BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hukum Humaniter Internasional
memiliki sejarah yang singkat namun penuh peristiwa. Untuk menghindari
penderitaan akibat perang maka baru pada pertengahan abad ke-19 negara-negara
melakukan kesepakatan tentang peraturan-peraturan internasional dalam suatu
konvensi yang mereka setujui sendiri (Lembar Fakta HAM, 1998: 172). Sejak saat
itu, perubahan sifat pertikaian bersenjata dan daya merusak persenjataan modern
menyadarkan perlunya banyak perbaiakan dan perluasan hukum humaniter melalui
negosiasi–negosiasi panjang yang membutuhkan kesabaran.
Perkembangan Hukum Humaniter
Internasional yang berhubungan dengan perlindungan bagi korban perang dan hukum
perang sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum perlindungan Hak Asasi
Manusia setelah Perang Dunia Kedua. Penetapan instrumen internasional yang
penting dalam bidang Hak Asasi Manusia seperti Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (1948), Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (1950) dan Konvenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966) memberikan sumbangan untuk
memperkuat pandfangan bahwa semua orang berhak menikmati Hak Asasi Manusia,
baik dalam pada masa perang maupun damai.
Hukum perang atau yang sering
disebut dengan hukum Humaniter internasional, atau hukum sengketa bersenjata
memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia, atau sama tuanya
dengan perang itu sendiri. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa adalah suatu
kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat
manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri
kemudian membawa keinsyarafan bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas
itu sangat merugikan umat manusia, sehingga kemudian mulailah orang mengadakan
pembatasan-pembatasan, menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur perang
antara bangsa bangsa. Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja juga mengatakan bahwa
tidaklah mengherankan apabila perkembangan hukum internasional modern sebagai
suatu sistem hukum yang berdiri sendiri dimulai dengan tulisantulisan mengenai
hukum perang.
Dalam sejarahnya hukum humaniter
internasional dapat ditemukan dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di
seluruh dunia. Perkembangan modern dari hukum humaniter baru dimulai pada abad
ke-19. Sejak itu, negara-negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan
praktis, yang berdasarkan pengalamanpengalaman pahit atas peperangan modern.
Hukum humaniter itu mewakili suatu keseimbangan antara kebutuhan kemanusiaan
dan kebutuhan militer dari negara-negara. Seiring dengan berkembangnya
komunitas internasional, sejumlah negara di Seluruh dunia telah memberikan
sumbangan atas perkembangan hukum humaniter internasional. Dewasa ini, hukum
humaniter internasional diakui sebagai suatu sistem hukum yang benar-benar
universal.
Pada umumnya aturan tentang
perang itu termuat dalam aturan tingkah laku, moral dan agama. Hukum untuk
perlindungan bagi kelompok orang tertentu selama sengketa bersenjata dapat
ditelusuri kembali melalui sejarah di hampir semua negara atau peradaban di
dunia. Dalam peradaban bangsa Romawi dikenal konsep perang yang adil (just
war). Kelompok orang tertentu itu meliputi penduduk sipil, anakanak,
perempuan, kombatan yang meletakkan senjata dan tawanan perang.
B.
Identifikasi
Masalah
Dalam
penulisan makalah ini, permasalahan-permasalahan yang akan dibahas adalah
sebagai berikut :
1. Mengetahui
asas-asas dan prinsip-prinsip dari Hukum Humaniter.
2. Ruang
lingkup konflik bersenjata Hukum Humaniter dalam kontek Hukum Internasional .
3.
Permasalah
dari perang konflik bersenjata dan non bersenjata.
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun
maksud dan tujuan tim penulis dalam menyusun makalah ini tiada lain adalah
sebagai tugas mata kuliah Hukum Internasional yang di berikan oleh Dosen
pembimbing sebagai bahan diskusi dalam proses pembelajaran bersama pada
semester Empat Sekolah Tinggi Hukum Garut.
D.
