BAB
II
PEMBAHASAN
Secara
teoretis, dalam kepustakaan baik menurut ruang lingkup sistem Anglo-Saxon
maupun Eropa Kontinental terminologi peradilan pidana sebagai sebuah sistem
relatif masih diperdebatkan. Terlepas dari aspek tersebut di atas maka pada
asasnya Sistem Peradilan Pidana (SPP) di Indonesia khususnya pada Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan Negeri, Lembaga Pemasyarakatan dan Lembaga Advokat
mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu UU Nomor 8
Tahun 1981 yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 31 Desember 1981. Selain
hukum acaranya mengacu kepada KUHAP sebagaimana tersebut di atas, maka
ketentuan hukum materiilnya juga mengacu kepada KUHP maupun di luar KUHP.
Pada
hakikatnya SPP itu dapat dikaji melalui pendekatan dari dimensi hukum, sosiologi,
ekonomi dan menajemen. Aspek ini dikatakan demikian oleh karena pada SPP
termaktub anasir yang mendukung eksistensi dari proses tersebut. Oleh Satjipto
Rahardjo aspek ini dideskripsikan lebih detail, bahwasanya:
“Ada
beberapa pilihan untuk mengkaji suatu lembaga hukum seperti sistem peradilan
pidana (criminal justice system-SPP), yaitu dengan pendekatan hukum dan dengan
pendekatan yang lebih luas, seperti sosiologi, ekonomi dan manajemen. Dari segi
profesional, SPP lazim dibicarakan sebagai suatu lembaga hukum yang berdiri
sendiri. Di sini kita memberikan perhatian terhadap asas, doktrin dan
perundang-undangan yang mengatur SPP tersebut. Dalam ilmu hukum, pendekatan
seperti itu disebut positivis-analitis.”
Dikaji
dari perspektif SPP (Criminal Justice System) pada dasarnya SPP dikemukakan
pertama kali di Amerika Serikat oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam
Criminal Justice Science. Mardjono Reksodiputro menyebutkan bahwa SPP merupakan
sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Ditinjau
dari dimensinya maka Frank Hagan membedakan antara Criminal Justice System
dengan Criminal Justice Process. Pada dasarnya, Criminal Justice System adalah:
“ …is the system by which society, fist determinies what will constitue a crime
and then identifies, accuses, tries, convicts, and punishes those who violated
the criminal law.” Sedangkan Criminal Justice Process diartikan sebagai: “the
series of procedure by which society identifies, accuses, tries, convicts, and
punishes offender”. Oleh karena itu, terdapat perbedaan gradual kedua
pengertian di atas yaitu Criminal Justice System merupakan substantive law
sedangkan Criminal Justice Process menunjuk pada pengamanan penerapan dari
Substantive law. Selanjutnya menurut Allan Coffey ada perbedaan atara “sistem”
dengan “proses” dimana dikatakan bahwa, “The process of the system refers to
many activities of police, attorneys, judges, probahation and a role and prison
staff. Process therefore is the most visible part of the system.”
SPP
di Indonesia dikenal ada 5 (lima) institusi yang merupakan sub SPP. Terminologi
lima institusi tersebut dikenal sebagai Panca Wangsa penegak hukum, yaitu
Lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat.
SPP yang merupakan proses peradilan pidana itu sebagai suatu sistem dengan
institusi kepolisian, kejaksaan dan pengadilan serta pemasyarakatan sebagai
suatu sub-sub sistem tersebut lebih detail dideskripsikan oleh J.W. La Patra ,
dengan bagan sebagai berikut:
Bagan:
Lapisan-lapisan dalam sistem peradilan pidana
Pada
dasarnya, lapisan 3 sub SPP hakikatnya berkorelasi dan lahir melalui proses
lapisan 1 (masyarakat) dan lapisan 2 (ekonomi, teknologi, pendidikan dan
politik) karena lapisan tersebut sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia
yang akhirnya berpengaruh terhadap sub sistem peradilan pidana. Hal ini
ditegaskan lebih lanjut oleh J.W. La Patra sebagai berikut:
“Many
different sosietal system have an impacton an individual before he has contact
with the Criminal Justice System. He is born with in certain mentaal is
physicil abilities and particular tendencies that may inherited. In the course
of his life he comes in contact with various group, such as the familiy. Which
important roles in his life other societal system-economic, educational,
technology play and politicalamong others-have a substantial influence on his
life”.
Sedangkan
dikaji dari terminologi SPP atau criminal justice system merupakan suatu
istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan
dasar pendekatan sistem. Remington dan Ohlin dengan tegas mengemukakan aspek
sebagai berikut:
“criminal
justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap
mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan sebagai suatu sistem
merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik
administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri
mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional
dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala
keterbatasannya.”
