BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Di
negara kita RI ini, hukum waris yang berlaku secara nasioal belum terbentuk,
dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh
masyarakat Indonesia, yakni hukum waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum
Adat dan hukum Perdata Eropa (BW). Hal ini adalah akibat warisan hukum yang
dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu.
Kita
sebagai negara yang telah lama merdeka dan berdaulat sudah tentu mendambakan
adanya hukum waris sendiri yang berlaku secara nasional (seperti halnya hukum
perkawinan dengan UU Nomor 2 Tahun1974), yang sesuai dengan bangsa Indonesia yang
berfalsafah Pancasila dan sesuai pula dengan aspirasi yang benar-benar hidup di
masyarakat.Karena itu mengingat bangsa Indonesia yang beraneka ragam suku ras
dan agama, dalam masalah pewarisan ada yang menggunakan hukum waris islam,
hukum waris BW, dan hukum waris adat . Tapi banyak perbedaan dalam ketiga hukum
waris ini baik dalam pembagian harta siapa yang berhak menerima waris dan siapa
yang tidak, dengan memperhatikan pula pola budaya atau adat yang hidup di
masyarakat yang bersangkutan.
B.
POKOK PERMASALAHAN
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas, maka dapat diambil rumusan
masalahnya
sebagai berikut:
1. Pengertian Hukum waris Islam, BW, dan Adat ?
2. Bagaimana cara pembagian warisan dan ahli
dalam Islam, BW, Adat ?
3.
Siapa siapa saja yang berhak dan tidak
berhak menerima warisan ?
BAB II
PEMBAHASAN
1. HUKUM
WARIS ISLAM
A.
Hukum Waris
1.
Pengertian Ilmu Mawaris
Mawaris adalah bentuk jamak dari “mirats” yang artinya
“harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia”. Sedangkan menurut
istilah ialah:
“Ilmu untuk mengetahui orang-orang yang berhak
menerima warisan,orang-orang yang tidak berhak menerimanya,bagian masing-masing
ahli waris dan cara pembagiannya”.
Atau juga didefinisikan dengan:
“Pengetahuan yang berkaita dengan harta warisan dan
perhitungan utuk mengetahui kadar harta pusaka yang wajib diberikan kepada tiap
orang yang berhak”.
Ilmu
mawaris disebu juga dengan “faraidh”,bentuk jamak dari “faridhah” yang artinya
“bagian tertentu”,atau ”ketentuan”.
Disebut
dengan ilmu mawaris karena dalam ilmu ini dibicarakan hal-hal yang berkenaan
dengan harta yang ditinggalkan oleh orang-orang yang meninggal dunia.Dinamakan
ilmu faraidh karena dalam ilm ini dibicarakan bagian-bagian tertentu yang telah
ditetapkan besarnya bagi masing-masing ahli waris. Kedua istilah tesbut
prinsipnya sama yaitu ilmu yang membicrakan tentang segala sesuatu
yangberkenaan dengan tirkah (harta peninggalan) orang yang meninggal.
2.
Hukum Mempelajari Ilmu Mawaris
Kalau melihat hadis Nabi saw. yang memerintahkan
mempelajari ilmu mawarits,maka hukum mempelajarinya wajib.”Asal hukum perintah
adalah wajib”.Pengertian wajib disini adalah wajib kifayah.Jika di suatu tempat
tertntu ada yang mempelajarinya, maka sudah terpenuhi tuntuan Rasul.Tapi jika
tidak ada yang mempelajarinya, maka semua orang berdosa. Rasulallah Saw
bersabda:
Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada
orang-orang da pelajarilah ilmu faraidh serta ajarakanlah kepada
orang-orang.Karena saya adalah orang yang bakal direnggut (mati), sedang ilmu
itu bakal diangkat. Hamper-hampirsaja dua oang bertengkar tentang pembagian
pusaka maka mereka berdua tidak menemukan seorang pun yag sangup memfatwakannya
kepada mereka. (HR.Ahmad,An-Nasa’i, dan Ad-Daruquthni).
3.
Tujuan Ilmu Mawarits
a. Secara umum tujuan mempelajari ilmu mawarits adalah
agar dapat melaksanakan pembagian harta warisan kepada ahli waris yang berhak
menerimanya sesuai dengan ketentuan syariat islam.
b. Agar diketahui secara jelas siapa orang yang berhak
menerima harta warisan dan berapa bagian masing-masing.
c. Menentukan pembagian harta warisan secara adil dan
benar, sehingga tidak terjadi perselisihan diantara manusia yang dikarenakan
oleh harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal.
Allah
swt.berfirman:
(Hukum-hukum)
itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa yang taat kepada Allah
dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukannya kedalam surge yang mengalir di
dalamnya sungai-sungai,sedang meaka kekal di dalamnya , dan itulah kemenangan
yang besar. Dan barangsiapa menduhakai
Allah dan Rasul-Nya, dan melnggar ketetuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah
memasukanya ke dalam apineraka, sedangkan ia kekal di dalamnya, da baginya
siksa yag menghinakannya. (QS An-Nisa’[4]:13-14).
4.
Kedudukan Ilmu Mawarits
Ilmu mawarits adalah ilmu yang sangat penting dalam
Islam, karena dalam ilmu mawarits harta peninggalan seseorang dapat disalurkan
kepada orang yang berhak, sekaligus dapat mencegah kemungkinan adanya
perselisihan karena memperebutkan bagian dari harta peninggalan tersebut.Dengan
ilmu mawarits ini, maka tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.Karena
pembagian harta warisan ini adalah yang terbaik dalam pandangan Allah dan
manusia.
Ilmu mawarits ini benar-bear harus dipahami, agar
dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Rasulullah Saw. bersabda:
Dari Abu Hurairah ,berkata: Rasulullah saw. bersabda:
“Hai Abu hurairah, pelajarilah faraidh dan ajakanlah kepada orang lain, karena
masalah ini adalah separuh ilmu, dan mudah dilupakan,serta ilmu itu yang
pertama-tama akan dicabut dari umatku”. (HR.Ibnu Majah dan Daruquthni ).
5.
Sumber Hukum Ilmu Mawarits
a. Al-Qur’an
Ketentuan-ketentuan tentang ilmu mawarits, khususnya
yang berkaitan dengan pembagian harta warisan, pokok-pokoknya telah ditentukan
oleh Al-Qur’an.Al-Qur’an telah menjelaskannya dengan tegas dan jelas. Bahkan
tidak ada hukum-hukum yang dijelaskan secara terperinci seperti hukum waris
ini, antara lain dijelaskan dalm QS An-Nisa”(4):7-14,176,Al-Ahzab (33):6 dan
surat-surat lainnya.
b. Al
–Hadits
Al-Hadits
adalah sumber hokum yang kedua setelah Al-Qur’an.Sesuai dengan kedudukannya,
Al-Hadits memberikan dorongan dan motivasi mengenai pelaksanaan mawarits.
c. Ijma’
dan Ijtihad
Ijma’ dan
Ijtihad para ulama banyak berperan dalam menyelesaikan masalah-masalaha yang
berkaitan dengan mawarits, terutama menyangkut masalah teknisnya
6.
Rukun-Rukun dan Syarat-Syarat Mempusakai/Mewarisi
Pusaka-mempusakai mempunyai 3 (tiga) rukun, yaitu:
1)
Tirkah,
yaitu harta peninggalan si mati setelah
diambil biaya-biaya perawatan, melunasi utang-utang, dan melaksanakan wasiat;
2)
Muwarits
(pewaris), yaitu orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan harta
peninggalan; dan
3)
Warits
(ahli-waris), yaitu orang yang akan mewarisi/menerima harta peninggalan.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam
pusaka-mempusakai adalah sebagai berikut:
1)
Matinya
muwarits,
2)
Hidupnya
warits,dan
3)
Tidak
ada penhalang-penghalang mempusakai.
Matinya muwarits (pewaris)
mutlak hrus dipenuhi.Seseorang baru disebut muwarits jika dia telah meninggal
dunia.Itu berarti bahwa, jika seseorang memberikan harta kepada ahli warisnya
ketika dia masih hidup, maka itu bukan waris.
Kematian muwarits, menurut
ulama, dibedakan kedalam 3 macam, yaitu:
a)
Mati
haqiqy (sejati),
b)
Mati
hukmy (menurut putusan hakim), dan
c)
Mati
taqdiry (menurut dugaan).
Mati haqiqy adalah kematian
yang dapat disaksikan leh panca indra.
Mati hukmy adalah kematian yang disebabkan adanya
putusan hakim,baik orangnya masih hidup maupun sudah mati.
Mati taqdy adalah kematian yang didasarkan pada dugaan
kuat bahwa orang yang bersangkutan telah mati.
Hidupnya warits
(ahli waris) mutlak harus dipenuhi. Seseorang ahli waris hanya akan mewarisi
jika dia masih hidup ketika pewaris meninggal dunia. Masalahnya yang boleh jadi
muncul berkaitan dengan hal ini antara lain adalah mafqud, anak dalam
kandungan, dan mati berbarengan.
7.
Hikmah Mempelajari Ilmu Mawarits
a)
Dapat
memahami hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan pembagian harta peninggalan.
b)
Terhindar
adanya kelangkaan orang yang faham dalam pembagian harta waris di suatu tempat.
c)
Dapat
dilaksanakannya pembagian harta waris dengan benar
d)
Terhindar
adanya perselishan di antara manusia dalam hal pembagian harta warisan kaena
ketidaktahuan dalam pembagian harta waris.
B.
Sebab-Sebab dan Halangan Waris Mewarisi
1. Sebab-sebab
waris-mewarisi
Sebab-sebab
mempusakai/mewarisi dapat terjadi karena 4 (empat) hal, yaitu:
a)
Hubungan
perkawinan. Ahli waris berdasarkan perkawinan adalah janda, yaitu orang yang
berstatus suami atau istri pewaris pada saat pewaris meninggal dunia.
b)
Hubungan
wala’. Ahli waris wala’ meliputi kekerabatan menurut hukum yang timbul karena
membebaskan budak, atau adanya perjanjian dan sumpah setia antara seseorang
dengan seseorang lainnya.
c)
Hubungan agama. Jika orang islam meninggal
dunia dan tidak mempunyai ahli waris, baik karena hubungan kerabat , pernikahan
maupun wala’, maka harta peninggalannya diserahkan ke baitul mal untuk
kepentingan kaum muslimin.
Rasulallah
saw bersabda:
“Saya menjadi
ahli waris orang yang tidak mempunyai
ahli waris. Aku membayar dendanya dan aku mewarisnya.”(HR.Abu Dawud dan Ahmad).
d)
Hubungan
kekabatan/keluarga (nasab). Ahli waris berdasarkan kekerabatan meliputi ushul (leluhur),furu’
(keturunan),dan hawasy (saudara).
2. Halangan
Waris Mewarisi dan Dasar Hukumnya.
Ahli waris
gugur haknya untuk mendapatkan warisan karena sebab-sebab di bawah ini:
1) Hamba
sahaya
Hamba sahaya
tidak mendapatkan warisan , baik dari tuannya maupun dari orang tua kandungnya.
Kecuali hamba tersebut sudah merdeka, ia mendapat warisan sebagaimana orang
merdeka lainya. Tapi ia tidak mendapat warisan dari orang yang memerdekakannya.
Allah swt
berfirman: ”Hamba yang dimiliki tidak mempunyai kekuasaan atas sesuatu apa pun
juga”. (QS An-Nahl [16]:75)
2) Pembunuh
Orang yang
membunuh keluargannya tidak mempunyai hak menerima warisan dari orang yang
dibunuh.Artinya hak menerima warisan menjadi gugur karena membunuh. Misalnnya
anak yang membunuh orang tuannya , maka ia tidak berhak mendapatkan warisan
dari ayahnya.
Rasulullah
saw. bersabda: ”Yang membunuh tidak mewarisi dari yang dibunuhnnya.”
(HR.An-Nasa’i).
Dalam hadits
lain ditegaskan: “Barangsiapa yang membunuh seorang, maka ia tidak dapat
mewarisinya, walaupun orang yang dibunuh tidak mempunyai ahli waris selain
dirinnya, dan jika yang terbunuh itu ayah atau anaknnya, maka bagi pembunuh
tidak ada hak untuk mewarisi.”(HR.Ahmad)
3) Murtad
Murtad
artinya keluar dari agama islam. Orang yang murtad gugur hak mewarisinya, baik
itu dari atas, bawah maupun dari samping. Demikian pula sebaliknya, ia tidak
dapat mewariskan hartanya kepada keluarganya yang muslim.
4) Berlainan
agama
Antara orang
Islam dengan orang non Islam (kafir) tidak ada hak saling mewarisi, meskipun
ada hubungan kerabat yang sangat dekat. Kedudukannya sama dengan orang murtad.
Rasulullah
saw. bersabda:”Dari Usamah bin Zaid, Dari Nabi saw. bersabda: “Tidak mewarisi
orang Islam dari orang kafir. Demikian pula orang kafir tidak pula mewarisi
dari orang Islam.”(HR.Jamaah.)
3. Ahli
Waris dan Pembagian Masing-Masing Ahli Waris
A. Kelompok
Ahli Waris
Secara
lengkap ahli waris di dalam hukum waris islam dibagi ke dalam Sembilan
kelompok, yaitu:
1.
Janda;
2.
Leluhur
perempuan;
3.
Leluhur
laki-laki;
4.
Keturunan
perempuan;
5.
Keturunan
laki-laki;
6.
Saudara
seibu;
7.
Saudara
sekandung/sebapak;
8.
Kerabat
lainnya; dan
9.
Wala’.
B. Golongan
Ahli Waris
Berdasarskan
besar hak yang akan diteima oleh pera ahli-waris, maka ahli-waris di dalam
hukum waris Islam dibagi ke dalam tiga golongan, yaitu:
1.
Ashchabul-furudh,
yaitu golongan ahli-waris yang bagian haknya tertentu, yaitu 2/3, ½, 1/3, ¼,
1/6, atau 1/8.
2.
Ashabah,
yaitu golongan ahli-waris yang bagian haknnya tidak tertentu, tetapi
mendapatkan ushubah (sisa) dari ashchabul-furudh aau mendapatkan semuanya jika
tidak ada ashchabul-furudh.
3.
Dzawil-arham,
yaitu golongan kerabat yang tidak temasuk golongan pertama dan kedua.
Beberapa Ahli waris yang termasuk golongan ashchabul-furudh memiliki
kedudukan rangkap sebagia ashabah, beberapa lainnya dapatberubah menjadi
ashabah.
1. Ashchabul-furudh
Para ahli fara’id membedakan
ashchabul-furudh ke dalam dua macam yaitu ashchabul-furudh is-sababiyyah, dan ashchabl-furudh
in-nasabiyyah.
Ashchabul-furudh is-sababiyyah
adalah golongan ahli waris sebagai akibat adanya ikatan perkawinan dangan si
pewaris.Golongan ahli waris ini adalah janda (laki-laki atau perempuan).
Ashchabuk-furudh in-nasabiyyah
adalah golongan ahli waris sebagai akibat adanya hubungan darah dengan si
pewaris. Yang terasuk kedalam golongan ini adalah:
1.
Leluhur
perempuan: Ibu dan nenek;
2.
Leluhur
laki-laki: Bapak dan kakek;
3.
Keturunan
perempuan : Anak perempuan dan cucu perempuan pancar laki-laki;
4.
Saudara
seibu: Saudara perempuan seibu dan saudara laki-laki seibu; dan
5.
Saudara
sekandung/sebapak: Saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan sebapak.
2. Ashabah
Para ahli fara’id membedakan
ashabah ke dalam tiga macam, yaitu ashabah binnafsih, ashabah bil-ghair, dan
ashabah ma’al-ghair.
