Menurut hukum adat hak milik atas tanah, berarti yang punya dapat berlaku sekehendak hatinya dengan tanah tersebut sebagai yang dipertuan, dengan memperhatikan beberapa pembatasan, sebagai berikut :
(1) . Harus menghormati hak ulayat sepanjang masih ada.
(2) . Menghormati hak pemilik tanah yang ada disekitarnya.
(3) . Menghormati aturan-aturan adat, seperti: kewajiban
untuk membiarkan tanahnya untuk mengembati selama tidak dikerjakan, ditanam, dan dipagar.
(4) . Menghormati aturan-aturan yang diadakan oleh negara.
Hak komunal masyarakat adat (communal bezitrecht), bentuk ini sebenarnya tidak sesuai dengan pendirian pemerintahan Hindia Belanda yang tidak mengakui adanya hak ulayat dari Persekutuan hukum atas tanah liar (woeste grond). Hak komunal masyarakat adat, merupakan resultante dari hak garapan perorangan dengan hak ulayat. Dengan hak komunal masyarakat adat tersebut, hak ulayat atas lingkungan tanah yang telah diusahakan rakyat diakui walaupun dalam bentuk lain. Dalam hal pergantian penggarap atas bagian tanah pada waktu tertentu dan bagian-bagian tanah itu tetap, yang diusahakan oleh seorang gogol, merupakan akibat dari adanya pengaruh hak ulayat, padahal yang pertama kuat dan padahal kedua lemah.
Menurut Van Vollenhoven tanah komunal itu bukan milik desa, tetapi dikuasai oleh desa, sedangkan setiap pemakaian bagian tanah komunal (gogoD sebagai individu harus tunduk kepada penguasaan desa. Tanah dari gogol harus dibedakan dengan tanah milik desa, yang sebenarnya, hak gogol itu adalah hak perseorangan (individueel bezit), tetapi dikuasai oleh hak penguasaan yang lebih luas (ingeklem bezitsrecht). Hak dari seseorang anggota komunal desa atau gogol atas sebidang tanah bagian dari tanah komunal adalah merupakan hak pakai yang dapat bersifat tetap dan turun-temurun, dan bila kepala adat desa mengijinkan dapat dilepaskan.
Hak pakai tersebut akan berubah menjadi yasan, bila hak pertuanan tidak nampak lagi, seperti telah dialami di Kedu dan Bagelen. Selama tidak menjadi yasan, tanah komunal dikuasai oleh desa dan oleh anggota komunal (gogol)- Dari segi hukum harta kekayaan, tanah komunal merupakan kepunyaan baik desa maupun gogol, kecuali gogol meninggalkan hak pakainya guna kepentingan desa, sehingga menjadi tanah bengkok atau titisara.
Dalam masyarakat adat, terdapat tiga macam hak komunal, sebagai berikut :
1. Hak memakai bagian yang tetap (communal bezit met vaste aandelen), yaitu setiap orang yang berhak atas tanah komunal, mempunyai hak untuk memakai yang menjadi bagiannya secara tetap. Bila bagian yang to tap tersebut bersifat turun-temurun, seperti di Jawn Tengah serta boleh dilepaskan (jual atau diberikan) kepada orang dari desa lain, maka hanya ada perbo’ daan menurut teori saja dengan milik yang bebas (iyasan). Bagian yang tetap dari tanah komunal tersebut disebut pakulen matok, konsen matok, dan norowito m a to k.
2. Hak pemakaian bagian sawah berkala (periodieke verdeling), baik subyek dan obyek dari hak komunal tetap, namun bagiannya yang berganti-ganti.
3. Hak bagian atas pemakaian berkala yang berganti-ganti (periodieke verwisse/ing) adalah pembagian jangka waktu tiga sampai enam tahun, baik subyek dan obyeknya dapat berganti-ganti. Dalam hal pembagian berkala pada waktu yang ditentukan diadakan pembagian baru diantara para pemakai. Pada umumnya pemakai tidak berubah, tapi ada kalanya masuk pemakai baru, sehingga luas masing-masing pembagian tanah tersebut menjadi berkurang.
Hak pertuanan dalam bahasa Belanda disebut beschikkingrecht atau hak ulayat (Arab) adalah hak dari persekutuan hukum untuk menggunakan dengan bebas, tanah-tanah yang masih merupakan hutan belukar di dalam lingkungan wilayahnya, guna kepentingan persekutuan hukum itu sendiri dan anggotanya ntau guna kepentingan orang-orang luar (pendatang dan asing) nkan tetapi dengan ijinnya dan senantiasa dengan pembayaran pengakuan rekoknisi, dalam pada itu persekutuan hukum tetap campur tangan, secara keras atau tidak, juga atas Innah-tanah yang telah diusahakan orang, yang terletak diling-kungan wilayahnya. Van Vollenhoven menyebutnya sebagai beschikkingrecht,106 artinya hak untuk menguasai tanah, te-tnpi dalam pengertian tidak secara mutlak, seperti hak untuk mnnjual tanah tidak ada dalam kekuasaan persekutuan hukum.
Nama yang khusus menunjukkan hubungan hukum antari l.inah dengan persekutuan hukum, hingga kini tidak dike-«I dalam bahasa Indonesia, akan tetapi mengenai wilayah nya, dimana hak persekutuan hukum itu berlaku, terdapat nama-nama seperti: patuanan di Ambon; panyampeto, pawa-tasan, panyanturui, dan pangtepan di 'Kalimantan; weweng-kon di Jawa; prabumian di Bali; pertuwanan di Batak; kawasan di Indragiri; Umpo di Sulawesi Selatan; pajar dan paer di Lombok; ulayat di Minangkabau.