkin dibagi-bagi
kepada mereka yang berhak atas harta tersebut. Kalau pun hendak dibiarkan tidak
terbagi, harus terlebih dahulu melalui persetujuan seluruh ahli waris.
Asas-asas hukum
waris BW
Dalam hukum
waris berlaku asas,bahwa apabilaseseorang meninggal maka pada saat itu juga
segala hak dan kewajibannya beralih kepada ahli warisnya (pasal 833).
Ahli
waris menempati kedudukan si meninggal dalam hal menyangkut harta kekayaan
(“saisine”) ---> Pasal 833 (1).
Memperoleh
hak secara mewaris ialah mendapat hak dengan “algemene title” (title umum).
Jadi tidak perlu dengan “levering”.
Tiap-tiap
ahli waris berhak menuntut setiap baraang atau uang yang termasuk harta
peninggalan untuk diserahkan kepadanya kalau dikuasai orang lain (pasal 834).
Hak untuk menuntut ini disebut “heridetitas petitio”.
Gugatan
ini gugur setelah tenggang waktu 30 tahum (pasal 835).
Warisan dalam sistem hukum waris BW
Berbeda
dengan sistem hukum adat tentang warisan, menurut kedua sistem hukum di atas
yang dimaksud dengan warisan atau harta peninggalan adalah sejumlah harta benda
kekayaan pewaris dalam keadaan bersih. Artinya, setelah dikurangi dengan
pembayaran hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh
meninggalnya pewaris. Oleh karena itu, harta yang diterima oleh ahli waris
menurut sistem hukum Islam dan sistem hukum adat itu benarbenar hak mereka yang
bebas dari tuntutan kreditur pewaris.
Sedangkan
warisan dalam sistem hukum perdata barat yang bersumber pada BW itu meliputi
seluruh harta benda beserta hak-hak dan kewajiban-kewajiban pewaris dalam
lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Akan tetapi
terhadap ketentuan tersebut ada beberapa pengecualian, dimana hak-hak dan kewajibankewajiban
dalam lapangan hukum harta kekayaan ada juga yang tidak dapat beralih kepada
ahli waris, antara lain:
- Hak
memungut hasil (vruchtgebruik);
- Perjanjian
perburuhan, dengan pekerjaan yang harus dilakukan bersifat pribadi;
- Perjanjian
perkongsian dagang, baik yang berbentuk maatschap menurut BW maupun firma
menurut WvK, sebab perkongsian ini berakhir dengan meninggalnya salah
seoranganggota/persero.
Pengecualian lain terdapat pula,
yaitu ada beberapa hak yang walaupun hak itu terletak dalam lapangan hukum
keluarga, akan tetapi dapat diwariskan kepada ahli waris pemilik hak tersebut,
yaitu:
- Hak
seorang ayah untuk menyangkal sahnya seorang anak;
- Hak
seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai anak yang sah
dari bapak atau ibunya.
Di atas telah dikemukakan bahwa
kematian seseorang menurut BW mengakibatkan peralihan segala hak dan kewajiban
pada seketika itu juga kepada ahli warisnya. Hal ini secara tegas disebutkan
dalam pasal 833 ayat (1) BW, yaitu “sekalian ahli waris dengan sendirinya karena
hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak, dan segala piutang
dari yang meninggal”. Peralihan hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia
kepada ahli warisnya disebut “saisine”. Adapun yang
dimaksud dengan saisine yaitu:
“Ahli waris memperoleh segala hak
dan kewajiban dari yang meninggal dunia tanpa memerlukan suatu tindakan
tertentu, demikian pula bila ahli waris tersebut belum mengetahui tentang
adanya warisan itu.”
Sistem waris BW tidak mengenal
istilah “harta asal maupun harta gono-gini” atau harta yang diperoleh bersama
dalam perkawinan, sebab harta warisan dalam BW dari siapa pun juga, merupakan
“kesatuan” yang secara bulat dan utuh dalam keseluruhan akan beralih dari
tangan peninggal warisan/pewaris ke ahli warisnya.
