Dalam literatur ilmu hukum, asal usul kekuasaan negara selalu dihubungkan dengan teori kedaulatan (sovereignty) yang berkaitan dengan pemegang kedaulatan atau pemegang kekuasaan dalam suatu negara. Negara sebagai organisasi tertinggi dari bangsa diberi kekuasaan untuk mengatur segala-galanya dan negara berdasarkan kedudukannya memiliki ke-wenangan untuk membuat peraturan.133 Berkaitan dengan itu, J. J. Rousseau menyebutkan, kekuasaan negara sebagai suatu badan atau organisasi rakyat bersumber dari hasil perjanjian masyarakat yang esensialnya merupakan suatu bentuk kesatuan yang membela dan melindungi kekuasaan bersama, kekuasaan pribadi, dan milik setiap individu.134 Dalam teori perjanjian masyarakat tersebut, pada hakikatnya yang dilepas oleh setiap individu dan diserahkan kepada kesatuannya sebagian kekuasaan bukan kedaulatannya. Kekuasaan negara bukanlah kekuasaan tanpa batas (postestas legibus omnibus soluta) dikarenakan ada beberapa ketentuan hukum yang mengikat dirinya, seperti hukum alam dan hukum Tuhan (leges naturae et devinae) serta hukum yang umum pada semua bangsa (legis imperii). Berdasarkan teori tersebut, secara teoritik kekuasaan negara atas sumber daya alam bersumber dari rakyat yang dikenal sebagai hak bangsa.
Pada mulanya manusia dilahirkan bebas, tetapi dimana saja manusia itu hidup dalam ikatan negara, sehingga ia tidak leluasa lagi melakukan apa yang disukainya, semaunya dan sebebas-bebasnya. Manusia semestinya telah mengadakan kontrak yang bertujuan untuk membentuk suatu perkumpulan sebagai suatu personne moraal yang diberinya seluruh kekuasaan oleh yang melakukannya, tetapi ia tidak kehilangan kebebasannya, dan perkumpulan masyarakat yang berdaulat sepenuhnya itu harus berkuasa untuk memaksa seseorang yang melanggar peraturan, agar warga tetap bebas.
Dalam perkembangan teori kontrak sosial Rousseau, mempunyai pengaruh terhadap penyelenggaraan negara dalam setiap pengambilan keputusan, disatu pihak melahirkan mekanisme demokrasi. Dengan demikian, kebebasan rakyat yang alamiah sebagai warga negara tidak dapat lagi sebebas-bebasnya, tetapi kebebasan dalam arti politik, dilain pihak melahirkan kebebasan berkontrak dalam keperdataan.
Pada abad pertengahan, ketika berlakunya marcantie system, yang merupakan sistem perekonomian pada abad pertengahan yang ditandai dengan masa aktivitas bisnis dan perdagangan tidak mendapat tempat terhormat. Artinya raja memegang kekuasaan untuk menagih pajak dan memberikan kekuasaan monopoli (hak istimewa kepada perorangan dan gereja). Peraturan pemerintah (statutes) mengendalikan harga dan mengatur jumlah berat dan ukuran, buruh diatur secara ketat dengan guild system (menentukan upah para pekerja yang terikat pada suatu tugas tertentu di bawah pemagangan dalam waktu lama). Kebencian terhadap pembatasan perdagangan antar kota, pemberian hak-hak istimewa dan monopoli yang diberikan oleh raja untuk melakukan pengawasan, pemberontakan oleh pihak pemagang terhadap tuannya, penemuan mesin-mesin, perkembangan sistem pabrik dan pengaruh hukum alam terutama abad ke-17 dan 18, menandai berakhirnya mercantie system dan lahirnya asas kebebasan berkontrak.
Penganjur terkemuka dari aliran hukum alam, yaitu Hugo Grotius (1583-1648) berpendapat untuk mengadakan perjanjian adalah salah satu hak asasi manusia, ia mengatakan bahwa ada suatu supreme body of law yang dilandasi oleh nalar manusia (human reasons). Kontrak adalah suatu tindakan sukarela dari seorang dimana ia berjanji sesuatu kepada orang lain dengan maksud orang lain itu menerimanya. Kontrak tersebut adalah lebih dari sekedar suatu janji, karena tidak memberikan hak kepada pihak yang lain atas pelaksanaan janji itu. Menurut Thomas Hobbes (1588-1676), kebebasan berkontrak sebagai suatu kebebasan manusia yang fundamental yang melahirkan metode, dimana hak-hak fundamental dari manusia bisa dialihkan.138 Kebebasan berkontrak menurut Adam Smith (1723-1790) adalah merupakan refleksi dari perkembangan dari pasar bebas, yang melahirkan konsep ekonomi laissez faire dan teori utilitarianisme dari Jeremy Bentham (1748-1832).138 Kedua teori tersebut saling melengkapi dan sama-sama menghidupkan pemikiran liberal individualistik.
Pada abad ke-19 seiring dengan makin berpengaruhnya doktrin pemikiran ekonomi laissez faire, kebebasan berkontrak menjadi prinsip yang umum untuk mendukung persaingan bebas. Dengan demikian kebebasan berkontrak menjadi penjelmaan hukum (legal expresion) prinsip pasar bebas. Kebebasan berkontrak menjadi paradigma baru hukum kontrak yang sangat diagungkan para filosuf, ahli hukum, dan pengadilan, bahkan kebebasan berkontrak cenderung berkembang kearah kebebasan tanpa batas (unrestricted freedom of contract). Dalam perkembangannya laissez faire menimbulkan kepincangan dalam kehidupan masyarakat dan akibatnya kebebasan berkontrak mendapat pembatasan oleh negara. Hal ini disebabkan, karena prinsip kebebasan berkontrak selalu memiliki bargaining power yang tidak seimbang diantara para pihak, sehingga negara menganggap perlu untuk campur tangan untuk melindungi pihak yang lemah.
Pada abad ke-20 timbul berbagai kritik dan keberatan terhadap kebebasan berkontrak, baik yang berkaitan dengan akibat negatif yang ditimbulkannya, maupun kesalahan berpikir yang melekat di dalamnya. Paradigma kebebasan berkontrak berkembang ke arah paradigma kepatutan. Dengan demikian walaupun kebebasan berkontrak masih merupakan asas penting dalam hukum kontrak, baik dalam sistem hukum civil iaw maupun dalam common iaw, tetapi ia tidak lagi muncul seperti kebebasan berkontrak yang berkembang pada abad ke-19. Kebebasan berkontrak bukanlah tanpa batas, negara telah melakukan sejumlah pembatasan melalui peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, yang harus mengatur: (1). Ajaran itikad baik, yang harus ada sebelum dan setelah kontrak dibuat. (2). Ajaran penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden atau undue influence). Kedua asas tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 242 Burgeliches Gezetbuch (Hukum Perdata Jerman), Pasal 1374 KUHPerdata Perancis (Burgelijk Wetboek Belanda lama), dan Pasal 1338 KUHPerdata.