Kemudian,
dikaji dari perspektif teoretis dan komparatif menurut Michael King ada 7
(tujuh) model SPP yang secara implisit mengemukakan adanya “model keadilan”
yang dapat dipilih dan dipilah hakim sebagai kebijakan aplikatif yang
diinginkan dalam hal menjatuhkan suatu putusan. Pada hakikatnya, model SPP ini
merupakan model ideal sesuai tolok ukur dari dimensi, paradigma dan nuansa
masyarakat Amerika Serikat yang menjunjung tinggi heteroginitas, liberalisasi
dan demokrasi.
Adapun
tabel “model keadilan” yang dikemukakan oleh Michael King itu pada hakekatnya
berorientasi kepada aspek-aspek sebagai berikut:
Bagan:
7 (tujuh) Model Sistem Peradilan Pidana oleh Michael King
Nomor
Model Sistem Peradilan Pidana Tujuan yang ingin dicapai dari Sistem Peradilan
Pidana Tersebut
1.
Due Proses Model (DPM) Menggambarkan suatu versi yang diidealkan tentang
bagaimana sistem harus bekerja sesuai dengan gagasan-gagasan atau sifat yang
ada dalam aturan hukum. Hal ini meliputi prinsip-prinsip tentang hak-hak
terdakwa, asas praduga tidak bersalah, hak terdakwa untuk diadili secara adil,
persamaan di depan hukum dan peradilan.
2.
Crime Control Model (CCM) Sistem yang bekerja dalam menurunkan atau mencegah
dan mengekang kejahatan dengan menuntut dan menghukum mereka yang bersalah.
Lebih menjaga dan melayani masyarakat. Polisi harus berjuang melawan kejahatan.
3.
Medical Model (diagnosis, predection and treatment selection) Bahwa satu dari
pertimbangan masing-masing tingkat adalah bagaimana yang terbaik menghadapi
para individu yang melanggar hukum guna mengurangi kejahatan yang dilakukan
melalui pendekatan rehabilitasi. Para polisi memiliki kekuasan untuk
memperingatkan pelanggar dan mengarahkan mereka kepada lembaga kerja sosial.
4.
Bureaucratic Model Menekankan kejahatan harus dibongkar dan terdakwa diadili,
ia harus dijatuhi hukuman dengan cepat, dan sedapat mungkin efisien.
Keefektifan pelaksanaan hukum di pengadilan menjadi suatu perhatian utama. Jika
terdakwa mengaku tidak bersalah dalam suatu proses peradilan, maka penuntut dan
pembela berupaya untuk mengumpulkan bukti-bukti, memanggil saksi dan menyiapkan
berbagai dokumen yang diperlukan untuk keperluan pembuktian.
5.
Status Passage Model Model ini menekankan bahwa para pelanggar harus diadili di
depan umum dan dijatuhi hukuman. Hukuman perlu dijatuhkan untuk menggambarkan
pencelaan moral masyarakat. Pengadilan publik dan hukuman perlu untuk
menunjukkan bahwa masih terdapat nilai-nilai hukum yang kebal dari masyarakat.
Hukum publik dan ungkapan pencelaan dalam rehabilitasi dapat menyebabkan
perasaan malu para pelanggar.
6.
Power Model Bahwa Sistem Peradilan Pidana pada dasarnya memperkokoh peranan
penguasa sebagai pembuat hukum dan sekaligus menerapkannya di masyarakat. Hukum
Pidana dan pelaksanaannya dipengaruhi oleh kepentingan dari golongan yang
dominan, seperti ras, jenis kelamin dan lain-lain.
7.
Just Desert Model (Just Desert & Just Punishment) Setiap orang yang
bersalah harus dihukum sesuai dengan tingkat kesalahannya. Tersangka harus
diperlakukan sesuai dengan hak asasinya, sehingga hanya mereka yang bersalah
yang dihukum. Juga memberi ganti kerugian kepada yang bersalah.
Pada
dasarnya, ketujuh model SPP tersebut mendeskripsikan “model keadilan” yang ingin
dicapai dalam takaran kebijakan aplikatif bagi hakim di pengadilan khususnya
saat proses penjatuhan putusan. “Model Keadilan” sesuai dimensi Crime Control
Model (CCM) dan Due Process Model (DPM) yang juga dikemukakan oleh Herbert L.
Packer dalam bukunya yang berjudul: The Limits of Criminal Sanction dimana
disebutkan bahwa dimensi dari Crime Control Model bertitik tolak kepada
keadilan dengan titik tolak tindakan represif merupakan keadilan yang ingin
dicapai guna menekan angka kejahatan sedangkan pada Due Process Model lebih
menekankan pada keadilan dengan orientasi kepada eksistensi tentang hak-hak
terdakwa, lebih mengkedepankan dimensi hukum dan hak asasi manusia.
