2.
Kekerabatan Suku Tapanuli
Masyarakat Tapanuli atau Batak Toba menganut sistem
kekerabatan patrilinieal. Orang Batak Toba mempunyai marga (nama keluarga) yang
biasanya dicantumkan diakhir namanya. Nama marga ini diperoleh dari garis
keturunan ayah (patrilineal) yang selanjutnya akan diteruskan kepada
keturunannya secara terus menerus. Aspek Kehidupan Tapanuli dikelompokkan dalam
9 (sembilan) nilai budaya kekerabatan, yaitu:
ü Kekerabatan yang mencakup hubungan
kasih sayang atas dasar hubungan darah, kerukunan unsur-unsur Dalihan Na Tolu.
Dalihan Natolu merupakan ikatan kekerabatan adat istiadat pada masyarakat
Tapanuli. Falsafah adat Dalihan Natolu yakni Somba Marhulahula (hormat pada
pihak keluarga ibu/istri), Elek Marboru (ramah pada keluarga saudara perempuan)
dan Manat Mardongan Tubu (kompak dalam hubungan semarga). Dalam kehidupan
sehari-hari, falsafah ini dipegang teguh dan hingga kini menjadi landasan
kehidupan sosial dan bermasyarakat di lingkungan orang Tapanuli.
ü Religi, mencakup kehidupan
keagamaan, baik agama tradisional maupun agama yang datang kemudian yang
mengatur hubungannya dengan Maha Pencipta serta hubungannya dengan manusia dan
lingkungan hidupnya.
ü Hagabeon, banyak keturunan dan
panjang umur. Satu ungkapan tradisional Batak Toba yang terkenal yang
disampaikan pada saat upacara pernikahan adalah ungkapan yang mengharapkan agar
kelak pengantin baru dikaruniakan putra 17 dan putri 16. Sumber daya manusia
bagi orang Batak sangat penting. Kekuatan yang tangguh hanya dapat dibangun
dalam jumlah manusia yang banyak. Mengenai umur panjang dalam konsep hagabeon
disebut Saur Matua Bulung (seperti daun, yang gugur setelah tua). Dapat
dibayangkan betapa besar pertambahan jumlah tenaga manusia yang diharapkan oleh
orang Batak, karena selain setiap keluarga diharapkan melahirkan putra-putri
sebanyak 33 orang, juga semuanya diharapkan berusia lanjut.
ü Hasangapon, kemuliaan, kewibawaan,
kharisma, suatu nilai utama yang member dorongan kuat untuk meraih kejayaan.
ü Hamoraon, kaya raya salah satu nilai
budaya yang mendasari dan mendorong orang Batak Toba atau Tapanuli untuk
mencari harta benda yang banyak.
ü Hamajuon,
kemajuan yang diraih melalui merantau dan menuntut ilmu. Nilai budaya hamajuon ini sangat
kuat mendorong orang Batak Toba bermigrasi ke seluruh pelosok tanah air.
ü Hukum, nilai hukum (patik dohot dan
uhum), budaya menegakkan kebenaran, merupakan budaya yang harus dipegang oleh
Batak Toba.
ü Pengayoman, dalam kehidupan
sosio-kultural orang Batak Toba kurang kuat dibandingkan dengan nilai-nilai
yang disebutkan terdahulu. Hal ini mungkin disebabkan kemandirian yang berkadar
tinggi. Kehadiran pengayoman, pelindung, pemberi kesejahteraan, hanya
diperlukan dalam keadaan yang sangat mendesak.
ü Konflik, sumber konflik pada orang
Batak Toba atau Tapanuli menyangkut perjuangan meraih hasil nilai budaya
lainnya. Antara lain hamoraon yang mau tidak mau merupakan sumber konflik yang
abadi bagi orang Batak Toba.
3.
Upacara-upacara Adat Pada Suku Tapanuli
Jenis upacara adat Tapanuli dimulai
dari masa dalam kandungan, kelahiran, penyapihan, penyakit, malapetaka, hingga
kematian. Peralihan dari setiap tingkat hidup ditandai dengan pelaksanaan suatu
upacara adat khusus.
Upacara adat dilakukan agar terhindar
dari bahaya/ celaka yang akan menimpa, memperoleh berkat, kesehatan dan
keselamatan. Inilah salah satu prinsip yang terdapat di balik pelaksanaan
setiap upacara adat suku Tapanuli.