Ashabah binnafsih adalah
kerabat laki-lakiyang dipertalikan dengan si mati tanpa diselingi oleh
perempuan, yaitu:
1.
Leluhur
laki-laki: Bapak dan kakek;
2.
Keturunan
laki-laki: Anak laki-laki dan cucu laki-lk; dan
3.
Saudara
sekandung/sebapak: Saudara laki-laki sekandung/sebapak.
Ashabah bil-ghair adalah
kerabat perempuan yang memerlukan orang lain untuk menjadi ashabah dan untuk
bersama-sama menerima ushubah, yaitu
1.
Anak
perempuan yang mewaris bersama dangan anak laki-laki;
2.
Cucu
perempuan yang mewaris bersama cucu laki-laki; dan
3.
Saudara
prempuan sekandung/sebapak yang mewaris bersama dengan saudara laki-laki
sekandung/sebapak.
Ashabah
ma’al-ghair adalah kerabat perempuan yang memerlukan orang lan untuk menjadi
ashabah, tetapi orang lai tersebut tidak berserikat dalam menerima ushubah,
yaitu saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan sebapak yang mewaris
bersama anak perempuan atau cucu perempuan.
3. Dzawil-arham
Dzawil-arham
adalah golongan kerabat yang tidak termasuk golongan ashchabul-furudh dan
ashabah.Kerabat golongan ini baru mewarisi jika tidak ada kerabat yang termasuk
kedua golongan di atas.
C. Bagian
Ahli Waris dan Dasar Hukumnya
Di bawah ini akan dikemukakan
tentang bagian hak para ahli-waris yang termasuk ke dalam golongan
ashchabul-furudh dan ashabah.
1. Ahli-waris
Utama
Yang termasuk ahli waris utama
ini terdiri dari 5 pihak, yaitu janda, ibu, bapak, anak laki-laki, anak
perempuan. Uraian tentang bagian waris para ahli-waris utama adalah sebagai
berikut:
a. Janda
Di dalam hukum waris Islam, bagian waris untuk janda
laki-laki dengan janda perempuan tidak sama, yaitu sebagai berikut:
1)
Janda
perempuan
Bagian janda perempuan adalah:
a.
1/8
bagian jika pewaris mempunyai anak.
b.
¼
bagian jika pewaris tidak mempunyai anak.
Dasar hukumnya adalah sebagai berikut.
…Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan…((QS.An-Nisa’[4]:12).
…Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak…((QS.An-Nisa’[4]:12).
2)
Janda
laki-laki
Bagian janda laki-laki adalah:
a.
¼
bagian jika pewaris mempunyai anak.
b.
½
bagian jika pewaris tidak mempunyai anak.
Dasar hukumnya adalah sebagai berikut:
…Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya…((QS.An-Nisa’[4]:12).
…Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditnggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak…((QS.An-Nisa’[4]:12).
b. Ibu
Bagian ibu adalah:
a.
1/6
bagian jika pewaris mempunyai anak.
b.
1/6
bagian jika pewaris mempunyai beberapa saudara.
c.
1/3
bagian jika pewaris tidak mempunyai anak.
Dasar hukumnya adalah sebagai berikut:
…Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan . Jika yang meninggal itu mempunyai
anak.; ((QS.An-Nisa’[4]:11).
…Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
maka ibunya mendapat seperenam…((QS.An-Nisa’[4]:11).
…Jika yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga
…((QS.An-Nisa’[4]:11).
c. Bapak
Bagian bapak adalah:
a.
1/6
bagian jika pewaris mempunyai anak.
b.
1/6
bagian + sisa jika pewaris hanya mempunyai anak perempuan.
c.
Sisa,
jika pewaris tidak mempunyai anak.
Dasar hukumnya adalah sebagai berikut:
…Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan. Jika yang meninggal itu mempunyai
anak.;…((QS.An-Nisa’[4]:11).
Serahkanlah ahlinya yang berhak, maka sebagian bagian
itu kepada lebihnya, adalah untuk laki-laki yang lebih hampir (kepada si mati).
(HR.Bukhari,Muslim, dan lainnya).
…Jika yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga
…((QS.An-Nisa’[4]:11).
d. Anak
perempuan
Bagian anak perempuan adalah:
a.
½
bagian jika seorang.
b.
2/3
bagian jika beberapa orang.
c.
Masing-masing
1 bagian dari sisa jika mereka mewarisi bersama anak laki-laki. Dalam hal ini,
kedudukan anak perempun adalah sebagai ashabah bil-ghair.
Dasar hukumnya adalah sebagai berikut:
…Jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separuh harta…((QS.An-Nisa’[4]:11).
…Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua,
maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan…((QS.An-Nisa’[4]:11).
…Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua
orang anak permpuan; …((QS.An-Nisa’[4]:11).
e. Anak
laki-laki
Anak laki-laki tidak memiliki bagian yang pasti,
mereka menerima waris dengan jalan ushubah , baik di antara sesama laki-laki
atau bersama dengan anak perempuan. Bagian anak laki-laki adalah:
a.
Masing-masing
1 bagian dari sisa jika mereka mewaris bersama dengan anak laki-laki lainnya.
Dalam hal ini, kedudukan anak laki-laki adalah
sebagai ashabah binnafsih.
b.
Masing-masing
2 bagian dari sisa jika mereka mewaris bersama anak perempuan. Dalam hal ini,
kedudukan anak perempuan adalah sebagai ashabah bil-ghair.
Dasar hukumnya adalah sebagai berikut:
Serahkanlah ahlinya yang berhak, maka sebagian bagian
itu kepada lebihnya, adalah untuk laki-laki yang lebih hampir (kepada si mati).
(HR.Bukhari,Muslim, dan lainnya).
…Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua
orang anak permpuan; …((QS.An-Nisa’[4]:11).
2. Ahli-waris
Utama Pengganti
a. Nenek
Kedudukan nenek sebagai ahli
waris baru terbuka jika tidak ada ibu.Oleh sebab itu, maka dapatlah dikatakan
bahwa nenek mempunyai kedudukan sebagai pengganti ibu.Bagian nenek adalah 1/6
bagian, baik sendirian maupun bersama.
Dasar hukumnya adalah sebagai berikut:
Dari Buraidah: Bahwasanya Nabi
saw telah beri bagi nenek seperenam, apabila tidak dihalangi dia oleh ibu. (HR.
Abu Dawud).
b. Kakek
Kedudukan kakek sebagai ahli
waris baru terbuka jika tidak ada bapak.Oleh sebab itu, maka dapatlah dikatakan
bahwa kakek mempunyai kedudukan sebagai pengganti bapak.
Dasar hukumnya adalah sebagai berikut:
Abu Bakar As-Shiddiq, Ibnu’Abbas, Ibnu’Umar, Al-Hasan,
Ibnu Sirin, dan Abu Hanifah berpendapat bahwa kakek sama dengan bapak.
Kedudukan saudara sebagai ahli-waris baru terbuka tidak saja tidak ada bapak,
melainkan juga tidak ada kakek. Dalam hal ini kedudukan kakek dipandang sebagai
pengganti kedudukan bapak secara mutlak, maka bagian warisnya adalah sebagai
berikut:
a.
1/6
bagian jika pewaris mempunyai anak.
b.
1/6
bagian + sisa jika pewaris hanya mempunyai anak perempuan.
c.
Sisa,
jika pewaris tidak mempunyai anak.
2.
HUKUM WARIS MENURUT BW
A.
Hukum Waris
Hukum waris menurut konsepsi hukum
perdata Barat yang bersumber pada BW, merupakan bagian dari hukum harta
kekayaan. Oleh karena itu, hanyalah hak dan kewajiban yang berwujud harta
kekayaan yang merupakan warisan dan yang akan diwariskan. Hak dan kewajiban
dalam hukum publik, hak dan kewajiban yang timbul dari kesusilaan dan kesopanan
tidak akan diwariskan, demikian pula halnya dengan hak dan kewajiban yang
timbul dari hubungan hokum keluarga, ini juga tidak dapat diwariskan. Kiranya
akan lebih jelas apabila kita memperhatikan rumusan hukum waris yang diberikan
oleh Pitlo di bawah ini, rumusan tersebut menggambarkan bahwa hukum
waris merupakan bagian dari kenyataan, yaitu :
“Hukum waris adalah kumpulan
peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang,
yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat
dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan
antar mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak
ketiga”.
Adapun kekayaan yang dimaksud dalam
rumusan di atas adalah sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang
meninggal dunia berupa kumpulan aktiva dan pasiva. Pada dasarnya proses
beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya, yang dinamakan
pewarisan, terjadi hanya karena kematian. Oleh karena itu, pewarisan baru akan
terjadi jika terpenuhi tiga persyaratan, yaitu :
- ada seseorang yang meninggal
dunia;
- ada seseorang yang masih hidup
sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat pewaris
meninggal dunia;
- ada sejumlah harta kekayaan
yang ditinggalkan pewaris.
Dalam hukum waris menurut BW berlaku suatu asas bahwa
“apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan
kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya”.
Hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang beralih pada ahli waris adalah sepanjang
termasuk dalam lapangan hukum harta kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang
dapat dinilai dengan uang.
Yang merupakan ciri khas hukum waris menurut BW antara lain “adanya
hak mutlak dari para ahli waris masing-masing untuk sewktu-waktu menuntut
pembagian dari harta warisan”. Ini berarti, apabila
seorang ahli waris menuntut pembagian harta warisan di depan pengadilan,
tuntutan tersebut tidak dapt ditolak oleh ahli waris yang lainnya. Ketentuan
ini tertera dalam pasal 1066 BW, yaitu:
- Seseorang yang mempunyai hak
atas sebagian dari harta peninggalan tidak dapat dipaksa untuk memberikan
harta benda peninggalan dalam keadaan tidak terbagi-bagi di antara para
ahli waris yang ada;
- Pembagian harta benda
peninggalan itu selalu dapat dituntut walaupun ada perjanjian yang
melarang hal tersebut;
- Perjanjian penangguhan
pembagian harta peninggalan dapat saja dilakukan hanya untuk beberapa
waktu tertentu;
- Perjanjian penagguhan pembagian
hanya berlaku mengikat selama lima tahun, namun dapat diperbaharui jika
masih dikehendaki oleh para pihak.
Dari ketentuan pasal 1066 BW tentang pemisahan harta
peninggalan dan akibat-akibatnya itu, dapat dipahami bahwa system hukum waris
menurut BW memiliki ciri khas yang berbeda dari hukum waris yang lainnya. Ciri
khas tersebut di antaranya hokum waris menurut BW menghendaki agar harta
peninggalan seorang pewaris secepat mungkin dibagi-bagi kepada mereka yang
berhak atas harta tersebut. Kalau pun hendak dibiarkan tidak terbagi, harus
terlebih dahulu melalui persetujuan seluruh ahli waris.
B. Asas-asas hukum waris BW
Dalam hukum
waris berlaku asas,bahwa apabilaseseorang meninggal maka pada saat itu juga
segala hak dan kewajibannya beralih kepada ahli warisnya (pasal 833).
Ahli
waris menempati kedudukan si meninggal dalam hal menyangkut harta kekayaan
(“saisine”) ---> Pasal 833 (1).
Memperoleh
hak secara mewaris ialah mendapat hak dengan “algemene title” (title umum).
Jadi tidak perlu dengan “levering”.
Tiap-tiap
ahli waris berhak menuntut setiap baraang atau uang yang termasuk harta
peninggalan untuk diserahkan kepadanya kalau dikuasai orang lain (pasal 834).
Hak untuk menuntut ini disebut “heridetitas petitio”.
Gugatan
ini gugur setelah tenggang waktu 30 tahum (pasal 835).
C.
Warisan dalam sistem hukum waris BW
Berbeda dengan sistem hukum adat
tentang warisan, menurut kedua sistem hukum di atas yang dimaksud dengan
warisan atau harta peninggalan adalah sejumlah harta benda kekayaan pewaris
dalam keadaan bersih. Artinya, setelah dikurangi dengan pembayaran hutang
pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh meninggalnya
pewaris. Oleh karena itu, harta yang diterima oleh ahli waris menurut sistem
hukum Islam dan sistem hukum adat itu benarbenar hak mereka yang bebas dari
tuntutan kreditur pewaris.
Sedangkan warisan dalam sistem hukum
perdata barat yang bersumber pada BW itu meliputi seluruh harta benda beserta
hak-hak dan kewajiban-kewajiban pewaris dalam lapangan hukum harta kekayaan
yang dapat dinilai dengan uang. Akan tetapi terhadap ketentuan tersebut ada
beberapa pengecualian, dimana hak-hak dan kewajibankewajiban dalam lapangan
hukum harta kekayaan ada juga yang tidak dapat beralih kepada ahli waris,
antara lain:
- Hak memungut hasil (vruchtgebruik);
- Perjanjian perburuhan, dengan
pekerjaan yang harus dilakukan bersifat pribadi;
- Perjanjian perkongsian dagang,
baik yang berbentuk maatschap menurut BW maupun firma menurut WvK, sebab
perkongsian ini berakhir dengan meninggalnya salah seoranganggota/persero.
Pengecualian lain terdapat pula, yaitu ada beberapa hak yang
walaupun hak itu terletak dalam lapangan hukum keluarga, akan tetapi dapat
diwariskan kepada ahli waris pemilik hak tersebut, yaitu:
- Hak seorang ayah untuk
menyangkal sahnya seorang anak;
- Hak seorang anak untuk menuntut
supaya ia dinyatakan sebagai anak yang sah dari bapak atau ibunya.
Di atas telah dikemukakan bahwa kematian seseorang menurut
BW mengakibatkan peralihan segala hak dan kewajiban pada seketika itu juga
kepada ahli warisnya. Hal ini secara tegas disebutkan dalam pasal 833 ayat (1)
BW, yaitu “sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak
milik atas segala barang, segala hak, dan segala piutang dari yang meninggal”.
Peralihan hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia kepada ahli warisnya
disebut “saisine”. Adapun yang dimaksud dengan saisine
yaitu:
“Ahli waris memperoleh segala hak dan kewajiban dari yang
meninggal dunia tanpa memerlukan suatu tindakan tertentu, demikian pula bila
ahli waris tersebut belum mengetahui tentang adanya warisan itu.”
Sistem waris BW tidak mengenal istilah “harta asal maupun
harta gono-gini” atau harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan, sebab
harta warisan dalam BW dari siapa pun juga, merupakan “kesatuan” yang secara bulat
dan utuh dalam keseluruhan akan beralih dari tangan peninggal warisan/pewaris
ke ahli warisnya.
Artinya, dalam BW tidak dikenal perbedaan pengaturan atas
dasar macam atau asal barang-barang yang ditinggalkan pewaris. Seperti yang
ditegaskan dalam pasal 849 BW yaitu “Undang-undang tidak memandang akan sifat
atau asal dari pada barang-barang dalam suatu peninggalan untuk mengatur
pewarisan terhadapnya”. Sistem hukum waris BW mengenal sebaliknya dari sistem
hukum waris adat yang membedakan “macam” dan “asal” barang yang ditinggalkan
pewaris. .
D. Pewaris dan dasar hukum mewaris
Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik
laki-laki maupun perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan maupun
hak-hak yang diperoleh beserta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan
selama hidupnya, baik dengan surat wasiat maupun tanpa surat wasiat.
Dasar hukum seseorang ahli waris mewarisi sejumlah harta
pewaris menurut sisten hukum waris BW ada dua cara, yaitu:
- menurut ketentuan
undang-undang;
- ditunjuk dalam surat wasiat
(testamen).
Undang-undang telah menentukan bahwa untuk melanjutkan
kedudukan hukum seseorang yang meninggal, sedapat mungkin disesuaikan dengan
kehendak dari orang yang meninggal itu. Undang-undang berprinsip bahwa
seseorang bebas untuk menentukan kehendaknya tentang harta kekayaannya setelah
ia meninggal dunia.