Apabila
diperinci dengan lebih detail, cermat dan terperinci maka “model keadilan”
sebagaimana dikemukakan oleh Michael King sesuai konteks di atas yakni “model
keadilan” yang berupa Just Desert Model (Just Desert & Just Punishment)
mulanya relatif selaras, cocok diterapkan dalam SPP Indonesia yang berciri
Eropa Kontinental. Pada model keadilan ini maka hakikatnya penjatuhan pidana
kepada pelaku tindak pidana bersifat selektif dalam artian kepada orang yang
bersalah saja yang harus dijatuhi pidana. Kemudian penjatuhan pidana tersebut
haruslah sesuai dengan tingkat dan bobot kesalahan yang dilakukannya.
Berikutnya dalam menjalani proses peradilan tersebut maka hak-hak dari terdakwa
berupa asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) harus dilindungi
dan dijunjung tinggi serta juga bagi korban diberikan ganti kerugian.
Konkretnya, pelaku tindak pidana diwajibkan memberi ganti kerugian kepada
korban akibat dari tindak pidana yang telah dilakukannya.
Akan
tetapi selaras kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ternyata
SPP telah berada di “persimpangan jalan” dalam artian SPP belum dapat menjawab
secara tuntas dimensi dan dilema dalam SPP.
Perubahan hukum acara pidana dari
Herzien Inlandsch Reglement (HIR) ke Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) pada tahun 1981 memberikan angin segar bagi terselenggaranya peradilan
pidana khususnya tingkat penyidikan yang adil, fair dan objektif serta
menghormati hak asasi manusia. Praktik peradilan pidana pada masa lalu amat
sangat buruk terhadap tersangka, di mana penyelidik dan penyidik dengan bebas
dan gampangnya memasung hak-haknya (hak membela diri, mendapat bantuan hukum,
memberikan keterangan secara bebas dll) sampai pada penyiksaan dan pengancaman
serta kekerasan.
Kini setelah perubahan hukum acara
itu (30 tahun), amandemen Undang-Undang Dasar 1945, dan perubahan Undang-Undang
Kepolisian (UU No. 2 Tahun 2002) potret penyelidikan dan penyidikan oleh
Kepolisian tidak jauh berbeda dengan zaman berlakunya HIR. Jika zaman HIR
seseorang dapat ditetapkan tersangka, ditangkap dan ditahan tanpa bukti dan
batas waktu, serta mendapat perlakuan kejam dan tidak manusiawi dalam proses
peradilan pidana, demikian halnya sekarang pada berlakunya KUHAP. Padahal
Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa negara harus berdasarkan atas
hukum (rechstaat). Penyelengaraan negara hukum (rule of
law)mengharuskan setiap tahapan penegakan hukum yang bersentuhan hak asasi
manusia, harus dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bentuk-bentuk lain pelanggaran hak
asasi manusia yang masih berlangsung saat ini: (a) penangkapan dan penahanan yang
sewenang-wenang; (b) persangkaan didasarkan hasil keterangan saksi palsu
dan/atau tanpa bukti; dan (c) penangkapan dan penahanan yang melebihi batas
waktu.
·
Penyidikan (Kepolisian)
Kepolisian melaksanakan tugas pokok,
fungsi, dan kewenangannya sebagai garda terdepan sistem peradilan pidana karena
berdiri paling awal dari seluruh rangkaian penyelenggaran peradilan pidana. Ada
dua peran Kepolisian dalam tahap peradilan pidana yakni sebagai penyelidik dan
penyidik yang memproduk tersangka, barang bukti, dan alat bukti yang terangkum
dalam Berkas Perkara Hasil Penyidikan (BPHP).
Tahap penyidikan (opsporing atau investigation) adalah
tahapan yang paling menentukan karena tanpa proses penyidikan tidak mungkin
tahapan-tahapan selanjutnya dalam sistem peradilan pidana dapat dilaksanakan
karena pada tahap penyidikanlah untuk pertama kali dapat diketahui bahwa telah
terjadi peristiwa kejahatan atau tindak pidana serta penentuan tersangka
pelakunya untuk kemudian berlanjut tahap penuntutan dan persidangan.
Wewenang penyidik dalam tahapan
penyidikan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP yaitu: (1) Menerima laporan atau
pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; (2) Melakukan tindakan
pertama pada saat di tempat kejadian; (3) Menyuruh berhenti tersangka dan memeriksa
tanda pengenal dari tersangka; (4) Melakukan penangkapan, penahanan,
penggeledahan dan penyitaan; (5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; (6)
Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; (7) Memanggil orang untuk didengar
dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; (8) Mendatangkan orang ahli yang
diperlukan dalam hubunganya dengan pemeriksaan perkara; (9) Mengadakan
penghentian penyidikan; dan (10) Mengadakan tindakan lain yang menurut hukum
bertanggung jawab.