Sistematika
Penulisan
Sistematika
Penulisan di bagi menjadi beberapa bagian
BAB I Pendahuluan
Pendahuluan
berisikan ; Latar belakang. Identifikasi masalah, tujuan penulisan, sistematika
penulisan
BAB II Pembahasan
Pembahasan
dalam bab ini berisikan isi/penyelesaian dari identifikasi masalah
BAB III Penutup
Penutup
dalam bab ini beriikan Kesimpulan dan Saran
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hukum Humaniter
Istilah
hukum humaniter atau lengkapnya international humanitarian law applicable in
armed conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of war). Dalam
perkembangannya kata-kata perang (war) menimbulkan ketakutan yang mendalam,
sehingga timbul istilah baru yaitu pertikaian bersenjata (arm conflict) untuk
menggantikan istilah perang sekalipun perang masih terjadi di mana-mana.
Sesudah perang dunia II dilakukan upaya-upaya untuk menghindarkan dan bahkan
meniadakan perang. Sikap tersebut berpengaruh dalam penggunaan istilah,
sehingga istilah hukum perang berubah menjadi hukum sengketa bersenjata (laws
of armed conflict).
Dalam
perkembangan selanjutnya yaitu permulaan abad ke-20 diusahakan untuk mengatur
cara berperang yang dalam penyusunannya dilengkapi dengan konsepsi-konsepsi
asas kemanusiaan (humanity principle), yang pada akhirnya istilah laws of armed
conflictmengalami pergeseran dengan istilah baru International Humanitarian Law
Aplicable in Armed Conflict, yang kemudian sering disingkat dengan istilah
international humanitarian law atau hukum humaniter internasional
Walaupun
istilah yang digunakan berbeda-beda yaitu hukum perang, hukum sengketa
bersenjata, hukum perikemanusiaan internasional, Hukum Humaniter Internasional
(HHI), tetapi semua istilah itu mempunyai arti yang sama yaitu mengatur tentang
tata cara dan metode perang serta perlindungan terhadap korban-korban perang.
Adapun
pengertian perang oleh Francois didefinisikan sebagai keadaan hukum antara
negara-negara yang saling bertikai dengan menggunakan kekuatan militer.
Sedangkan Oppenheimmendefinisikan perang sebagai persengketaan antara dua
negara dengan maksud menguasai lawan dan membangun kondisi perdamaian seperti
yang diinginkan oleh yang menang (Haryomataram1994: 4)
Dalam
kepustakaan hukum internasional, istilah hukum humaniter merupakan istilah yang
dianggap relatif baru. Istilah ini baru lahir sekitar tahun 1970-an
Berikut
adalah beberapa pengertian hukum humaniter menurut para Ahli :
a. Mochtar
Kusumahadmadja
Bagian dari hukum yang
mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum
yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara
melaksanakan perang itu sendiri. Batasan Hukum Humaniter Internasional adalah hukum
yang mengatur ketentuan yang memberi perlindungan terhadap korban perang, yang
berbeda dengan hukum perang yang mengatur tentang perang tersebut.
b. International
Committee Of The Red Cross (ICRC)
Hukum Humaniter
Internasional sebagai ketentuan hukum internasional yang terdapat dalam
perjanjian internasional maupun kebiasaan, yang dimaksudkan untuk mengatasi
segala masalah kemanusiaan yang timbul pada waktu pertikaian bersenjata
internasional atau non internasional. Ketentuan tersebut membatasi, atas dasar
kemanusiaan, hak pihak-pihak yang terlibat dalam pertikaian untuk menggunakan
senjata dan metode perang, dalam melindungi orang maupun harta benda yang
terkena pertikaian bersenjata.
c. Geza
Herczegh
International
humanitarian law hanyalah terbatas pada Hukum Jenewa saja, karena konvensi
inilah yang mempunyai sifat internasional dan humaniter.
d. Jean
pictet
International
humanitarian law in the wide sense is contitusional legal provition, whether
written and customary, ensuring respect for individual and his well being.
e. Esbjorn
Rosendbland
Hukum humaniter
internasional mengadakan pembedaan antara : the law of armed conflict, yang
berhubungan dengan permulaan dan berakhirnya pertikaian, pendudukan wilayah
lawan, hubungan pihak pertikaian dengan negara netral. Sedangkan law of warfare
ini antara lain mencakup : metode dan sarana berperang, status kombatan,
perlindungan yang sakit, kombatan dan orang sipil.
f. Panitia
Tetap Hukum Humaniter, Departemen Hukum dan Perundang-undangan
Hukum humaniter sebagai
keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan internasional baik tertulis maupun tidak
tertulis yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia yang bertujuan untuk
menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang.
g. Palang
Merah Indonesia (Brosur PMI)
Hukum perikemanusiaan internasional
atau juga dikenal dengan hukum humaniter internasional merupakan bagian dari
hukum internasional publik yang bertujuan untuk mengatasi persoalan-persoalan
yang timbul karena pertikaian bersenjata baik internasional maupun non internasional.