Di samping undang-undang, dasar hukum seseorang mewarisi
harta peninggalan pewaris juga melalui cara ditunjuk dalam surat wasiat. Surat
wasiat atau testamen adalah “suatu pernyataan tentang apa yang dikehendaki
setelah ia meninggal dunia”. Sifat utama surat wasiat
adalah mempunyai kekuatan berlaku setelah pembuat surat wasiat meninggal dan
tidak dapat ditarik kembali. Selama pembuat surat wasiat masih hidup, surat
wasiat masih dapat diubah atau dicabut, sedangkan setelah pembuat wasiat
meninggal dunia surat wasiat tidak dapat lagi diubah, dicabut, maupun ditarik
kembali oleh siapa pun.
Seseorang dapat mewariskan sebagian atau seluruhnya hartanya
dengan surat wasiat. Apabila seseorang hanya menetapkan sebagian dari hartanya
melalui surat wasiat, maka sisanya merupakan bagian ahli waris berdasarkan
undang-undang (ahli waris ab intestato). Jadi, pemberian seseorang pewaris
berdasarkan surat wasiat tidak bermaksud untuk menghapuskan hak untuk mewaris
secara ab intestato.
E.
Penggolongan ahli waris menurut sistem BW
Dalam KUHperdata ada empat golongan ahli waris yaitu:
Golongan I : Suami atau istri yang hidupterlama
serta anak-anak dan keturunannya.
Golongan II :
Orangtua (ayah dan ibu) dan saudara-saudara serta keturunan saudara-saudaranya.
Golongan III :
Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu.
Golongan IV :
Keluarga garis ke samping sampai derajat keenam.
F. Bagian masing-masing ahli waris
menurut BW
Undang-undang telah menetapkan tertib keluarga yang menjadi
ahli waris, yaitu: Isteri atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah atau
tidak sah dari pewaris. Ahli waris menurut undang undang atau ahli waris ab
intestato berdasarkan hubungan darah terdapat empat golongan, yaitu:1. Bagian
golongan pertama,2. Bagian golongan kedua,3. Bagian golongan ketiga,4.Bagian
golongan keempat.
Di atas telah dikemukakan bahwa BW mengenal empat golongan
ahli waris yang bergiliran berhak atas harta peninggalan. Artinya, apabila
golongan pertama masih ada, maka golongan kedua dan seterusnya tidak berhak
atas harta peninggalan, demikian pula jika golongan pertama tidak ada sama
sekali, yang berhak hanya golongan kedua, sedangkan golongan ketiga dan keempat
tidak berhak. Bagian masing-masing ahli waris menurut BW adalah sebagai
berikut:
a. Bagian golongan pertama yang
meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke bawah, yaitu anak-anak beserta
keturunan mereka, dan janda atau duda yang hidup paling lama, masing-masing
memperoleh satu bagian yang sama. Jadi bila terdapat empat orang anak dan
janda, mereka masing-masing mendapat 1/5 bagian. Apabila salah seorang anak
telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris akan tetapi mempunyai empat
orang anak, yaitu cucu pewaris, maka bagian anak yang 1/5 dibagi di antara
anak-anak yang menggantikan kedudukan ayahnya yang telah meninggal itu (plaatsvervulling),
sehingga masing-masing cucu memperoleh 1/20 bagian. Jadi hakikat bagian
dari golongan pertama ini, jika pewaris hanya meninggalkan seorang anak dan dua
orang cucu, maka cucu tidak memperoleh warisan selama anak pewaris masih ada,
baru apabila anak pewaris itu telah meninggal lebih dahulu dari pewaris,
kedudukannya digantikan oleh anakanaknya atau cucu pewaris.
b. Bagian golongan kedua yang
meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke atas yaitu orang tua, ayah dan
ibu, serta saudara, baik laki-laki maupun perempuan beserta keturunan mereka.
Menurut ketentuan BW, baik ayah, ibu maupun sudara-saudara pewaris
masing-masing mendapat bagian yang sama. Akan tetapi bagian ayah dan ibu
senantiasa diistimewakan karena mereka tidak boleh kurang dari ¼ bagian dari
seluruh harta warisan. Jadi apabila terdapat tiga orang saudara yang mewaris
bersama-sama dengan ayah dan ibu, maka ayah dan ibu masing-masing akan
memperoleh ¼ bagian dari seluruh harta warisan. Sedangkan separoh dari harta
warisan itu akan diwarisi oleh tiga orang saudara, masing-masing dari mereka
akan memperoleh 1/6 bagian. Jika ibu atau ayah salah seorang sudah meninggal
dunia, yang hidup paling lama akan memperoleh bagian sebagai berikut:
- ½ (setengah) bagian dari seluruh
harta warisan, jika ia mewaris bersama dengan seorang saudaranya, baik lakilaki
maupun perempuan, sama saja;
- 1/3 bagian dari seluruh harta
warisan, jika ia mewaris bersama-sama dengan dua orang saudara pewaris;
- ¼ (seperempat) bagian dari seluruh
harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama dengan tiga orang atau lebih
saudara pewaris.
Apabila ayah dan ibu semuanya sudah meninggal dunia, maka
harta peninggalan seluruhnya jatuh pada saudara-saudara pewaris, sebagai ahli
waris golongan dua yang masih ada. Apabila di antara saudara-saudara yang masih
ada itu ternyata hanya ada yang seayah atau seibu saja dengan pewaris, maka
harta warisan terlebih dahulu dibagi dua, bagian yang satu bagian saudara
seibu. Jika pewaris mempunyai saudara seayah dan seibu di samping saudara
kandung, maka bagian saudara kandung itu diperoleh dari dua bagian yang
dipisahkan tadi.
c.
Bagian golongan ketiga yang meliputi kakek, nenek, dan
leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris, apabila pewaris sama sekali tidak
meninggalkan ahli waris golongan pertama maupun kedua. Dalam keadaan seperti
ini sebelum harta warisan dibuka, terlebih dahulu harus dibagi dua (kloving).
Selanjutnya separoh yang satu merupakan bagian sanak keluarga dari pancer
ayah pewaris, dan bagian yang separohnya lagi merupakan bagian sanak keluarga
dari pancer ibu pewaris. Bagian yang masing-masing separoh hasil dari kloving
itu harus diberikan pada kakek pewaris untuk bagian dari pancer ayah,
sedangkan untuk bagian dari pancer ibu harus diberikan kepada nenek.
d.
Bagian golongan keempat yang meliputi anggota keluarga dalam
garis ke samping sampai derajat keenam, apabila pewaris tidak meninggalkan ahli
waris golongan ketiga sekalipun, maka cara pembagiannya, bagian yang separoh
dari pancer ayah atau dari pancer ibu jatuh kepada saudarasaudara sepupu si
pewaris yakni saudara sekakek atau saudara senenek dengan pewaris.
Apabila dalam bagian pancer ibu sama sekali tidak ada ahli
waris sampai derajat keenam, maka bagian pancer ibu jatuh kepada para ahli
waris dari pancer ayah, demikian pula sebaliknya. Dalam pasal 832 ayat (2) BW
disebutkan: ”Apabila ahli waris yang berhak atas harta peninggalan sama sekali
tidak ada, maka seluruh harta peninggalan jatuh menjadi milik negara.
Selanjutnya negara wajib melunasi hutang-hutang peninggal warisan, sepanjang
harta warisan itu mencukupi”.
Bagian warisan untuk anak yang lahir di luar perkawinan
antara lain diatur sebagai berikut :
- 1/3 dari bagian anak sah, apabila
anak yang lahir di luar perkawinan mewaris bersama-sama dengan anak yang sah
serta janda atau duda yang hidup paling lama;
- ½ dari bagian anak sah, apabila
anak yang lahir di luar perkawinan mewaris bersama-sama dengan ahli waris
golongan kedua dan golongan ketiga;
- ¾ dari bagian anak sah, apabila
anak yang lahir di luar perkawinan mewaris bersama-sama ahli waris golongan
keempat, yaitu sanak keluarga pewaris sampai derajat keenam.
- ½ dari bagian anak sah, apabila ia
mewaris hanya bersamasama dengan kakek atau nenek pewaris, setelah terjadi kloving.
Jadi dalam hal demikian, bagian anak yang lahir di luar
nikah bukan ¾, sebab untuk ahli waris golongan keempat ini sebelum warisan
dibuka terlebih dahulu diadakan kloving/ dibagi dua, sehingga anak yang
lahir di luar nikah akan memperoleh ¼ dari bagian anak sah dari separoh warisan
pancer ayah dan ¼ dari bagian anak sah dari separoh warisan pacer ibu, sehingga
menjadi ½ bagian. Apabila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris
sampai derajat keenam sedang yang ada hanya anak yang lahir di luar nikah, maka
harta peninggalan seluruhnya jatuh pada tangan anak yang lahir di luar
pernikahan, sebagai ahli waris satu-satunya.
Anak yang lahir dari zina dan anak yang lahir dari orang tua
yang tidak boleh menikah karena keduanya sangat erat hubungan kekeluargaannya,
menurut sistem BW sama sekali tidak berhak atas harta warisan dari orang
tuanya, anak-anak tersebut hanya berhak memperoleh bagian sekedar nafkah untuk
hidup seperlunya, (lihat Pasal 867 BW).
G. Peran Balai Harta Peninggalan dalam
pembagian warisan
Apabila harta warisan telah terbuka namun tidak seorang pun
ahli waris yang tampil ke muka sebagai ahli waris, tak seorang pun yang menolak
warisan, maka warisan tersebut dianggap sebagai harta warisan yang tidak
terurus. Dalam keadaaan seperti ini, tanpa menunggu perintah hakim, Balai Harta
Peninggalan wajib mengurus harta peninggalan tersebut. Pekerjaan pengurusan itu
harus dilaporkan kepada kejaksaan negeri setempat. Jika terjadi perselisihan
tentang apakah suatu harta peninggalan tidak terurus atau tidak, penentuan ini
akan diputus oleh hakim.
Apabila dalam jangka waktu tiga tahun terhitung mulai saat
terbukanya warisan, belum juga ada ahli waris yang tampil ke muka, Balai Harta
Peninggalan akan memberikan pertanggung jawaban atas pengurusan itu kepada
negara. Selanjutnya harta peninggalan itu akan diwarisi dan menjadi hak milik
negara.
H. Ahli waris yang tidak patut menerima
harta warisan
Undang-undang menyebut empat hal yang menyebabkan seseorang
ahli waris menjadi tidak patut mewaris karena kematian, yaitu sebagai berikut:
a. seorang ahli warais yang dengan
putusan hakim telah dipidana karena dipersalahkan membunuh atau setidaktidaknya
mencoba membunuh pewaris;
b. seorang ahli waris yang dengan
putusan hakim telah dipidana karena dipersalahkan memfitnah dan mengadukan
pewarisbahwa pewaris difitnah melakukan kejahatan yang diancam pidana penjara
empat tahun atau lebih;
c. ahli waris yang dengan kekerasan
telah nyata-nyata menghalangi atau mencegah pewaris untuk membuat atau menarik
kembali surat wasiat;
d. seorang ahli waris yang telah
menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan surat wasiat.
3.
HUKUM WARIS ADAT
A. Sistem Kekeluargaan dan Hukum Adat Waris
Seperti
telah dikemukakan bahwa hukum waris merupakan salah satu bagian dari sistem
kekeluargaan yang terdapat di Indonesia. Oleh karena itu, pokok pangkal uraian
tentang hukum waris adat bertitik tolak dari bentuk masyarakat dan sifat
kekeluargaan yang terdapat di Indonesia menurut sistem keturunan. Setiap system
keturunan yang terdapat dalam masyarakat Indonesia memiliki kekhususan dalam
hukum warisnya yang satu sama lain berbeda-beda, yaitu:
Sistem Patrilineal, yaitu system kekeluargaan yang
menarik garis keturunan pihak nenek moyang laki-laki. Di dalam sistemini
kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hokum waris sangat menonjol,
contohnya pada masyarakat Batak. Yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki
sebab anak perempuam yang telah kawin dengan cara "kawin jujur"
yang kemudian masuk menjadi anggota keluarga pihak suami,selanjutnya ia tidak
merupakan ahli waris orang tuanya yang meninggal dunia.
Sistem Matrilineal ,yaitu sistem kekeluargaan
yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang perempuan. Di dalam sistem
kekeluargaan ini pihak laki-laki tidak menjadi pewaris untuk anak-anaknya.
Anak-anak menjadi ahli waris darigaris perempuan/garis ibu karena anak-anak
mereka merupakan bagian dari keluarga ibunya, sedangkan ayahnya masih merupakan
anggota keluarganya sendiri,contoh sistem ini terdapat pada masyarakat
Minangkabau. Namun demikian, bagi masyarakat Minangkabau yang sudah
merantau ke luar tanah aslinya, kondisi tersebut sudah banyak berubah.
Sistem
Parental atau bilateral ,yaitu sistem yang menarik garis keturunan dari dua
sisi, baik dari pihak ayah maupun daripihak ibu. Di dalam sistem ini kedudukan
anak laki-laki dan perempuan dalam hukum waris sama dan sejajar. Artinya, baik
anak laki-laki maupun anak perempuan merupakan ahli waris dari harta
peninggalan orang tua mereka.
Dari
ketiga sistem keturunan di atas, mungkin masih ada variasi lain yang merupakan
perpaduan dari ketiga sistem tersebut, misalnya,"sistem patrilineal
beralih-alih(alternerend)dan sistem unilateral berganda(dubbel
unilateral)". Namun tentu saja masing-masing sistem memiliki ciri khas
tersendiri yang berbeda dengan system yang lainnya.
Berdasarkan
pada bentuk masyarakat dari sistem keturunan diatas, jelas bagi kita bahwa
hukum adat waris di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan
yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan.
Di
samping sistem kekeluargaan yang sangat berpengaruh terhadap pengaturan hukum
adat waris terutama terhadap penetapan ahli waris dan bagian harta peninggalan
yang diwariskan, hukum adat waris mengenal tiga sistem kewarisan, yaitu :
a. Sistem kewarisan individual yaitu
sistem kewarisan yang menentukan bahwa para ahli waris mewarisi secara
perorangan, misalnya di: Jawa, Batak. Sulawesi, dan lain-lain;
b.
Sistem kewarisan kolektif, yaitu sistem yang menentukan
bahwa para ahli waris mewaris harta peninggalan secara bersama-sama (kolektif)
sebab harta peninggalan yang diwarisi itu tidak dapat dibagi-bagi pemilikannya
kepada masing-masing ahli waris. Contohnya "harta pusaka” diMinangkabau
dan "tanah dati” di semenanjung Hitu Ambon;
c.
Sistem kewarisan mayorat, yaitu sistem kewarisan yang
menentukan bahwa harta peninggalan pewaris hanya diwarisi oleh seorang anak.
Sistem mayorat ini ada dua macam, yaitu:
1.
Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki
tertua/ sulung atau keturunan laki-laki merupakan ahli waris tunggal dari
si pewaris, misalnya di Lampung;
2. Mayorat perempuan, yaitu apabila
anak perempuan tertua merupakan ahli waris tunggal dari pewaris, misalnya pada
masyarakat Tanah Semendo di Sumatera Selatan
47umum yakni Tanah Batak; (2) Sistem matrilineal, dengan
contohdaerah Minangkabau, dan (3) Sistem parental, yang dikenal luas yakniJawa.
Untuk itu, paparan di bawah ini pun akan dibatasi hanyamengenai hukum adat
waris yang dikenal di dalam ketiga sistemkekeluargaan tersebut di atas.