·
Crime Control Model
Dalam penegakan hukum pidana di mana
negara dan masyarakat menjadi korban, hampir setiap negara membentuk sistem
penegakan yang dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana (Integrated
Criminal Justice System) yang meliputi, bagaimana mekanisme dan
standar penegakan hukum yang sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum baik
dalam tingkat penyidikan, penuntutan, persidangan dan pelaksanaan putusan.
Dalam sistem itu dikenal dua konsep:
Pertama, Crime Control Modeladalah model penegakan hukum yang tidak
mementingkan proses dan sedikit banyak mengabaikan hak asasi manusia, dengan
menitikberatkan pada hasil penyidikan yang banyak ditemukan dalam pasal-pasal
di HIR. Kedua, Due Process Model adalah model penegakan hukum
yang menuntut adanya hearing, counsel, defense, evidence, fairdan impartial
court (Mardjono Reksodiputro, 1997).
Dalam konsep Due Process Of
Law yang tercakup di dalamnya antara lain: (1) hak tersangka dan
terdakwa untuk didengar pandangannya tentang bagaimana peristiwa kejahatan itu
terjadi; (2) dalam pemeriksaan terhadapnya diberi hak didampingi oleh penasihat
hukum; (3) hak mengajukan pembelaannnya dan Penuntut Umum harus membuktikan
kesalahan terdakwa di muka persidangan; dan (3) peradilan yang bebas dan tidak
memihak (Mardjono Reksodiputro, 1997).
Maka dari hal itu semua Crime
Control Model muncul dan menjadi sistem peradilan pidana yang dapat
dikatakan menjanjikan untuk masalah kepastian dan keadilan berdasarkan hukum,
dan tidak harus Crime Control Model ini digunakan untuk
memberantas Tindak Pidana Khusus, Tindak Pidana Konvensionalpun juga sangat
tepat.
Adapun karakteristik Crime
Control Model terbagi menjadi 6 (enam) yaitu :
1. Represif;
Represif dalam Crime Control
Model ini adalah pemberian ruang gerak yang luas bagi aparat penegak
hukum atau dapat dikatakan aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan yang
diberikan oleh undang-undang untuk melakukan tugasnya secara luas (tidak
dibatasi), maka segala sesuatu yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
sebenarnya dapat melanggar undang-undang, dan bahkan adanya tumpang tindih
kewenangan didalamnya, namun demikian untuk permasalahan tersebut kita lihat
lagi dimana undang-undang yang memberi wewenang tersebut, jika memang adanya
hal yang mengatur tentang kewenangan yang mengakibatkan tumpang tindih tersebut
maka dinamakan (Buse of Poweratau penyelahgunaan kewenangan). Namun
demikian tindakan represif didalam Crime Control Model ini
adalah tindakan untuk memberantas bahkan mencegah tindakan kejahatan yang
selalu berubah-ubah yang dilakukan dengan pemanfaatan ITE dan lain sebagainya,
karena tingkat kecerdasan dan kemahiran manusia seiring dengan perkembangan
zaman akan semakin bertambah, begitu juga dengan kejahatan itu sendiri.
2. Presumption
Of Guilt;
Arti dari hal ini adalah asas
praduga bersalah, yang dimana seseorang dapat dikatan bersalah dengan didahului
oleh bukti-bukti yang telah ditemukan oleh para penyidik. Hal ini bila ditelaah
juga sebenarnya melanggar hak asasi pelaku, namun hak asasi yang sifatnya
memang dapat dibatasi oleh hukum dan negara, dan hal ini termaktub dalam
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 J ayat (2) amandemen ke- 2yaitu :
“Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada PEMBATASAN yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis”.
3. Informal
Fact Finding;
Arti dari karakteristik ini yaitu
“penemuan alat bukti dengan cara yang tidak prosedural”, yang artinya dalam hal
penyidik dalam menemukan alat bukti untuk dijadikan sebagai bukti dalam proses
pemeriksaan persidangan, para penyidik tersebut dalam hal menemukan alat bukti
tidak sesuai dengan hukum acara yang telah mengatur, namun lebih menjalankan
aturan atau undang-undang atau hukum formil yang memberikan wewenang bagi
mereka, karena kita tahu bahwa Crime Control Model ini
merupakan “Lex Specialis” dari sistem Due Process, maka
Undang-Undang Tindak Pidana Khusus lebih digunakan daripada KUHAP, karena
sebagian besar Undang-Undang Tindak Pidana Khusus mengadopsi komponen-komponen
interpretasi dari KUHAP.
