UPAYA-UPAYA PENCEGAHAN
DAN PENINDAKAN
PERDAGANGAN ORANG DI
INDONESIA DAN NEGARA-NEGARA PESERTA UNITED NATIONS CONVENTION AGAINTS
TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME
I. POKOK
MASALAH
Perdagangan
orang merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat
dan martabat manusia. Tindak pidana perdagangan orang, khususnya perempuan dan
anak, telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan baik terorganisasi maupun
tidak terorganisasi. Tindak pidana perdagangan orang bahkan melibatkan tidak
hanya perorangan tetapi juga korporasi dan penyelenggara negara yang
menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya. Jaringan pelaku tindak pidana
perdagangan orang memiliki jangkauan operasi tidak hanya antarwilayah dalam
negeri tetapi juga antarnegara. Praktek perdagangan orang tersebut menjadi
ancaman serius terhadap masyarakat,
bangsa, dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi
penghormatan terhadap hak asasi manusia sehingga upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana perdagangan orang serta perlindungan dan
rehabilitasi korban perlu dilakukan baik pada tingkat nasional, regional maupun
internasional.
Fenomena
perdagangan perempuan dan anak sudah lama berkembang di berbagai negara,
seperti; Saudi Arabia, Jepang, Malaysia,
Hongkong Taiwan, Singapura
dan termasuk juga Indonesia.
Tidak ada Negara yang kebal terhadap trafficking, setiap tahunnya
diperkirakan 600.000-800.000 laki-laki, perermpuan dan anak diperdagangkan
menyeberangi perbatasan-perbatasan internasional . Report
dari pemerintahan AS memperkirakan lebih dari seperuh dari para korban yang
diperdagangkan secara internasional diperjual-belikan untuk eksploitasi seksual.
Menurut PBB perdagangan manusia ini adalah sebuah perusahaan kriminal terbesar
ketiga tingkat dunia yang menghasilkan 9,5 juta US$ dalam pajak tahunan menurut intelijen
AS. Perdangan manusia juga merupakan salah satu perusahaan kriminal yang paling
menguntungkan dan sangat terkait dengan pencucian uang (money laundring), perdagangan
narkoba, pemalsuan dokumen dan penyeludupan manusia. Hal ini merupakan realitas
yang tidak bisa dipungkiri dan perdagangan ini tidak lagi terbatas pada batas
wilayah negara melainkan berlangsung lintas batas. Pola perdagangannyapun mengalami
perubahan, tidak lagi hanya dilakukan oleh perseorangan melainkan
sindikat-sindikat terorganisir yang disinyalir memiliki kegiatan illegal
lainnya seperti penjualan obat-obatan adiktif dan senjata.
Bertambah
maraknya masalah perdagangan Perempuan dan Anak-anak yang terjadi di berbagai
negara, termasuk Indonesia
dan negara berkembang lainya telah menjadi perhatian masyarakat internasional
dan organisasi internasional, khususnya perserikatan bangsa-bangsa. Lahirnya
Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama
Perempuan dan Anak-Anak (Protocol To Prevent, Suppress And Punish
Trafficking in Persons, Especially Women And Children) sebagai salah satu
protocol yang dihasilkan dari Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang
Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi (United Nations Convention
Against Transnational Organized Crime) pada tanggal 12-15 Desember 2000 di
Palermo,
merupakan instrument internasional yang sangat membantu dalam pencegahan dan
memerangi kejahatan perdagangan orang, khususnya perdagangan perempuan dan
anak.
Berdasarkan bukti empiris, perempuan
dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban tindak pidana
perdagangan orang. Korban
diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi
seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja
paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan itu.
Pelaku tindak pidana perdagangan orang melakukan perekrutan, pengangkutan,
pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak, menjerumuskan,
atau memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi dengan segala
bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi
bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang
kendali atas korban .
Perdagangan perempuan dan anak
merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM berat terhadap perempuan, karena di
dalamnya ada unsur ancaman, penyiksaan, penyekapan, kekerasan seksual, sebagai
komoditi yang dapat diperjual belikan, yang semuanya merupakan pelanggaran
terhadap HAM. Dalam situasi perempuan dan anak yang diperdagangkan, hak-hak
mereka terus dilanggar, karena mereka kemudian ditawan, dilecehkan dan dipaksa
untuk bekerja di luar keinginan mereka. Mereka ditempatkan dalam kondisi
seperti perbudakan, tidak lagi memiliki hak untuk menemukan nasib sendiri,
hidup dalam situasi ketakutan dengan rasa tidak aman. Bahkan kadang diperburuk
oleh keadaan ketika dia tidak memiliki identitas yang jelas, sehingga mereka
takut meminta bantuan kepada pihak yang berwenang karena takut diusut dan
dideportasi. Juga status sosial mereka menyebabkan mereka dilecehkan
oleh majikan.
Eksploitasi perempuan dan anak-anak
oleh industri seks lokal maupun global adalah petanggaran hak asasi manusia
karena jelas telah mereduksi tubuh mereka menjadi komoditi. Sementara itu,
perdagangan perempuan clan anak-anak telah dianggap sebagai
"kenikmatan" bagi para pengguna jasa seks dan sebagai sumber
penghasilan bagi mereka yang bergerak di dalam industri seks, prostitusi,
perdagangan perempuan dan praktek-praktek yang berhubungan dengan bisnis. Pada
dasarnya, perdagangan perempuan dan anak-anak ini merupakan bentuk kekerasan
seksual dan menempatkan perempuan dan anak-anak dalam suatu kondisi fisik clan
mental yang sangat merusak dan tergradasi.
