Melanjutkan BAB II masuk ke BAB III Makalah tentang Hak Cipta Pembahasan tentang Perlindungan Hak Cipta untuk Ciptaan yang tidak diketahui penciptanya
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Perlindungan Terhadap Hasil Karya Cipta Yang
Tidak Diketahui Penciptanya
Dari sekian banyak
kebudayaan yang ada di Indonesia banyak pula hasil karya yang tidak diketahui
siapa penciptanya. Salah satu contohnya adalah angklung yang berasal dari tatar
pasundan (Jawa Barat). Alat musik yang terbuat dari pilah-pilah bambu yang
dirangkai jadi satu, angklung dimainkan dengan cara mengoyang-goyangkan, hingga
menghasilkan suara unik akibat benturan badan pipa-pipa bambu tadi. Getar nada
yang terdengar selalu bersusun 2, 3, 4 (re-mi-fa) untuk setiap ukuran, besar
maupun kecil. Laras (nada) alat musik angklung sebagai musik tradisi Sunda
kebanyakan adalah salendro dan pelog.Kemunculannya berawal dari ritus padi.
Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi, agar
tanaman padi rakyat tumbuh subur. Masyarakat Priangan sendiri mengenal angklung
sejak masa Kerajaan Sunda.
Sampai saat ini
angklung tidak diketahui siapa penciptanya. Bahkan Negara tetangga kita sempat
mengklaim angklung sebagai bagian dari kebudayaan mereka. Sebenarnya dalam hal
ini peran serta pemerintah sangatlah besar, karena berdasarkan pasal 10 UU No
19 Tahun 2002 menyebutkan bahwa Negara merupakan pemegang Hak Cipta atas :
1) Karya peninggalan prasejarah, sejarah,
dan benda budaya nasional lainnya;
2) Folklore dan hasil kebudayaan rakyat yang
menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu,
kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya.
3) Untuk mengumumkan atau memperbanyak
Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang bukan warga negara Indonesia harus
terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta
yang dipegang oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Selanjutnya, tentang
Negara sebagai pemegang Hak Cipta ciptaan-ciptaan yang diatur dalam pasal 10
ini, UUHC No 19 Tahun 2002 telah mengemukakan bahwa dalam rangka melindungi
folklor dan hasil kebudayaan rakyat lainnya, pemerintah dapat mencegah adanya
monopoli atau komersialisasi sreta tindakan yang merusak atau memanfaatkan
komersial tanpa seizin Negara Republik Indonesia sebagai pemegang Hak Cipta.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari tindakan pihak asing yang dapat
merusak nilai kebudayaan tersebut.
Folklore dimaksudkan
sebagai sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang dibuat oleh kelompok maupun
perorangan dalam masyarakat, yang menunjukan identitas sosial dan budayannya
berdasarkan standar dan nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti secara turun
temurun, termasuk :
a. Cerita rakyat, puisi rakyat;
b. Lagu-lagu rakyat dan musik instrument
tradisional;
c. Tarian-tarian rakyat, permainan
tradisional;
d. Hasil seni antara lain berupa : lukisan,
gambar, ukiran-ukiran, pahatan, mosaik, perhiasan, kerajinan tangan, pakaian,
instrument musik dan tenun tradisional.
Negara juga pemegang
Hak Cipta untuk kepentingan pencipta atas ciptaan yang tidak diketahui
penciptanya dan ciptaan itu belum diterbitkan. Seperti yang telah dijelakan
dalam pasal 11 UUHC No 19 Tahun 2002, bahwa :
1. Jika suatu Ciptaan tidak diketahui
Penciptanya dan Ciptaan itu belum diterbitkan, Negara memegang Hak Cipta atas
Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya.
2. Jika suatu Ciptaan telah diterbitkan
tetapi tidak diketahui Penciptanya atau pada Ciptaan tersebut hanya tertera
nama samaran Penciptanya, Penerbit memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut
untuk kepentingan Penciptanya.
3. Jika suatu Ciptaan telah diterbitkan
tetapi tidak diketahui Penciptanya dan/atau Penerbitnya, Negara memegang Hak
Cipta atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya.
3.2 Sikap Negara Terkait Komersialisasi
Kebudayaan Daerah
Komersialisai terhadap
kebudayaan daerah sangat dimungkinkan untuk dilakukan oleh siapapun, baik oleh
orang Indonesia sendiri ataupun oleh oleh orang asing. Ketika hadir di sebuah
acara pementasan musik angklung di Saung Angklung Mang Udjo di Bandung, saya
membatin, betapa Indonesia kaya akan kreatifitas tradisional. Ternyata bambu
bisa disulap menjadi alat musik yang mengagumkan. Dan kita tidak usah jauh-jauh
mencari ke mana tempatnya. Sambil sesekali saling dorong, anak-anak itu berdiri
manis berderet dengan pakaian tradisional Sunda. Masing-masing memegang
angklung. Di belakang mereka berdiri beberapa anak laki-laki dengan seperangkat
alat musik, mulai dari arumba, angklung ricik hingga kontra-bas, dan kendang
yang dimainkan serupa drum. Mereka membuat sebuah ensemble.
Ketika komersialisasi
kebudayaan daerah ini dilakukan oleh anak bangsa mungkin tidaklah dianggap
sebagai suatu masalah selama anak bangsa tersebut tidak mengklaim sebagai
penciptanya, dan mungkin hal ini dianggap sebagai salah satu bentuk pengenalan
budaya Indonesia kepada dunia, selain itu juga sebagai penarik wisatawan
mancanegara yang “notabene” sebagai salah satu dari penghasil devisa bagi Negara
ini. Namun apakah akan dianggap biasa bila orang asing atau bahkan Negara lain
yang melakukan komersialisai tersebut.?
Kita ambil contoh salah
satu isu yang dulu pasti sering kita dengar, yaitu klaim Malaysia terhadap
berbagai kebudayaan Indonesia, salah stunya yaitu angklung. Dalam iklan
pariwisatanya mereka menyebutkan bahwa angklung adalah bagian dari kebudayaan
Malaysia. sejak 1966, Udjo Ngalagena (seniman yang mengembangkan teknik
permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda) mulai
mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai
komunitas. Melalui padepokan seni Saung Angklung Udjo yang ia didirikan sejak
40 tahun silam, siapa pun leluasa belajar, tidak terkecuali warga asing.
Di antara para peminat
itu, yang paling ”ambisius”, adalah Malaysia. Selain mengimpor, Malaysia banyak
mengirim warganya untuk belajar angklung. Dari sinilah ”stori” klaim Malaysia
itu, konon, berasal. Tak puas sekadar belajar, Pemerintah Negeri Jiran, pada
Oktober 2007, menebar pengumuman jika angklung adalah milik mereka.
Berikut data yang kami
peroleh perihal alat musik angklung oleh pemerintah malaysia:
Nama Artefak : Alat Musik Angklung
Asal Daerah : Jawa Barat
Kategori : Alat Musik
Tahun Klaim : 2006
Exploitor : Pemerintahan Malaysia
Modus : Menumpang belajar di
Indonesia lalu memperjuangkan HKI di
mata internasional
Keterangan : Membudidayakan bambu untuk
angklung, belajar mengolah teknologi untuk pembuatan angklung dan
memperjuangkan HKI di mata internasional
Sumber : Republika, 14 Desember
2006, dengan judul artikel ANGKLUNG INDONESIA DI TANGAN MALAYSIA
Kontributor : Sulanjana
Mendengar kabar
tersebut, pemerintah Indonesia langsung bertindak untuk mengklarifikasi kasus
tersebut. Pemerintah mengirim utusan diplomatik ke Malaysia, dan juga ke UNESCO
untuk menjelaskan bahwa angklung adalah budaya Indonesia. Setelah sebelumnya,
angklung alat musik bambu asli Indonesia diramaikan diklaim oleh Malaysia
sebagai alat musik asli negara mereka, maka Alat musik tradisional Angklung
dikukuhkan sebagai salah satu warisan budaya dunia dari Indonesia atau “World
Intangible Heritage” oleh UNESCO pada bulan November 2010.Selain adanya
pengamanan dan pengakuan angklung sebagai warisan budaya dunia, juga akan
berdampak secara ekonomis. Para perajin angklung akan diuntungkan dengan
mendapatkan banyak pesanan angklung dari dalam dan luar negeri.
Klik Untuk Melihat BAB IV