Prestasi adalah suatu yang wajib harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan. Prestasi merupakan isi daripada perikatan. Apabila debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian, ia dikatakan wanprestasi (kelalaian).
Wanprestasi seorang debitur dapat berupa 4 macam yaitu:
(1) Samasekali tidak memenuhi prestasi;
(2) Tidak tunai memenuhi prestasi;
(3) Terlambat memenuhi prestasi
(4) Keliru memenuhi prestasi.
Sejak kapan seorang debitur dikatakan wanprestasi? Persoalan ini sangat penting karena wanprestasi mempunyai akibat-akibat hukum tertentu bagi debitur yang bersangkutan.
Dalam praktek hukum di masayarkat, untuk menentukan sejak kapan seorang debitur wanprestasi kadang-kadang tidak selalu mudah, karena kapan debitur harus memenuhi prestasi tidak selalu ditentukan dalam perjanjian. Dalam perjanjian jual-beli sesuatu barang misalnya tidak ditetapkan kapan penjual harus menyerahkan barang yang dijualnya kepada pembali, dan kapan pembeli harus membayar harga barang yang dibelinya itu kepada penjual.
Lain halnya dalam menetapkan kapan debitur wanprestasi pada perjanjian yang prestasinya untuk tidak berbuat sesuatu. misalnya untuk tidak membangun tembok yang tingginya lebih dari 2 meter, sehingga begitu debitur membangun tembok yang tingginya lebih dari 2 meter, sejak itu ia dalam keadaan wanprestasi.
Dalam perjanjian yang prestasinya untuk memberi sesuatu atau untuk berbuat sesuatu -yang tidak menetapkan kapan debitur harus memenuhi prestasi itu-, sehingga untuk pemenuhan prestasi tersebut debitur harus lebih dahulu diberi teguran (sommatie/ ingebrekestelling) agar ia memenuhi kewajibannya.
Kalau prestasi dalam perjanjian tersebut dapat seketika dipenuhi, misalnya penyerahan barang yang dijual dan barang yang akan diserahkan sudah ada, prestasi itu dapat dituntut supaya dipenuhi seketika. Akan tetapi, kalau prestasi dalam perjanjian itu tidak dapat dipenuhi seketika, misalnya barang yang harus diserahkan masih behim berada di tangan debitur, kepada debitur (penjual) diberi waktu yang pantas untuk memenuhi prestasi tersebut.
Tentang bagaimana caranya memberikan teguran (sommatie/ ingebrekestelling) terhadap debitur agar jika ia tidak memenuhi teguran itu dapat dikatakan wanprestasi, diatur di dalam Pasal 1238 BW yang menentukan, bahwa teguran itu harus dengan surat perintah atau dengan akta sejenis.
Yang dimaksud dengan surat perintah dalam Pasal 1238 B W ia sebut adalah peringatan resmi oleh jurusita pengadilan. Sedangkan yang dimaksud dengan akta sejenis adalah suatu tulisan biasa (bukan resmi), surat maupun telegram, yang tujuannya sama vakni untuk memberi peringatan kepada debitur agar memenuhi prestasi dalam seketika atau dalam tempo tertentu (arrest Hoge Raad tanggal 9 Desember 1892). Dalam perkembangan selanjutnya pakataan akta sejenis itu kata Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian sudah lazim ditafsirkan sebagai suatu peringatan atau telegram yang boleh dilakukan secara lisan, asal cukup tegas menyatakan desakan kreditur terhadap debitur agar memenuhi pir stasi dengan seketika atau dalam waktu tertentu.
Kemudian Mahkamah Agung RI dengan Surat Edaran No. 3 Tahun 1963 antara lain menyatakan Pasal 1238 BW itu tidak berlaku lagi. Mahkamah Agung dalam surat edaran tanggal 5 September 1963 itu menyatakan bahwa pengiriman turunan surat gugatan dapat dianggap sebagai penagihan, karena tergugat masih dapat menghindarkan terkabulnya gugatan dengan membayar utangnya sebelum hari sidang pengadilan.