4. Factual
Guilt;
Selanjutnya karakteristik yang
ditonjolkan oleh Crime Control Modeladalah Factual Guilt, yang
artinya kesalahan pelaku ada
pada alat bukti. Yang dimana maksud dari hal tersebut adalah ketika
seorang pelaku berada dalam proses pemeriksaan dalam suatu persidangan, maka
sistem peradilan yang ditekankan dalam Crime Control Model disini
adalah tentang pelaksanaan persidangan yang berupa penunjukkan alat bukti yang
sudah diketemukan, kemudian sistem peradilannya hanya bersifat menjelaskan alat
bukti tersebut bahwa alat bukti yang telah diketemukan oleh penyidik merujuk
pada pelaku.
Maka dari hal tersebut bila
dikorelasikan dengan sistem peradilan Tipikor sangatlah tepat, pasalnya tetap
merujuk pada sifat Crime Control Modelitu sendiri yaitu bersifat
cepat, biaya ringan, dan terbuka untuk umum. Penjelasan Factual Guilt diatas
dapat ditelaah secara seksama bahwa dalam proses pemeriksaan sidang sebenarnya
tidak hanya pelaku saja yang dirujukan pada alat bukti yang sudah ditemukan,
namun disatu sisi Factual Guilt juga melihat dari sisi sikap tegas seorang
Hakim dalam memimpin jalannya persidangan.
Barang
bukti belum bisa menjadi alat bukti yang sah sebelum adanya proses hukum yang
dilaksanakan, seperti “visum”. Maksud dari pernyataan tersebut adalah ketika telah
diketemukan sebuah baraang bukti oleh penyidik dalam proses penyitaan (pasal 1
butir 26 KUHAP) maka tidak serta merta dapat di ajukan dalam proses pemeriksaan
persidangan, khususnya dalam proses pembuktian, dikarenakan barang buki
tersebut haruslah berubah menjadi alat bukti yang sah terlebih dahulu, maka hal
tersebut memerlukan tindakan hukum yaitu visum.
5. Affirmative
Model; dan
Arti dari karakteristik ini adalah
sebuah sistem peradilan pidana dalamCrime Control Model yang
menggunakan cara konfirmasi, yang artinya sistem peradilan yang hanya
membutuhkan sebuah penjelasan dari para pelaku, dan pelaku dapat dinyatakan
bersalah dan tidak bersalah, dengan penjabaran sebagai berikut :
Bersalah : jika pelaku tidak dapat
menjelaskan perbuatannya dengan menggunakan acuan alat bukti yang telah
ditemukan penyidik sebelumnya, dengan logika hukum jika alat bukti mengatakan
A, dan Pelaku mengatakan B maka hal itu sudah terlihat bahwa pelaku bersalah.
Tidak
bersalah :
jika pelaku dapat menjelaskan bahwa alat bukti yang ditemukan tersebut bukan
merupakan bagian dari perbuatannya.
6. Efficiency.
Pada crime control model tindakan
represif terhadap suatu tindakan kriminal adalah fungsi terpenting dari suatu
proses peradilan, asasnya adalah efisien cepat dan tuntas. Asas praduga
(persumption of guilt) akan membuat sistem ini efisien dalam menetapkan pelaku
dan menjamin haknya dalam proses peradilan, pencarian fakta tidak harus
mengikuti prosedur formal karena crime control model sendiri lebih menekankan
kepada (informal fact finding).Gambaran pengadilannya adalah :
Mengabaikan pengawasan hukum
(disregard legal control)
Secara diam-diam berpraduga bersalah
(implicit persumption of guilt)
Dengan hukuman tinggi (high
conviction rate)
Dukungan kepada para penegak hukum.
Dari penjabaran tersebut bukan
berarti bahwa crime control model serta merta mengabaikan hak-hak pelaku
ataupun terdakwa, namun adanya suatu konsekuensi yang akan didapatkan kelak
nantinya. Crime Control Model menjamin hak hak pelaku namun lebih menekankan pada
proses peradilannya dan didalam hukum positif kita yang berlaku seperti KUHAP,
Undang-undang nomer 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
Undang-undang nomer 46 tahun 2009 tentang pengadilan tindak pidana korupsi,
Undang-undang nomer 20 tahun 2001 tentang perubahan pemberantasan tindak pidana
korupsi dan bahkan perkap nomer 12 tahun 2009 telah dijelaskan secara gamblang
(menjamin hak hak pelaku baik tersangka maupun terdakwa).