Bentuk-bentuk pelanggaran HAM
tersebut dapat terjadi pada saat proses perekrutan, transpotasii saat sampai di
negara tujuan, dan saat proses perdagangan. Pelanggaran yang terjadi berupa
: penipuan, penyekapan, ancaman dan penggunaan kekerasan, penyalahgunaan
kekuasaan pemutusan akses dengan keluarga dan/atau bantuan jenis apapun, hak
atas informasi, penyiksaan, kondisi hidup yang buruk, perempuan dipaksa melacur
, kondisi kerja yang tidak layak, penghapusan akses ke kesehatan, penyitaan
identitas dan dokumen perjalanan, pelanggaran terhadap aspek budaya/agama,
penolakan akses kebangsaan, pendidikan, perempuan dipaksa menikah dengan orang
yang tidak mereka inginkan, diskriminasi, kehilangan kontrol terhadap hidup,
penyangkalan terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. penahanan dan
dipenjara/penahanan illegal dengan tuduhan palsu, penganiayaan dan perkosaan
dalam penahanan, pelanggaran dalam aspek hukum, pemaksaan pemeriksaan dan
perawatan kesehatan
Bentuk perdagangan perempuan dan
anak tidak hanya terbatas pada prostitusi paksaan atau perdagangan seks,
melainkan juga meliputi bentuk-bentuk eksploitasi, kerja paksa dan praktek
seperti perbudakan di beberapa wilayah dalam sektor informal, termasuk kerja
domestik dan istri pesanan. Berbagai bentuk kekerasanpun dialami oleh para
korban, seperti kekerasan fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi yang dialami
baik sejak saat perekrutan maupun pemilik tempat kerja.
Pada dasarnya, perdagangan orang
dapat mengambil korban dari siapapun : orang-orang dewasa dan anak-anak,
laki-laki maupun perempuan yang pada umumnya berada dalam kondisi rentan,
seperti misalnya: laki-laki, perempuan dan anak-anak dari keluarga miskin yang
berasal dari pedesaan atau daerah kumuh perkotaan; mereka yang berpendidikan
dan berpengetahuan terbatas; yang terlibat masalah ekonomi, politik dan sosial
yang serius; anggota keluarga yang menghadapi krisis ekonomi seperti hilangnya
pendapatan suami/orang tua, suami/orang tua sakit keras, atau meninggal dunia;
anakanak putus sekolah; korban kekerasan fisik, psikis, seksual; para pencari
kerja (termasuk buruh migran); perempuan dan anak jalanan; korban penculikan;
janda cerai akibat pernikahan dini; mereka yang mendapat tekanan dari orang tua
atau lingkungannya untuk bekerja; bahkan pekerja seks yang menganggap bahwa
bekerja di luar negeri menjanjikan pendapatan lebih
.
Modus operandi rekrutmen terhadap
kelompok rentan tersebut biasanya dengan rayuan, menjanjikan berbagai
kesenangan dan kemewahan, menipu atau janji palsu, menjebak, mengancam,
menyalahgunakan wewenang, menjerat dengan hutang, mengawini atau memacari,
menculik, menyekap, atau memperkosa. Modus lain berkedok mencari tenaga kerja
untuk bisnis entertainment, kerja di perkebunan atau bidang jasa di luar negeri
dengan upah besar. Ibu-ibu hamil yang kesulitan biaya untuk melahirkan atau
membesarkan anak dibujuk dengan jeratan utang supaya anaknya boleh diadopsi
agar dapat hidup lebih baik, namun kemudian dijual kepada yang menginginkan.
Anak-anak di bawah umur dibujuk agar bersedia melayani para pedofil dengan
memberikan barangbarang keperluan mereka bahkan janji untuk disekolahkan.
Korban yang direkrut di bawa ke
tempat transit atau ke tempat tujuan sendiri-sendiri atau dalam rombongan,
menggunakan pesawat terbang, kapal atau mobil tergantung pada tujuannya. Biasanya
agen atau calo menyertai mereka dan menanggung biaya perjalanan. Untuk ke luar
negeri, mereka dilengkapi dengan visa turis, tetapi seluruh dokumen dipegang
oleh agen termasuk dalam penanganan masalah keuangan. Seringkali perjalanan
dibuat memutar untuk memberi kesan bahwa perjalanan yang ditempuh sangat jauh
sehingga sulit untuk kembali. Di tempat tujuan, mereka tinggal di rumah
penampungan untuk beberapa minggu menunggu penempatan kerja yang dijanjikan. Tetapi
kemudian mereka dibawa ke bar, pub, salon kecantikan, rumah bordil dan rumah
hiburan lain, dan mulai dilibatkan dalam kegiatan prostitusi. Mereka diminta
menandatangani kontrak yang tidak mereka mengerti isinya. Jika menolak, korban
diminta membayar kembali biaya perjalanan dan “tebusan” dari agen atau calo
yang membawanya. Jumlah yang biasanya membengkak itu menjadi hutang yang harus
ditanggung oleh korban.
Di Indonesia praktik perdagangan perempuan
sebagaimana juga terjadi di negara-negara Asia Tenggara biasanya identik dengan
kekerasan dan pekerjaan-pekerjaan yang diketahui paling banyak dijadikan
sebagai tujuan perdagangan perempuan dan anak adalah : buruh migran, pekerja
Seks, perbudakan berkedok pernikahan dalam bentuk pengantin pesanan, pekerja
anak, pekerja di jermal, pengemis, pembantu rumah tangga, adopsi, pernikahan
dengan laki-laki asing untuk tujuan eksploitasi, pornognafi, pengedar obat
terlarang dan dijadi korban pedofilia.
Maraknya Trafficking di Indonesia
dikarenakan Indonesia itu tidak hanya sebagai negara sumber, transit, maupun
penerima, akan tetapi juga menjadi negara yang termasuk bagian dari sindikat
Internasional. Kadang-kadang meningkatnya perdagangan perempuan dan anak ini
dipengaruhi juga oleh faktor lain yaitu adanya "permintaan dan
penawaran" dari pihak yang ingin menikmati, menggunakan, maupun
mendapatkan keuntungan dari korban, di sampimg itu tidak menutup kemungkinan
kondisi dan situasi dari korban itu sendiri yang menyebabkan timbulnya
kejahatan perdagangan perempuan dan anak
Latar belakang terjadinya
perdagangan perempuan dan anak merupakan multi faktor, dan dapat dikatakan bukanlah
masalah yang sederhana, sehingga diperlukan kerjasama yang sinergi dari
berbagai instansi aparat penegak hukum. Pemberdayaan sumber daya manusia
merupakan salah satu faktor yang dapat dilaksanakan untuk pencegahan terjadinya
perdagangan perempuan dan anak. Beberapa faktor latar belakang terjadinya
perdagangan tersebut dapat disebutkan, yaitu karena : (1) Kemiskinan; (2)
Pendidikan rendah; (3) Pengangguran; (4) Migrasi keluar desa dan keluar negeri;
(5) Ketahanan keluarga yang rapuh; (6) Faktor ketidaksetaraan laki-laki dan
perempuan (gender) dan budaya patriarkhi; (7) Konsumerisme; (8) Meningkatnya
permintaan; (9) Pornografi di media massa; (10) Penegakan hukum terhadap pelaku
masih belum tegas dan consisten; (11) Kesadaran masyarakat dan pemerintah
tentang trafficking belum memadai.
