Buku III BW berjudul van verbintenissen. Istilah verbintenis dalam BW merupakan salinan istilah obligation dalam Code Civil Perancis, istilah mana diambil dari hukum Romawi yang terkenal dengan istilah obligation.’)
Istilah verbintenis dalam BW ternyata diterjemahkan berbeda-beda dalam kepustakaan hukum Indonesia. Ada yang menerjemahkan dengan perulangan,2) nda yang menerjemahkan dengan perjanjian,3) dan ada pula yang menerjemahkan dengan perikatan,4) Penggunaan istilah perikatan untuk verbintenis tampaknya lebih umum dipergunakan dalam kepustakaan hukum Indonesia.
Definisi perikatan tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan sedemikian rupa dalam ilmu pengetahuan hukum. Perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu (kreditur) berhak atas prestasi dan pihak yang lain (debitur) berkewajiban berkewajiban menaruh prestasi itu.
Berdasarkan pengertian perikatan di atas ini, dalam satu perikatan terdapat hak di satu pihak dan kewajiban di pihak lain. Jadi, dalam perjanjian timbal-balik dimana hak dan kewajiban di satu pihak saling berhadapan di pihak lain terdapat dua perikatan.
Hak dan kewajiban tersebut merupakan akibat hubungan hukum yaitu hubungan yang diatur oleh hukum. Huoungan antara dua orang, misalnya janji untuk bersama-sama pergi ke kampus, meskipun menurut moral atau kesopanan menimbulkan hak dan kewajiban, bukanlah perikatan dalam pengertian hukum, sebab hak dan kewajiban tersebut bukan Lahir dari hubungan hukum. Namun, tidak berarti semua hubungan yang diatur oleh hukum dianggap sebagai perikatan dalam pengertian hukum.
Untuk menentukan apakah suatu hubungan hukum merupakan perikatan dalam pengertian hukum atau tidak, pada mulanya para sarjana mempergunakan ukuran dapat tidaknya dinilai dengan uang. Bilamana suatu hubungan hukum, hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dapat dinilai dengan uang, hubungan hukum tersebut adalah perikatan.5)
Akan tetapi, ukuran tersebut lama kelamaan tidak dapat dipertahankan lagi, karena dalam kehidupan masyarakat yang senantiasa berkembang dan berubah, ternyata seringkah terjadi hubungan hukum yang tidak dapat dinilai dengan uang. Misalnya tercemarnya nama baik atau cacat tubuh seseorang karena perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) carang lain. Sekiranya terhadap hubungan-hubungan hukum yang demikian ini tidak diberi akibat hukum, akan dirasakan ketidakadilan, yang justru bertentangan dengan apa yang menjadi tujuan hukum yaitu ingin mencapai keadilan. Kenyataan inilah yang menyebabkan ukuran dapat dinilai dengan uang tidak lagi dipertahankan untuk menyatakan hubungan hukum sebagai perikatan. Namun, hal itu tidak berarti bahwa ukuran dapat dinilai dengan uang tidak digunakan, karena hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang selalu merupakan perikatan. Akan tetapi, hubungan hukum yang tidak dapat dinilai dengan uang tidak dapat dengan pasti dikatakan bukan perikatan. Sebab sekalipun hubungan hukum tersebut tidak dapat dinilai dengan uang, tetapi kalau rasa keadilan masyarakat menghendaki agar hubungan hukum itu diberi akibat hukum, hubungan hukum itupun dapat dikatakan sebagai perikatan yang menimbulkan hak dan kewajiban yang pemenuhannya dapat dipaksakan.6)
Bahwa hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban dalam perikatan tersebut adalah antara dua pihak. Pihak yang bahak atas prestasi (pihak yang aktif) adalah kreditur atau orang yang berpiutang. Sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi prestasi (pihak yang pasif) adalah debitur atau orang vang berutang. Kreditur dan debitur inilah yang disebut subyek perikatan' Dalam hukum perdata ditentukan bahwa pihak debitur orangnya harus selalu diketahui identitasnya oleh kreditur, karena kreditur tentu tidak dapat menagih pemenuhan prestasi kepada debitur yang tidak dikenal. Sedangkan pihak kreditur orangnya tidak perlu diketahui identitasnya oleh debitur. Sehingga penggantian kreditur dapat terjadi secara sepihak, sedangkan penggantian debitur hanya dapat terjadi dengan sepengetahuan dan persetujuan kreditur. Kalau tidak dengan cara demikian, bisa saja nanti debiturnya justru tidak mampu untuk melaksanakan kewajibannya sehingga menimbulkan kerugian terhadap kreditur.