Beberapa upacara adat antaranya:
mangganje (kehamilan), mangharoan (kelahiran), martutu aek dan yang dijumpai
pada masyarakat Tapanuli di mampe goar (permandian dan pemberian nama),
manulangi (menyulangi), hamatean (kematian), dan mangongkal holi (menggali
tulang belulang).
a. Upacara Kehamilan (Mangganje)
Sebelum si Ibu melahirkan, orangtua
dari si Ibu sebaiknya memberikan makanan adat batak berupa ikan batak jenis
ikan Mahseer dari genus Tor (Dekke Jurung-jurung) dan ulos tondi dengan tujuan
agar si Ibu sehat-sehat pada waktu melahirkan dan anak yang akan dilahirkan
menjadi anak yang berguna bagi nusa dan bangsa serta pada sanak saudara. Jika
waktu untuk melahirkan sudah tiba sanak saudara memanggil “Si Baso” (dukun). Dukun beranak akan memberikan obat
agar si Ibu tidak susah untuk melahirkan yang disebut salusu. Salusu adalah
satu butir telur ayam kampung yang terlebih dahulu didoakan, selesai didoakan
dihembus, kemudian dipecah lalu diberikan kepada si ibu untuk ditelan.
b. Upacara Kelahiran
(Mangharoan)
Setelah
si Ibu melahirkan si baso mematok tali pusat bayi dengan sisik bambu yang tajam
dengan beralaskan buah ubi rambat dengan ukuran 3 jari bayi. Kemudian penanaman
ari-ari bayi menurut orang Batak Toba biasa ditanam di tanah yang becek
(sawah). Ari-ari dimasukkan dalam tandok kecil yang dianyam dari pandan bersama
dengan 1 biji kemiri, 1 buah jeruk purut dan 7 lembar daun sirih. Setelah bayi
lahir si dukun memecahkan kemiri dan mengunyahnya kemudian memberikannya kepada
bayi dengan tujuan untuk membersihkan kotoran yang dibawa bayi dari kandungan
sekaligus membersihkan perjalanan pencernaan makanan yang pertama yang disebut
tilan (kotoran pertama).
Si
dukun memberikan kalung yang berwarna merah, putih, hitam bersama soit dan
hurungan tondi. Soit adalah sebuah anyaman kalung yang terdapat dari buah
sebuah kayu. Hurungan Tondi adalah buah kayu yang bernama kayu Hurungan Tondi,
buah kayu yang bertuliskan tulisan batak. Kalung ini mempunyai kegunaan agar
jauh dari seluruh mara bahaya, tekanan angin, petir dan seluruh setan jahat.
Untuk
perawatan Ibu yang baru melahirkan, diberikan makanan dugu-dugu. Dugu-dugu
adalah sebuah makanan ciri khas Batak Toba pada saat melahirkan, yang diresep
dari bangun-bangun, daging ayam, kemiri dan kelapa. Makanan ini berfungsi untuk
melancarkan peredaran darah bagi si Ibu yang baru melahirkan membersihkan darah
kotor bagi Ibu yang melahirkan menambah, menghasilkan air susu Ibu dan
sekaligus memberikan kekuatan melalui ASI kepada anaknya.
c.
Upacara Permandian dan Pemberian Nama (Martutu aek)
Upacara
yang dilakukan di rumah yang mendapat kelahiran seorang anak, atau pemberian
nama kepada anak. Upacara ini dilakukan pada hari ketujuh setelah bayi lahir,
dalam acara inilah sekaligus pembuatan nama yang disebut dengan pesta martutu
aek yang dipimpin oleh pimpinan agama yaitu ulu punguan.
Sebelum
dibawa bepergian bayi tersebut harus terlebih dahulu diperkenalkan dengan bumi
terutama air untuk membersihkan dan ini dilaksanakan dengan membawa anak
tersebut ke umbul mata air disertai dengan bara api tempat membakar dupa.
Setelah bayi dimandikan biasanya dipupus. Pupus adalah mengunyah 1 lembar daun
sirih, 1 buah kemiri, 1 biji ladak putih,1 iris jarango.