B. Sistem Kekeluargaan Patrilineal
1. Hukum Adat Waris Patrilineal
“Dalam masyarakat tertib Patrilineal seperti halnya
dalammasyarakat Batak Karo, hanyalah anak laki-laki yang menjadi ahliwaris,
karena anak perempuan di luar dari golongan patrilinealnyasemula, sesudah
mereka itu kawin”.
43
Selanjutnya secara terperinciperihal hukum adat waris patrilineal
dalam masyarakat Batak Karo ini,diuraikan oleh
Djaja S. Meliala
, dan
Aswin Peranginangin
, dalambukunya “Hukum Perdata Adat Karo dalam rangka
PembentukanHukum Nasional”.Terdapat beberapa alasan atau argumentasi yang
melandasisistem hukum adat waris masyarakat patrilineal, sehingga
keturunanlaki-laki saja yang berhak mewarisi harta peninggalan pewaris
yangmeninggal dunia, sedangkan anak perempuan sama sekali tidak mewaris.
Hal ini didasarkan pada anggapan kuno yang “memandangrendah kedudukan wanita
dalam masyarakat Karo khususnya, dandalam masyarakat Batak pada umumnya”.
44
Titik tolak anggapantersebut, yaitu :a.
Emas kawin
(tukur
), yang membuktikan bahwaperempuan dijual;
43
Djaja S. Meliala & Aswin Peranginangin,
Hukum Perdata Adat Karo dalam RangkaPembentukan Hukum
Nasional.
Bandung: Tarsito, 1978, h. 54.
44
Ibid
., h. 65.
48b.
Adat lakoman
(levirat)
yang membuktikan bahwa perempuandiwarisi oleh saudara dari
suaminya yang telah meninggal;c.
Perempuan tidak mendapat warisan;d.
Perkataan
“naki-naki”
menunjukkan bahwa perempuanadalah makhluk tipuan, dan
lain-lain.Akan tetapi ternyata pendapat yang dikemukakan di atas
hanyamenunjukkan ketidaktahuan dan sama sekali dangkal sebab terbuktidalam
cerita dan dalam kesusasteraan klasik Karo kaum wanita tidak kalah
peranannya dibandingkan dengan kaum laki-laki.
45
Meskipundemikian, kenyataan bahwa anak laki-laki merupakan ahli
waris padamasyarakat Karo, dipengaruhi pula oleh beberapa faktor
sebagaiberikut:(1)
Silsilah keluarga didasarkan pada anak laki-laki. Anak
perempuantidak dapat melanjutkan silsilah (keturunan keluarga);
(2)
Dalam rumah-tangga, isteri bukan kepala keluarga. Anak-anak memakai nama keluarga
(marga)
ayah. Istri digolongkan ke dalamkeluarga
(marga)
suaminya;
(3)
Dalam adat, wanita tidak dapat mewakili orang tua (ayahnya)sebab ia masuk anggota keluarga suaminya;
(4)
Dalam adat,
kalimbubu
(laki-laki) dianggap anggota keluargasebagai orang tua (ibu);
(5)
Apabila terjadi perceraian, suami-isteri, maka pemeliharaan
anak-anak menjadi tanggung jawab ayahnya. Anak laki-laki kelak merupakan
ahli waris dari ayahnya baik dalam adat maupun harta-benda.
Di dalam masyarakat Karo, seperti juga masyarakat yangmemiliki
sistem kekerabatan yang sama, apabila anak perempuansudah menikah, ia dianggap
tergolong kelompok suaminya. Dalammasyarakat Karo, anak perempuan yang sudah
kawin menjadigolongan anak
beru
, seperti halnya dengan suaminya dan saudara-saudaranya yang
semarga. Sehubungan dengan itu, hanya anak laki-
45
Ibid.,
h. 66.
49laki yang akan menerima warisan dari orang tuanya dan di
sinimenunjukkan, bahwa kaum wanita Karo mempunyai harga diri yangcukup besar
serta mempunyai sifat mampu berdiri sendiri yangmengagumkan. Meskipun demikian
tidak berarti bahwa hak-hak kaumwanita pada masyarakat yang mempunyai sistem
patrilineal menjaditertekan sebab menurut cerita kuno masyarakat Karo, sudah
sangatbanyak peranan yang dimainkan oleh kaum wanita Karo di segalabidang sejak
dulu. Oleh karena itu, tidaklah beralasan jika memandangkaum wanita dalam
masyarakat yang bersistem patrilineal secaraapriori lebih rendah daripada
masyarakat lain yang bersistemmatrilineal dan bilateral.Peranan kaum wanita
Karo sejak dahulu sudah dapat terlihat didalam masyarakat baik dalam lapangan
keagamaan, lapanganekonomi, pertanian, perdagangan, dan juga banyak wanita Karo
yangdengan gagah berani telah menunjukkan jiwa kepahlawanannya.Demikian pula
dalam hal perundingan-perundingan adat, sering sekalisuara seorang perempuan
justru menentukan, atau paling tidak sangatmempengaruhi keputusan, baik dalam
hal perkara perdata maupundalam perkara pidana. Akan tetapi walau bagaimana pun
masalahtinggi rendahnya kedudukan seorang wanita dalam pergaulan dimasyarakat,
dapatlah kiranya dilihat dari peranan yang dipegangnya didalam masyarakat.
Selain itu sistem sosial suatu masyarakat jugasangat menentukan sejauh mana
wanita diberi kesempatan untuk melaksanakan peranannya.Berkaitan dengan
hal di atas, maka dalam mempelajari hukumadat waris patrilineal di Tanah Karo,
hendaknya masalah status hak dan kewajiban seorang wanita jangan ditinjau
terlepas darimasyarakat, adat istiadat, dan norma-norma yang berlaku di
dalamsistem sosialnya.
50
2.
Pewaris, ahliwaris, dan pembagian harta pusaka
Dalam sistem hukum adat waris di Tanah Karo, pewaris
adalahseorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah hartakekayaan,
baik harta itu diperoleh selama dalam perkawinan maupunharta pusaka, karena di
dalam hukum adat perkawinan suku Karo yangmemakai marga itu berlaku keturunan
patrilineal maka orang tuamerupakan pewaris bagi anak-anaknya yang laki-laki
dan hanya anak laki-laki yang merupakan ahli waris dari orang tuannya.
Akan tetapianak laki-laki tidak dapat membantah pemberian kepada
anak perempuan, demikian juga sebaliknya. Hal tersebut didasarkan
padaprinsip bahwa orang tua (pewaris) bebas menentukan untuk membagi-bagi harta
benda kepada anak-anaknya berdasarkan kebijaksanaanorang tua yang tidak
membedakan kasih sayangnya kepada anak-anaknya.Ahli waris atau para ahli waris
dalam sistem hukum adat waris diTanah Patrilineal, terdiri atas:a)
Anak laki-lakiYaitu semua anak laki-laki yang sah yang berhak
mewarisiseluruh harta kekayaan. baik harta pencaharian maupun hartapusaka.
Jumlah harta kekayaan pewaris dibagi sama di antarapara ahli waris. Misalnya
pewaris mempunyai tiga oranganak laki-laki, maka masing-masing anak laki-laki
akanmendapat
bagian dari seluruh harta kekayaan termasuk harta pusaka.
Apabila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki, yang ada hanya anak perempuan
dan isteri, maka hartapusaka tetap dapat dipakai, baik oleh anak-anak
perempuanmaupun oleh isteri seumur hidupnya, setelah itu hartapusaka kembali
kepada asalnya atau kembali kepada
"pengulihen".
b)
Anak angkatDalam masyarakat Karo, anak angkat merupakan ahli
waris
51yang kedudukannya sama seperti halnya anak sah, namunanak
angkat ini hanya menjadi ahli waris terhadap hartapencaharian/harta bersama
orang tua angkatnya. Sedangkanuntuk harta pusaka, anak angkat tidak berhak.c)
Ayah dan Ibu serta saudara-saudara sekandung sipewaris. Apabila
anak laki-laki yang sah maupun anak angkat tidak ada, maka yang menjadi
ahli waris adalah ayahdan ibu serta saudara-saudara kandung si pewaris
yangmewaris bersama-sama.d)
Keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu.Apabila anak
laki-laki yang sah, anak angkat, maupunsaudara-saudara sekandung pewaris dan
ayah-ibu pewaristidak ada, maka yang tampil sebagai ahli waris adalahkeluarga
terdekat dalam derajat yang tidak tertentu.e)
Persekutuan adatApabila para ahli waris yang disebutkan di atas
sama sekalitidak ada, maka harta warisan jatuh kepada persekutuanadat.Ketentuan
hukum adat waris di Tanah Karo menentukan, bahwahanya keturunan laki-laki yang
berhak untuk mewarisi hartapusaka.Yang dimaksud dengan harta pusaka atau barang
adat yaitubarang-barang adat yang tidak bergerak dan juga hewan atau
pakaian-pakaian yang harganya mahal. Barang adat atau harta pusaka iniadalah
barang kepunyaan marga atau berhubungan dengan kuasa
kesain,
yaitu "bagian dari kampung secara fisik".
46
Barang-barangadat meliputi: tanah kering (ladang), hutan, dan
kebun milik
kesain
.Rumah atau
jabu
mempunyai potongan rumah adat,
jambur
atau
sapo
tempat menyimpan padi dari beberapa keluarga dan juga
bahan-bahanuntuk pembangunan, seperti ijuk, bambu, kayu, dan sebagainya yang
46
Soerjono Soekanto,
Kamus Hukum Adat.
Bandung : Alumni, 1978, h. 121.
52dihasilkan hutan marga atau
kesain.
Proses penyerahan barang-barang harta benda kekayaanseseorang
kepada turunannya, seringkali sudah dilakukan ketika orangtua (pewaris) masih
hidup. Pembagian yang dilakukan secarakerukunan itu terjadi di depan
anak beru
,
senina,
dan
kalimbubu.
Kadang-kadang pembagian itu juga dihadiri oleh penghulu
(KepalaDesa) untuk menambah terangnya pembagian tersebut. Apabilapembagian
dilakukan setelah pewaris meninggal dunia, maka perludiperhatikan, bahwa
walaupun pada dasarnya semua anak laki-lakimempunyai hak yang sama terhadap
harta peninggalan orang tuanya,namun pembagian itu harus dilakukan dengan
sangat bijaksana sesuaidengan kehendak/pesan pewaris sebelum meninggal dunia.
Apabiladalam pembagian itu terjadi sengketa, maka
anak beru
dan
senina
mencoba menyelesaikannya melalui musyawarah.Apabila seorang
ayah sebagai pewaris meninggal dunia denganmeninggalkan isteri lebih dari satu,
misalnya mempunyai dua oranganak dari isteri pertama dan tiga orang anak dari
isteri kedua, makapembagiannya ada dua cara, yaitu:(1)
Dahulu cara pembagian harta peninggalan dalam keadaansemacam ini
didasarkan pada banyaknya isteri, sehinggadalam contoh di atas cara
pembagiannya adalah menjadi ½bagian untuk dua orang anak dari isteri pertama
dan ½bagian lagi untuk tiga orang anak dari isteri kedua;(2)
Setelah adanya musyawarah kepala-kepala adat Tanah Karo,cara
pembagian semacam di atas berubah menjadi atas dasar jumlah anak laki-laki
yang masing-masing akan memperolehbagian yang sama besar, sehingga dalam contoh
di atasmasing-masing akan memperoleh 1/5 bagian.Berkaitan dengan.hukum adat
waris Tanah Karo yang hanyamengakui anak laki-laki sebagai ahli waris, maka
melalui putusanMahkamah Agung tanggal 1 November 1961 No.179 K/Sip/l961 telah
53terjadi upaya ke arah proses persamaan hak antara kaum
wanita dankaum pria di Tanah Karo, meskipun di sana-sini putusan MahkamahAgung
ini banyak mendapat tantangan, namun tidak sedikit pulapihak-pihak yang justeru
menyetujui hal tersebut.Adapun yang menjadi pertimbangan dari putusan MahkamahAgung
dalam putusan tersebut di atas, antara lain:(1)
"Menimbang, bahwa keberatan-keberatan tersebutberdasarkan
atas anggapan, bahwa di Tanah Karo tetapber1aku selaku hukum yang hidup, bahwa
seorang anak perempuan tidak berhak sama sekali atas barang warisanyang
ditinggalkan oleh orang tuanya";(2)
"Menimbang, bahwa Mahkamah Agung berdasar selainatas rasa
perikemanusiaan dan keadilan umum juga atashakikat persamaan hak antara wanita
dan pria, dalambeberapa keputusan mengambil sikap dan menganggapsebagai hukum
yang hidup di seluruh Indonesia, bahwa anak perempuan dan anak laki-laki
dari seorang peninggalwarisan, bersama-sama berhak atas warisan, dalam
arti,bahwa anak laki-laki sama dengan anak perempuan";(3)
"Menimbang, bahwa berhubung dengan sikap yang tetap
dariMahkamah Agung ini, maka juga di Tanah Karo, seoranganak perempuan harus
dianggap ahli waris yang berhak menerima bagian warisan dari orang
tuanya".Terhadap pertimbangan putusan Mahkamah Agung di atas,ternyata
tidak sedikit komentar dan tanggapan yang antara laindikemukakan oleh
Djaja S. Meliala
dkk, sebagai berikut:(a)
"Lazimnya suatu perubahan hukum dilaksanakan
ataspertimbangan, bahwa hukum yang lama tidak sesuai lagidengan perasaan
keadilan masyarakat tempat hukum ituberlaku. Sebagai contoh hukum waris
kolonial dirombak dandisesuaikan dengan kondisi nasional. Tetapi kali ini kita
54berhadapan dengan suatu perubahan hukum di dalam
hukumyang masih tetap hidup dan sesuai dengan perasaan keadilanmasyarakat
(masyarakat Karo), dirombak dan digantikandengan suatu hukum baru yang tidak
sesuai dengan rasakeadilan masyarakat”;(b)
“Anggapan Mahkamah Agung, bahwa anak perempuan dananak laki-laki
dari si pewaris bersama-sama berhak ataswarisan sebagai hukum yang hidup di
seluruh Indonesia,dipandang sebagai keliru sebab terdapat beberapa masyarakatdi
Indonesia ini dengan sistem unilineal yang kuat sepertiMinangkabau, Batak, dan
lain-lain yang memiliki sistemwarisan berbeda dengan anggapan Mahkamah
Agung”.3.
Beberapa pendapat dan kesimpulan tentang hukum adat
waris patrilineal
Di bawah ini berturut-turut akan dipaparkan tentang
beberapapendapat dan kesimpulan yang dikemukakan oleh penulis buku“Hukum
Perdata Adat Karo dalam rangka Pembentukan HukumNasional”, yaitu:a)
Hukum waris adalah sebagian dari adat, karena itu tidak
dapatdipisahkan atau dinilai tersendiri dengan tidak memperhatikanfactor-faktor
lain;b)
Selama kita masih menghormati keragaman adat-istiadatyang hidup
dalam masyarakat, tidaklah tepat diadakanpenilaian yang sama tentang hukum
waris di seluruhIndonesia sebab kenyataan adat Batak, Minangkabau, Jawa,Bali,
dan lain-lain itu berbeda-beda;c)
Adat istiadat yang masih dipegang teguh sebagai jiwa
sesuatumasyarakat dan mampu menciptakan kesejahteraan dalammasyarakat tersebut,
tidak perlu diubah secara radikal sebabsesuatu yang tidak sesuai akan berubah
sendiri karena
55pengaruh lingkungan atau zaman;d)
Dalam adat di Tanah Karo, hak dan kewajiban, tugas dankedudukan
pria berbeda dengan wanita, bukan berarti kaumwanita lebih rendah dari kaum
pria sebab pada dasarnya jiwa dan tujuan perlakuan orang tua bagi anak
laki-laki danperempuan dalam masalah waris, yaitu:-
anak laki-laki sebagai ahli waris keluarga
(marga)
mewarisi harta benda yang menjadi tanda/lambangkeluarga,
terutama tanah dan benda-benda tidak bergerak lainnya;-
anak perempuan mendapat pembagian yang adil
untuk kepentingan sediri dan rumah tangganya kemudian;-
Kemajuan zaman, kebutuhan hidup, dan sifat-sifat bendaserta harta
pusaka sekarang, pada waktu yang akan datang,dan pada masa yang lampau sangat
jauh berbeda sehinggaharus ada penyesuaian pengertian tentang hal tersebut;-
Anggapan, bahwa anak perempuan secara mutlak tidak berhak
atas warisan orang tuanya, dewasa ini tidak sesuailagi sehingga dianggap perlu penyesuaian;-
Anggapan, bahwa hak waris anak laki-laki sama denganhak waris
anak perempuan juga tidak sesuai dengan jiwadan tujuan adat di Tanah Karo,
sehingga tidak baik untuk dipaksakan karena dapat merusak adat dan
kebudayaandaerah tersebut.
