Hak pakai asli perorangan disebut inlands bezitsrecht, tetapi istilah bezit merupakan istilah yang dipergunakan dalam Burgerlijke Wetboek yang mempunyai arti lain daripada bezit menurut hukum adat. Untuk menghindari pemakaian istilah bezitrecht para ahli menggunakan istilah yang berlainan, sesuai dengan pemahamannya tentang hak milik, seperti: Westenenk menggunakan istilah beperkt eigendomsrecht untuk bezitrecht, Kleintjes menggunakan istilah Oostereigendomsrecht, Van Vollenhoven menggunakan istilah door adatrechtrestricties beklemd eigendomsrecht.104 Pengertian bezitrecht menurut Burgerlijke Wetboek menunjukkan perhubungan yang nyata antara orang dengan tanah, sedangkan bezitrecht menurut hukum adat sama halnya dengan eigendomsrecht menurut hukum barat, artinya perhubungan hukum antara orang pribadi dengan tanah.
Perbedaan pemakaian istilah dalam bahana asing itu mudah menimbulkan kekeliruan atau salah paham. Sehingga dahulu seorang bangsa Indonesia asli yang memiliki tanah menurut hak adat, dianggap sebagai beziter dalam pengertian Burgerlijke Wetboek, yaitu antara pemilik dan tanah hanya ada hubungan yang nyata saja, sedangkan negara dianggap sebagai eigenaar. Artinya, negara dan tanah mempunyai hubungan hukum.
Hak eigendom sebagaimana dalam hukum barat tidaklah berbeda dengan hak-hak adat bangsa Indonesia asli, dimana hak ulayat tidak nampak lagi, maka hak eigendom secara ti mur (milik, yayasan) itu muncul. Orang yang mempunyai tanah dengan bangsa Indonesia asli boleh menjual, memberikan, dan sebagainya dan bila meninggal dunia tanah itu jatuh pada ahli warisnya.
Hak menandai dalam perkembangannya merupakan ci kal bakal lahirnya konsep hak milik perorangan atas tanah. Is tilah milik berasal dari bahasa Arab, dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah biasanya digunakan kata ganti empunya,seperti sawahku, ladangku, di Jawa Timur disebut duwe atau gadah, di Jawa Barat disebut boga atau gaduh dan pada saat sekarang istilah hak milik sudah tidak asing lagi. Di Indonesia, pada umumnya hak milik dipegang oleh orang perorangan (individu), tetapi persekutuan hukum dapat pula mempunyainya, misalnya bila membeli tanah untuk persekutuan hukum sebagaimana diatur dalam PP Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah.
Di Jawa terdapat tanah atau sawah milik desa yang hasilnya dipergunakan untuk keperluan kas desa, yang disebut titi sara, tititama, suksara, bodo desa, sanggan, sawah kocokan, sawah kas desa, dan sawah celengan. Di Bali disebut dru-we desa, di Menado tanah pekarangan kepunyaan distri disebut kintakaiakeran, di Minangkabau tanah milik persekutuan (famili atau klen) mempunyai tanah disebut harato pusako. Tanah milik yang berasal dari pembukaan tanah di Jawa disebut yasa, yasan, kitri, bakalan, cokrah, trukah, patokan. Di Jawa Barat disebut jasa sorangan, pribadi, usaha. Tanah yang diperoleh karena hibah atau warisan dalam adat Jawa disebut lilaran, pusaka, cukil, dan asli. Di Madura disebut sang-kolan, posak atau elar-o/ar. Di tanah Sunda disebut turunan.
Sebelum terbentuknya masyarakat genealogi dan territorial, hak pakai asli perorangan diperoleh dengan membuka tanah, namun hak pakai asli tersebut tidak bertahan lama, karena pemiliknya berpindah-pindah. Dalam perkembangan masya-mkat genealogi dan territorial, hak pakai asli itu dikenal dengan iiiima hak milik dan diperoleh dengan cara membuka tanah, •esudah lebih dahulu dibuat tanda batasnya dan setelah me-lilui voorkeurrecht (hak wewenang pilih) dan genotrecht (hak menikmati hasil garapan). Tanah yang dimiliki tersebut dapat diwariskan, digadaikan, dan dipindahkan secara mutlak.
Dalam proses terjadinya hak pakai asli, bermula dari penandaan yang dilakukan oleh perorangan dengan memasang tanda batas pada daerah yang akan dibuka, yang melahirkan hak penandaan dan berdasarkan pembukaan tanah, maka timbul hak untuk menikmati hasil garapan. Hak untuk menikmati hasil garapan sebidang tanah, pada awalnya tidak tetap (wisselvallig), penggarap akan berpindah sesudah tanah tersebut setelah tidak akan menghasilkan lagi. Jadi, hanya bersifat sementara yang pada umumnya satu musim. Sesudah dipanen, tanah ditinggalkan atau penggarapan tidak dilanjutkan, berakhirlah hak garapan tersebut. Sepanjang tanda-tanda penggarapan masih ada, hubungan antara penggarap dengan tanahnya dianggap tetap ada yang disebut voorkeurrecht (hak wewenang pilih). Sesungguhnya anggota persekutuan hukum antara genonrecht dan hak milik sukar dicari batasnya. Sebab, pada prinsipnya ikatan anggota dengan tanahnya menimbulkan hak milik, walaupun hak itu hanya satu atau dua musim lamanya, praktis hak itu tidak lebih lama dari satu panen, seperti tanah teleng di Sulawesi Selatan, huma, tipar, gogo, pegagan, akuan di Banten, Brebes, dan Jawa. Dengan demikian hak penggarapan diperoleh anggota bersumber pada perbuatan. Bentuk kedua dari hak penggarapan ialah hak dari orang yang bukan anggota persekutuan hukum, mempergunakan tanah di daerah lingkungan persekutuan hukum, setelah mendapat ijin terlebih dahulu dan membayar sesuatu, seperti sewa bumi kepada pemuka adat dan dikenal dengan recognitie. Dengan demikian, hak penggaran dari bukan anggota bersumber pada ijin, bukan pada perbuatan. Hubungan antara pembuka tanah dan tanahnya adalah lemah, menurut hukum berakhir sesudah panen.
Bagi penggarap yang meninggalkan tanah garapannya (,genotrecht) secara hukum adat mempunyai hak wewenang pilih (voorkeurrecht) asal saja hubungan dengan tanah masih ada, sekalipun dalam bentuk tanda-tanda batas. Orang yang mempunyai hak wewenang pilih (voorkeurrecht) ini menco gah orang lain, untuk memiliki sesuatu bidang tanah, dapat di ketahui :(1) . Seorang yang akan membuka tanah dengan persetu-
juan persekutuan, menyatakan dengan suatu tanda larangan. Penandaan di Jawa dilakukan dengan potongan cabang kayu ditanam disekeliling batas, Su-matera Selatan tanda takik pada pohon sekeliling tanah atau ditanam dua canggah batang kayu yang ber-garpu dikaitkan pada sebatang palang atau tanduk untuk menyatakan beberapa luasnya tanah yang akan digarap, dan menggunakan batu sebagai tanda batas.
(2) . Seseorang yang telah pernah menjadi penggarapnya,
bila orang lain akan menggarapnya, harus minta ijin kepadanya. Dalam hal ini orang yang disebut pertama (orang yang memberi tanda batas) boleh memilih antara tanah garapan diteruskan atau diserahkan kepada penggarap, baru tersebut.
(3) . Seseorang menggali selokan pengairan, ia mempu-
nyai wewenang pilih atas tanah-tanah belukar yang dilalui selokan itu.