Contoh
kasus
Nilai Yang
Mendasari dan Karakteristik Crime Control Model
1. Nilai-Nilai Yang Mendasari Crime
Control Model
Dalam penegakan hukum pidana di mana
negara dan masyarakat menjadi korban, hampir setiap negara membentuk sistem
penegakan yang dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana (Integrated
Criminal Justice System) yang meliputi, bagaimana mekanisme dan
standar penegakan hukum yang sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum baik
dalam tingkat penyidikan, penuntutan, persidangan dan pelaksanaan putusan.
Dalam sistem itu dikenal dua konsep:
Pertama, Crime Control Model adalah model penegakan hukum yang
tidak mementingkan proses dan sedikit banyak mengabaikan hak asasi manusia,
dengan menitikberatkan pada hasil penyidikan
Due Process dan Crime Control merupakan
model normatif peradilan, memiliki tujuan tertentu dan berbeda secara
fundamental, baik dari persoalan nilai atau kepentingan yang hendak dicapai.
Crime Control Model lebih menekankan cara kerja efisien,
cepat dengan maksud untuk memperoleh pengakuan. Sementara Due Process
Model mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana.
Nilai-nilai
yang melandasi Crime Control Model adalah :[2]
a. Tindakan
represif terhadap suatu tindakan kriminal merupakan fungsi terpenting dari
suatu proses peradilan.
b. Perhatian
utama ditujukan kepada efisiensi suatu penegakan hukum untuk menyeleksi
tersangka, menetapkan kesalahannya dan menjamin atau melindungi hak tersangka
dalam proses peradilannya.
c. Proses
criminal penegakan hukum harus dilaksanakan berlandaskan cepat(speedy) dan
tuntas (finality). Model yang dapat mendukung proses penegakan
hukum tersebut adalah model adminstratif dan menyerupai model manajerial.
d. Asas
praduga bersalah atau presumption of guilty akan menyebabkan
sistem ini dilaksanakan secara efisien.
e. Proses
penegakan hukum harus menitikberatkan pada kualitas temuan-temuan fakta
administrative karena temuan tersebut akan membawa kearah : (1). Pembebasan
seorang tersangka dari penuntutan; atau (2) kesediaan tersangka menyatakan
dirinya bersalah atau plead of guilty.
2. Karakteristik Crime Control Model[3]
1. Represif
Dalam mewujudkan Indonesia
bebas korupsi maka perlu adanya proses penegakan hukum yang cepat, tepat,
dan tegas. Cepat dalam proses penyelidikan dan penyidikannya, tepat dalam
proses persidangannya, dan tegas dalam putusannya. Sehingga langkah represif
setelah adalanya indikasi terjadinya tindak pidana korupsi. Semua itu bisa
dilakukan dengan dua strategi, yaitu :
a. Strategi
persuasive, yaitu upaya menghilangkan penyebab korupsi dan peluang korupsi;
b. Strategi
detektif, yaitu menampilkan dan mengidentifikasi tindak pidana korupsi dalam
waktu sesingkat mungkin;
Langkah represif yaitu memproses tindak
pidana korupsi yang telah diidentifikasi sebelumnya dengan cara melalui proses
penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan putusan pengadilan adalah sebuah
keharus sehingga penegakan hukum represif bisa menjadi shock
terapy bagi para koruptor sehingga ruang geraknya bisa dibatasi.
2. Presumption of guilt
Dalam perspektif criminal
procedure (hukum acara pidana), Hebert L Packer dalam The
Limited of The Criminal Sanction mengemukakan dua model dalam
beracara. Kedua model itu adalahCrime Control Model dan Due
Process Model. Crime Control Model memiliki karakteristik
efisiensi, mengutamakan kecepatan dan presumption of guilt (praduga
bersalah) sehingga tingkah laku kriminal harus segera ditindak dan si tersangka
dibiarkan sampai ia sendiri yang melakukan perlawanan. Crime Control
Model ini diumpamakan seperti sebuah bola yang digelindingkan dan
tanpa penghalang.
Dalam perkembangannya banyak
pemahaman yang keliru dalam memaknai praduga bersalah ini, diantaranya adalah
melanggar hak asasi manusia, menyalahi prosedur hukum yang ada dan lain-lain.