C. Sistem Kekeluargaan Matrilineal
1. Hukum Waris Adat Matrilineal
Menguraikan sistem hukum adat waris dalam suatu
masyarakattertentu, kiranya tidak dapat terlepas dari sistem kekeluargaan
yangterdapat dalam masyarakat yang bersangkutan. Demikian pula
56halnya dengan sistem hukum adat waris dalam masyarakat
matrilinealMinangkabau, ini berkaitan erat dengan sistem kekeluargaan
yangmenarik garis keturunan dari pihak ibu.Hukum waris menurut hukum adat
Minangkabau senantiasamerupakan masalah yang aktual dalam berbagai pembahasan.
Hal itumungkin disebabkan karena kekhasan dan keunikannya biladibandingkan
dengan sistem hukum adat waris dari daerah-daerahlain di Indonesia ini. Seperti
telah dikemukakan, bahwa sistemkekeluargaan di Minangkabau adalah sistem
menarik garis keturunandari pihak ibu yang dihitung menurut garis ibu, yakni
saudara laki-laki dan saudara perempuan, nenek beserta saudara-saudaranya,
baik laki-laki maupun perempuan.Dengan sistem tersebut, maka semua
anak-anak hanya dapatmenjadi ahli waris dari ibunya sendiri, baik untuk
harta pusakatinggi
yaitu harta yang turun temurun dari beberapa generasi,maupun
harta pusaka rendah
yaitu harta yang turun dari satugenerasi. Misalnya harta
pencaharian yang diperoleh dengan melaluipembelian atau
taruko
, akan jatuh kepada jurainya sebagai
harta pusaka rendah
jika pemilik harta pencaharian itu meninggal dunia.Jika yang
meninggal dunia itu seorang laki-laki, maka anak-anaknyaserta jandanya tidak
menjadi ahli waris untuk harta pusaka tinggi,sedang
yang
menjadi ahli warisnya adalah seluruh kemenakannya.Masyarakat
Minangkabau menurut adatnya melaksanakan hukumwaris kemenakan, sedangkan agama
yang dipeluk oleh masyarakatmemiliki pula hukum waris melalui anak pada umum
yaitu
faraidh.
Akan tetapi hukum waris kemenakan di Minangkabau
tidak melanggar hukum
faraidh
sebab di dalam masyarakat Minangkabautidak terdapat
gezin
dalam satu kesatuan unit yang terdiri atas ayah,ibu, dan
anak-anak, melainkan hanya dikenal kaum yaitu kesatuanunit yang lebih besar
dari
gezin
. Di daerah Minangkabau padaumumnya sebagian besar masyarakat
masih berkaum, berkeluarga,
57berkampung, dan bersuku. Sedangkan
gezin
, famili itu relatif sedikitsebab meskipun ada
gezin
, si ayah tetap menjadi anggota kaumnya.Demikian pula si ibu
masih tetap menjadi anggota keluarganya,sehingga dalam masyarakat Minangkabau
kita tidak dapatmenemukan anak yatim-piatu atau juga orang jompo yang
tidak punya usaha atau pencaharian sebab sistem kekeluargaan itulahyang
membentuk demikian.Dasar hukum waris kemenakan di Minangkabau bermula
daripepatah adat Minangkabau, yaitu pusaka itu dari nenek turun kemamak, dari
mamak turun ke kemenakan. Pusaka yang turun itubisa mengenai gelar pusaka
ataupun mengenai harta pusaka, misalnyagelar Datuk Sati. Apabila ia meninggal
dunia, gelar tersebut akanturun kepada kemenakannya, yaitu anak dari saudara
perempuandan tidak sah jika gelar itu dipakai oleh anaknya sendiri.
2. Harta warisan dalam hukum Adat waris Minangkabau
Harta kaum dalam masyarakat Minangkabau yang akandiwariskan kepada
ahli warisnya yang berhak terdiri atas:
a)
Harta pusaka tinggi
Yaitu harta yang turun-temurun dari beberapa generasi, baik yang berupa
tembilang basi
yakni harta tua yang diwarisi turuntemurun dari mamak kepada
kemenakan, maupun
tembilang perak
,yakni harta yang diperoleh dari hasil harta tua, kedua jenis
hartapusaka tinggi ini menurut hukum adat akan jatuh kepada kemenakandan tidak
boleh diwariskan kepada anak.
b)
Harta pusaka rendah
Yaitu harta yang turun dari satu generasi.
c)
Harta Pencaharian
Yaitu harta yang diperoleh dengan melalui pembelian atau
taruko.
Harta pencaharian ini bila pemiliknya meninggal dunia
akan
58 jatuh kepada
jurainya
sebagai
harta pusaka rendah
. Untuk hartapencaharian ini sejak tahun 1952 ninik-mamak dan alim
ulama telahsepakat agar harta warisan ini diwariskan kepada anaknya. Perihal
inimasih ada pendapat lain, yaitu "bahwa harta pencaharian harusdiwariskan
paling banyak
(sepertiga) dari harta pencaharian untuk kemenakan".
47
d)
Harta Suarang
Sebutan untuk
harta suarang
ini ada beberapa, di antaranya:
Harta Pasuarangan
,
Harta Basarikatan
, Harta Kaduo-duo, atau
Harta Salamo Baturutan
, yaitu seluruh harta benda yangdiperoleh secara bersama-sama
oleh suami-isteri selama masaperkawinan. Tidak termasuk ke dalam harta suarang
ini, yakni hartabawaan suami atau harta tepatan isteri yang telah ada
sebelumperkawinan berlangsung. Dengan demikian jelaslah bahwa hartapencaharian
berbeda dengan
harta suarang
.
3. Ahli waris dan hak mewaris menurut adat Minangkabau
Sebagaimana diketahui, bahwa “kaum” dalam masyarakatMinangkabau
merupakan persekutuan hukum adat yang mempunyaidaerah tertentu yang dinamakan
“tanah ulayat”.
Kaum serta anggotakaum diwakili ke luar oleh seorang
“mamak kepala waris”.
Anggotakaum yang menjadi
mamak kepala waris
lazimnya adalah saudaralaki-laki yang tertua dari ibu,
mamak kepala waris
harus yang cerdasdan pintar. Akan tetapi kekuasaan tertinggi di
dalam kaum terletak pada rapat kaum, bukan pada
mamak kepala waris
. Anggota kaumterdiri atas kemenakan dan kemenakan ini adalah
ahli waris. Menuruthukum adat Minangkabau ahli waris dapat dibedakan antara:
47
H. Mansur Dt. Nagari Basa,
Hukum Waris Tanah dan Peradilan Agama, Menggali Hukum
Tanah dan Hukum Waris Minangkabau.
Padang: Sri Dharma,1968, h.137.
59
a)
Waris bertali darah
Yaitu ahli waris kandung atau ahli waris sedarah yangterdiri atas
waris satampok
(waris setampuk),
waris sejangka
(waris sejengkal), dan
waris saheto
(waris sehasta). Masing-masing ahli waris yang termasuk waris
bertali darah inimewaris secara bergiliran. Artinya, selama waris bertalidarah
setampuk masih ada, maka waris bertali darahsejengkal belum berhak mewaris.
Demikian pula ahli warisseterusnya selama waris sejengkal masih ada, maka warissehasta
belum berhak mewaris.
b)
Waris bertali adat
Yaitu waris yang sesama ibu asalnya yang berhak memperoleh
hak warisnya bila tidak ada sama sekali warisbertali darah. Setiap nagari di
Minangkabau mempunyainama dan pengertian tersendiri untuk waris bertali
adat,sehingga waris bertali adat ini dibedakan sebagai berikut :- menurut
caranya menjadi waris:
waris batali ameh
,
warisbatali suto
,
waris batali budi
,
waris tambilang basi
,
waris tembilang perak
.- menurut jauh dekatnya terdiri atas:
waris di bawahdaguek,
waris didado
, waris di bawah pusat, waris dibawah lutut.- menurut datangnya,
yaitu : waris orang datang, waris airtawar,
waris mahindu
.Sedangkan hak mewaris dari masing-masing ahli waris
yangdisebutkan di atas satu sama lain berbeda-beda tergantung pada jenisharta
peninggalan yang akan ia warisi dan hak mewarisinya diaturmenurut urutan
prioritasnya. Hal tersebut akan dapat terlihat dalampaparan di bawah ini.
60
(1)
Mengenai harta pusaka tinggi
Apabila harta peninggalan itu menyangkut harta pusaka tinggi,cara
pembagiannya berlaku sistem kewarisan kolektif, yaituseluruh harta pusaka
tinggi diwarisi oleh sekumpulan ahliwaris dan tidak diperkenankan dibagi-bagi
pemilikannya dandimungkinkan dilakukan
“ganggam bauntuek".
Walaupun tidak boleh dibagi-bagi, pemilikannya di antara
para ahli waris, hartapusaka tinggi dapat diberikan sebagian kepada seorang
anggotakaum oleh mamak kepala waris untuk selanjutnya dijual ataudigadaikan
guna keperluan modal berdagang atau merantau, asalsaja dengan sepengetahuan dan
seizin seluruh ahli waris. Disamping itu harta pusaka tinggi dapat dijual atau
digadaikan,guna keperluan:- untuk membayar hutang kehormatan;- untuk membayar
ongkos memperbaiki bandar sawahkepunyaan kaum;- untuk membayar hutang darah;-
untuk menutupi kerugian bila ada kecelakaan kapal di pantai;- untuk ongkos naik
haji ke Mekkah;- untuk membayar hutang yang dibuat oleh kaum
secarabersama-sama.
(2)
Mengenai harta pusaka rendah
Semula harta pusaka rendah adalah harta pencaharian.
Hartapencaharian mungkin milik seorang laki-laki atau mungkin juga milik
seorang perempuan. Pada mulanya harta pencaharianseseorang diwarisi oleh
jurai
atau setidak-tidaknya kaummasing-masing. Akan tetapi dalam
perkembangan berikutnyakarena hubungan seorang ayah dengan anaknya
bertambaherat dan juga sebagai pengaruh agama Islam, maka seorangayah dengan
harta pencahariannya dapat membuatkan sebuah
61rumah untuk anak-anaknya atau menanami tanah
pusakaisterinya dengan tanaman keras, misalnya pohon kelapa, pohondurian, pohon
cengkeh, dan lain-lain. Hal ini dimaksudkan untuk membekali isteri dan
anak-anak manakala ayah telah meninggaldunia.
(3)
Mengenai harta suarang Harta suarang
berbeda sama sekali dengan harta pencahariansebab
harta suarang
adalah seluruh harta yang diperoleh suami-isteri secara
bersama-sama selama dalam perkawinan. Kriteriauntuk menentukan adanya kerja
sama dalam memperoleh
hartasuarang
, dibedakan dalam dua periode, yaitu dahulu ketikasuami masih
merupakan anggota keluarganya, ia berusahabukan untuk anak-isterinya melainkan
untuk orang tua dan parakemenakannya, sehingga ketika itu sedikit
sekalikemungkinannya terbentuk
harta suarang
sebab yang mengurusdan membiayai anak-anak dan isterinya adalah
saudara ataumamak isterinya. Sedangkan pada dewasa ini adanya kerja samayang
nyata antara suami-isteri untuk memperoleh harta suarangsudah jelas nampak,
terutama masyarakat Minangkabau yangtelah merantau jauh ke luar tanah asalnya,
telah menunjukkanperkembangan ke arah pembentukan hidup keluarga
(somah),
yaitu antara suami, isteri dan anak-anak merupakan satu
kesatuandalam ikatan yang kompak. Dalam hal demikian suami telahbekerja dan
berusaha untuk kepentingan isteri dan anak-anaknya,sehingga dalam kondisi yang
demikian keluarga tadi akanmengumpulkan harta sendiri yang merupakan harta
keluargayang disebut harta suarang.
Harta suarang
dapat dibagi-bagiapabila perkawinan bubar, baik bercerai hidup
atau salahseorang meninggal dunia.
Harta suarang
dibagi-bagi setelahhutang suami-isteri dilunasi terlebih dahulu.
Ketentuanpembagiannya sebagai berikut:
62(a)
bila suami-isteri bercerai dan tidak mempunyai anak, hartasuarang
dibagi dua antara bekas suami dan bekas isteri;(b)
bila salah seorang meninggal dunia dan tidak mempunyaianak, maka
sebagai berikut:-
jika yang meninggal suami, harta suarang dibagidua, separoh
merupakan bagian
jurai
si suami danseparoh lagi merupakan bagian janda;-
Jika yang meninggal isteri,
harta suarang
dibagi dua,sebagian untuk
jurai
suami dan sebagian lagi untuk duda.(c)
Apabila suami-isteri bercerai hidup dan mempunyai anak,
harta suarang
dibagi dua antara bekas suami dan bekasisteri, anak-anak akan
menikmati bagian ibunya;(d)
Apabila salah seorang meninggal dunia dan mempunyaianak, bagian
masing-masing sebagai berikut:-
jika yang meninggal suami,
harta suarang
dibagi duaantara
jurai
suami dengan janda beserta anak;-
jika yang meninggal isteri,
harta suarang
seperduauntuk suami dan seperdua lagi untuk anak sebagai
hartapusaka sendiri dari bagian ibunya.Berkaitan dengan pembahasan
harta suarang
, di bawah ini akanditunjukkan beberapa putusan pengadilan
mengenai
harta suarang
sebagai bukti, bahwa antara suami-isteri orang Minangkabau
dalamperkembangan selanjutnya telah terjalin kerja sama dalam satukesatuan unit
yang disebut
somah
(gezin),
sehingga terbentuk hartakeluarga.(i)
Putusan
Landraad
Talu tanggal 23 Januari 1937 No.5tahun 1937 yang dikuatkan oleh
Raad van Justitie
Padang tanggal 13Mei 1937 (T.148/508) menentukan bangunan yang
didirikan atautanaman yang ditanami di atas tanah harta kaum isteri bukanlah
hartasuarang;(ii)
Putusan
Landraad
Payakumbuh tanggal 13 Juni 1938 No.
63perdata 11 tahun 1938, yang dikuatkan oleh
Raad van Justitie
Padangtahun 1938 mengatakan: Bila suami meninggalkan beberapa
orang janda, maka pembagian
harta suarang
menjadi pusaka rendah
jurai
sisuami dan separoh lagi merupakan bagian para janda yang
masihhidup;(iii)
Putusan Pengadilan Bukittinggi No. 46/1953 tanggal 26Setember
1953 yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan tanggal13 Maret 1956 Nomor
23/1954, yang menetapkan, bahwa hartasuarang bertanggung jawab atas hutang
suami. Kemudian adanyarumah di atas tanah kaum tidak dengan sendirinya
membuktikan,bahwa rumah itu kepunyaan kaum, mungkin saja rumah itu
kepunyaansuami isteri bersama sebagai
harta suarang
.
