|
Sejarah Hukum Perdata |
Sejarah Hukum Perdata
Sejarah
Perkembangan hukum Perdata di Indonesia tidak terlepas dari sejarah
perkembangan Ilmu Hukum di negara-negara Eropa lainnya, dalam arti perkembangan
hukum perdata di indonesia amat dipengaruhi oleh perkembangan hukum di
negara-negara lain, terutama yang mempunyai hubungan langsung. Indonesia
sebagai negara yang berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda; Belanda,maka
kebijakan-kebijakan dalam hukum perdata tidak terlepas dari kebijakan yang
terjadi dan diterapkan di negara Belanda. Sementara itu Belanda pernah dijajah
oleh Perancis, maka secara otomatis apa yang terjadi dalam perkembangan hukum
di negara Perancis amat berpengaruh dengan kebijakan hukum di negara Belanda.
Sarjana-sarjana Perancis banyak yang mempelajari
hukumnya di negara Romawi, maka pengaruh hukum Romawi juga amat dominan.
Menurut Kansil ( 1993 : 63 ), tahun
1848 menjadi tahun yang amat penting dalam sejarah hukum Indonesia. Pada tahun ini hukum
privat yang berlaku bagi golongan hukum Eropa dikodifikasi, yakni dikumpulkan
dan dicantumkan dalam beberapa kitab undang-undang berdasarkan suatu sistem
tertentu. Dalam pembuatan kodifikasi dipertahankan juga asas konkordasi,
resikonya hampir semua hasil kodifikasi tahun 1848 di Indonesia adalah tiruan
hasil kodifikasi yang telah dilakukan di negeri Belanda pada tahun 1838, tetapi
diadakan beberapa perkecualian agar dapat menyesuaikan hukum bagi golongan
hukum Eropa di Indonesia dengan keadaan istimewa.
Adapun yang dimaksud dengan asas
konkordasi adalah asas penyesuaian atau asas persamaan terhadap berlakunya
sistem hukum di Indonesia yang berdasarkan pada ketentuan pasal 131 ayat ( 2 )
I.S. yang berbunyi “ Untuk golongan bangsa Belanda untuk itu harus dianut atau
dicontoh undang-undang di negeri Belanda. Hal ini menurut Kansil ( 1993 : 115 )
berarti bahwa hukum yang berlaku bagi
orang-orang Belanda di Indonesia harus disamakan dengan hukum yang berlaku di
negeri Belanda. Jadi selarasnya hukum kodifikasi di Indonesia dengan hukum
kodifikasi di negeri Belanda adalah berdasarkan asas konkordasi.
Sumber
pokok Hukum Perdata ialah Kitab Undang-Undang Hukum Sipil ( BW ) disingkat KUHS. KUHS sebagian besar
adalah hukum perdata Perancis, yaitu Code Napoleon tahun 1811-1838 akibat
pendudukan Perancis di Belanda berlaku, maka Hukum Perdata berlaku di negeri
Belanda sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Sipil yang resmi. Sedangkan dari Code
Napoleon ini adalah Code Civil yang dalam penyusunannya mengambil
karangan-karangan pengarang-pengarang bangsa Perancis tentang Hukum Romawi
(Corpus Juris Civilis ) yang pada jaman dahulu dianggap sebagai hukum yang
paling sempurna. Peraturan-peraturan yang belum ada pada jaman Romawi tidak dimasukkan dalam Code Civil, tetapi
dalam kitab tersendiri ialah Code de Commerce.
Setelah pendudukan Perancis berakhir
oleh pemerintah Belanda dibentuk suatu panitia yang diketuai Mr. J.M. Kemper
dan bertugas membuat rencana kodifikasi hukum perdata Belanda dengan
menggunakan sebagai sumber sebagian besar “ Code Napoleon” dan sebagian kecil
hukum Belanda Kuno.