Artinya, dalam BW tidak dikenal
perbedaan pengaturan atas dasar macam atau asal barang-barang yang ditinggalkan
pewaris. Seperti yang ditegaskan dalam pasal 849 BW yaitu “Undang-undang tidak
memandang akan sifat atau asal dari pada barang-barang dalam suatu peninggalan
untuk mengatur pewarisan terhadapnya”. Sistem hukum waris BW mengenal
sebaliknya dari sistem hukum waris adat yang membedakan “macam” dan “asal”
barang yang ditinggalkan pewaris. .
Pewaris dan dasar hukum mewaris
Pewaris adalah seseorang yang
meninggal dunia, baik laki-laki maupun perempuan yang meninggalkan sejumlah
harta kekayaan maupun hak-hak yang diperoleh beserta kewajiban-kewajiban yang
harus dilaksanakan selama hidupnya, baik dengan surat wasiat maupun tanpa surat
wasiat.
Dasar hukum seseorang ahli waris
mewarisi sejumlah harta pewaris menurut sisten hukum waris BW ada dua cara,
yaitu:
- menurut
ketentuan undang-undang;
- ditunjuk
dalam surat wasiat (testamen).
Undang-undang telah menentukan bahwa
untuk melanjutkan kedudukan hukum seseorang yang meninggal, sedapat mungkin
disesuaikan dengan kehendak dari orang yang meninggal itu. Undang-undang
berprinsip bahwa seseorang bebas untuk menentukan kehendaknya tentang harta
kekayaannya setelah ia meninggal dunia.
Di samping undang-undang, dasar
hukum seseorang mewarisi harta peninggalan pewaris juga melalui cara ditunjuk
dalam surat wasiat. Surat wasiat atau testamen adalah “suatu pernyataan tentang
apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia”. Sifat
utama surat wasiat adalah mempunyai kekuatan berlaku setelah pembuat surat
wasiat meninggal dan tidak dapat ditarik kembali. Selama pembuat surat wasiat
masih hidup, surat wasiat masih dapat diubah atau dicabut, sedangkan setelah
pembuat wasiat meninggal dunia surat wasiat tidak dapat lagi diubah, dicabut, maupun
ditarik kembali oleh siapa pun.
Seseorang dapat mewariskan sebagian
atau seluruhnya hartanya dengan surat wasiat. Apabila seseorang hanya
menetapkan sebagian dari hartanya melalui surat wasiat, maka sisanya merupakan
bagian ahli waris berdasarkan undang-undang (ahli waris ab intestato). Jadi,
pemberian seseorang pewaris berdasarkan surat wasiat tidak bermaksud untuk
menghapuskan hak untuk mewaris secara ab intestato.
Penggolongan ahli waris menurut sistem BW
Dalam KUHperdata ada empat golongan ahli waris yaitu:
Golongan I : Suami atau istri yang hidup terlama
serta anak-anak dan keturunannya.
Golongan II : Orangtua (ayah dan ibu) dan saudara-saudara serta keturunan
saudara-saudaranya.
Golongan III : Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu.
Golongan IV : Keluarga garis ke samping sampai derajat keenam.
Bagian masing-masing ahli waris menurut BW
Undang-undang telah menetapkan
tertib keluarga yang menjadi ahli waris, yaitu: Isteri atau suami yang
ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli waris menurut
undang undang atau ahli waris ab intestato berdasarkan hubungan darah terdapat
empat golongan, yaitu:1. Bagian golongan pertama,2. Bagian golongan kedua,3.
Bagian golongan ketiga,4.Bagian golongan keempat.
Di atas telah dikemukakan bahwa BW
mengenal empat golongan ahli waris yang bergiliran berhak atas harta
peninggalan. Artinya, apabila golongan pertama masih ada, maka golongan kedua
dan seterusnya tidak berhak atas harta peninggalan, demikian pula jika golongan
pertama tidak ada sama sekali, yang berhak hanya golongan kedua, sedangkan
golongan ketiga dan keempat tidak berhak. Bagian masing-masing ahli waris
menurut BW adalah sebagai berikut:
a. Bagian golongan pertama yang
meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke bawah, yaitu anak-anak beserta
keturunan mereka, dan janda atau duda yang hidup paling lama, masing-masing
memperoleh satu bagian yang sama. Jadi bila terdapat empat orang anak dan
janda, mereka masing-masing mendapat 1/5 bagian. Apabila salah seorang anak
telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris akan tetapi mempunyai empat
orang anak, yaitu cucu pewaris, maka bagian anak yang 1/5 dibagi di antara
anak-anak yang menggantikan kedudukan ayahnya yang telah meninggal itu (plaatsvervulling),
sehingga masing-masing cucu memperoleh 1/20 bagian. Jadi hakikat bagian
dari golongan pertama ini, jika pewaris hanya meninggalkan seorang anak dan dua
orang cucu, maka cucu tidak memperoleh warisan selama anak pewaris masih ada,
baru apabila anak pewaris itu telah meninggal lebih dahulu dari pewaris,
kedudukannya digantikan oleh anakanaknya atau cucu pewaris.