Selesai
dikunyah ditempelkan ke ubun-ubun bayi dan sebahagian diolesi keseluruh tubuh
bayi dengan tujuan untuk memelihara tubuh bayi agar kuat dan tetap sehat, untuk
menjauhkan bayi dari penyakit-penyakit demam, angin-angin dan sekaligus
mengobatinya, untuk menjaga agar tidak mudah terserang penyakit.
Pada upacara itu anak juga mendapat
ulos parompa. Ulos ini diberikan oleh “tulang” (paman) si bayi, khusus untuk
menggendong bayi itu.
d. Upacara
Menyulangi/Memberi Makan (Manulangi)
Sebelum orang mati, upacara adat yang
dilakukan oleh keturunannya dinamai “manulangi” (memberi makan, menyulangi).
Upacara ini bertujuan untuk mempersiapkan seorang yang sudah tua dan
diperkirakan tidak lama lagi akan meninggal, sehingga jika orang tersebut sudah
meninggal rohnya dapat memasuki persekutuan dengan roh-roh leluhurnya dengan
selamat. Upacara ini dilakukan kepada seseorang yang akan meninggal dalam dalam
kondisi minimal sarimatua (telah memiliki cucu laki-laki dan perempuan).
e. Upacara Kematian (Hamatean)
Upacara
kematian dibagi dalam dua tahap. Pertama adalah pengurasan jenazah menjelang
pemakaman, kedua adalah pasahat tondi. Pemberangkatan jenazah dipimpin oleh
Ihutan atau Ulupunguan dengan upacara doa “Borhat ma ho tu habangsa
panjadianmu”, artinya berangkatlah engkau ke tempat kejadianmu. Satu minggu
setelah pemakaman, keluarga yang ditinggal mengadakan pangurason di rumah. Satu
bulan setelah pemakaman, dilanjutkan dengan Upacara Pasahat Tondi yaitu upacara
mengantar roh dalam hati harfiah.
Dalam
tradisi Tapanuli, orang yang meninggal perlakuan khusus, dalam sebuah upacara
adat kematian. Upacara adat kematian akan mengalami tersebut diklasifikasi
berdasarkan usia dan status orang yang meninggal.
Meninggal
ketika masih di dalam kandungan (mate di bortian) belum mendapatkan perlakuan
adat (langsung dikubur tanpa peti mati), tetapi jika meninggal ketika masih
bayi (mate poso-poso), meninggal ketika anak-anak (mate dakdanak), meninggal
ketika remaja (mate bulung), dan meninggal ketika sudah dewasa tapi belum
menikah (mate ponggol), keseluruhan kematian tersebut mendapat perlakuan adat
mayatnya ditutupi selembar ulos (kain tenunan khas masyarakat Batak Toba)
sebelum dikuburkan. Ulos penutup mayat untuk mate poso-poso berasal dari orang
tua yang meninggal sedangkan untuk mate dakdanak dan mate bulung berasal dari
tulang (saudara laki-laki ibu) yang meninggal.
Upacara
adat kematian akan berbeda, jika telah berumah tangga namun belum mempunyai
anak (mate di paralang-alangan/mate punu), telah berumah tangga dengan
meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil (mate mangkar), telah memiliki
anak-anak yang sudah dewasa, bahkan sudah ada yang kimpoi, namun belum bercucu
(mate hatungganeon), telah memiliki cucu, namun masih ada anaknya yang belum
menikah (mate sari matua), dan telah bercucu tidak harus dari semua
anak-anaknya (mate saur matua). Mate Saurmatua menjadi tingkat tertinggi dari
klasifikasi upacara adat kematian suku Tapanuli, karena meninggal ketika semua
anaknya telah berumah tangga. Memang masih ada tingkat kematian tertinggi di
atasnya, yaitu mate saur matua bulung (meninggal ketika semua anak-anaknya
telah berumah tangga, dan telah memberikan tidak hanya cucu, bahkan cicit dari
anaknya laki-laki dan dari anaknya perempuan).
f. Upacara
Menggali Tulang-Belulang (Mangokal Holi)
Dalam adat Tapanuli, status kehormatan
yang dimiliki oleh suatu roh tidaklah bersifat statis. Status dan kehormatan
dapat ditingkatkan lagi lebih ke atas. Peningkatan kemuliaan akan didapatkan
oleh roh itu apabila dia memiliki status “sumangot”. Status sumangot akan
dimilikinya apabila para keturunannya telah membuatkan sebuah makan permanen
yang dipahat dari batu atau dibuat dari semen yang kemudian dihiasi dengan
keramik dengan segala kemegahannya.