Meskipun penyusunan sudah selesai
sebelum 5 Juli 1830, tetapi Hukum Perdata Belanda baru diresmikan pada 1
Oktober 1838. Pada tahun itu dikeluarkan:
1. Burgerlijk
Wetboek ( KUH Sipil )
2. Wetboek van
Koophandel ( KUH Dagang )
Berdasarkan asas konkordasi,
kodifikasi hukum perdata Belanda menjadi contoh bagi kodifikasi hukum perdata
Eropa di Indonesia. Kodifikasi ini diumumkan tanggal 30-4-1847 Staatsblad No.23 dan mulai
berlaku 1 mei 1848 di Indoensia.
Adapun dasar hukum berlakunya
peraturan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di Indonesia adalah pasal II Aturan
Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, bahwa segala badan negara
dan peraturan yang ada masinh langsung berlaku selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar ini. Dengan demikian sepanjang belum ada peraturan
yang baru, maka segala jenis dan bentuk hukum yang ada yang merupakan
peninggalan dari jaman kolonial masih dinyatakan tetap berlaku. Hal ini
termasuk keberadaan Hukum Perdata. Hanya saja dalam pelaksanannya yang
menyangkut keberlakuan hukum perdata ini disesuaikan dengan azas dan falsafah
negara Pancasila, termasuk apabila telah lahir peraturan perundang-undangan
yang baru, maka apa yang ada dalam KUH Perdata tersebut dinyatakan tidak
berlaku. Contohnya masalah tanah yang telah ada Undang-undang Nomor 5 tahun
1960 tentang Pokok-pokok Agraria, terutama yang mengenai Bumi, air serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,kecuali ketentuan-ketentuan yang
mengenai hipotek yang masih berlaku pada mulainya berlaku undang-undang ini; begitu juga masalah Perkawinan yang telah ada
Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Perkawinan.
Ketentuan lain adalah dengan
keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 3 tahun 1963 yang menyatakan bebera
pasal yang ada dalam KUH perdata dinyatakan tidak berlaku lagi. Adapun
pasal-pasal tersebut di antaranya adalah sebagai berikut :
a. Pasal 108
s.d. 110 tentang ketidakwenangan
bertindak dari istri : konsekweinsinya suami istri
mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum. Hal ini diperkuat oleh bunyi pasal
31 Undang-undang nomort 1 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Perkawinan yang
menyatakan bahwa hak dan kedudukan isteri
adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah
tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat;masing-masing pihak (suami
isteri) berhak untuk melakukan perbuatan hukum
b. Pasal 284
ayat (3) tentang pengakuan anak luar kawin yang lahir dari wanita Indonesia
Asli konsekwensinya
: Tidak menimbulkan putusnya hubungan hukum antara ibu dan anak; Dengan adanya
pengakuan terhadap anak luar kawin ini, maka dia mendapatkan hak untukmewaris
dari orang tuanya yang meninggal, misalnya kalau dia bersama-sama dengan
golongan 1, dia akan mendapatkan bagian 1/3 nya, sedangkan bila dia
bersama-sama dengan golongan 2, dia akan mendapatkan bagian ½ dari harta
warisan yang ditinggalkan pewaris tersebut.
c. Pasal 1579
: yang menentukan bahwa dalam sewa menyewa barang, pemilik tidak dapat
menghentikan sewa dengan alasan akan memakainya sendiri barangnya. Konsekwensinya
: boleh menghentikan, sekalipun demikian apabila si pemilik akan memakai
kembali barang yang disewakannya tersebut, sementara si penyewa masih mempunyai
hak,maka si pemilik harus memberikan kompensasi atau ganti kerugian kepada si
penyewa sesuai dengan kesepakatan bersama, sehingga si penyewa tidak merasa
dirugikan.
d. Pasal 1682
yang mengharuskan penghibahan dengan akta notaris. Konsekwensinya tidak
mengharuskan penghibahan melalui akte notaris, ini juga berarti bahwa apabila
terjkadi proses hibah tidak perlu dilakukan melalui akte notaris, namun
saksi-saksi sebagai bukti harus tetap ada.
e. Pasal 1238
yang menentukan, bahwa pelaksanaan suatu perjanjian hanya dapat diminta di
depan hakim, jika didahului dengan penagihan tertulis. Konsekwensinya : tidak
harus didahului dengan penagihan tertulis
f.