Khusus mengenai asas praduga bersalah dan asas praduga tidak bersalah perlu
dipahami. Kedua asas itu tidak bertentangan satu dengan yang lain. Bahkan, oleh
Packer dengan tegas dikatakan, keliru jika memikirkan asas praduga bersalah
sebagaimana yang dilaksanakan dalam crime control modelsebagai
suatu yang bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah yang menempati
posisi penting dalam due process model. Ibarat kedua bintang kutub
dari proses kriminal, asas praduga tidak bersalah bukan lawannya, ia tidak
relevan dengan asas praduga bersalah, dua konsep itu berbeda, tetapi tidak
bertentangan.[4]
Asas praduga tidak bersalah adalah
pengarahan bagi para aparat penegak hukum tentang bagaimana mereka harus
bertindak lebih lanjut dan mengesampingkan asas praduga bersalah dalam tingkah
laku mereka terhadap tersangka. Intinya, praduga tidak bersalah bersifat legal
normative dan tidak berorientasi pada hasil akhir. Sedangkan Asas praduga
bersalah bersifat deskriptif faktual. Artinya, berdasar fakta-fakta yang ada si
tersangka akhirnya akan dinyatakan bersalah. Karena itu, terhadapnya harus
dilakukan proses hukum mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
sampai tahap peradilan. Tidak boleh berhenti di tengah jalan[5].
Dalam konteks hukum acara pidana di
Indonesia, kendati secara universal asas praduga tidak bersalah diakui dan
dijunjung tinggi, tetapi secara legal formal Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) kita juga menganut asas praduga bersalah. Sikap itu paling tidak
dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 17 KUHAP yang menyebutkan, Perintah
penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak
pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Artinya, untuk melakukan proses
pidana terhadap seseorang berdasar deskriptif faktual dan bukti permulaan yang
cukup, harus ada suatu praduga bahwa orang itu telah melakukan suatu perbuatan
pidana yang dimaksud.
3. Informal fact finding
Informal fact finding atau pencarian fakta-fakta/alat
bukti secara informal mungkin banyak dimaknai negatif dan melanggar hukum,
namun sebenarnya dalam pemaknaan Informal fact finding ini
tidak ada kaitannya dengan proses pencarian alat bukti/fakta-fakta yang
berindikasi melanggar hukum, dimana Informal fact finding diupayakan
agar dalam proses penegakan hukum khusunya pencarian fakta para penyidik diberi
kemudahan dalam melakukan pencarian alat bukti, seperti yang kita fahami
bersama bahwa tindak pidana korupsi adalah kejahatan modern yang melibatkan orangt
pandai sehingga ada kemungkinan upaya-upaya korupsi yang dilakukan dengan
secara halus sehingga sulit dideteksi alat buktinya semisal tindak pidana
pencucian uang. Inti dari Informal fact finding ini adalah
memberikan keleluasaan penyidik dalam mencari fakta-fakta namun tidak
bertentangan dengan hukum yang ada.
Maksud dari informal fact
finding dalam hal ini adalah bahwa penemuan alat bukti dengan
cara yang tidak prosedural, yang artinya bahwa dalam hal penyidik
dalam menemukan alat bukti untuk dijadikan sebagai bukti dalam proses
pemeriksaan persidangan, para penyidik tersebut dalam menemukan alat bukti
tidak sesuai dengan hukum acara yang telah mengatur, namun lebih menjalankan
aturan atau undang-undang atau hukum formil yang memberikan wewenang bagi
mereka, karena Crime Control Model ini merupakan “Lex
Specialis” dari sistem Due Process, maka Undang-Undang
Tindak Pidana Khusus lebih digunakan daripada KUHAP, karena sebagian besar
Undang-Undang Tindak Pidana Khusus mengadopsi komponen-komponen interpretasi
dari KUHAP.
4. Factual guilt (kejahatan berdasarkan alat bukti)
Factual Guilt yang artinya kesalahan
pelaku ada pada alat bukti. Maksud dari hal tersebut adalah ketika
seorang pelaku berada dalam proses pemeriksaan dalam suatu persidangan, maka
sistem peradilan yang ditekankan dalamCrime Control Model disini
adalah tentang pelaksanaan persidangan yang berupa penunjukkan alat bukti yang
sudah diketemukan, kemudian sistem peradilannya hanya bersifat menjelaskan alat
bukti tersebut bahwa alat bukti yang telah diketemukan oleh penyidik merujuk
pada pelaku.
Factual guilt atau kejahatan berdasarkan alat
bukti dalam Crime Control Model sangat tepat untuk
diaplikasikan dalam menangani kasus korupsi, alasan mendasarnya adalah Factual
guiltmemberikan kepastian hukum dimana hak-hak sorang tersangka tetap
dikedepankan sehingga petugas tidak semena-mena menetapkan seseorang menjadi
tersangka atas suatu kasusu, dan pengadilan melaukan pertimbangan berdasarkan
alat bukti yang ada sebelum memutus suatu kasusu. Di dalam KUHP dikenal
beberapa alat bukti, diantaranya :
Alat-alat bukti yang sah menurut
undang-undang telah diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah sebagai
berikut :
1. Keterangan
Saksi;
2. Keterangan
ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan
terdakwa.
Kelimat alat bukti diataslah yang
sekiranya akan menjadi pertimbangan seorang hakim dalam memutuskan suatu
perkara teramasuk perkara korupsi.