Di tempat yang baru itu kemudian
dimasukkan tulang belulang. Tulang-belulang itu digali dari kuburan di dalam
tanah melalui upacara yang dinamakan “mangongkal holi ” (menggali tulang
belulang). Acara ini ditandai dengan pelaksanaan pesta yang besar. Penaikkan
tulang-belulang dari dalam tanah kepada tempat yang tersedia dimakam batu itu
merupakan lambang pemberian penghormatan yang lebih tinggi kepada roh orang
tua. Kemegahan sebuah kuburan merupakan lambang kemuliaan yang diterima oleh
roh orang tua di dunia orang mati. Bagi keturunannya, kemegahan makam itu
merupakna simbol gengsi sosial di tengah-tengah masyarakat Batak Toba lainnya.
Kuburan itu juga merupakan tanda ikatan persekutuan antara roh orangtua dengan
keturunannya.
Di dalam pelaksanaan upacara adat
Tapanuli ada alat penyembahan yang selalu harus dipakai untuk menyempurnakan
upacara tersebut yaitu “Ulos”.
Ulos adalah kain untuk upacara dengan
berbagai fungsi dan tenunannya. Jaman dahulu ulos Batak Toba selalu diawali
dengan permohonan kepada seorang ahli tenun untuk membuatkan satu jenis ulos
tertentu. Si pemesan harus menyediakan tiga lembar daun sirih serta tiga rupa
“itak” (tepung beras yang dikepal) yang tiga warna (putih, kuning, merah)
ditempatkan dalam bakul kecil beserta uang enam rupiah batu. Sesajian (sesajen)
ini didoakan secara animistis barulah ditentukan hari yang baik untuk memulai
menenun ulos itu. Tetapi sekarang pembuatan ulos sama dengan pembuatan pakaian,
tidak ada mantra-mantra atau sesajen.
Menurut fungsinya dalam upacara adat
Tapanuli dikenal bermacam-macam ulos dengan kegunaannya, antara lain:
-
Ulos Tondi. Ulos yang dipakaikan kepada seorang calon ibu yang mengandung tujuh
bulan bayi pertamanya. Dengan dipakaikan ulos tondi ini, diharapkan bayi itu
lahir dengan selamat. Ulos tondi adalah jaminan keselamatan ibu dan bayi.
-
Ulos Parompa. Ulos yang diberikan kepada bayi yang baru lahir. Ulos ini
diberikan oleh “tulang” (paman) si bayi, khusus untuk menggendong bayi itu.
-
Ulos Sampetua. Ulos yang diberikan kepada seseorang yang baru saja mengalami
musibah atau sakit berat, dengan harapan agar ia berusia lanjut.
-
Ulos Saput. Ulos yang diberikan khusus pada acara kematian, biasanya digunakan
untuk menutupi peti mati.
-
Ulos Tujung. Ulos yang diberikan kepada seorang perempuan yang suaminya baru meninggal,
dikenakan selama jangka waktu tertentu.
-
Ulos Holong. Ulos yang diberikan kepada anak yang baru lahir setelah proses
pemandian
H.
Pelaksanaan
Tugas Kesehatan pada Keluarga Suku Tapanuli
Praktek
kesehatan keluarga kepercayaan kuno Tapanuli adalah syamaisme, yaitu suatu
kepercayaan dengan melakukan pemasukan roh ke dalam tubuh seseorang sehingga
roh itu dapat berkata-kata. Orang yang menjadi perantara disebut Shaman. Shaman
bagi orang Tapanuli disebut Si Baso (dukun wanita). Ketika Baso ini berkata-kata,
bahasanya harus ditafsirkan secara khas.
Pembicaraan
inilah yang dipercayai akan menjadi pentunjuk bagi orang untuk pengobatan dan
ramalan. Selain Baso, ada juga yang memegang peranan penting yaitu Datu,
biasanya seorang laki-laki. Berlainan dengan Baso, Datu di dalam kegiatannya
tidak hanya menjadi perantara, melainkan langsung berbicara dengan roh. Datu
bertugas mengobati orang sakit.