Dalam perkembangannya, perdagangan
orang telah menjadi bisnis yang kuat dan lintas negara karena walaupun ilegal hasilnya sangat
menggiurkan, merupakan yang terbesar ke tiga setelah perdagangan obat-obatan
terlarang dan perdagangan senjata. Sehingga tidak mengherankan jika kejahatan
internasional yang terorganisir kemudian menjadikan prostitusi internasional
dan jaringan perdagangan orang sebagai fokus utama kegiatannya. Mereka
tergiur dengan keuntungan bebas pajak dan tetap menerima
income dari korban yang sama dengan tingkat resiko kecil.
Seperti halnya bisnis narkoba yang beromzet besar dan sangat menguntungkan
serta bebas pajak pula, perdagangan orang pada dasarnya adalah bagian dari shadow
economy: berjalan dengan tak terlihat,
Sangay menguntungkan tetapi juga merupakan perbuatan kriminal yang
sangat jahat.
Untuk memerangi kejahatan
transnasional terorganisir dengan sumber daya yang ada seperti itu, diperlukan
komitmen Pemerintah yang lebih kuat, bertindak dengan langkah-langkah yang
terencana dan konsisten serta melibatkan jaringan luas baik antar daerah di dalam
negeri maupun dengan pemerintah negara sahabat dan lembaga internasional.
II.
LANDASAN TEORI
2.1
Pengertian Perdagangan Orang
Definisi
mengenai perdagangan orang mengalami perkembangan sampai ditetapkannya Protocol
to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and
Children Suplementing the United Nation Convention Against Transnational
Organized Crime tahun 2000. Dalam protokol tersebut yang dimaksudkan dengan
perdagangan orang yaitu :
(a)
... the
recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons, by
means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction,
of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability
or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of
a person having control over another person, for the purposes of exploitation.
Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution
of others or other forms of sexual exploitation, forced labour or services,
slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs.
(“... rekrutmen, transportasi, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan
seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan
lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan, atau penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, ataupun penerimaan/pemberian bayaran, atau
manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas
orang tersebut untuk dieksploitasi, yang secara minimal termasuk ekspolitasi
lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau
pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupainya, adopsi
ilegal atau pengambilan organ-organ tubuh”).
Definisi
ini diperluas dengan ketentuan yang berkaitan dengan anak di bawah umur (di
bawah 18 tahun), bahwa:
The
recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of a child for the
purpose of exploitation shall be considered “trafficking in persons” even if
this does not involve any of the means set forth in subparagraph (a).
Dari
definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari perdagangan orang ,
adalah:
1.
Perbuatan : merekrut, mengangkut, memindahkan, menyembunyikan
atau menerima.
2.
Sarana (cara) untuk mengendalikan korban : ancaman,
penggunaan paksaan, berbagai bentuk kekerasan, penculikan, penipuan,
kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau
pemberian/penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan
dari orang yang memegang kendali atas korban.
3.
Tujuan : eksploitasi,
setidaknya untuk prostitusi atau bentuk ekspoitasi seksual lainnya, kerja
paksa, perbudakan, penghambaan, pengambilan organ tubuh.
Dari ketiga unsur tersebut, yang perlu diperhatikan
adalah unsur tujuan, karena walaupun untuk korban anak-anak tidak dibatasi
masalah penggunaan sarananya, tetapi tujuannya tetap harus untuk eksploitasi.
Pengertian
menurut Protocol tersebut menjiwai definisi perdagangan perempuan dan anak
sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden RI No. 88 Tahun 2002 tentang
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, yang
menyatakan:
“Perdagangan perempuan dan anak adalah segala
tindakan pelaku (trafficker)
yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar
daerah dan antar negara, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan dan
penampungan sementara atau di tempat tujuan – perempuan dan anak - dengan cara
ancaman, penggunaan kekerasan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu
muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan (misalnya ketika seseorang tidak
memiliki pilihan lain, terisolasi, ketergantungan obat, jebakan hutang, dan
lain-lain), memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan, di mana
perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual
(termasuk phaedopili), buruh migran legal maupun ilegal, adopsi anak, pekerjaan
jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri
pornografi, pengedaran obat terlarang, dan penjualan organ tubuh, serta
bentuk-bentuk eksploitasi lainnya”.
Perdagangan
orang berbeda dengan penyeludupan orang (people smuggling). Penyelundupan
orang lebih menekankan pada pengiriman orang secara illegal dari suatu negara
ke negara lain yang menghasilkan keuntungan bagi penyelundup, dalam arti tidak
terkandung adanya eksploitasi terhadapnya. Mungkin saja
terjadi timbul korban dalam penyelundupan orang, tetapi itu lebih merupakan
resiko dari kegiatan yang dilakukan dan bukan merupakan sesuatu yang telah
diniatkan sebelumnya. Sementara kalau perdagangan orang dari sejak awal sudah
mempunyai tujuan yaitu orang yang dikirim merupakan obyek ekploitasi. Penipuan
dan pemaksaan atau kekerasan merupakan unsur yang esensiil dalam perdagangan orang.
Menurut
GAATW (Global Alliance
Against Traffic in Women) trafficking adalah :"Semua usaha atau
tindakan yang berkaitan dengan perekrutan, transpotasi di dalam atau melintasi
perbatasan, pembelian, penjualan, transfer, pengiriman atau penerimaan
.seseorang dengan menggunakan penipuan atau tekanan termasuk
penggunaan
utuk ancaman penggunaan kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan atau lilitan
hutang dengan tujuan untuk menempatkan atau menahan orang tersebut, baik
dibayar ataupun tidak, untuk kerja yang tidak diinginkannya (domestik, seksual
atau reproduktif), dalam kerja paksa atau ikatan kerja atau dalam kondisi
seperti perbudakan, dalam suatu lingkungan lain dari tempat dimana orang itu
tinggal pada waktu penipuan, tekanan untuk lilitan hutang pertama kali.