Pasal 1460 tentang resiko dalam perjanjian jual beli
barang ditentukan resiko ada pada pembeli. Konsekwensinya resiko ditanggung
bersama, artinya baik si pembeli maupun si penjual sama menanggung resiko,
bahkan bila terdapat cacat barang yang tersembunyi tidak tertutup kemungkinan
resiko tersebut menjadi tanggung jawab si penjual seluruhnya. Sebaliknya bila
terjadi kasus overmacht atau keadaan memaksa, resiko bisa menjadi tanggungan si
pembeli seluruhnya.Jadi mengenai resiko dari perjanjian jual beli amat
tergantung dari persetujuan bersama, kecuali hal-hal yang diatur secara tegas
dalam peraturan perundang-undangan.
g. Pasal 1630
yang mengadakan diskriminasi antara orang Eropa dan bukan Eropa dalam
perjanjian perburuhan. Konsekwensinya tidak ada
diskriminasi dalam perburuhan.
Bagaimana
kondisi atau keadaan hukum perdata di Indonesia saat ini ? Keadaan Hukum
Perdata di Indonesia dari dahulu sampai dengan sekarang tidak ada keseragaman (
Pluranisme ). Hal ini dikarenakan adanya kebijakan tentang pembagian penduduk
di Indonesia,
yaitu sebagai berikut :
1. WNI asli (
dahulu Bumi Putera ) berlaku Hukum Perdata Adat, yaitu keseluruhan
aturan-aturan hukum yang tidak tertulis. Namun ada beberapa pasal dalam KUH
Perdata dan KUHD yang dinyatakan berlaku bagi WNI asli tersebut, yaitu :
a. Pasal-pasal
yang berhubungan dengan pembagian kerja lama, yaitu: pasal 1601 tentang :
persetujuan-persetujuan untuk melakukan jasa-jasa yang diatur dalam
ketentuan-ketentuan khusus;1602 tentang kewajiban majikan dalam membayar upah
pada buruh;1603 tentang kewajiban-kewajiban buruh. Selain itu ada juga
pasal-pasal tentang perjanjian kerja baru yang khusus berlaku bagi golongan
Eropa, yaitu pasal-pasal yang terdapat dalam Titel 7 A Buku III BW ).
b. Pasal-pasal
tentang permainan dan pertauran ( perjudian ) yaitu pasal-pasal: 1788 (
Undang-undang tidak memberikan suatu tuntutan hukum dalam halnya suatu utang
yang terjadi karena perjudian atau pertaruhan); 1789 ( Dalam ketentuan
tersebut di atas tidak termasuk
permainan-permainan yang dapat dipergunakan untuk olah ragam, seperti main
anggar lari cepat dsb); 1790 ( Tidaklah diperbolehkan untuk menyingkiri
berlakunya ketentuan-ketentuan kedua pasal yang lalu dengan jalan perjumpaan
utang ) dan 1791 ( Seorang yang secara sukarela telah membayar kekalahannya
sekali-sekali tak diperbolehkan menuntutnya kembali kecuali apabila dari
pihaknya pemenang telah dilakukan kecurangan atau penipuan ).
c. Pasal-pasal
dari KUHD tentang Hukum Laut
2. WNI
Keturunan Eropa berlaku Hukum Perdata Barat, termasuk WvK. Adapun yang dimaksud
golongan Eropa menurut Soediman Kartohadiprodjo ( 1987:58) adalah :
a. semua warga
negara Nederland
b. kesemuanya
orang, tidak termasuk yang disebut (1) di atas yang berasal dari Eropa
c. Kesemuanya
warga negara Jepang
d. Kesemuanya
orang di luar 1 dan 2 yang hukum keluarganya sama dengan hukum Belanda
e. Anak-anak
dari 2 dan 3 yang lahir di Indonesia
2. WNI
Keturunan Timur Asung :
a. Non
Tionghoa : Berlaku Hukum Perdata yang ditetapkan berdasarkan Lembaran Negara
1925 nomor 556 yaitu yang memberlakukan sebagian dari BW dan WvK, yaitu
bagian-bagian yang mengenai Hukum Harta Kekayaan dan Hukum Waris yang dengan
surat wasiat. Yang lainnya berlaku Hukum Adatnya, yaitu menurut Jurisprudensi
tetap di Indonesia ialah
Hukum Perdata Adat dari orang-orang Timur Asing yang tumbuh di Indonesia.