Menurut
kepercayaan orang Tapanuli, apabila seseorang jatuh sakit, tondi (roh) si sakit
pergi kesuatu tempat meninggalkan tubuhnya. Karena tondi itu pergi, orang
tersebut jatuh sakit, agar orang yang sakit dapat sembuh, tondi nya harus
dipanggil kembali agar masuk ke dalam tubuh orang sakit tersebut (Tondi Mulak
Tu Badan). Jika tondi itu sudah dipanggil berulang-ulang tidak pulang juga,
berarti orang tersebut tidak ada harapan untuk sembuh atau hidup.
Jika
ada anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan, suami sebagai kepala
rumah tangga perlu dilibatkan. Keputusan masalah kesehatan berada di tangan
suami, tetapi umumnya suami harus mendiskusikannya terlebih dahulu dengan istri
dan anak-anaknya sebelum mengambil keputusan.
Pelaksanaan tugas kesehatan keluarga suku Tapanuli adalah :
Mengenal Masalah Kesehatan Keluarga
Menurut
perspektif Tapanuli seseorang dikatakan sakit apabila tidak dapat beraktivitas.
Ada 2 jenis penyakit:
-
penyakit yang disebabkan oleh virus atau kuman penyakit, ditandai dengan
gejala-gejala seperti kurang lesu, lemas, nafsu makan berkurang, demam
-
penyakit yang kedua adalah penyakit karena diguna-guna atau disebut ”aziturtur”
misalnya penyakit ”gadam” yaitu tidak dapat disembuhkan. Hanya orang yang
memiliki keahlian khusus yang dapat membedakan kedua jenis penyakit ini
(Nainggolan, 2009).
Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat bagi keluarga
Keputusan
masalah kesehatan berada di tangan suami, tetapi umumnya suami harus
mendiskusikannya terlebih dahulu dengan istri dan anak-anaknya sebelum
mengambil keputusan. Jika keluarga mengalami keterbatasan maka keluarga meminta
bantuan kepada keluarga besar atau keluarga yang masih memiliki hubungan marga
(Nainggolan dan Pakpahan, 2009).
Memberikan keperawatan anggota keluarga yang sakit atau yang tidak dapat
membantu dirinya sendiri karena cacat atau usianya yang terlalu muda
Perawatan
kepada anggota keluarga yang sakit tergantung kepada keparahan penyakit. Selama
keluarga masih mampu memberikan perawatan di rumah maka anggota keluarga tidak
akan dibawa berobat. Jenis penyakit yang langsung dibawa berobat muntah
mencret, batuk berat, dan jenis penyakit yang parah lainnya (Nainggolan, 2009).
Mempertahankan suasana rumah yang menguntungkan kesehatan dan perkembangan
kepribadian anggota keluarga.
Sebelum
membangun rumah langkah pertama yang dilakukan ada acara khusus yaitu pada
peletakan batu pertama dipecahkan sebuah telur, dengan harapan rumah tersebut
akan memberikan kesejukan dan kenyamanan bagi penghuninya. Bentuk rumah pada
suku Batak Toba yang berjenis rumah panggung, menandakan keluarga tersebut
keluarga yang kaya, karena fungsi dari kolong rumah adalah kandang binatang
ternak, jadi jika memiliki banyak ternak bentuk rumahnya seperti rumah panggung
(Nainggolan, 2009).
Tetapi
alasan lain mengapa bentuk rumah seperti di atas adalah untuk menghalangi hantu
yang mencoba masuk dimalam hari, karena hantu dianggap tidak dapat memanjat
tangga (Pakpahan, 2009).
Dalam
keluarga Tapanuli atau Batak Toba tidak ada jadwal khusus dalam kebersihan,
prinsipnya jika rumah atau lingkungan sekitar kotor harus dibersihkan, tetapi
pada malam hari dilarang menyapu rumah ke arah pintu karena dianggap menolak
rejeki yang datang (Pakpahan, 2009).
Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga kesehatan
(pemanfaatan fasilitas kesehatan yang ada).
Sejalan
dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan pengobatan, lama-kelamaan orang
Tapanuli mencari pengobatan ke tenaga kesehatan atau puskesmas terdekat.
Walaupun
demikian, masih ada yang berobat ke shaman untuk mengatasi masalah kesehatan
keluarga mereka, baik keluarga yang tinggal di pedalaman maupun yang berada di
luar Sumatera Utara
I.