Ruth
Rosenberg ,
mengusulkan definisi perdagangan perempuan adalah seluruh tindakan yang
dilakukan dalam rangka perekrutan dan atau pengiriman orang perempuan di dalam
dan ke luar negeri untuk pekerjaan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi dominant, penjeratan utang,
penipuan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain". Pengertian perdagangan
perempuan tersebut mengandung arti penting, karena yang disoroti tidak hanya
proses perekturan dan pengiriman yang menentukan bagi perdagangan, tetapi juga,
kondisi eksploitatif terkait ke mana orang diperdagangkan.
Menurut Global Survival Network dalam
Laporan PBB tentang Kekerasan Terhadap Perempuan dan anak ada empat jenis
situasi yang mengakibatkan perempuan dan anak perempuan terlibat dalam
perdaganan seks, yang juga dapat diterapkan pada bentuk-bentuk kerja yang lain
yang menyebabkan perempuan bermigrasi atau diperdagangkan: (1) Mencakup
perempuan yang ditipu mentah-mentah dan dipaksa dengan kekerasan. Mereka tidak
mengetahui sama sekali kemana mereka akan pergi atau pekerjaan apa yang akan
mereka lakukan; (2) Perempuan yang diberitahu separoh kebenaran oleh orang yang
merekrut mereka rnengenai pekerjaan yang akan dilakukan dan kemudian ; dipaksa
bekerja untuk apa yang sebelumnya tidak mereka setujui dan rnereka hanya mempunyai
sedikit atau tidak ada samasekali pilihan lainnya; (3) Perempuan yang mendapat
informasi mengenai jenis pekerjaan yang akan mereka lakukan. Walaupun mereka
tidak mau mengerjakan pekerjaan semacam itu, mereka tidak melihat adanya pilihan
ekonomi lain yang bisa mereka kerjakan; (4) Perempuan yang mendapat informasi
sepenuhnya mengenai pekerjaan yang akan mereka lakukan, tidak keberatan untuk
mengerjakannya. Pada kelompok yang ke empat ini tidak ada kondisi mengenai
pekerjaan yang tidak diketahui sehingga tidak termasuk dalam perdagangan
perempuan.
Berdasarkan
UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,
Pengertian Perdagangan Orang adalah
tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau
penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain
tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan
eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Eksploitasi merupakan tindakan
dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada
pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan,
penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau
secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan
tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk
mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.
2.2
Pelaku Perdagangan Orang
Perdagangan orang dapat dilakukan
oleh orang perseorangan ataupun
korporasi. Tindak pidana perdagangan
orang dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi
atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan
hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi
tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
Menurut Rosenberg sebagai dikutip Kementrian
Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, dalam Penghapusan Perdagangan Orang (Trafficking in Person) di Indonesia
, Pelaku perdagangan orang (trafficker) tidak saja melibatkan organisasi
kejahatan lintas batas tetapi juga melibatkan lembaga, perseorangan dan bahkan
tokoh masyarakat yang seringkali tidak menyadari keterlibatannya dalam kegiatan
perdagangan orang :
v Perusahaan
perekrut tenaga kerja dengan jaringan agen/calo-calonya di daerah adalah trafficker
manakala mereka memfasilitasi pemalsuan KTP dan paspor serta secara ilegal
menyekap calon pekerja migran di penampungan, dan menempatkan mereka dalam
pekerjaan yang berbeda atau secara paksa memasukkannya ke industri seks.
v Agen atau
calo-calo bisa orang luar tetapi bisa juga seorang tetangga, teman, atau bahkan
kepala desa, yang dianggap trafficker manakala dalam perekrutan mereka menggunakan
kebohongan, penipuan, atau pemalsuan dokumen.
v Aparat pemerintah
adalah trafficker manakala terlibat dalam pemalsuan dokumen, membiarkan
terjadinya pelanggaran dan memfasilitasi penyeberangan melintasi perbatasan
secara ilegal.
v Majikan
adalah trafficker manakala menempatkan pekerjanya dalam kondisi eksploitatif
seperti: tidak membayar gaji, menyekap pekerja, melakukan kekerasan fisik atau
seksual, memaksa untuk terus bekerja, atau menjerat pekerja dalam lilitan utang.
v Pemilik
atau pengelola rumah bordil, berdasar Pasal 289, 296, dan 506 KUHP, dapat dianggap
melanggar hukum terlebih jika mereka memaksa perempuan bekerja di luar kemauannya,
menjeratnya dalam libatan utang, menyekap dan membatasi kebebasannya bergerak,
tidak membayar gajinya, atau merekrut dan mempekerjakan anak (di bawah 18
tahun).
v Calo
pernikahan adalah trafficker manakala pernikahan yang diaturnya telah mengakibatkan
pihak isteri terjerumus dalam kondisi serupa perbudakan dan eksploitatif
walaupun mungkin calo yang bersangkutan tidak menyadari sifat eksploitatif
pernikahan yang akan dilangsungkan.
v Orang tua
dan sanak saudara adalah trafficker manakala mereka secara sadar menjual
anak atau saudaranya baik langsung atau melalui calo kepada majikan di sektor
industri seks atau lainnya. Atau jika mereka menerima pembayaran di muka untuk
penghasilan yang akan diterima oleh anak mereka nantinya. Demikian pula jika orang
tua menawarkan layanan dari anak mereka guna melunasi utangnya dan menjerat
anaknya dalam libatan utang.
v Suami
adalah trafficker manakala ia menikahi perempuan tetapi kemudian
mengirim isterinya ke tempat lain untuk mengeksploitirnya demi keuntungan
ekonomi, menempatkannya dalam status budak, atau memaksanya melakukan
prostitusi.
III.
ANALISA
MASALAH
3.1 Pencegahan
(preventif)
Dinamika dan berbagai
upaya yang dilakukan baik di tingkat
nasional, regional maupun internasional untuk memberantas perdagangan orang,
terutama perempuan dan anak melalui
instrumen intenasional sejak tahun 1904. Usaha penghapusan tersebut ditandai dengan
diselenggarakannya konferensi internasional perdagangan manusia pertama kali,
yakni konferensi mengenai perdagangan wanita atau ”trafficking in women” diadakan di Paris tahun 1895. Sembilan
tahun kemudian pada tahun 1904, di kota yang sama, 16 negara kembali mengadakan
pertemuan yang menghasilkan kesepakatan internasional pertama menentang Perdagangan Budak Berkulit Putih yang dikenal
dengan istilah Intenational Agreement the Supresssion of White Slave
Traffic. Kesepakatan tersebut
menentang dipindahkannya perempuan
ke luar negeri
dengan tujuan pelanggaran kesusilaan. Konvensi
awal ini membatasi diri pada penentangan bentuk pemaksaan dalam perdagangan
perempuan, tetapi sama sekali tidak mempermasalahkan tiadanya bukti
pemaksaan atau penyalahgunaan kekuasaan dalam perekrutannya.