4. Kesimpulan hasil penelitian LPHN tahun 1971
Berkaitan dengan berbagai persoalan yang menyangkut hukumadat
waris di daerah Minangkabau, pada tahun 1971 LembagaPembinaan Hukum Nasional
(sekarang Badan Pembinaan HukumNasional atau Babinkumnas) pernah mengadakan
kerjasama denganFakultas Hukum Universitas Andalas Padang dengan hasil
sebagaiberikut:a)
Harta pusaka diwariskan kepada kemenakan, sedangkanharta yang
diperoleh di luar harta pusaka itu bolehdiwariskan kepada anak-anaknya;b)
Harta pencaharian diwariskan kepada anak-anaknya dengantidak
dipersoalkan apakah dibagi dengan sistem
faraidh
atautidak, yang penting, bahwa harta pencaharian itudiperuntukkan
guna kepentingan anak-anak;c)
Apabila pihak isteri dari yang meninggal dunia menguasaiharta pusaka
dan ia enggan untuk mengembalikan hartatersebut kepada kaum suaminya dan
malahan dikatakansebagai harta pencaharian, atau telah dihibahkan kepada
64anak-anaknya tanpa sepengetahuan ahli warisnya(kemenakan)
suaminya, dalam hal demikian KerapatanNagari yang diberi wewenang memutus
secara perdamaian;d)
Harta pencaharian tidak diharuskan seluruhnya jatuh
kepadaanak-anaknya, melainkan harus pula jatuh kepadakemenakannya sebab mamak
laki-laki itu tadi dibesarkan,dididik, dan bahkan dikawinkan oleh kaumnya,
sudahsewajarya jika kemenakan juga memperoleh bagian dariharta pencaharian;e)
Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsipil antara
hartapusaka dengan harta pencaharian sebab kedua-duanyamerupakan hasil jerih
payah yang diperuntukkan bagikesejahteraan anak-anak dan kemenakan untuk
memenuhipepatah adat
"anak dipangku, kemenakan dibimbing"
,sehingga anak-anak yang termasuk suku ibunya dankemenakan yang
termasuk suku mamaknya, keduanya harus
dipangku
dalam arti dibesarkan, dididik, dandipertanggungjawabkan, baik
fisik maupun rokhaninya.Demikian pula kemenakan yang termasuk kaum mamak harus
dibimbing,
artinya harus dipelihara sama dengan anak.Dengan demikian,
seorang ayah yang sekaligusberkedudukan selaku mamak bagi kemenakannya
harusmemelihara anak-anaknya dan juga kemenakannya.
D.
Sistem Kekeluargaan Parental atau Bilateral
1. Hukum Waris Adat parental atau Bilateral
Paparan terdahulu telah mengemukakan perihal prinsip-prinsiphukum
adat waris yang dikenal di dalam dua kelompok masyarakatyang mempunyai sistem
kekeluargaan yang satu sama lain berbeda.Di satu pihak sistem kekeluargaan
dengan menarik garis keturunan
65pihak ayah atau dikenal dengan sebutan sistem patrilineal
dan di lainpihak sistem kekeluargaan dengan menarik garis keturunan pihak ibuatau
matrilineal. Di bawah ini selanjutnya akan dipaparkan sistemhukum adat waris
yang terdapat dalam masyarakat yang menganutsistem kekeluargan dengan menarik
garis keturunan dari kedua belahpihak orang tua, yaitu baik dari garis bapak
maupun dari garis ibuyang dikenal dengan sebutan sistem parental atau
bilateral. Sistemparental ini di Indonesia dianut di banyak daerah, seperti:
Jawa,Madura, Sumatera Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruhKalimantan,
seluruh Sulawesi, Ternate, dan Lombok.Berbeda dengan dua sistem kekeluargaan
sebelumnya yaitusistem patrilineal dan sistem matrilineal, sistem kekeluargaan
parentalatau bilateral ini memiliki ciri khas tersendiri pula, yaitu bahwa
yangmerupakan ahli waris adalah anak laki-laki maupun anak perempuan.Mereka mempunyai
hak yang sama atas harta peninggalan orangtuanya sehingga dalam proses
pengalihan/pengoperan sejumlah hartakekayaan dari pewaris kepada ahli waris,
anak laki-laki dan anak perempuan mempunyai hak untuk diperlakukan
sama.Sudah banyak literatur hukum yang membahas dan memaparkantentang sistem
kekeluargaan yang terdapat di Indonesia. Tiga bentuk sistem kekeluargaan
yang sangat menonjol senantiasa merupakancontoh pembahasan. Hal tersebut
mungkin didasarkan padapertimbangan, bahwa di antara ketiga sistem kekeluargaan
ituperbedaannya sangat prinsipil karena seolah-olah sistem patrilinealmerupakan
kebalikan dari sistem matrilineal. Kemudian kedua sistemtersebut dirangkum oleh
satu sistem yang mengambil unsur dari keduasistem tersebut, yaitu sistem parental
atau bilateral. Dari sekian banyak daerah yang menganut sistem parental di
Indonesia ini, satu diantaranya akan dijadikan bahan paparan di bawah ini,
yaitu sistemparental di Jawa khususnya di Jawa Barat.
66
2. Harta warisan menurut hukum adat waris parental
Harta warisan, yaitu sejumlah harta kekayaan yang
ditinggalkanoleh seseorang yang meninggal dunia yang terdiri atas:a)
Harta asal;b)
Harta bersama.a)
Harta asal
Harta asal adalah kekayaan yang dimiliki oleh seseorang
yangdiperoleh sebelum maupun selama perkawinan dengan cara pewarisan,hibah,
hadiah, turun-temurun. Harta asal dikenal dengan berbagaisebutan. yaitu:
harta babawa
(Leuwiliang, Jasinga, Cianjur, Bekasi),
barang sampakan
(Cianjur, Bandung, Leuwiliang, Cisarua, Depok,Cileungsi, Citeureup,
Banjar, Ciamis, Saruni Kecamatan Pandeglang),
harta bawaan
(Ratu Jaya, Pondok Terong, Bandung, KarawangWetan),
warisan
(Cianjur, Kecamatan Teluk Jambe, Karawang
),barang pokok
(Kecamatan Telagasari, Batujaya, Cilamaya, KecamatanKarawang
Kabupaten Karawang),
babawaan
(Pelawad KecamatanKarawang),
raja kaya, tuturunan
(Kecamatan Teluk JambeKarawang),
harta sulur
(Saruni, Pandeglang, Kebayan, Pagerbatu,Raraton, Cilaja Kecamatan
Pandeglang),
harta pusaka/harta tuturunan
(Cianjur, Wanagiri, Pasireurih Kecamatan Saketi
Pandeglang,Kecamatan Menes, Kecamaan Pagelaran, Kecamatan Labuan,Kabupaten
Pandeglang).Harta asal dapat berubah wujud (misalnya dari sebidangtanah menjadi
rumah). Perubahan wujud ini tidak menghilangkanharta asal. Apabila sebidang
tanah sebagai harta asal dijual dankemudian dibelikan rumah. Rumah yang dibeli
dari uang hasilpenjualan harta asal akan tetap sebagai harta asal, yaitu rumah.
67b)
Harta bersama
Harta bersama, atau
gono-gini
(Leuwiliang, Depok, Banjar,Cikoneng, Pandeglang),
kaya
reujeung
(Cisarua. Leuwiliang Bandung,Kecamatan Pandeglang), Cijakan,
Kadupandak (Kecamatan Bojong,Pandeg1ang), Wanagiri (Kecamatan Saketi,
Pandeglang, Menes,Kecamatan Labuan-Pandeglang),
tepung kaya
(Cileungsi KecamatanTelukjambe-Karawang, Pandeglang),
campur kaya
(Bandung, Cianjur,Pandeglang),
raja kaya
(Bandung),
sekaya (pekaya
),
paoman
(Lemahabang, Lohbener, Kepandean, Karanganyar
Kecamatanlndramayu, Larangan, Legok, Sindangkerta Kecamatan Lohbener,Cilamaya,
Muara, Tegalwaru - Karawang),
bareng sakaya
(KecamatanKertasemaya, Kecamatan Jatibarang, Kecamatan
JuntinyuatIndramayu),
saguna sakaya,
(Telukbuyung, Batujaya Karawang)
bareng molah
: Singaraja (Kecamatan Indramayu),
barang kakayaan
(Kecamatan Juntinyuat Indramayu). Di Kecamatan
Telukjambe(Kabupaten Karawang) terdapat istilah
tumpang kaya
untuk hartabersama ini. Istilah tumpang kaya ini terdapat dalam
bentuk perkawinan
nyalindung ka gelung
dan
manggih kaya.
3. Ahli waris dalam hukum adat waris parental
a)
Sedarah dan Tidak Sedarah
Ahli waris adalah ahli waris sedarah dan yang tidak sedarah.Ahli
waris yang
sedarah terdiri atas anak kandung, orang tua,saudara, dan cucu.
Ahli waris yang tidak sedarah, yaitu anak angkat, janda/duda. Di daerah
Cianjur, seorang anak angkat adalah ahli waris,apabila pengangkatannya disahkan
oleh pengadilan negeri.Jenjang atau urutan ahli waris adalah: Pertama,
anak/anakanak.Kedua, orang tua apabila tidak ada anak, dan Ketiga,
saudara/saudarakalau tidak ada orang tua. Akan tetapi dari penelitian setempat
tidak diperoleh keterangan apakah adanya satu kelompok ahli waris
akanmenutup hak ahli waris yang lain.
68
b)
Kepunahan atau nunggul pinang
Ada kemungkinan seorang pewaris tidak mempunyai ahliwaris
(punah)
atau lazim disebut
nunggul pinang
. Menurut ketentuanyang berlaku di daerah Kabupaten Bandung,
Banjar, Ciamis, Kawali,Cikoneng, Karawang Wetan, Indramayu, Pandeglang, apabila
terjadi
nunggul pinang
, barang atau harta peninggalan akan diserahkankepada desa.
Selanjutnya desalah yang akan menentukan pemanfaatanatau pembagian harta
kekayaan tersebut. Di Pandeglang kalau pewarismati punah, harta warisan jatuh
kepada desa atau mungkin juga pada
baitulmaal,
masjid atau wakaf. Di daerah Kabupaten Cianjur,kekayaan seorang
yang meninggal tanpa ahli waris, selain diserahkankepada desa, mungkin
diserahkan kepada
baitulmaal
atau kepadaorang tidak mampu.
Di Kecamatan Kawali, selain diserahkan ke desadapat juga
diserahkan kepada
yayasan sosial.
Pengadilan Negeri Indramayu yang dikukuhkan oleh PengadilanTinggi
Jawa barat di Bandung, memutuskan:“Apabila seseorang tidak mempunyai anak
kandung, makakeponakan-keponakannya berhak mewarisi harta peninggalannya
yangmerupakan barang asal atau barang yang diperolehnya sebagai warisanorang
tuanya”. (PN. Indramayu tanggal 28 Agustus 1969,No.36/1969/Pdt., PT. Jabar di
Bandung tanggal 23 Januari 1971,Nomor 507/ 1969/Perd/PTB”.
48
4. Anak angkat dan Perkawinan poligami dalam hukumadat parental
a)
Anak angkat
Pengadilan Negeri Indramayu dan Pengadilan Tinggi JawaBarat di
Bandung pernah memutuskan, bahwa:
48
Yurisprudensi Jawa Barat
(1969-1972) Buku I-Hukum Perdata, LPHKFH-UNPAD;Bandung, 1974, h.
36,37.
B. Sistem Kekeluargaan Patrilineal
1.
Hukum Waris Adat Patrilineal
“Dalam
masyarakat tertib Patrilineal seperti halnya dalam masyarakat Batak Karo,
hanyalah anak laki-laki yang menjadi ahli waris, karena anak perempuan di luar
dari golongan patrilinealnya semula, sesudah mereka itu kawin”. Selanjutnya
secara terperinci perihal hukum adat waris patrilineal dalam masyarakat Batak
Karo ini, diuraikan oleh Djaja S. Meliala,
dan Aswin Peranginangin, dalam bukunya “Hukum Perdata Adat Karo
dalam rangka Pembentukan Hukum Nasional”.Terdapat beberapa alasan atau
argumentasi yang melanda sisistem hukum adat waris masyarakat patrilineal,
sehingga keturunan laki-laki saja yang berhak mewarisi harta peninggalan
pewaris yang meninggal dunia, sedangkan anak perempuan sama sekali
tidak mewaris. Hal ini didasarkan pada anggapan kuno yang “memandang
rendah kedudukan wanita dalam masyarakat Karo khususnya, dan dalam masyarakat
Batak pada umumnya”. Titik tolak anggapan tersebut, yaitu :
a. Emas kawin (tukur ), yang
membuktikan bahwaperempuan dijual;
b.
Adat lakoman (levirat) yang membuktikan bahwa perempuan
diwarisi oleh saudara dari suaminya yang telah meninggal;
c.
Perempuan tidak mendapat warisan;
d. Perkataan “naki-naki”menunjukkan
bahwa perempuan adalah makhluk tipuan, dan lain-lain. Akan tetapi ternyata
pendapat yang dikemukakan di atas hanya menunjukkan ketidaktahuan dan sama
sekali dangkal sebab terbukti dalam cerita dan dalam kesusasteraan klasik Karo
kaum wanita tidak kalah peranannya dibandingkan dengan kaum laki-laki.
Meskipun
demikian, kenyataan bahwa anak laki-laki merupakan ahli waris pada masyarakat
Karo, dipengaruhi pula oleh beberapa faktor sebagai berikut:
(1).
Silsilah keluarga didasarkan pada anak laki-laki. Anak perempuan tidak dapat
melanjutkan silsilah (keturunan keluarga);
(2).
Dalam rumah-tangga, isteri bukan kepala keluarga. Anak-anak memakai nama keluarga(marga) ayah. Istri
digolongkan ke dalam keluarga(marga)suaminya;
(3).
Dalam adat, wanita tidak dapat mewakili orang tua (ayahnya) sebab ia masuk anggota keluarga suaminya;
(4). Dalam adat, kalimbubu (laki-laki) dianggap
anggota keluarga sebagai orang tua (ibu);
(5). Apabila
terjadi perceraian, suami-isteri, maka pemeliharaan anak-anak menjadi tanggung
jawab ayahnya. Anak laki-laki kelak merupakan ahli waris dari ayahnya baik
dalam adat maupun harta-benda.
2. Pewaris, ahliwaris, dan pembagian harta pusaka
Dalam
sistem hukum adat waris di Tanah Karo, pewaris adalah seorang yang meninggal
dunia dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, baik harta itu diperoleh
selama dalam perkawinan maupun harta pusaka, karena di dalam hukum adat
perkawinan suku Karo yang memakai marga itu berlaku keturunan patrilineal maka
orang tua merupakan pewaris bagi anak-anaknya yang laki-laki dan hanya
anak laki-laki yang merupakan ahli waris dari orang tuannya. Akan
tetapianak laki-laki tidak dapat membantah pemberian kepada
anak perempuan, demikian juga sebaliknya. Hal tersebut didasarkan
padaprinsip bahwa orang tua (pewaris) bebas menentukan untuk membagi-bagi harta
benda kepada anak-anaknya berdasarkan kebijaksanaan orang tua yang tidak
membedakan kasih sayangnya kepada anak-anaknya.