Pengaruh
Budaya Asing Terhadap Kebudayaan Masyarakat Tapanuli
Globalisasi
dapat diartikan suatu proses mendunia atau menuju satu dunia. Peristiwa yang
terjadi di dunia dapat kita saksikan secara langsung tanpa harus mendatanginya.
Kata globalisasi diambil dari kata globe yang berarti bumi tiruan atau dunia
tiruan. Kemudian kata globe menjadi global yang berarti universal atau
keseluruhan yang saling berkaitan. Jadi globalisasi adalah proses menyatunya
warga dunia secara umum dan menyeluruh menjadi kelompok masyarakat.
Menurut sejarah kehidupan manusia,
sejak zaman prasejarah samapai sekarang, terjadi perubahan yang berlangsung
secara bertahap dan berkesinambungan. Manusia pada zaman purba memanfaatkan
kekayaan alam yang tersedia untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Alam dimanfaatkan secara maksimal mungkin sebagai peralatan, perkakas, dan
sumber makanan. Tanah, batu, tumbuhan, dan hewan adalah kebutuhan yang di ambil
dari alam.
Sekarang manusia sudah berbeda. Dengan
adanya ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat, terciptalah alat
transportasi dan komunikasi. Hal ini memungkinkan manusia dapat berkomunikasi
dengan yang lain walaupun sangat jauh.
Arus globalisasi saat ini telah
menimbulkan pengaruh terhadap perkembangan budaya bangsa Indonesia . Derasnya
arus informasi dan telekomunikasi ternyata menimbulkan sebuah kecenderungan
yang mengarah terhadap memudarnya nilai-nilai pelestarian budaya. Perkembangan
3T (Transportasi, Telekomunikasi, dan Teknologi) mengkibatkan berkurangnya
keinginan untuk melestarikan budaya negeri sendiri . Budaya Indonesia yang
dulunya ramah-tamah, gotong royong dan sopan berganti dengan budaya barat,
misalnya pergaulan bebas. Di Tapanuli (Sumatera Utara) misalnya, duapuluh tahun
yang lalu, anak-anak remajanya masih banyak yang berminat untuk belajar tari
tor-tor dan tagading (alat musik batak). Hampir setiap minggu dan dalam acara
ritual kehidupan, remaja di sana selalu diundang pentas sebagai hiburan budaya
yang meriah. Saat ini, ketika teknologi semakin maju, ironisnya
kebudayaan-kebudayaan daerah tersebut semakin lenyap di masyarakat, bahkan
hanya dapat disaksikan di masyarakat Tapanuli Padahal kebudayaan-kebudayaan
daerah tersebut, bila dikelola dengan baik selain dapat menjadi pariwisata
budaya yang menghasilkan pendapatan untuk pemerintah baik pusat maupun daerah,
juga dapat menjadi lahan pekerjaan yang menjanjikan bagi masyarakat sekitarnya.
Hal lain yang merupakan pengaruh globalisasi adalah dalam pemakaian bahasa
indonesia yang baik dan benar (bahasa juga salah satu budaya bangsa). Sudah
lazim di Indonesia untuk menyebut orang kedua tunggal dengan Bapak, Ibu, Pak,
Bu, Saudara, Anda dibandingkan dengan kau atau kamu sebagai pertimbangan nilai
rasa. Sekarang ada kecenderungan di kalangan anak muda yang lebih suka
menggunakan bahasa Indonesia dialek Jakarta seperti penyebutan kata gue (saya)
dan lu (kamu). Selain itu kita sering dengar anak muda mengunakan bahasa
Indonesia dengan dicampur-campur bahasa inggris seperti OK, No problem dan
Yes’, bahkan kata-kata makian (umpatan) sekalipun yang sering kita dengar di
film-film barat, sering diucapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kata-kata ini
disebarkan melalui media TV dalam film-film, iklan dan sinetron bersamaan
dengan disebarkannya gaya hidup dan fashion . Gaya berpakaian remaja Indonesia
yang dulunya menjunjung tinggi norma kesopanan telah berubah mengikuti
perkembangan jaman. Ada kecenderungan bagi remaja putri di kota-kota besar
memakai pakaian minim dan ketat yang memamerkan bagian tubuh tertentu. Budaya
perpakaian minim ini dianut dari film-film dan majalah-majalah luar negeri yang
ditransformasikan kedalam sinetron-sinetron Indonesia . Derasnya arus
informasi, yang juga ditandai dengan hadirnya internet, turut serta
`menyumbang` bagi perubahan cara berpakaian. Pakaian mini dan ketat telah
menjadi trend dilingkungan anak muda. Salah satu keberhasilan penyebaran
kebudayaan Barat ialah meluasnya anggapan bahwa ilmu dan teknologi yang
berkembang di Barat merupakan suatu yang universal. Masuknya budaya barat
(dalam kemasan ilmu dan teknologi) diterima dengan `baik`. Pada sisi inilah
globalisasi telah merasuki berbagai sistem nilai sosial dan budaya Timur
(termasuk Indonesia ) sehingga terbuka pula konflik nilai antara teknologi dan
nilai-nilai ketimuran.
