Negara dan individu adalah dua hal yang berbeda dalam hubungannya dengan tanah. Hubungan individu dengan tanah melahirkan hak dan kewajiban, sedangkan hubungan negara dengan tanah melahirkan kewenangan dan tanggung jawab. Hak individu yang berkaitan dengan tanah disebut hak milik atas tanah, sedangkan kewajiban adalah mengusahakannya agar dapat bermanfaat bagi orang lain dan masyarakat.
Dalam hukum privat, negara dan individu adalah subyek hak. Individu merupakan subyek hak yang bersifat alamiah (natuurlijkpersoon) dan negara merupakan subyek hak buatan (rechtspersoon). Pertautan individu dan tanah menunjukkan hubungan memiliki disebut dengan hak, sedangkan negara dan tanah menunjukkan hubungan penguasaan disebut dengan otoritas.
Otoritas dan hak tidak dapat disamakan. Kedua term tersebut hanya dapat disebandingkan, sebab berbeda lingkup hukum yang mengaturnya. Hak-hak individu berada dalam ruang lingkup hukum privat, sedangkan otoritas negara berada dalam ruang lingkup hukum publik. Otoritas berkaitan dengan kewenangan, wewenang berkaitan dengan kekuasan (power) dan kekuatan (force). Wewenang yang demikian adalah sah jika dijalankan menurut hukum. Wewenang itu secara istimewa dimiliki oleh negara, sehingga berhak menuntut kepatuhan (wewenang deontis).121 Kewenangan inilah yang melahirkan otoritas negara atas tanah secara hukum publik, bukan hak pemilikan seperti yang diatur dalam hukum privat.
Dilain pihak, wewenang berkaitan dengan kompetensi (competence) yang dikenal dalam lingkup hukum privat, yaitu kecakapan dan kemampuan untuk melakukan sesuatu (bekwam dan bevoegd). Kompetensi selalu diikuti dengan macht (kekuasaan) dan kedua hal itu melahirkan hak milik pribadi (perseorangan).
Dalam hal kekuasaan, negara dapat menguasai orang (individual) disamping sumber daya alam atau kekayaan (things). Kedua obyek kekuasaan negara tersebut, oleh Montesquie dibedakan dengan memisahkan secara tegas antara konsep imperium versus dominium,122 imperium adalah konsep mengenai the rule over all individual by the prince, sedangkan dominium adalah konsep mengenai the rule over things by the individual.123
Kedua konsep tersebut di atas merupakan cikal bakal pembedaan kekuasan politik dan ekonomi atau pembedaan kedaulatan politik dan ekonomi. Dalam ilmu hukum pembedaan semacam itu, telah dilembagakan melalui pembedaan antara rezim hukum publik (political law) dan hukum privat (civil law). Terlepas akan konsep Montesquie baik mengenai orang maupun benda, secara teoritik dapat menjadi obyek kekuasaan secara bersamaan.
Dalam kaitan dengan otoritas penguasaan negara tanah, maka obyek kekuasaan yang relevan adalah keka (things) menurut Montesquie dan benda-benda (obyek I yaan) menurut Roscoe Pound. Keduanya merupakan su perekonomian negara dan pokok-pokok kemakmuran rak
Dalam politik hukum tanah nasional, baik ditinjau da gi regulasi maupun implementasi terjadi tumpang tindih pe naan antara pengertian negara memiliki dan otoritas per saan negara atas tanah. Dalam hal ini terjadi di seluru donesia, misalnya yang terjadi dari berbagai kasus: F Jenggawah di Jawa Timur, kasus sugapa di Tapanuli L kasus tanah rakyat Penunggu di Sumatera Timur, kasus dusun Tanjungsari di Lampung Utara sebagai akibat pen an hak guna usaha bagi perkebunan negara, tidak memp tikan alas hak rakyat yang sedia kala sudah memeganr bukti hak sebelum berlakunya UUPA tahun 1960.
Otoritas penguasan negara atas tanah, berkaitan de kewenangan untuk: mengatur, mengurus, dan menga Berkaitan dengan itu dalam hak penguasaan, negara I melakukan bestuursdaad dan beheersdaad dan tidak mi kan eigensdaad. Sejalan dengan itu W.G. Vegting m mukakan bahwa negara bukanlah pemilik tanah. Dengar lain, hubungan antara tanah dengan negara bukan didas pada hubungan pemilikan. Gaius mengemukakan bahv\ kum alam (natuurrecht) dengan hukum alam sekunder khusus [iu s gentium), menempatkan milik perseor; (eigendom privaat) sebagai hukum alam (ius naturale).1
Secara teoritik negara tidak memiliki tanah didasark da alasan bahwa pengertian milik (eigendom) menunjukka nya kekuasaan mutlak (volstrekte heerschappijk). Penc an tanah untuk kepentingan publik tidak mengharuskan dimiliki oleh negara. Apabila tanah dimiliki oleh negara berakibat karakter yang terkandung dalam pengertian eigendom (pemilikan mutlak). Penjelasan teoritik mengenai tidak adanya milik negara atas tanah, sangat jelas terlihat dari teori Aristoteles, agaknya hanya dapat diberi tafsiran terhadap ketidakmungkinan negara memiliki tanah sebagaimana dikemukakan juga oleh Van Eikema Hommes, sebagai berikut :
De staat is onststaan om het feitelijke bestaan (het naakte Hjf) te beschermen; maar hij bestaat om der wille van het volmaakte ieven. De polis is in de natuurlijke orde van de mensehjke semenleving gegrond, en de mens is van nature een op de samenleving in de polis aangelegd wezen. A Is de mens dus niet als enkerling in isolatie zelfgenoegzaam is maar zijn hoogste doe! alleen in de zelfgenoegzame polis vindt, dan moet hij zich tot de polis verhouden als een deel tot het geheel, waartoe hij be hoort.
Keberadaan rakyat dalam negara untuk secara aktif mengambil bagian dalam kehidupan politik. Namun, negara tidak menerima kekuasaan untuk memiliki, seperti apa yang dimiliki oleh rakyat dalam pemilikan hak atas tanah. Negara yang di dalamnya hidup masyarakat sebagai satu kesatuan, melindungi kehidupan riil masyarakatnya. Termasuk diperlindung-an ini adalah milik setiap orang yang ada dalam masyarakat itu.
Kuatnya hak-hak manusia sehingga dapat mengecualikan negara memiliki tanah, menunjukkan bah-wa hak-hak itu se olah-olah merupakan hak suci (droit inviolable et sacre), sebagaimana dinyatakan dalam Declaration des Droits de / home et du Citoyen (tak seorangpun boleh merampas hak tersebut, tanpa melalui acara yang ditentukan oleh ketentuan hukum). Sejalan dengan itu, Gustav Radbruch menyatakan bahwa : The right of ownership expresses only the individual aspect of ownership, looking towart private benefit; ...The individual function of the right of ownership belong to natural lawMenurut Goethe dan Fichte menyatakan bahwa milik pribadi menjamin setiap orang terhadap kenikmatan atas sesuatu dengan jaminan untuk mengecualikan orang lain. Jean Bodin menegaskan bahwa hukum alam dan keadilan menunjukkan adanya milik pribadi (the rule of natural law and justice... seeks private ownership). Senada dengan pendapat tersebut O.W. Holmes mengemukakan :
But what are the rights of ownership ? They are substantially the same as those incident to possession. Whithin the limits prescribed by policy, the owner is allowed to exercise his natural powers over the subject-matter uninterfered with, and is more or less protected in excluding other people from such interference. The owner is allowed to exclude all, and is accountable to no one.