5. Efficiency
Penerapan asas Efficiency dalam Crime
Control Model tentunya menitip beratkan pada upaya proses hukum yang
efisien, cepat dan tepat. Dimana mulai dari proses penyelidikan, penydikan,
penuntutan, sampai pada eksekusi atas putusan penerapan asas Efficiency harus
terus dilakukan agar proses hukum yang dilakukan bisa tetap berada dalam relnya
dan langkah-langkah penegakan hukumnya tepat dan cepat.
6. Affrimative model
Setelah semua alat bukti terkumpul,
pelaku tindak pidana diadili dalam sidang pengadilan. Dalam sidang tersebut
semua alat bukti akan dikonfirmasikan kepada tersangka. Tersangka dapat
membantah semua alat bukti yang diajukan dalam persidangan. Hakim juga akan
menguji apakah alat-alat bukti yang diajukan tersebut dapat mengantarkan
tersangka untuk dinyatakan bersalah atau tidak.
B. Kelemahan Crime
Control Model dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi
Dari beberapa
pembahasan diatas terkait Crime Control Model bisa kita lihat sejauh mana efektifitas model tersebut
dalam melakukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
Karakteristik model ini telah memberikan gambaran yang amat jelas dalam
melakukan proses hukum yang cepat dan tepat. Sehingga bila direalisasikan
dengan baik dan kerjasama antara pihak-pihak terkait maka Indonesia bisa
optimis bahwa korupsi bisa dihapus di negeri ini. Namun pada kenyataannya kita
harus realistis melihat perkembangan proses penegakan hukum di Indonesia
khsusnya kasus korupsi. Jika melihat perkembangan kasus korupsi tersebut yang
datang silih berganti (Kasusu Gayus, Dana W, Nasaruddin, Anggie dan lain-lain)
adalah suatu bukti yang jelas menggambarkan bahwa koruptor saat ini tidak takut
untuk terus mencuri uang negara. Sehingga menurut analisis kami ada beberapa
kelemahan mendasar dalam penangan kasus korupsi di Indonesia dan juga Crime Control Model sehingga membuat koruptor tetap bereaksi walau
penegakan hukum terus dilakukan.
Dari analisis kami
ada beberapa alasan yang sangat berpengaruh dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi, diantaranya :
1. Kwalitas penegak hukum
(Polisi, Jaksa, Hakim dan lain-lain)
Bukan rahasia lagi
bahwa kwalitas penegak hukum di Indonesia masih dibawah standar sehingga itu
mempengaruhi etos kerja penegak hukum dalam memberantas korupsi, bahkan kerap
kali terjadi penegak hukum masuk dalam sebuah lingkaran korupsi sehingga sistem
penegakan hukum yang cepat, tepat, dan tegas sulit untuk terealisasi karena
permainan penegak hukum dan para koruptor. Dan inilah kelemahan yang sangat
berpengaruh dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
2. Ancaman pidana yang ringan
Dari beberapa
putusan hakim tindak pidana korupsi terhadap terdakwah kasus korupsi bisa kita
perkirakan hanya berkisar 1 s/d 5 Tahun sehingga banyak para koruptor yang
menilai bahwa dengan korupsi uang negara sebanyak mungkin dan dijatuhi hukuman
hanya sekitar 1 s/d 5 tahun maka saat bebas nanti masih bisa menikmati
hasil korupsi dan inilah penyebab mendasar kasus korupsi masih terus terjadi di
Indonesia. Di dalam undang-undang tindak pidana korupsi nomor 31 tahun 1999 jo
nomor 20 tahun 2001 sebenrnya memberikan ancaman hukuman mati di pasal 2 ayat 2
namun lagi-lagi ancaman hukuman mati itu baru bisa direalisasikan dengan
syarat. Dan syarat-syaratnyapun terbilang mustahil untuk terjadi dalam situasi
Indonesia saat ini.
3. Langkah preventif dalam CCM
belum diterapkan
Langkah Preventf
inilah yang amat penting yang harus diperhatikan dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi dalam sistem Crime control model tidak dijelaskan
secara tegas upaya preventif atau langkah-langkah pencegahan terhadap tindak
pidana korupsi padahal tindakan pencegahan adalah pintu pertama dalam
memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia. Seperti yang diejelaskan dalam
pasal 13 Undang-undang No 30 Tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak
pidana korupsi :
Dalam melaksanakan
tugas pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan
sebagai berikut:
1. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan
harta kekayaan penyelenggara negara;
2. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;
3. Menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada
setiap jenjang pendidikan;
4. Merancang dan mendorong terlaksananya program
sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi;
5. Melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum;
6. Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi.
LANJUT BAB III