Kesepakatan tersebut dalam
prakteknya tidak berjalan efektif karena gerakan anti perdagangan manusia pada saat itu lebih didorong karena
adanya ancaman terhadap kemurnian populasi perempuan kulit putih. Pada sisi lain, kesepakatan tersebut juga lebih
banyak memfokuskan perhatian kepada perlindungan korban daripada menghukum
pelaku kejahatannya, sehingga tepat enam
tahun kemudian, yakni pada tahun 1910 disetujui Internasional Convention
for the Supression of White Slave Traffic (Konvensi Internasional tanggal 4 Mei
1910 untuk Penghapusan Perdagangan Budak
Kulit Putih, diamandemen dengan Protokol PBB tanggal 3 Desember
1948).
Konvensi tersebut kemudian mewajibkan negara untuk menghukum siapa pun, yang
membujuk orang lain, baik dengan cara menyelundupkan atau dengan
menggunakan kekerasan, paksaan, penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan cara lain dalam memaksa, mengupah, menculik atau
membujuk perempuan dewasa untuk
tujuan pelanggaran kesusilaan.
Dalam perkembangan
selanjutnya dengan dibantu
oleh Liga Bangsa-bangsa, ditandatanganilah Convention on the Supression of Traffic in Women and
Children pada tahun 1921 (Konvensi Internasional
tanggal 4 Mei 1910 untuk Penghapusan
Perdagangan Perempuan dan Anak, diamandemen dengan Protokol PBB tanggal 20 Oktober 1947) dan International Convention of the Supression of Traffic in Women of Full
Age di tahun 1933 (Konvensi Internasional
tanggal 11 Oktober 1933 untuk
Penghapusan Perdagangan Perempuan
Dewasa, diamandemen dengan
Protokol PBB tanggal 20 Oktober 1947).
Keempat konvensi tersebut kemudian dikonsolidasikan oleh
PBB pada tahun 1949 ke dalam Convention for the
Supression of the Traffic in Person and of the Exploitation of the Prostitution
of Others. Konvensi ini mewajibkan negara peserta untuk menghukum mereka
yang menjerumuskan orang-orang, bahkan korban jika menyetujuinya, demi memuaskan manusia lainnya.
Dalam konvensi ini juga disebutkan bahwa negara peserta juga terikat untuk menghukum mereka yang
mengeksploitasi pelacur. Konvensi ini juga mencakup mereka yang secara finansial terlibat dalam pengelolaan atau
pengoperasian rumah pelacur atau siapapun yang menyewakan atau menyewa tempat-tempat untuk melacurkan
orang-orang lain.31
Pada tahun 1926, lahirlah
sebuah instrumen internasional
yang secara tegas
melarang praktek perbudakan.
Konvensi ini kemudian ditandatangani di Jenewa pada tanggal 25 September 1926.
Konvensi ini mewajibkan
negara untuk mengambil
langkah-langkah guna pengahapusan
sesegera mungkin perangkat-perangkat kelembagaan serta praktek-praktek yang
meliputi perbudakan berdasarkan
hutang, perhambaan, pertunangan
anak dan praktek-praktek perkawinan dimana seorang perempuan diperlakukan
sebagai harta milik, baik oleh keluarganya
sendiri maupun keluarga suaminya, atau bisa diwariskan setelah kematian
suaminya.
Selanjutnya pada tanggal
15 Desember 2000, Majelis Umum PBB, berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB 55/25 mengadopsi Konvensi tentang United
Nations Convention Against Transnational Organized Crime atau Konvensi mengenai Kejahatan Terorganisir beserta
ketiga protokolnya, yakni:
1.
Protocol to
Prevent, Suppress and
Punish Trafficking in
Persons, Especially Women
and Children, Supplementing the United Nations Convention
against Transnational Organized Crime (Protokol Pergadangan Manusia, Khususnya
Perempuan dan Anak);
2.
Protocol Against
the Smuggling of
Migrants by Land
Air and Sea,
supplementing the United
Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Protokol
Penyelundupan Migran);
3.
Protocol
against the Illicit Manufacturing of and Trafficking in Firearms, Their Parts
and Components and Ammunition,
supplementing United Nations Convention against Transnational Organized Crime (Protokol
Perdagangan Senjata Gelap).
Dalam Preambule Protokol, Negara Peserta (States Parties)
menyatakan tindakan efektif (effective action) untuk mencegak dan memerangi
perdagangan wanita dan anak memerlukan pendekatan internasional komprehensip di
negara-negara asal, transit, tujuan (the
countries of origin, transit, and destination) termasuk upaya-upaya untuk mencegah
perdagangan, menghukum pelakunya (trafficker),
dan melindungi korbanya termasuk melindungi hak asasi mereka yang diakui
secara internasional.
Indonesia
telah mengesahkan protocol ini pada tanggal 5 Maret 2009 dengan UU Nomor 14
Tahun 2009 tentang Pengesahan Protocol to Prevent, Suppress and Punish
Trafficking in Persons, Especially Women and Children, Supplementing the United
Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Protokol Untuk
Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan
Anak-anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Menentang Tindak
Pidana Transnasional yang Terorganisasi).
Ketentuan
mengenai larangan perdagangan orang di Indonesia, pada dasarnya telah
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 297 KUHP
menentukan mengenai larangan perdagangan wanita dan anak lakilaki belum dewasa
dan mengkualifikasikan tindakan tersebut sebagai kejahatan. Selanjutnya, dalam
Pasal 83 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menentukan larangan
memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk
dijual. Namun, ketentuan KUHP dan Undang-Undang Perlindungan Anak sanksi yang dieberikan
terlalu ringan dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita korban akibat
kejahatan perdagangan orang.
Berbagai upaya dan strategi telah
dilakukan oleh Pemerintah Indonesia maupun organisasi non-pemerintah dalam
menghadapi perdagangan perempuan dan anak. Strategi tersebut dibutuhkan atau
dilakukan baik bersifat preventif maupun represif, yaitu penguatan pada
kebijakan migrasi serta hukum pidana untuk perlindungan hukum bagi perempuan
dan anak sebagai korban, serta diupayakan penanganan sebagai korban tanpa
mengesampingkan hak-haknya sebagai perempuan dan anak.