Namun, persoalannya apakah tenggang waktu antara hari diterimanya turunan surat gugatan oleh debitur sebagai tergugat sampai pada hari sidang pengadilan selamanya dapat dianggap sebagai waktu yang pantas bagi debitur untuk memenuhi segala macam prestasi? Menurut hemat kami tidak semua turunan surat gugatan yang diterima oleh debitur harus dianggap sebagai penagihan, melainkan harus dilihat secara kasuistis, dalam hal apa kasus itu diajukan ke depan sidang pengadilan. Sehingga dengan demikian, aitan dapat aipertimoangkan, apakah tenggang waktu antara diterimanya turunan surat gugatan oleh debitur selaku tergugat sampai pada hari sidang pengadilan dapat atau tidak dipandang sebagai waktu yang pantas bagi debitur untuk memenuhi kewajibannya.
Apabila debitur dalam keadaan wanprestasi, kreditur dapat memilih di antara beberapa kemungkinan tuntutan sebagaimana disebut Pasal 1267 B W yaitu:
(1) Pemenuhan perikatan;
(2) Pemenuhan perikatan dengan ganti kerugian;
(3) Ganti kerugian;
(4) Pembatalan perjanjian timbal balik;
(5) Pembatalan dengan ganti kerugian.
Bilamana kreditur hanya menuntut ganti kerugian, ia dianggap telah melepaskan haknya untuk meminta pemenuhan dan pembatalan perjanjian. Sedangkan kalau kreditur hanya menuntut pemenuhan perikatan, tuntutan ini sebenarnya bukan sebagai sanksi atas kelalaian, sebab pemenuhan perikatan memang sudah dari semula menjadi kesanggupan debitur untuk melaksanakannya
Kemudian yang sering dipersoalkan juga di sini adalah, seandainya debitur memang telah ada menerima teguran agar melaksanakan perikatan, tetapi setelah waktu yang pantas yang diberikan kepadanya untuk memenuhi perikatan tersebut telah lewat, tetapi prestasi belum juga dipenuhi, apakah debitur setelah itu masih berhak melaksanakan perikatan? Para ahli hukum dalam hal ini sependapat bahwa apabila kreditur menyatakan masih bersedia menerima pelaksanaan perikatan itu, debitur masih dapat melaksanakan perikatan tersebut. Akan tetapi, jika pernyataan kesediaan menerima pelaksanaan perikatan itu tidak ada, para ahli hukum mempunyai pendapat yang berbeda, apakah debitur dapat melaksanakan perikatan itu dan dengan membayar ganti kerugian, sebelum ada tuntutan kreditur di muka pengadilan untuk membatalkan perjanjian dengan ganti kerugian?
Diephuis, Opzoormer, Asser -Losecat- Vermeer, Van Brakel dan Suyling serta Hoge Raad di Negeri Belanda menyatakan bahwa debitur tidak lagi dapat melaksanakan perikatan itu dan kreditur tidak dapat dipaksa untuk menerima pelaksanaan perikatan itu. Sedangkan Asser -Goudoever dan Hofmann berpendapat sebaliknya yaitu dengan mendasarkan kepada kepatutan (billijkheidsgevoel), bahwa debitur masih dapat melaksanakan perikatan tersebut dan kreditur sepatutnya menerima pula pelaksanaan perikatan itu. Pendapat terakhir inilah yang diikuti oleh ahli-ahli hukum Indonesia seperti Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro28) dan Prof. R. Subekti, S.H.,29) yang sama-sama pernah menjadi ketua Mahkamah Agung RI dan dikenal sebagai ahli hukum perdata di Indonesia Agaknya pendapat inilah yang lebih sesuai dengan kepatutan dan rasa keadilan yang dikehendaki Pasal 1338 ayat (3) BW sebagai pedoman dalam pelaksanaan perjanjian.