Dampak Positif
Globalisasi sebagai akibat dari kemajuan
IPTEK, memberikan manfaat yang begitu besar bagi kehidupan manusia
di dunia. Sebagai contoh masyarakat dapat memperoleh informasi secara mudah dan
memiliki wawasan yang luas. Prubahan sosialpun akibat globalisasi saat ini
meliputi :
1. Makanan :Ditandai
dengan marak nya makanan-makanan instan.
2. Pakaiaan :Masyarakat
di negara berkembang cenderung biasanya mengikuti trend perkembangan di negara
maju.
3. Perilaku :Berupa
pudarnya budaya gotong royong, hal ini mencolok pada masyarakat perkotaan.
4. Gaya
Hidup : Gencarnya iklan mempengaruhi masyarakat
untuk memiliki suatu barang yang mutakhir. Orang berlomba lomba memiliki barang
baru guna meningkatkan gengsi.
Dampak Negatif
1. Orang cenderung
sangat individualis
2. Masuknya budaya
asing tidak sesuai dengan budaya bangsa
3. Budaya konsumtif
4. Sarana hiburan yang
melalaikan dan membuat malas
5. Budaya permisif
6. Menurunnya ikatan
rohani
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Tak ada satu pun bangsa dan negara yang mampu menolak
kebudayaan. kebudayaan haruslah dihadapi sebagai kenyataan yang harus diterima
dan harus dikembangkan dalam kehidupan
bermasyarakat karena kebudayaan meruupakan jati diri bangsa maupun jati diri
daerah tersebut. kebudayaan tidak hanya terjadi di bidang ekonomi, melainkan
meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, yaitu social, politik, teknologi,
lingkungan, budaya, dan sebagainya.Teknologi informasi banyak sekali berperan
di hampir seluruh aspek kehidupan kita sekarang ini. Perkembangan sektor
teknologi informasi dan telekomunikasi merupakan sektor yang paling dominan, di
bandingkan dengan perkembangan sektor teknologi lainnya. Siapa saja yang
menguasai teknologi ini, maka dia akan menjadi pemimpin dalam dunianya.
Kita sebagai pelajar harus mempersiapkan diri kita, agar
kita tidak di sebut sebagai pealajar Indonesia yang gagap akan teknologi. Dan
tentunya hal tersebut memerlukan perjuangan yang keras untuk dapat
menguasainya. Karena siap atau tidak siap semuanya sudah ada di depan mata
kita. Bagi masyarakat yang mencoba mengembangkan seni/kebudayaan tradisional menjadi bagian dari
kehidupan modern, tentu akan terus berupaya memodifikasi bentuk-bentuk seni
yang masih berpolakan masa lalu untuk dijadikan komoditi yang dapat dikonsumsi
masyarakat modern. Karena seenarnya kebudayaan itu indah dan mahal. Kesenian
adalah kekayaan bangsa Indonesia yang tidak ternilai harganya dan tidak
dimiliki bangsa-bangsa asing. Oleh sebab itu, sebagai generasi muda, yang merupakan
pewaris budaya bangsa, hendaknya memelihara seni budaya kita demi masa depan
anak cucu.
DAFTAR
PUSTAKA
Hidayah.Zuliyani 1997 Ensiklopedia Suku Bangsa di
Indonesia.jakarta: LP3ES koentjaraningrat 1971 manusia dan kebudayaan di
Indonesia.jakarta: DjambatanMelalatoa,M. junus 1997 Ensiklopedi suku bangsa di
Indonesia. Jakarta: departemen pendidikan dan kebudayaan
Indonesia's
Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape. Institute
of Southeast Asian Studies. 28 April 2003. ISBN 9812302123.