Selain upaya memalui pembuatan
instrumen hukum, yang mengatur secara umum maupun khuhsus tentang perlindungan
hukum terhadap perdagangan perempuan dan anak seperti yang terakhir diantaranya
Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Pemerintah Indonesia juga membuat
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Peremnpuan dan Anak (RANP3A)yang ditetapkan melalui Keppres Nomor
88 Tahun 2002. RANP3A ini
dimaksudkan sebagai landasan dan pedoman bagi pemerintah Indonesia dan masyarakat dalam
melaksanakan penghapusan perdagangan perempuan dan anak.
Dalam
Hukum Nasional Indonesia, sebelum
lahirnya UU 21 Tahun 2007 dan UU Nomor 14 Tahun 2009, upaya-upaya perlindungan hukum
untuk mencegah dan menangani kejahatan perdagangan perempuan dan anak didasarkan
pada ketentuan KUHP. Peraturan yang lain adalah UU No 39/1999 tentang HAM dan
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta beberapa Konvensi
Internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia antara lain : Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2000 tentang Ratifikasi ILO Nomor 182 tentang Bentuk-Bentuk
Pekerjaan Terburuk Bagi Anak, Undang-Undang No 7 Tahun 1984 Tentang Ratifkasi
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Keputusan
Presiden (Keppres) Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak dan
lain-lainnya.
Pasal 297 KUHP secara khusus
mengatur perdagangan perempuan dan anak laki-laki di bawah umur. Dilihat dari
sudut korbannya, hampir seluruh kasus yang ditemukan korbannya adalah perempuan
dan anak-anak di bawah umur, termasuk bayi. Hanya sebagian kecil kasus yang
menyangkut tenaga kerja Indonesia, yang korbannya juga lakilaki dewasa yang
berarti tidak masuk dalam korban yang dilindungi oleh pasal 297 KUHP. Kelemahan
lain dari pasal 297 KUHP ini adalah hanya membatasi ruang lingkup pada
eksploitasi seksual, artinya pasal ini baru dapat menjaring perdagangan manusia
apabila korbannya digunakan untuk kegiatan yang bersifat eksploitasi seksual,
padahal ada bentuk-bentuk eksploitasi lain yang menjadikan korbannya sebagai
tenaga kerja, pembantu rumah tangga, bahkan untuk adposi ilegal anak dan bayi.
Permasalahan lain yang berkaitan
dengan pasal 297 KUHP adalah tentang batas usia belum dewasa (di bawah umur)
bagi anak laki-laki yang diperdagangkan. Seperti diketahui, dalam KUHP tidak
ada satu ketentuan pun yang secara tegas memberikan batasan usia belum dewasa
ataupun usia dewasa. Dalam pasal-pasal yang mengatur tentang korban di bawah
umur, ada pasal yang hanya sekedar menyebutkan bahwa korbannya harus di bawah
umur, tetapi ada pula pasal-pasal yang secara khusus menyebutkan usia 12 tahun,
15 tahun, 17 tahun sehingga tidak ada patokan yang jelas
untuk
masalah umur ini. Sementara itu, menurut Burgerligh Wetbook (BW), usia belum dewasa
adalah di bawah 21 tahun atau belum menikah, sementara menurut Undang-undang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batas usia belum dewasa adalah belum mencapai
umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Undangundang No. 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak juga menyatakan bahwa anak adalah ‘orang
yang mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah
kawin’. Disini dapat ditafsirkan bahwa seseorang di bawah umur 18 tahun yang sudan
kawin berarti tidak masuk kategori ‘anak’ lagi. Lebih lanjut dalam Undang-undang
No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan anak adalah “seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan”. Mengenai batasan usia ini harus ada satu ketentuan yang
tegas agar hanya ada satu pengertian.
Sebagai
upaya untuk menutupi kelemahan dalam KUHP, pemerintah telah membuat Rancangan KUHP dengan mengakomodir pasal-pasal yang terkait
dengan perdagangan orang secara eksplisit, yaitu :
a)
Tindak Pidana Perdagangan Orang
b)
Memasukkan orang ke dalam wilayah Indonesia untuk
diperdagangkan.
c)
Mengeluarkan orang dari wiiayah Indonesia untuk
diperdagangkan
d)
Perdagangan orang yang mengakibatkan luka berat atau
penyakit.
e)
Perdagangan arang oleh kelompok yang terorganisasi.
f)
Persetubuhan dan pencabulan terhadap orang yang
diperdagangkan.
g)
Pemasulan dokumen atau identitas untuk memudahkan
perdagangan orang.Penyalahgunaan kekuasaan untuk perdagangan orang.
h)
Menyembunyikan orang yang melakukan perdagangan orang.
i)
Perdagangan orang
di kapal.
Namun demikian, apabila dicermati
mengenai hal-hal di dalam Rancangan KUHP tersebut :
a)
Pasal-pasal
tersebut lebih bersifat preventif.
b)
Pengaturan
tentang korban perempuan dan anak lebih bersifat general, sehingga dianggap
belum sesuai dengan kebutuhan yang memerlukaan aturan yang lebih spesifik.
Tidak adanya hukum yang khusus yang mengatur tentang masalah perdagangan
perempuan dan anak, mengakibatkan meningkatnya jumlah kasus perdagangan dan
lemahnya penegakan hukumnya. Aturan yang diberlakukan sementara ini adalah
berdasarkan KUHP, UU Nomor 23 Tahun 2002, maupun UU Nomor 23 Tahun 2004.
Dalam
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ketentuan dipergunakan untuk
menjaring trafficker sebagaimana diatur dalam Pasal 83 dan 88
yang berbunyi :
Pasal
83:
“Setiap
orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau
untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000 (tiga
ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000 (enam puluh juta rupiah).
Pasal
88:
“Setiap
orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000 (dua
ratus juta rupiah). Tetapi dalam undang-undang ini, cakupannya hanya terbatas
pada anak sehingga pelaku perdagangan orang dengan korban yang bukan anak-anak,
tidak dapat dikenakan Undang-undang ini.