Ahli
waris atau para ahli waris dalam sistem hukum adat waris di Tanah Patrilineal,
terdiri atas:
a. Anak laki-laki
Yaitu semua anak laki-laki yang sah yang berhak mewarisi
seluruh harta kekayaan. baik harta pencaharian maupun hartapusaka. Jumlah harta
kekayaan pewaris dibagi sama di antarapara ahli waris. Misalnya pewaris
mempunyai tiga oranganak laki-laki, maka masing-masing anak laki-laki akan mendapat bagian dari seluruh harta
kekayaan termasuk harta pusaka. Apabila pewaris tidak mempunyai anak
laki-laki, yang ada hanya anak perempuan dan isteri, maka hartapusaka tetap
dapat dipakai, baik oleh anak-anak perempuan maupun oleh isteri seumur
hidupnya, setelah itu harta pusaka kembali kepada asalnya atau kembali kepada
"pengulihen".
b. Anak angkat. Dalam masyarakat Karo,
anak angkat merupakan ahli waris
yang kedudukannya sama seperti
halnya anak sah, namun anak angkat ini hanya menjadi ahli waris terhadap harta
pencaharian/harta bersama orang tua angkatnya. Sedangkan untuk harta pusaka,
anak angkat tidak berhak.
c. Ayah dan Ibu serta saudara-saudara
sekandung sipewaris. Apabila anak laki-laki yang sah maupun anak angkat
tidak ada, maka yang menjadi ahli waris adalah ayah dan ibu serta
saudara-saudara kandung si pewaris yangmewaris bersama-sama.
d.
Keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu.Apabila
anak laki-laki yang sah, anak angkat, maupun saudara-saudara sekandung pewaris
dan ayah-ibu pewaris tidak ada, maka yang tampil sebagai ahli waris adalah
keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu.
e. Persekutuan adat. Apabila para ahli
waris yang disebutkan di atas sama sekalitidak ada, maka harta warisan jatuh
kepada persekutuan adat.
Ketentuan
hukum adat waris di Tanah Karo menentukan, bahwa hanya keturunan laki-laki yang
berhak untuk mewarisi harta pusaka.Yang dimaksud dengan harta pusaka atau
barang adat yaitu barang-barang adat yang tidak bergerak dan juga hewan atau
pakaian-pakaian yang harganya mahal. Barang adat atau harta pusaka ini adalah
barang kepunyaan marga atau berhubungan dengan kuasa kesain,yaitu
"bagian dari kampung secara fisik". Barang-barang adat meliputi:
tanah kering (ladang), hutan, dan kebun milik kesain. Rumah atau
jabu mempunyai potongan rumah adat, jambur atau sapo tempat
menyimpan padi dari beberapa keluarga dan juga bahan-bahan untuk pembangunan,
seperti ijuk, bambu, kayu, dan sebagainya yang dihasilkan hutan marga atau
kesain.
C. Sistem Kekeluargaan Matrilineal
1.
Hukum Waris Adat Matrilineal
Menguraikan
sistem hukum adat waris dalam suatu masyarakat tertentu, kiranya tidak dapat
terlepas dari sistem kekeluargaan yangterdapat dalam masyarakat yang
bersangkutan. Demikian pula halnya dengan sistem hukum adat waris dalam
masyarakat matrilineal Minangkabau, ini berkaitan erat dengan sistem
kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari pihak ibu.
Hukum
waris menurut hukum adat Minangkabau senantiasa merupakan masalah yang aktual
dalam berbagai pembahasan. Hal itu mungkin disebabkan karena kekhasan dan
keunikannya bila dibandingkan dengan sistem hukum adat waris dari daerah-daerah
lain di Indonesia ini. Seperti telah dikemukakan, bahwa system kekeluargaan di
Minangkabau adalah sistem menarik garis keturunan dari pihak ibu yang dihitung
menurut garis ibu, yakni saudara laki-laki dan saudara perempuan, nenek beserta
saudara-saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan.
Dengan
sistem tersebut, maka semua anak-anak hanya dapat menjadi ahli waris dari
ibunya sendiri, baik untuk harta pusaka tinggi yaitu harta yang turun
temurun dari beberapa generasi, maupun harta pusaka rendah yaitu harta yang
turun dari satu generasi. Misalnya harta pencaharian yang diperoleh dengan
melalui pembelian atau taruko, akan jatuh kepada jurainya sebagai
harta pusaka rendah jika pemilik harta pencaharian itu meninggal dunia.
Jika yang meninggal dunia itu seorang laki-laki, maka anak-anaknya serta
jandanya tidak menjadi ahli waris untuk harta pusaka tinggi, sedang yang menjadi ahli warisnya adalah
seluruh kemenakannya. Masyarakat Minangkabau menurut adatnya melaksanakan hukum
waris kemenakan, sedangkan agama yang dipeluk oleh masyarakat memiliki pula
hukum waris melalui anak pada umum yaitu faraidh. Akan tetapi hukum
waris kemenakan di Minangkabau tidak melanggar hukum faraidh sebab di
dalam masyarakat Minangkabau tidak terdapat gezin
dalam satu
kesatuan unit yang terdiri atas ayah,ibu, dan anak-anak, melainkan hanya
dikenal kaum yaitu kesatuan unit yang lebih besar dari gezin. Di daerah
Minangkabau pada umumnya sebagian besar masyarakat masih berkaum, berkeluarga,
berkampung, dan bersuku. Sedangkan gezin, famili itu relatif sedikit sebab
meskipun ada gezin, si ayah tetap menjadi anggota kaumnya. Demikian pula si ibu
masih tetap menjadi anggota keluarganya, sehingga dalam masyarakat Minangkabau
kita tidak dapat menemukan anak yatim-piatu atau juga orang jompo yang
tidak punya usaha atau pencaharian sebab sistem kekeluargaan itulah yang
membentuk demikian.
Dasar
hukum waris kemenakan di Minangkabau bermula daripepatah adat Minangkabau,
yaitu pusaka itu dari nenek turun kemamak, dari mamak turun ke kemenakan. Pusaka
yang turun itu bisa mengenai gelar pusaka ataupun mengenai harta pusaka,
misalnya gelar Datuk Sati. Apabila ia meninggal dunia, gelar tersebut akan
turun kepada kemenakannya, yaitu anak dari saudara perempuan dan tidak sah jika
gelar itu dipakai oleh anaknya sendiri.
2.
Harta warisan dalam hukum Adat waris
Minangkabau
Harta
kaum dalam masyarakat Minangkabau yang akan diwariskan kepada ahli warisnya
yang berhak terdiri atas:
a. Harta pusaka tinggi
Yaitu
harta yang turun-temurun dari beberapa generasi, baik yang berupa tembilang basi yakni harta tua
yang diwarisi turun temurun dari mamak kepada kemenakan, maupun tembilang
perak , yakni harta yang diperoleh dari hasil harta tua, kedua jenis harta
pusaka tinggi ini menurut hukum adat akan jatuh kepada kemenakan dan tidak
boleh diwariskan kepada anak.
b. Harta pusaka rendah
Yaitu
harta yang turun dari satu generasi.
c. Harta Pencaharian
Yaitu
harta yang diperoleh dengan melalui pembelian atau taruko. Harta pencaharian
ini bila pemiliknya meninggal dunia akan jatuh kepada jurainya
sebagai harta pusaka rendah. Untuk harta pencaharian ini sejak tahun 1952
ninik-mamak dan alim ulama telah sepakat agar harta warisan ini diwariskan
kepada anaknya. Perihal ini masih ada pendapat lain, yaitu "bahwa harta pencaharian
harus diwariskan paling banyak (sepertiga) dari harta pencaharian
untuk kemenakan".
d. Harta Suarang
Sebutan
untuk harta suarang ini ada beberapa, di antaranya: Harta Pasuarangan
, Harta Basarikatan, Harta Kaduo-duo, atau Harta Salamo Baturutan,
yaitu seluruh harta benda yang diperoleh secara bersama-sama oleh suami-isteri
selama masa perkawinan. Tidak termasuk ke dalam harta suarang ini, yakni harta
bawaan suami atau harta tepatan isteri yang telah ada sebelum perkawinan
berlangsung. Dengan demikian jelaslah bahwa harta pencaharian berbeda dengan
harta suarang.
3.
Ahli waris dan hak mewaris menurut
adat Minangkabau
Sebagaimana
diketahui, bahwa “kaum” dalam masyarakat Minangkabau merupakan persekutuan
hukum adat yang mempunyai daerah tertentu yang dinamakan“tanah ulayat”. Kaum
serta anggota kaum diwakili ke luar oleh seorang“mamak kepala waris”. Anggota
kaum yang menjadi mamak kepala waris
lazimnya
adalah saudara laki-laki yang tertua dari ibu,mamak kepala waris harus yang
cerdas dan pintar. Akan tetapi kekuasaan tertinggi di dalam kaum
terletak pada rapat kaum, bukan pada mamak kepala waris. Anggota kaum
terdiri atas kemenakan dan kemenakan ini adalah ahli waris. Menuruthukum adat
Minangkabau ahli waris dapat dibedakan antara:
a. Waris bertali darah
Yaitu
ahli waris kandung atau ahli waris sedarah yang terdiri atas waris
satampok (waris setampuk),
waris
sejangka (waris sejengkal), dan waris saheto (waris sehasta).
Masing-masing ahli waris yang termasuk waris bertali darah ini mewaris secara
bergiliran. Artinya, selama waris bertali darah setampuk masih ada, maka waris
bertali darah sejengkal belum berhak mewaris. Demikian pula ahli waris
seterusnya selama waris sejengkal masih ada, maka waris sehasta belum berhak
mewaris.
b. Waris bertali adat
Yaitu
waris yang sesama ibu asalnya yang berhak memperoleh hak warisnya bila
tidak ada sama sekali warisbertali darah. Setiap nagari di Minangkabau
mempunyai nama dan pengertian tersendiri untuk waris bertali adat, sehingga
waris bertali adat ini dibedakan sebagai berikut :
-
menurut caranya menjadi waris: waris batali ameh, warisbatali suto , waris
batali budi ,waris tambilang basi,waris tembilang perak .
-
menurut jauh dekatnya terdiri atas: waris
di bawah daguek, waris didado, waris di bawah pusat, waris dibawah lutut.
-
menurut datangnya, yaitu : waris orang datang, waris air tawar, waris mahindu .
Sedangkan
hak mewaris dari masing-masing ahli waris yang disebutkan di atas satu sama
lain berbeda-beda tergantung pada jenis harta peninggalan yang akan ia warisi
dan hak mewarisinya diatur menurut urutan prioritasnya. Hal tersebut akan dapat
terlihat dalam paparan di bawah ini:
(1) Mengenai
harta pusaka tinggi
Apabila
harta peninggalan itu menyangkut harta pusaka tinggi,cara pembagiannya berlaku
sistem kewarisan kolektif, yaitu seluruh harta pusaka tinggi diwarisi oleh
sekumpulan ahliwaris dan tidak diperkenankan dibagi-bagi pemilikannya dan
dimungkinkan dilakukan“ganggam bauntuek".
Walaupun
tidak boleh dibagi-bagi, pemilikannya di antara para ahli waris, harta
pusaka tinggi dapat diberikan sebagian kepada seorang anggota kaum oleh mamak
kepala waris untuk selanjutnya dijual atau digadaikan guna keperluan modal
berdagang atau merantau, asal saja dengan sepengetahuan dan seizin seluruh ahli
waris. Disamping itu harta pusaka tinggi dapat dijual atau digadaikan, guna
keperluan:
-
untuk membayar hutang kehormatan;
-
untuk membayar ongkos memperbaiki bandar sawah kepunyaan kaum;
-
untuk membayar hutang darah;
-
untuk menutupi kerugian bila ada kecelakaan kapal di pantai;
-
untuk ongkos naik haji ke Mekkah;
-
untuk membayar hutang yang dibuat oleh kaum secarabersama-sama.
(2) Mengenai
harta pusaka rendah
Semula harta
pusaka rendah adalah harta pencaharian. Harta pencaharian mungkin milik seorang
laki-laki atau mungkin juga milik seorang perempuan. Pada mulanya harta
pencaharian seseorang diwarisi oleh jurai atau setidak-tidaknya kaum
masing-masing. Akan tetapi dalam perkembangan berikutnya karena hubungan
seorang ayah dengan anaknya bertambah erat dan juga sebagai pengaruh agama
Islam, maka seorang ayah dengan harta pencahariannya dapat membuatkan sebuah
rumah untuk anak-anaknya atau menanami tanah pusaka isterinya dengan tanaman
keras, misalnya pohon kelapa, pohon durian, pohon cengkeh, dan lain-lain. Hal
ini dimaksudkan untuk membekali isteri dan anak-anak manakala ayah telah
meninggal dunia.
(3) Mengenai
harta suarang Harta suarang
berbeda sama
sekali dengan harta pencaharian sebab harta suarang adalah seluruh harta yang
diperoleh suami-isteri secara bersama-sama selama dalam perkawinan.
Kriteriauntuk menentukan adanya kerja sama dalam memperoleh harta suarang,
dibedakan dalam dua periode, yaitu dahulu ketika suami masih merupakan anggota
keluarganya, ia berusaha bukan untuk anak-isterinya melainkan untuk orang tua
dan para kemenakannya, sehingga ketika itu sedikit sekali kemungkinannya
terbentuk harta suarang sebab yang mengurus dan membiayai anak-anak dan
isterinya adalah saudara atau mamak isterinya. Sedangkan pada dewasa ini adanya
kerja sama yang nyata antara suami-isteri untuk memperoleh harta suarang sudah
jelas nampak, terutama masyarakat Minangkabau yang telah merantau jauh ke luar
tanah asalnya, telah menunjukkan perkembangan ke arah pembentukan hidup
keluarga (somah), yaitu antara suami, isteri dan anak-anak merupakan satu
kesatuan dalam ikatan yang kompak. Dalam hal demikian suami telah bekerja dan
berusaha untuk kepentingan isteri dan anak-anaknya, sehingga dalam kondisi yang
demikian keluarga tadi akan mengumpulkan harta sendiri yang merupakan harta
keluarga yang disebut harta suarang. Harta suarang dapat dibagi-bagi
apabila perkawinan bubar, baik bercerai hidup atau salah seorang meninggal
dunia. Harta suarang dibagi-bagi setelah hutang suami-isteri dilunasi
terlebih dahulu. Ketentuan pembagiannya sebagai berikut:
(a) bila suami-isteri bercerai dan tidak
mempunyai anak, harta suarang dibagi dua antara bekas suami dan bekas isteri;
(b) bila salah seorang meninggal dunia
dan tidak mempunyai anak, maka sebagai berikut:
-
jika yang meninggal suami, harta suarang dibagi dua, separoh merupakan
bagian jurai si suami dan separoh lagi merupakan bagian janda;
-
Jika yang meninggal isteri, harta suarang dibagi
dua, sebagian untuk jurai suami dan sebagian lagi untuk duda.
(c) Apabila suami-isteri bercerai hidup
dan mempunyai anak, harta suarang dibagi dua antara bekas suami dan bekas
isteri, anak-anak akan menikmati bagian ibunya;
(d) Apabila salah seorang meninggal
dunia dan mempunyai anak, bagian masing-masing sebagai berikut:
- jika
yang meninggal suami, harta suarang dibagi dua antara jurai suami dengan
janda beserta anak;
- jika
yang meninggal isteri, harta suarang seperdua
untuk suami dan seperdua lagi untuk anak sebagai harta pusaka sendiri dari
bagian ibunya.