b. Bagian golongan kedua yang
meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke atas yaitu orang tua, ayah dan
ibu, serta saudara, baik laki-laki maupun perempuan beserta keturunan mereka.
Menurut ketentuan BW, baik ayah, ibu maupun sudara-saudara pewaris
masing-masing mendapat bagian yang sama. Akan tetapi bagian ayah dan ibu
senantiasa diistimewakan karena mereka tidak boleh kurang dari ¼ bagian dari
seluruh harta warisan. Jadi apabila terdapat tiga orang saudara yang mewaris
bersama-sama dengan ayah dan ibu, maka ayah dan ibu masing-masing akan
memperoleh ¼ bagian dari seluruh harta warisan. Sedangkan separoh dari harta
warisan itu akan diwarisi oleh tiga orang saudara, masing-masing dari mereka
akan memperoleh 1/6 bagian. Jika ibu atau ayah salah seorang sudah meninggal
dunia, yang hidup paling lama akan memperoleh bagian sebagai berikut:
- ½ (setengah) bagian dari seluruh
harta warisan, jika ia mewaris bersama dengan seorang saudaranya, baik lakilaki
maupun perempuan, sama saja;
- 1/3 bagian dari seluruh harta
warisan, jika ia mewaris bersama-sama dengan dua orang saudara pewaris;
- ¼ (seperempat) bagian dari seluruh
harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama dengan tiga orang atau lebih
saudara pewaris.
Apabila ayah dan ibu semuanya sudah
meninggal dunia, maka harta peninggalan seluruhnya jatuh pada saudara-saudara
pewaris, sebagai ahli waris golongan dua yang masih ada. Apabila di antara
saudara-saudara yang masih ada itu ternyata hanya ada yang seayah atau seibu
saja dengan pewaris, maka harta warisan terlebih dahulu dibagi dua, bagian yang
satu bagian saudara seibu. Jika pewaris mempunyai saudara seayah dan seibu di
samping saudara kandung, maka bagian saudara kandung itu diperoleh dari dua
bagian yang dipisahkan tadi.
c. Bagian golongan ketiga yang meliputi
kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris, apabila pewaris
sama sekali tidak meninggalkan ahli waris golongan pertama maupun kedua. Dalam
keadaan seperti ini sebelum harta warisan dibuka, terlebih dahulu harus dibagi
dua (kloving). Selanjutnya separoh yang satu merupakan bagian sanak
keluarga dari pancer ayah pewaris, dan bagian yang separohnya lagi merupakan
bagian sanak keluarga dari pancer ibu pewaris. Bagian yang masing-masing
separoh hasil dari kloving itu harus diberikan pada kakek pewaris untuk
bagian dari pancer ayah, sedangkan untuk bagian dari pancer ibu harus diberikan
kepada nenek.
d. Bagian golongan keempat yang
meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping sampai derajat keenam, apabila
pewaris tidak meninggalkan ahli waris golongan ketiga sekalipun, maka cara
pembagiannya, bagian yang separoh dari pancer ayah atau dari pancer ibu jatuh
kepada saudarasaudara sepupu si pewaris yakni saudara sekakek atau saudara
senenek dengan pewaris.
Apabila dalam bagian pancer ibu sama
sekali tidak ada ahli waris sampai derajat keenam, maka bagian pancer ibu jatuh
kepada para ahli waris dari pancer ayah, demikian pula sebaliknya. Dalam pasal
832 ayat (2) BW disebutkan: ”Apabila ahli waris yang berhak atas harta
peninggalan sama sekali tidak ada, maka seluruh harta peninggalan jatuh menjadi
milik negara. Selanjutnya negara wajib melunasi hutang-hutang peninggal
warisan, sepanjang harta warisan itu mencukupi”.