Di
dalam ketiga UU tersebut, tidak adanya definisi resmi tentang perdagangan orang
baik dalam KUHP, Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
maupun Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka di dalam
praktek pasal-pasal tersebut sulit untuk digunakan. Pihak Kepolisian juga melaporkan,
bahwa pelaku perdagangan orang sering kali terdiri dari orang-orang yang berbeda
pada setiap tahapan perdagangan orang seperti misalnya orang yang merekrut berbeda
dengan orang yang mengantar atau membawa korban, dan lain lagi orang yang menampung
atau menyerahkan korban kepada pengguna. Sehingga jika ia tertangkap oleh pihak
berwajib, paling hanya bisa dikenakan tuduhan penipuan atau perlakuan tidak
menyenangkan yang ancaman hukumannya ringan tidak sepadan dengan penderitaan.
Di
dalam konvensi ILO 182 dinyatakan bahwa penjualan dan perdagangan anak adalah "Suatu bentuk perbudakan atau
praktek serupa perbudakan yang pada hakekatnya sama saja dengan perbudakan itu
sendiri ". Karena itu penjualan dan perdagangan anak termasuk salah satu
bentuk terburuk Perburuhan Anak. Konvensi ILO No. 182 ini menekankan pentingnya
pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk terburuk Perburuhan Anak. Oleh karena
itu negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi ini berkewajiban untuk
menuangkannya daiam bentuk peraturan perundang-undangan dan melaksanakannya
melalui program-program aksi yang ditujukan untuk memberantas dan mencegah
bentuk-bentuk terburuk Perburuhan Anak.
Dalam
rangka pencegahan tindak pidana perdagangan perempuan dan anak, perlu dilakukan
upaya-upaya untuk peningkatan pendidikan, penyebarluasan informasi, dan
peningkatan pengawasan. Peningkatan pendidikan dan penyebarluasan informasi
merupakan faktor yang sangata penting. sebagaimana dilaporkan Rosenberg, profil perempuan dan anak korban perdagangan
orang serta mereka yang beresiko, pada umumnya berasal dari keluarga miskin,
kurang pendidikan, kurang informasi dan berada pada kondisi sosial budaya yang kurang
menguntungkan bagi perkembangan dirinya. Peningkatan pendidikan harus menjadi
perhatian semua pihak dan terutama ditujukan kepada anak-anak usia sekolah dari
keluarga miskin, anak jalanan, dan juga kepada mereka yang karena sesuatu hal
tidak dapat melanjutkan sekolahnya.
Selanjutnya,
mengenai penyebarluasan informasi pada dasarnya dapat dilakukan oleh siapapun
yang peduli dengan masalah perdagangan orang dan ditujukan kepada khalayak luas
baik dalam rangka memberikan informasi agar mereka mengetahui masalah
perdagangan orang, maupun dalam rangka mengajak mereka berpartisipasi sesuai
dengan kemampuan dan kewenangan yang dimilikinya dalam upaya-upaya
penghapusannya. Kampanye tentang kasus-kasus perdagangan orang dilakukan
melalui media massa (cetak maupun elektronik)
dalam rangka pengembangan opini, keberpihakan, dan dukungan massa.
Sementara
peningkatan pengawasan, terutama ditujukan terhadap para pekerja migrant. Pemerintah
harus meningkatkan pengawasan terhadap operasional perusahaan jasa tenaga kerja
Indonesia dalam merekrut,
menampung, melatih, menyiapkan dokumen dan memberangkatkan tenaga kerja Indonesia
ke luar negeri. Upaya ini didukung oleh masyarakat melalui DPR RI sehingga
beberapa undang-undang telah ditetapkan: Undang-undang No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, Undang-undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial, dan Undang-undang No. 39 tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
3.1 Penindakan (repsesif)
Penindakan
hukum kepada trafficker, sesuai dengan kewenangannya diselenggarakan
oleh yang berwajib (Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan), akan tetapi
mengingat perdagangan orang merupakan tindak kejahatan yang beroperasi
diam-diam, kepada masyarakat umum, lembaga kemasyarakatan dan LSM,
disosialisasikan agar ikut berpartisipasi aktif dalam mengungkap kejahatan ini
dengan cara memberikan informasi kepada yang berwenang jika melihat,
menyaksikan atau mengindikasi adanya kegiatan perdagangan orang atau hal-hal
yang dapat diduga menjurus kepada terjadinya kejahatan itu.
Pihak
Kepolisian di seluruh wilayah telah membuka hot-line yang dapat diakses
oleh masyarakat yang ingin melaporkan adanya tindak kejahatan, dan pihak
Kepolisian akan segera menanggapi dan menindaklanjuti informasi yang diberikan Perdagangan
orang menjadi ancaman bagi keamanan dalam negeri karena telah menjadi sumber
penghasilan yang sangat besar bagi sindikat kejahatan internasional. Kejahatan lintas
batas ini juga menjadi ancaman bagi kesehatan manusia karena korbannya: pria,
wanita dan anak-anak diperjual-belikan dengan tidak ada rasa kemanusiaan dan
tidak mempedulikan akibat kejiwaan dan penyakit yang dapat menimpa korbannya.
Sebagai bagian dari transnational
organized crime, perdagangan orang tidak dapat diperangi secara partial
atau secara sendiri-sendiri oleh masing-masing negara. Negara-negara yang anti
perbudakan dan berniat melindungi kehidupan warganegaranya harus bersatu padu
bekerjasama memerangi perdagangan orang. Kerjasama antar Pemerintah (G-to-G)
antar LSM, organisasi masyarakat dan perseorangan dalam dan luar negeri harus
dibina dan dikembangkan sehingga terbentuk kekuatan yang mampu memberantas kejahatan
teroganisir tersebut.
Kerjasama penindakan hukum antara
Pemerintah Indonesia dengan negara tetangga dan negara tujuan lainnya sudah
lama dibina seperti misalnya dengan Pemerintah Australia dan Hong Kong yaitu
melalui Undang-undang No. 1 Tahun 1999 tentang Pengesahan Perjanjian antara
Republik Indonesia dan Australia mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah
Pidana (Treaty Between RI and Australia on Mutual Assistance in Criminal
Matters), dan Undang-undang No. 1 Tahun 2001 tentang Pengesahan Persetujuan
antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Hongkong untuk Penyerahan
Pelanggar Hukum yang Melarikan Diri (Agreement between the Government of
Indonesia and the Government of Hong Kong for the Surrender of Fugitive
Offenders).
