Cikal bakal pembedaan antara hukum publik dan privat berada dalam sejarah hukum Romawi, dan sejak abad ke-17 mulai dipertegas dengan lahirnya Codex Justiniaus yang disebut dengan Codex turis Civitis untuk membedakan dari Codex turis Cononici. Boleh dikatakan, sejak itulah mulai dibedakan ius civitis (hukum sipil atau perdata) dari ius pubticum (hukum publik). Menurut Hans Kelsen, ilmu hukum tidak berhasil menegaskan pokok-pokok pembedaan diantara kedua bidang hukum itu.
Pada umumnya hanya diakui bahwa dalam bidang hukum perdata diatur hubungan diantara subyek hukum yang setara (antar warga negara), sedangkan dibidang hukum publik diatur hubungan antara subyek-subyek hukum yang tidak setara (antara negara dan warga negara). Titik tolak yang digunakan oleh Hans Kelsen untuk mencirikan perbedaan itu adalah proses pembentukan hukum yang mengatur masing-masing bidang tersebut. Jika hukum yang mengatur hubungan negara dengan warga negara, lahir karena perintah dari negara, maka hukum yang mengatur hubungan antar warga negara lahir karena kesepakatan yang dikukuhkan sebagai perjanjian (kontrak).
Perkembangan pembedaan hukum publik dan privat tidaklah berdiri sendiri. Hugo Grotius sebagai pelopor perkembangan hukum internasional, memegang peranan penting untuk menekankan pembedaan dimensi hukum publik dari dimensi hukum perdata. Pandangan Hugo Grotius dan kebanyakan pemikir pada zaman renaissance yang cenderung sekuler, telah menempatkan negara pada kedudukan politik yang lebih seimbang terhadap Gereja. Keseimbangan itu dikukuhkan dalam rangkaian perjanjian Westvalia 1648, sejak itu negara mempunyai kedudukan yang tegas sebagai subyek hukum dalam hukum publik. Namun, sebagai akibat logis kemampuan negara untuk menyatakan dan mewujudkan kemauan negara terhadap Gereja, juga menundukkannya sebagai negara kekuasaan di samping kedudukannya sebagai negara hukum.
Pemisahan subyek hukum dalam hukum perdata di satu sisi, dari subyek hukum dalam hukum publik di sisi lain, tampak seperti makin dipertegas. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, pemisahan itu tidak lagi dapat dipertahankan dan terobosan-terobosan yang dilakukan oleh hukum publik internasional, seperti dilakukan melalui Konvensi Den Haag tahun 1907 dan perjanjian Varsailles tahun 1917 yang mengakhiri Perang Dunia i. Akibatnya, dimungkinkan individu tampil sebagai sdbyek hukum internasional. Atas dasar itulah didirikan pengadilan internasional di Nuremberg dan Tokyo pada akhir Perang Dunia II, untuk mengadili para penjahat perang sebagai pribadi.
Jika negara merupakan suatu tatanan hukum (rechtsordnung), oleh karena itu negara dapat disebut sebagai negara hukum (rechtsstaat). Jika revolusi Perancis 1789, Konvensi Den Haag 1907, dan Perjanjian Varsailles 1917, mendorong dimungkin kannya individu tampil sebagai subyek hukum dan berhadapan dengan negara sebagai subyek hukum dalam platform hukum publik, maka akhir Perang Dunia II menghasilkan sebaliknya. Kehancuran yang diakibatkan oleh Perang Dunia II, mendorong pembangunan besar-besaran dan terlibatnya modal, ilmu dan teknologi, dan manajemen yang pada akhirnya melahirkan Perusahaan Transnasional.
Perusahaan Transnasional tersebut, bisa meliputi industri manufaktur sampai industri keuangan, yang ada kalanya mempunyai perputaran modal dengan volume melebihi anggaran belanja negara-negara tertentu. Dengan sendirinya perusahaan itu memperoleh apa yang dinamakan political leverage terhadap negara, sehingga menjadi masuk akal, jika suatu negara melakukan transaksi dengan suatu konsorsium yang terdiri dari badan-badan hukum perdata. Dengan demikian, tidak saja individu yang dapat terlibat sebagai subyek hukum publik, melainkan negara dapat juga memainkan peranah tertentu sebagai subyek hukum perdata.
Jika ditinjau dari dua arah perkembangan hukum perdata internasional,, dapat dilihat interaksi yang saling mempengaruhi antara hukum publik dan hukum privat. Dari indikasi itu, bisa saja timbul pertanyaan, apakah saat ini tidak lagi dibedakan antara hukum publik dan hukum privat, sehingga bisa kembali ke zaman sebelum zaman Hugo Grotius (1583-1648). Jawabnya, jelas tidak, seperti jarum jam, perkembangan hukum atau kebudayaan tidak bisa ditarik mundur. Kita memang tetap tidak bisa menyeret subyek hukum yang disebut negara ke dalam suatu perkara pidana, dimana negara terlibat sebagai individu dalam pemenuhan atau penyerobotan tanah misalnya.
Khususnya konsep kualifikasi hak milik publik dan privat atas tanah sebagai prinsip dasar hak milik atas tanah bangsa Indonesia, berkaitan dengan konsep perhubungan antara tanah dengan individu, badan hukum privat, dan badan hukum publik (yang dalam hal ini ditangani oleh negara), yang dalam UUPA belum memperoleh pengaturan secara utuh, yang baru diatur hak milik atas tanah bangsa Indonesia adalah konsep keutuhan wilayah sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UUPA. Pengaturan hal tersebut seharusnya diatur dalam ketentuan UUD 1945 sesuai dengan kedudukannya sebagai norma fundamental negara.