Hak Milik Atas Tanah Dalam Perspektif Hukum Adat
Perdebatan tentang hak-hak atas tanah dalam hukum adat di Jawa yang berkembang sebelum dan sesudah bangsa barat datang, apakah kepemilikan tanah terletak pada penguasa (negara), sekelompok atau pada sekelompok pemilik yang memungut pajak dan mengatur penggunaan tanah, ataukah pada suatu badan koorporasi seperti dusun atau desa, ataukah pada petani perorangan, selain itu, apakah kepemilikan tanah di Jawa bersifat individual atau komunal dan apakah kepemilikan tanah terkait dengan sistem rodi (corvee) atau tidak.
Persoalan hak atas tanah merupakan suatu hal yang sangat menarik untuk dikaji, dan hasil kajian tahun 1867, bahwa pemilikan dan penguasaan individu atas tanah tidak ada di Jawa adalah keliru. Kekeliruan hasil penelitian tersebut, menurut Robert Van IMiel bahwa pola kepemilikan hak atas tanah, terjadi kekeliruan penafsiran semantik antara istilah Belanda dan Jawa,102 sebagai berikut :1. Kata bezit dalam bahasa Belanda yang digunakan secara luas untuk menggambarkan hak atas tanah dapat berarti : penguasaan (possession), pemilikan (ownership), dan penggunaan (tenure). Arti beraneka ragam itu dimungkinkan mengingat hakikat hukum perundang-un-dangan Belanda membuktikan hampir setiap hal yang dikehendaki atau tidak sama sekali.
2. Kata yasa sebuah istilah yang lazim dipakai dalam bahasa Jawa mengacu kepada hak-hak penanam atas tanah yang baru dibuka (hak kepemilikan individu), diartikan sebagai kepemilikan tanah. Istilah itu sebenarnya mengacu kepada pemanfaatan tanah yang akan mendapat imbalan tertentu, bukan merujuk kepada kepemilikan tanah yang dalam pengertian Jawa adalah pemilik penguasa.
Hak atas tanah di Jawa kembali mengalami perdebatan pada awal abad ke-20, ketika Van Vollenhoven mengemukakan pandangannya tentang hak atas tanah yang didasarkan kepada kekerabatan, suku, dan desa di seluruh kepulauan Hindia Timur mempunyai hak pembagian asli yang dimasukkan ke dalam istilah hukum yaitu beschikkingrecht. Hak-hak tersebut merupakan hak warga desa yang disimpangi menjadi tidak bisa dialihkan secara permanen, padahal hanya hak pembagian komunal desa saja yang tidak bisa dialihkan secara permanen. Selain di pulau Jawa, hak pembagian komunal desa perlahan-lahan menghilang dan berubah menjadi kepemilikan oriental. Sebelum berdirinya kerajaan-kerajaan dan datangnya bangsa barat di pulau Jawa, telah dikenal kepemilikan oriental, yaitu hak seorang petani dan keluarganya untuk menguasai, menggunakan sebidang tanah, dan ikut menikmati keuntungan dan keikutsertaannya dalam berbagai kegiatan masyarakat desa.
Sebenarnya hak yasa yang dikenal dalam masyarakat Jawa yang merupakan konsep hak individu atas tanah, yang oleh raja-raja dan pemerintahan Hindia Belanda tidak diakui sbagai hak milik individual atas tanah, hanya diakui sebagai individueel bezitrecht dalam siklus beschikkingrecht (ulayat desa).
Hubungan kehidupan antara umat manusia yang teratur susunannya dan bertalian satu sama lain disatu pihak, dan tanah dilain pihak, dalam sejarah tradisi suku bangsa di Indonesia dikenal dengan bentuk hubungan yang serba berpasangan. Ter Haar menyebutnya dengan istilah participerend denken dan dalam hukum adat asli suku bangsa, hubungan semacam itu memunculkan hubungan pertalian hukum, Ter Haar menyebutnya dengan istilah rechts betrekking,103
Substansi hubungan tersebut, dinyatakan dalam beberapa prinsip sebagai cermin kehidupan, sebagai berikut :
(1) . Tanah tempat mereka berdiam.
(2) . Tanah yang memberi mereka makan.
(3) . Tanah tempat mereka dimakamkan.
(4) . Tanah tempat kediaman makhluk halus sebagai pelin-
dung mereka beserta arwah leluhurnya.
(5) . Tanah tempat meresap daya-daya hidup. Prinsip-prin-
sip tersebut di atas telah menjadi budaya dan berurat berakar dalam kehidupan masyarakat adat.
Dalam tatanan masyarakat asli, ada yang berdiam pada sua-tu pusat tempat kediaman disebut sebagai dorpsgemeenschap (dusun) dan ada yang berdiam menyebar dalam kelompok-kelompok kecil di suatu wilayah pusat kediaman disebut streek-gmneenschap. Dari kedua pola kediaman tersebut merupakan 'litsar pembentukan hubungan antara masyarakat yang men-dlnmi wilayahnya, baik secara perorangan maupun hubungan komunal. Hak perorangan dan kelompok dalam wilayah ma-lynrakat adat tersebut, dalam perkembangannya menjadi tiga jinis hak, yaitu:
(1). Hak pakai asli perorangan.
(2). Hak ko-Unal masyarakat adat.
(3). Hak pertuanan.