Kerjasama dengan negara tetangga
terdekat seperti Malaysia dan Singapura sangat penting dilakukan. Komitmen
bersama antara aparat penegak hukum Indonesia, Malaysia dan Singapura untuk
mengatasi perdagangan orang sebagaiman telah menjadi tujuan dari Konferensi
Penegakan Hukum Internasional tentang Perdagangan Orang, di Batam bulan Februari 2004, yang dihadiri 50 orang aparat penyidik dari
Malaysia, Singapura dan Indonesia. Konferensi ini dihadiri oleh Duta Besar AS
untuk Indonesia yang mengajak penyidik Kepolisian negara peserta untuk
menghukum pelaku perdagangan orang (trafficker) dan orang-orang yang
terlibat di dalamnya dengan hukuman seberat-beratnya.
Amerika Serikat yang ditengarai
sebagai negara tujuan perdagangan orang, memberikan dukungan kuat kepada
negara-negara lain sebagai daerah sumber atau sebagai daerah transit, termasuk
kepada Indonesia. Sejak awal tahun 2005, Amerika Serikat menyatakan penguatan
komitmen dukungannya melalui keterikatan kerjasama Indonesia-Amerika Serikat
senilai US$ 9 juta dalam periode waktu empat tahun, dalam rangka memerangi perdagangan
orang lintas batas dari dan ke Indonesia, dan juga yang terjadi di dalam negeri
Indonesia. Kerjasama tersebut ditujukan untuk: pencegahan perdagangan orang
melalui pendidikan dan cara lainnya; memberikan bantuan, perlindungan dan
reintegrasi korban perdagangan orang; serta memperkuat upaya-upaya penegakan
hukum untuk menghentikan pelaku perdagangan orang (trafficker). Sebagai executing agencies adalahLSM
internasional dan badan-badan seperti Save the Children-AS, American
Center for International Labor Solidarity (ACILS), International
Catholic Migration Commision (ICMC), dan International Organization for
Migration (IOM) bekerja sama Instansi Pemerintah Indonesia, kelompok
masyarakat madani Indonesia, dan komunitas lokal.
Patut
diakui bahwa walaupun sudah ada peningkatan upaya penindakan dan pencegahan perdagangan orang
termasuk pemberian informasi kepada kelompok
masyarakat yang rentan terhadap perdagangan orang mengenai hak-hak mereka
(seandainya menjadi korban) seperti misalnya hak untuk mendapatkan perlindungan
dari Pemerintah negara setempat dan dari Perwakilan RI di luar negeri, namun
masih banyak korban yang belum memahami layanan yang seharusnya dan sewajarnya
mereka dapatkan, ketimbang perlakuan Pemerintah setempat yang lebih cenderung
menganggapnya sebagai kriminal, migran ilegal atau undocumented migrant.
Pada perkembangannya, perdagangan perempuan dan anak atau Traficking di
Indonesia hingga tahun 2009 ini bisa dikatakan masih belum ada titik terang.
IV.
KESIMPULAN
Masalah trafficking perempuan dan anak dengan alasan dan tujuan apapun tetap
merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap HAM. Indonesia sebagai
Negara Peserta United Nations Convention Against Transnational Organized Crime
beserta Negara Peserta lainnya mempunyai tanggungjawab secara`moral dan hukum
untuk menjamin keberadaan harkat dan
martabat yang dimiliki oleh seorang manusia. Sebagaimana menurut
Deklarasi Hak Asasi Manusia serta beberapa instrument Internasional lainnya. Pemerintah
bertanggungjawab dengan menegakkan hukum untuk memberi perlindungan kepada
orang-orang yang diperdagangan, wajib bertindak secermat-cermatnya untuk
mencegah, menginvestigasi, dan menghukum pelanggaran HAM dan memberikan
penyembuhan dan ganti rugi kepadakorban pelanggaran.
Pencegahan
trafficking melalui pembuatan instrumen hukum, penyebarluasan informasi, peningkatan
pengawasan, peningkatan pendidikan, pembetukan badan khusus dan penindakan oleh
aparat penegak hukum sampai dengan perlindungan bagi para korban, pada kenyataannya trafficking perempuan
dan anak, di masyarakat masih banyak dapat disaksikan. Hal ini dapat dilihat di
kota-kota besar dengan adanya praktek eksploitasi terhadap anak yang dijadikan
pengemis, pengamen jalanan, pekerja anak, pekerja seks komersial,
diperdagangkan dan sebagainya.
Upaya kerja sama pemerintah dengan organisasi
internasional dan local ataupun Negara lain, kuhusnya dengan Negara tetangga
dalam pemberantasan
perdagangan orang, tampak masih belum berhasil optimal. Kompleknya permasalahan trafficking perempuan dan anak menuntut upaya ekstra dari pemerintah, lebih-lebih bila
dicermati bahwa pelaku trafficking perempuan dan anak itu terorganisasi dengan
rapi baik dalam jaringan nasional maupun
internasional. Keseriusan melalui
tindakan ektra dari pihak pemerintah dalam menangani kasus trafficking, maka
dapat dipastikan akan dapat
meminimalisasikan terjadinya trafficking perempuan dan
anak baik dalam
tingkat nasional maupun internasional.
Lihat Report ADB
yang menyatakan palin tidak sebanyak satu s.d dua juta jiwa diestimasi telah
diperjual-belikan setiap tahun di seluruh dunia. Sebagaian besar penjualan
orang berasal dari negara miskin 150.000 dari Negara Asia Barat dan 225.000
dari Negara Asia Tenggara
HAM Dalam Praktek, Panduan Melawan Perdagangan Perempuan dan Anak, Lembaga
Advokasi Buruh Migran Indonesia Solidaritas Perempuan, 2000, hal. 33 -35
Kementrian
Pemberdayaan Perempuan, leaflet Trafficking (Perdagangan) Perempuan Dan
Anak, Jakarta,
2004.
Riza Nazari,
“Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak“, Makalah disampaikan pada Workshop,
Penguatan Materi tentang Konsep HAM Perempuan dan Gender, Kerjasama Fakultas
Hukum Unsyiah dengan The Asia Foundation, Medan, tanggal 15-17 Juli 2006
Harkristuti Harkrisnowo, “Laporan Perdagangan Manusia di Indonesia”,
Sentra HAM, UI, Jakarta, 2003.
Laporan Pelapor
Khusus PBB “tentang kekerasan Terhadap Perempuan, Perdagangan Perempuan,
Migrasi, Perempnan dan Kekerasan terhadap Perempuan” Penyebab dan Akibatnya, 29
Pebruari 2000, hal. 25
Korporasi adalah
kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum.