Sebab-sebab putusnya perkawinan disebutkan dalam Pasal 38 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 adalah.
1. kematian;
2. perceraian; dan
3. atas keputusan Pengadilan.
ad.l, Kematian
Putusnya perkawinan karena keimtian adalah putusnya perkawinan karena matinya salah satu pihak (suami atau isteri). Sejak saat matinya salah satu pihak itulah putusnya perkawinan terjadi yakni terjadi dengan sendirinya. Agaknya hal ini tidak memerlukan penjelasan lagi karena memang sudah jelas, Akan tetapi, yang menjadi persoalan di sini adalah instansi apakah yang berwenang untuk membuat dan memberikan surat keterangan matinya seseorang?
Untuk kepastian hukum surat keterangan tentang matinya seseorang ini agaknya sangat penting bagi seseorang yang telah kematian suami atau isteri, sebagai bukti otentik untuk melangsungkan perkawinan lagi misalnya.
Mungkin surat keterangan matinya seseorang yang mati di tempat tidur di rumah/di rumah sakit atau di jalan raya karena kecelakaan dapat dibuat dan diberikan atau disahkan dengan mudah begitu saja oleh ketua RT, Kepala Desa/Kampung dan imai tanpa ada kesulitan dan keraguan sedikit pun karena Uyiukul umum mengetahui dan menyaksikannya. Akan tetapi, nftfklitmim masalahnya jika saja terjadi suatu kejadian yang luar biasa sifatnya? Apakah surat keterangan matinya seseorang dapat dibuat dengan seenaknya? Jelas tidak! Dalam keadaan demikian surat keterangan matinya seseorang harus dibuat dan diberikan atau disahkan oleh instansi yang benar-benar berwenang menanganinya. Bagi orang-orang yang berada di bawah lingkungan kuasa hukum perdata Barat adalah Pengadilan Negeri (Buku I titel XVIII Pasal 463 s.d. 495 BW). Sedangkan bagi orang-orang Indonesia asli yang bukan tunduk pada BW agaknya masih belum jelas, baik instansi yang berwenang menanganinya maupun peraturan hukum yang mengaturnya. Karena itu, suatu ketika bukan tidak mungkin banyak timbul kesukaran-kesukaran umpamanya dalam menetapkan atau menentukan mati tidaknya penumpang-penumpang kapal yang hilang atau tenggelam, tentara yang tidak kunjung datang dari medan perang, dan lain sebagainya.41)
ad. 2. Perceraian
Putusnya perkawinan karena perceraian adalah putusnya perkawinan karena dinyatakan talak oleh seorang suami terhadap isterinya yang perkawinannya dilakukan menurut agama Islam. Putusnya perkawinan karena perceraian ini dapat juga disebut cerai
talak.
Lembaga cerai talak ini hanya diperuntukkan bagi suami yang beragama Islam yang perkawinannya dilakukan menurut agama Islam yang ingin mencerai isterinya (Penjelasan Pasal 14 PP
No. 9/1975).
Perceraian ini hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk dapat melakukan perceraian ini harus ada alasan yang dapat dibenarkan
(Pasal 39).
Adapun alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian ini disebutkan dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang sama isinya dengan Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yaitu:
a. Salah satu pihak berbual zina atau menjadi pemabok, pemodal, penjudi dan sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah saru pihak meninggalkan \ang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemam-
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun
atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain; '
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.