Bagian warisan untuk anak yang lahir
di luar perkawinan antara lain diatur sebagai berikut :
- 1/3 dari bagian anak sah, apabila
anak yang lahir di luar perkawinan mewaris bersama-sama dengan anak yang sah
serta janda atau duda yang hidup paling lama;
- ½ dari bagian anak sah, apabila
anak yang lahir di luar perkawinan mewaris bersama-sama dengan ahli waris
golongan kedua dan golongan ketiga;
- ¾ dari bagian anak sah, apabila
anak yang lahir di luar perkawinan mewaris bersama-sama ahli waris golongan
keempat, yaitu sanak keluarga pewaris sampai derajat keenam.
- ½ dari bagian anak sah, apabila ia
mewaris hanya bersamasama dengan kakek atau nenek pewaris, setelah terjadi kloving.
Jadi dalam hal demikian, bagian anak
yang lahir di luar nikah bukan ¾, sebab untuk ahli waris golongan keempat ini
sebelum warisan dibuka terlebih dahulu diadakan kloving/ dibagi dua,
sehingga anak yang lahir di luar nikah akan memperoleh ¼ dari bagian anak sah
dari separoh warisan pancer ayah dan ¼ dari bagian anak sah dari separoh
warisan pacer ibu, sehingga menjadi ½ bagian. Apabila pewaris sama sekali tidak
meninggalkan ahli waris sampai derajat keenam sedang yang ada hanya anak yang
lahir di luar nikah, maka harta peninggalan seluruhnya jatuh pada tangan anak
yang lahir di luar pernikahan, sebagai ahli waris satu-satunya.
Anak yang lahir dari zina dan anak
yang lahir dari orang tua yang tidak boleh menikah karena keduanya sangat erat
hubungan kekeluargaannya, menurut sistem BW sama sekali tidak berhak atas harta
warisan dari orang tuanya, anak-anak tersebut hanya berhak memperoleh bagian
sekedar nafkah untuk hidup seperlunya, (lihat Pasal 867 BW).
Peran Balai Harta Peninggalan dalam pembagian warisan
Apabila harta warisan telah terbuka
namun tidak seorang pun ahli waris yang tampil ke muka sebagai ahli waris, tak
seorang pun yang menolak warisan, maka warisan tersebut dianggap sebagai harta
warisan yang tidak terurus. Dalam keadaaan seperti ini, tanpa menunggu perintah
hakim, Balai Harta Peninggalan wajib mengurus harta peninggalan tersebut.
Pekerjaan pengurusan itu harus dilaporkan kepada kejaksaan negeri setempat.
Jika terjadi perselisihan tentang apakah suatu harta peninggalan tidak terurus
atau tidak, penentuan ini akan diputus oleh hakim.
Apabila dalam jangka waktu tiga
tahun terhitung mulai saat terbukanya warisan, belum juga ada ahli waris yang
tampil ke muka, Balai Harta Peninggalan akan memberikan pertanggung jawaban
atas pengurusan itu kepada negara. Selanjutnya harta peninggalan itu akan
diwarisi dan menjadi hak milik negara.
Ahli waris yang tidak patut menerima harta warisan
Undang-undang menyebut empat hal
yang menyebabkan seseorang ahli waris menjadi tidak patut mewaris karena
kematian, yaitu sebagai berikut:
a. seorang ahli warais yang dengan
putusan hakim telah dipidana karena dipersalahkan membunuh atau setidaktidaknya
mencoba membunuh pewaris;
b. seorang ahli waris yang dengan
putusan hakim telah dipidana karena dipersalahkan memfitnah dan mengadukan
pewarisbahwa pewaris difitnah melakukan kejahatan yang diancam pidana penjara
empat tahun atau lebih;
c. ahli waris yang dengan kekerasan
telah nyata-nyata menghalangi atau mencegah pewaris untuk membuat atau menarik
kembali surat wasiat;
d. seorang ahli waris yang telah
menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan surat wasiat.