b. Tionghoa :
Diberlakukan Hukum Perdata sebagaimana diatur dalam LN 1925 nomor 557 yaitu
berlaku seluruh Hukum Perdata (BW) dan WvK dengan pengecualian dan penambahan :
1) Pengecualiannya
: Pasal-pasal mengenai upacara perkawinan dan mengenai
pencegahan (penahanan ) perkawinan dari BW tidak berlaku bagi mereka ,karena
mereka tetap tunduk kepada hukum adatnya sendiri.
2) Penambahannya :
Peraturan-peraturan mengenai pengangkatan anak (adopsi) dan Kongsi (badan
perdagangan ). Lembaga adopsi ini menjadi sangat penting mengingat masayarakat
Tionghoa menarik garis keturunan laki-laki, sementara dalam BW tidak diatur
mengenai lembaga adopsi.
Untuk mengurangi masalah pluralisme
hukum perdata di Indonesia, Pemerintahan Kolonial Belanda mengeluarkan
serangkaian kebijakan yang termuat dalam pasal 131 IS. Kebijakan ini dikenal
dengan nama politik hukum pemerintah
Belanda yang lengkapnya berbunyi :
1. Hukum
Perdata dan dagang (begitu pula Hukum Pidana beserta Hukum Acara Perdata dan
Pidana ) harus diletakkan dalam kitab-kitab undang-undang yang dikodifisir (
asas kodifikasi )
2. Untuk
golongan bangsa Eropa dianut (dicontoh) perundang-undangan yang berlaku di
Negeri Belanda (asas konkordasi )
3. Untuk
golongan bangsa Indonesia Asli dan Timur asing (tionghoa,Arab dsb ) jika
ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya, dapat menggunakan
peraturan yang berlaku bagi golongan Eropa.
4. Orang Indonesia
asli dan Timur Asing sepanjang mereka belum ditundukkan di bawah peraturan
bersama dengan bangsa Eropa, diperbolehkan menundukkan diri (onderwepen).
5. Sebelum
hukum untuk bangsa Indonesia
ditulis di dalam undang-undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang
sekarang berlaku bagi mereka, yaitu Hukum Adat.
Dengan demikian jelaslah, bahwa
pasal 131 IS memuat dasar politik hukum mengenai hukum perdata, hukum pidana
serta hukum acara perdata dan pidana. Dalam ayat (2) pasal 131 IS disebut perkataan
“ Europeanen” (sub a ) dan Indonesiers en Vreemde Oosterlingen ( sub. b ),
dengan ketentuan nampak, bahwa IS dalam politik hukumnya tidak bersandar pada
satu hukum, melainkan menentukan akan berlakunya lebih dari satu sistem hukum
di Indonesia. Sistem Hukum untuk Europeanen “ dan sistem hukum untuk
Indonesiers dan Vreemde Oosterlingen, yaitu yang menurut penjelasan pasal 131
ayat (1) dinyatakan, jikalau ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini, dalam
peraturan umum dan peraturan setempat, dalam aturan-aturan, peraturan polisi
dan administrasi diadakan perbedaan antara golongan Eropah, golongan Pribumi
dan Golongan Tmur Asing, maka kesemuanya ini dijalankan menurut aturan-aturan.
Selain
melalui kebijakan politik hukum, juga dikenal adanya penundukkan diri.
Penundukan Diri sebagaimana diatur dalam Stb. 1917 nomor 12 ada 4 macam, yaitu
:
1. Penundukan
diri pada seluruh Hukum Perdata Eropa
2. Penundukan
diri pada sebagian Hukum Perdata Eropa, yaitu hanya pada hukum kekayaan harta
benda saja, seperti yang dinyatakan berlaku bagi golongan Timur Asing.
3. Penundukan
diri mengenai suatu perbuatan hukum tertentu
4. Penundukan
diri secara diam-diam.