Obyek perikatan yang merupakan hak debitur dan kewajiban debitur biasanya dinamakan prestasi. Menurut Pasal 1234 BW prestasi ini dapat berupa memberi sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Apa yang dimaksud dengan sesuatu di sini berrgantung kepada maksud atau tujuan daripada para pihak yang mengadakan hubungan hukum, apa yang akan diberikan, yang harus diperbuat dan tidak boleh diperbuat. Perkataan sesuatu tersebut bisa dalam bentuk materiil (berwujud) dan bisa dalam bentuk inimateriil (tidak berwujud).
Perikatan untuk memberi sesuatu diatur dalam Buku III titel II bagian kedua. Sedangkan perikatan untuk berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu diatur dalam Buku III titel I bagian ketiga.
Prestasi dari suatu perikatan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut di bawah ini:
a. Harus diperkenankan, artinya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan (Pasal 1335 dan 1337 BW).
b. Harus tertentu atau dapat ditentukan, artinya harus terang dan jelas (Pasal 1320 ayat (3) dan 1333 BW).
c. Harus mungkin dilakukan, artinya mungkin dilaksanakan menurut kemampuan manusia. Jika prestasinya secara obyektif tidak mungkin dilaksanakan, tidak akan timbul perikatan. Sedangkan jika prestasinya secara subyektif tidak mungkin dilaksanakan, tidaklah demikian.
Perbedaan akibat yang terjadi karena ketidakmungkinan obyektif dan subyektif terletak pada dasar pemikiran bahwa ketidakmungkinan obyektif dapat diketahui oleh semua orang, sehingga kreditur tidak dapat mengharapkan prestasi itu. Sedangkan ketidakmungkinan subyektif idak diketahui oleh semua orang, sehingga debitur yang dengan janjinya menimbulkan kepercayaan bahwa ia mampu melaksanakan prestasi, harus bertanggung jawab dan bilamana kemudian ternyata wanprestasi, ia harus membayar ganti kerugian yang terjadi.)
dan subyektif tidak penting dipersoalkan. Akan tetapi, suatu perikatan adalah batal, jika kreditur pada waktu membuat perikatan sudah mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa debitur tidak mungkin melaksanakan prestasinya. Akan tetapi, jika kreditur tidak mengetahui akan ketidakmungkinan pelaksanaan prestasi, debitur harus tetap memenuhi perikatan, apabila wanprestasi, ia harus membayar ganti rugi.8)
Dalam setiap perikatan paling sedikit terdapat dua subyek hukum yaitu kreditur dan debitur. Kreditur berhak atas prestasi, sedangkan debitur berkewajiban untuk memenuhi prestasi. Kewajiban debitur untuk memenuhi prestasi ini disebut schuld. Selain daripada schuld, debitur juga berkewajiban untuk menjamin pemenuhan prestasi tesebut dengan seluruh harta kekayaannya yang disebut haftung, dan debitur mempunyai tuntutan atas kekayaan debitur tersebut. Dalam Pasal 1131 BW dikatakan bahwa semua benda kepunyaan debitur baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk semua perikatan yang dibuatnya.
Dengan demikian, pada debitur terdapat schuld dan haftung, sedangkan pada kreditur terdapat hak atas prestasi dan hak atas pemenuhan prestasi. Namun, undang-undang kadang-kadang mengadakan pengecualian, sehingga pada debitur tidak selalu ada schuld dan haftung.
Pada perikatan alam (natuurlijke verbintenis) seperti utang yang terjadi karena perjudian (Pasal 1788 BW), pada debitur hanya ada schuld tetapi tanpa haftung, dimana debitur hanya mempunyai kewajiban untuk memenuhi prestasi, tetapi tidak berkewajiban untuk menjamin pemenuhan prestasi tersebut dengan harta kekayaannya. Selanjutnya, dalam pewarisan terbatas (dengan hak pendaftaran), debitur hanya berkewajiban melunasi utang pewaris sebatas jumlah boedel warisan yang diterimanya sebagai ahli waris. Jadi, pada debitur (ahli waris) ada schuld dengan haftung terbatas. Kemudian dalam hal pihak ketiga memberikan benda miliknya untuk dipakai sebagai jaminan pembayaran utang debitur kepada kreditur, pihak ketiga di sini tidak mempunyai kewajiban untuk memenuhi prestasi, tetapi bertanggung jawab atas utang debitur dengan benda miliknya yang dijadikan jaminan.