D.Sistem Kekeluargaan Parental atau Bilateral
1. Hukum Waris Adat parental atau
Bilateral
Paparan
terdahulu telah mengemukakan perihal prinsip-prinsip hukum adat waris yang
dikenal di dalam dua kelompok masyarakat yang mempunyai sistem kekeluargaan
yang satu sama lain berbeda. Di satu pihak sistem kekeluargaan dengan menarik
garis keturunan pihak ayah atau dikenal dengan sebutan sistem patrilineal dan
di lain pihak sistem kekeluargaan dengan menarik garis keturunan pihak ibu atau
matrilineal. Di bawah ini selanjutnya akan dipaparkan sistemhukum adat waris
yang terdapat dalam masyarakat yang menganut sistem kekeluargan dengan menarik
garis keturunan dari kedua belah pihak orang tua, yaitu baik dari garis bapak
maupun dari garis ibuyang dikenal dengan sebutan sistem parental atau
bilateral. Sistem parental ini di Indonesia dianut di banyak daerah, seperti:
Jawa, Madura, Sumatera Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan,
seluruh Sulawesi, Ternate, dan Lombok.
Berbeda
dengan dua sistem kekeluargaan sebelumnya yaitu sistem patrilineal dan sistem
matrilineal, sistem kekeluargaan parental atau bilateral ini memiliki ciri khas
tersendiri pula, yaitu bahwa yang merupakan ahli waris adalah anak laki-laki
maupun anak perempuan. Mereka mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan
orang tuanya sehingga dalam proses pengalihan/pengoperan sejumlah harta
kekayaan dari pewaris kepada ahli waris, anak laki-laki dan anak perempuan
mempunyai hak untuk diperlakukan sama.
2. Harta warisan menurut hukum adat
waris parental
Harta
warisan, yaitu sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang
meninggal dunia yang terdiri atas:
a) Harta asal;
b) Harta bersama.
a) Harta asal
Harta
asal adalah kekayaan yang dimiliki oleh seseorang yang diperoleh sebelum maupun
selama perkawinan dengan cara pewarisan, hibah, hadiah, turun-temurun. Harta
asal dikenal dengan berbagai sebutan. yaitu: harta babawa (Leuwiliang, Jasinga,
Cianjur, Bekasi), barang sampakan (Cianjur, Bandung, Leuwiliang, Cisarua,
Depok,Cileungsi, Citeureup, Banjar, Ciamis, Saruni Kecamatan Pandeglang), harta
bawaan (Ratu Jaya, Pondok Terong, Bandung, KarawangWetan), warisan (Cianjur, Kecamatan Teluk Jambe,
Karawang ),barang pokok (Kecamatan Telagasari, Batujaya, Cilamaya, Kecamatan
Karawang Kabupaten Karawang), babawaan (Pelawad Kecamatan Karawang), raja kaya,
tuturunan (Kecamatan Teluk Jambe Karawang), harta sulur (Saruni,
Pandeglang, Kebayan, Pagerbatu, Raraton, Cilaja Kecamatan Pandeglang), harta
pusaka/harta tuturunan (Cianjur, Wanagiri, Pasireurih Kecamatan Saketi
Pandeglang, Kecamatan Menes, Kecamaan Pagelaran, Kecamatan Labuan, Kabupaten
Pandeglang).
Harta
asal dapat berubah wujud (misalnya dari sebidang tanah menjadi rumah).
Perubahan wujud ini tidak menghilangkan harta asal. Apabila sebidang tanah
sebagai harta asal dijual dan kemudian dibelikan rumah. Rumah yang dibeli dari
uang hasil penjualan harta asal akan tetap sebagai harta asal, yaitu rumah
b) Harta bersama
Harta
bersama, atau gono-gini (Leuwiliang, Depok, Banjar, Cikoneng, Pandeglang), kaya
reujeung (Cisarua. Leuwiliang Bandung, Kecamatan Pandeglang),
Cijakan, Kadupandak (Kecamatan Bojong, Pandeg1ang), Wanagiri (Kecamatan Saketi,
Pandeglang, Menes, Kecamatan Labuan-Pandeglang), tepung kaya (Cileungsi
KecamatanTeluk jambe-Karawang, Pandeglang), campur kaya (Bandung,
Cianjur,Pandeglang), raja kaya (Bandung), sekaya (pekaya
), paoman (Lemahabang, Lohbener, Kepandean, Karanganyar Kecamatan
lndramayu, Larangan, Legok, Sindangkerta Kecamatan Lohbener, Cilamaya, Muara,
Tegalwaru - Karawang), bareng sakaya (Kecamatan Kertasemaya, Kecamatan Jatibarang,
Kecamatan Juntinyuat Indramayu), saguna sakaya, (Teluk buyung, Batujaya
Karawang) bareng molah: Singaraja (Kecamatan Indramayu), barang kakayaan
(Kecamatan Juntinyuat Indramayu). Di Kecamatan Teluk jambe (Kabupaten Karawang)
terdapat istilah tumpang kaya untuk harta bersama ini. Istilah tumpang kaya ini
terdapat dalam bentuk perkawinan
nyalindung ka gelung dan manggih kaya.
3. Ahli waris dalam hukum adat waris
parental
a)
Sedarah dan Tidak Sedarah
Ahli
waris adalah ahli waris sedarah dan yang tidak sedarah. Ahli waris yang sedarah
terdiri atas anak kandung, orang tua, saudara, dan cucu. Ahli waris yang tidak
sedarah, yaitu anak angkat, janda/duda. Di daerah Cianjur, seorang anak
angkat adalah ahli waris, apabila pengangkatannya disahkan oleh pengadilan
negeri. Jenjang atau urutan ahli waris adalah: Pertama, anak/anak-anak. Kedua,
orang tua apabila tidak ada anak, dan Ketiga, saudara/saudarakalau tidak ada
orang tua. Akan tetapi dari penelitian setempat tidak diperoleh keterangan
apakah adanya satu kelompok ahli waris akan menutup hak ahli waris yang lain.
b)Kepunahan
atau nunggul pinang
Ada
kemungkinan seorang pewaris tidak mempunyai ahli waris (punah) atau lazim
disebut
nunggul
pinang. Menurut ketentuan yang berlaku di daerah Kabupaten Bandung, Banjar,
Ciamis, Kawali, Cikoneng, Karawang Wetan, Indramayu, Pandeglang, apabila
terjadi nunggul pinang, barang atau harta peninggalan akan diserahkan kepada
desa. Selanjutnya desalah yang akan menentukan pemanfaatan atau pembagian harta
kekayaan tersebut. Di Pandeglang kalau pewaris mati punah, harta warisan jatuh
kepada desa atau mungkin juga pada baitulmaal, masjid atau wakaf. Di daerah
Kabupaten Cianjur, kekayaan seorang yang meninggal tanpa ahli waris, selain
diserahkan kepada desa, mungkin diserahkan kepada baitulmaal atau kepada orang
tidak mampu. Di Kecamatan Kawali, selain diserahkan ke desa dapat juga
diserahkan kepada yayasan sosial.
Pengadilan
Negeri Indramayu yang dikukuhkan oleh Pengadilan Tinggi Jawa barat di Bandung,
memutuskan:
“Apabila
seseorang tidak mempunyai anak kandung, maka keponakan-keponakannya berhak
mewarisi harta peninggalannya yang merupakan barang asal atau barang yang
diperolehnya sebagai warisan orang tuanya”. (PN. Indramayu tanggal 28 Agustus
1969,No.36/1969/Pdt., PT. Jabar di Bandung tanggal 23 Januari 1971,Nomor 507/
1969/Perd/PTB”.
4. Anak angkat dan Perkawinan
poligami dalam hukum adat parental
a) Anak angkat
Pengadilan
Negeri Indramayu dan Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung pernah memutuskan,
bahwa:
"Anak
angkat berhak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya, yang bukan barang
asal atau barang warisan".(PN.Indramayu tanggal 8 September 1969, No.
24/1969/Perd., P.T.Bandung tanggal 14 Mei 1970, Nomor 511/l969/Perd).
b) Ahli waris dalam perkawinan
poligami
Dalam
hal si pewaris beberapa kali kawin dan meninggalkan anak sah dari tiap
perkawinan itu, maka harta peniggalan campur kayayang dikuasai oleh janda yang
masih hidup terakhir tidak dibagikan kepada semua anak dari tiap isteri
(sehingga hanyalah anak yang sah daripada janda yang bersangkutan, yang menjadi
ahli waris harta campur kaya yang ditinggalkan itu).(PN Indramayu tanggal 15
September 1969 Nomor 23/1969/Pdt., PT Bandung tanggal 29 Januari 1971, No. 218/1969/Perd/PTB).
a. Kehilangan hak mewaris
Ada
kemungkinan terjadi, seorang pewaris mempunyai ahliwaris, tetapi ada di antara
ahli waris atau seluruh ahli waris tersebut kehilangan hak untuk mewarisi harta
peninggalan pewaris. Dalam hal kehilangan hak mewaris ini, bagi mereka yang
beragama Islam, nampak pengaruh ajaran Islam sangat menonjol.
Seorang
ahli waris akan kehilangan hak mewaris karena alasan:
a) Ahli waris atau para ahli
waris membunuh pewaris (Banjar,Ciamis, Cikoneng, Leuwiliang, Cileungsi, Cianjur);
atau
b) Ahli waris atau para ahli waris
berpindah agama (Cisarua,Leuwiliang, Cileungsi, Banjar, Ciamis, Cikoneng,
Cianjur).
Di
Cikoneng, selain karena alasan membunuhpewaris atau pindah
agama (murtad), seorang ahli waris dapat kehilangan hak mewaris
karena alasan pegat waris. Di daerah Cianjur, seorang ahli waris tidak
akan kehilangan hak mewaris karena alasan tidak menurut (bandel), atau karena
melakukan perkawinan tanpa restu pewaris (teudoa).
Perlu diperhatikan perbedaan antara kepunahan (nunggul pinang)
dengan kehilangan hak mewaris. Dalam kehilangan hak mewaris, pewaris
mempunyai ahli waris. Hanya karena alasan tertentu ahli waris tidak berhak
menerima harta peninggalan pewaris. Tetapi kemungkinan terdapat persamaan
akibat antara nunggul pinang dengan kehilangan hak mewaris. Apabila ahli waris
tunggal atau para ahli waris dan mereka ini secara keseluruhan kehilangan hak
mewaris, maka harta peninggalan akan tetap tidak dibagi. Apakah dalam kasus
seperti ini, harta peninggalan tersebut dapat diserahkan kepada lembaga atau
badan-badan seperti: Desa, Baitulmaal, Yayasan Sosial, dan sebagainya.
b.
Penggantian tempat ahli waris
Dengan
kekecualian pada daerah Cikoneng Kecamatan Kertasemaya (Indramayu), lembaga
(pranata) penggantian tempat dikenal hampir di semua daerah penelitian.
Penggantian tempat terjadi, apabila seorang ahli waris meninggal terlebih
dahulu dari si pewaris.
Seorang
anak yang meninggal terlebih dahulu dari orang tuanya, maka hak anak tersebut
sebagai ahli waris dapat digantikan oleh anaknya (cucu pewaris) ; (Leuwiliang,
Cileungsi, Banjar, Ciamis, Kawali, Cianjur, Bandung, Pandeglang, Karawang,
Indramayu, dan Bekasi). Dapat pula digantikan oleh saudara pewaris
(Ciamis,Cianjur, Banjar, Cisarua, Kawali). Di Karanganyar (Kecamatan Indramayu)
cucu pewaris dari anak perempuan tidak bisa menggantikan tempat ibunya. Lembaga
(pranata) penggantian tempat semacam ini,tidak dikenal di daerah Kecamatan
Cikoneng. Di daerah Cianjur, Bandung, Kecamatan Karawang, Pandeglang,
Tulungagung, Kliwed Kecamatan Kertasemaya-Indramayu, ada kemungkinan seorang
anak (sebagai cucu pewaris) tidak menggantikan tempat orang tua(Bapak/Ibu
mereka) sebagai ahli waris pengganti. Tetapi seorang cucu menerima bagian berdasarkan
rasa kasih sayang dari para ahli waris yang
ada (saasihna).
Penggantian
tempat selalu dikaitkan dengan ahli waris yang meninggal terlebih dahulu dari
pewaris. Apakah penggantian tempat ini dapat juga terjadi apabila seorang ahli
waris karena satu dan lain hal kehilangan hak mewaris, sehingga kedudukannya
sebagai ahli waris dapat digantikan oleh anaknya (cucu pewaris).
c.
Penetapan Ahli Waris
Ada
beberapa yurisprudensi mengenai masalah peneta panahli waris. Putusan-putusan
Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung, Pengadilan Negeri
Indramayu, Pengadilan Negeri Purwakarta, dan Pengadilan Negeri Pandeglang, pada
prinsipnya menyatakan, bahwa suatu gugatan penetapan ahli waris dapat
dikabulkan apabila tergugat mengakui atau tidak membantah atau tidak menyangkal
penggugat sebagai ahli waris.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Adapun
kesimpulan dari isi pembahasan makalah ini yaitu :
Hukum
waris dalam sitematika hukum di Indonesia meliputi 3 hukum waris yaitu: Hukum
waris Islam, hukum waris BW, dan hukum waris Adat. Dari ketiga hukum waris
tersebut dapat disimpulkan satu-persatunya, pertama dalam hukum waris Islam
menjelaskan tentang syarat-syarat dan rukun-rukun mewarisi, sebab-sebab
halangan waris mewarisi, dan kemudian membahas juga tentang ahli waris dan
pembagian masing-masing ahli waris yang meliputi kelompok waris utama dan
pengganti utama. Kedua dalam hukum waris BW membahas mengenai pembagian
golongan ahli waris, ada golongan 1,2,3,dan 4, lalu dijelaskan juga pembagian
waris dan ahli warisnya, dan dalam hukum waris BW ini ada ahli waris yang tidak
patut menerima waris, kemudian apabila tidak
ada satu orang ahli waris pun dari si pewaris maka warisan tersebut
dianggap sebagai harta warisan yang tidak terurus. Dalam keadaaan seperti ini,
tanpa menunggu perintah hakim, Balai Harta Peninggalan wajib mengurus harta
peninggalan tersebut. Ketiga dalam hukum waris Adat Seperti telah dikemukakan
bahwa hukum waris merupakan salah satu bagian dari sistem kekeluargaan yang
terdapat di Indonesia. Oleh karena itu, pokok pangkal amuraian tentang hukum
waris adat bertitik tolak dari bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan yang terdapat
di Indonesia menurut sistem keturunan. Setiap system keturunan yang terdapat
dalam masyarakat Indonesia memiliki kekhususan dalam hukum warisnya yang satu
sama lain berbeda-beda, yaitu:
-
Sistem Patrilineal, yaitu system kekeluargaan yang menarik garis
keturunan pihak nenek moyang laki-laki. Di dalam sistemini kedudukan dan
pengaruh pihak laki-laki dalam hokum waris sangat menonjol, contohnya pada
masyarakat Batak.
-
Sistem Matrilineal , yaitu sistem kekeluargaan yang
menarik garis keturunan pihak nenek moyang perempuan. Di dalam sistem
kekeluargaan ini pihak laki-laki tidak menjadi pewaris untuk anak-anaknya.
-
Sistem Parental atau bilateral , yaitu sistem yang
menarik garis keturunan dari dua sisi, baik
dari pihak ayah maupun daripihak ibu. Di dalam sistem ini kedudukan anak
laki-laki dan perempuan dalam hukum waris sama dan sejajar.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi Perangin,
S.H. 2003. Hukum Waris. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Prof. Subekti,
S.H. 2001. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT. Intermasa
Drs. HM Suparta,
MA dan Drs. Djedjen Zainuddin. Semarang:
PT. Toha Putra
Prof. Dr. H.R.
Otje Salman S, S.H. dan Mustofa Haffas, S.H.
2006. Hukum Waris Islam. Bandung: Refika Aditama
Http://www.scribd.com/doc/40532989/6-Hukum-Waris-Indonesia-Dalam-Perspektif-Islam-Adat-Dan-Bw