Pertikaian
bersenjata merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari, oleh karena itu hukum
humaniter tidak bermaksud menghalangi perang. HHI disusun untuk mengatur agar
suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Mohammad Bedjaoui, bahwa tujuan hukum humaniter
adalah memanusiaakan perang. Di samping itu ada beberapa tujuan hukum humaniter
yaitu (Arlina permanasari dkk, 1999:12)
a.
Memberikan
perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang
tidak perlu;
b.
Menjamin
hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan
musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh berhak diperlakukan sebagai tawanan
perang dan harus dilakukan secara manusiawi;
c.
Mencegah
dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Di sini yang penting
adalah asas perikemanusiaan.
Jadi
tujuan dari hukum humaniter internasional adalah untuk memberikan perlindungan
kepada korban perang, menjamin Hak Asasi Manusia (HAM) dan mencegah
dilakukannya perang secara kejam. Hukum humaniter internasional lebih ditujukan
untuk kepentingan kemanusiaan, yaitu mengurangi penderitaan setiap individu
dalam situasi konflik bersenjata.
1.
Asas-Asas
Hukum Humaniter
Asas hukum
atau prinsip hukum merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya yang terjelma
dalam peraturan perundang-undangan (Sudikno Mertokusumo, 2003: 34). HHI disusun
dengan berdasarkan asas-asas sebagai berikut (Arlina dkk, 1999:11).
a. Asas
kepentingan militer
Berdasarkan
asas ini maka pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk
menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang.
b. Asas
Perikemanusiaan
Menurut asas
ini pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, di
mana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka
yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.
c. Asas
kesatriaan
Berdasarkan
asas ini bahwa di dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan
alat-alat yang tidak terhormat, berbagai tipu muslihat dan cara-cara yang
bersifat khianat dilarang.
2.
Prinsip-prinsip
Hukum Humaniter
Prinsip yang berlaku pada hukum humaniter internasional
antara lain:
1. Prinsip kepentingan Militer (Militery
Necessity)
Yang dimaksud dengan prinsip ini ialah hak pihak yang
berperang untuk menentukan kekuatan yang diperlukan untuk menaklukan musuh
dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dengan biaya yang serendah-rendahnya dan
dengan korban yang sekecil-kecilnya. Namun demikian, perlu diingat pula bahwa
hak pihak yang berperang untuk memiliki alat/senjata untuk menaklukan musuh
adalah tidak tak terbatas.
2. Prinsip Kemanusiaan (Humanity)
Prinsip ini melarang penggunaan semua macam atau tingkat
kekerasan (violence) yang tidak diperlukan untuk mencapai tujuan perang.
Orang-orang yang luka atau sakit, dan juga mereka yang telah menjadi tawanan
perang, tidak lagi merupakan ancaman, dan oleh karena itu mereka harus dirawat
dan dilindungi. Demikian pula dengan penduduk sipil yang tidak turut serta
dalam konflik harus dilindungi dari akibat perang.
3. Prinsip Kesatriaan (Chivalry)
Prinsip ini tidak membenarkan pemakaian alat/senjata dan
cara berperang yang tidak terhormat.
4. Prinsip pembedaan
Prinsip pembedaan (distinction principle) adalah
suatu prinsip atau asas yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara
yang sedang berperang atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata ke dalam
dua golongan, yaitu kombatan (combatan) dan penduduk sipil (civilian).
Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan
(hostilities), sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang
tidak turut serta dalam permusuhan. Perlunya prinsip pembedaan ini adalah untuk
mengetahui mana yang boleh dijadikan sasaran atau obyek kekerasan dan mana yang
tidak boleh dijadikan obyek kekerasan. Dalam pelaksanaannya prinsip ini
memerlukan penjabaran lebih jauh lagi dalam sebuah asas pelaksanaan (principles
of application), yaitu :
1. Pihak-pihak yang bersengketa setiap
saat harus bisa membedakan antara kombatan dan penduduk sipil untuk
menyelamatkan penduduk sipil dan obyek-obyek sipil.
2. Penduduk sipil tidak boleh dijadikan
obyek serangan walaupun untuk membalas serangan (reprisal).
3. Tindakan maupun ancaman yang
bertujuan untuk menyebarkan terror terhadap penduduk sipil dilarang.
4. Pihak yang bersengketa harus
mengambil langkah pencegahan yang memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk
sipil atau setidaknya untuk menekan kerugian atau kerusakan yang tidak sengaja
menjadi kecil.
5. Hanya angkatan bersenjata yang
berhak menyerang dan menahan musuh.
6. Rule of Engagement (ROE)
Tidak semua konflik dapat diberlakukan Hukum Humaniter,
sehingga Suatu konflik dapat diberlakukan Hukum Humaniter apabila:
1. Memiliki struktur organisasi.
2. Memiliki kekuatan bersenjata.
3. Memiliki atribut orgnasasi (bendera,
seragam).
4. Memiliki wilayah kekuasaan.
B.
Hubungan
Hukum Humaniter dengan HAM
Tidak
selamanya saat perang atau konflik terjadi akan memikirkan tentang HAM, namun
antara Hukum Humaniter dengan HAM tentu memiliki kaitan dan saling berhubungan.
Dalam konvensi-konvensi tentang hak asasi manusia terdapat pula berbagai
ketentuan yang penerapannya pada situasi perang. Konvensi Eropa tahun 1950,
misalnya dalam Pasal 15, menentukan bahwa bila terjadi perang atau bahaya umum
lainnya yang mengancam stabilitas nasional, hak-hak yang dijamin dalam konvensi
ini tidak boleh dilanggar. Setidaknya terdapat 7 (tujuh) hak yang harus tetap
dihormati, karena merupakan intisari dari Konvensi ini, yaitu: hak atas
kehidupan, hak kebebasan, integritas fisik, status sebagai subyek hukum,
kepribadian, perlakuan tanpa diskriminasi dan hak atas keamanan. Ketentuan ini
terdapat juga dalam Pasal 4 Kovenan PBB mengenai hak-hak sipil dan politik dan
Pasal 27 Konvensi HAM Amerika.
Selain
itu, terdapat pula hak-hak yang tak boleh dikurangi (non derogable rights),
baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan sengketa bersenjata. Hak-hak yang
tak boleh dikurangi tersebut meliputi hak hidup, prinsip (perlakuan) non
diskriminasi, larangan penyiksaan (torture), larangan berlaku surutnya
hukum pidana seperti yang ditetapkan dalam konvensi sipil dan politik, hak
untuk tidak dipenjarakan karena ketidakmampuan melaksanakan ketentuan
perjanjian (kontrak), perbudakan (slavery), perhambaan (servitude),
larangan penyimpangan berkaitan dengan dengan penawanan, pengakuan seseorang
sebagai subyek hukum, kebebasan berpendapat, keyakinan dan agama, larangan
penjatuhan hukum tanpa putusan yang dimumkan lebih dahulu oleh pengadilan yang
lazim, larangan menjatuhkan hukuman mati dan melaksanakan eksekusi dalam
keadaan yang ditetapkan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf (d) yang bersamaan pada
keempat Konvensi Jenewa.
Konferensi
internasional mengenai hak asasi manusia yang diselenggarakan oleh PBB di
Teheran pada tahun 1968 secara resmi menjalin hubungan antara Hak Asasi Manusia
(HAM) dan Hukum Humaniter Internasional (HHI). Dalam Resolusi XXIII tanggal 12
Mei 1968 mengenai “penghormatan HAM pada waktu pertikaian bersenjata”, meminta
agar konvensi-konvensi tentang pertikaian bersenjata diterapkan secara lebih
sempurna dan supaya disepakati perjanjian baru mengenai hal ini. Resolusi ini
mendorong PBB untuk menangani pula Hukum Humaniter Internasional.
Terdapat
3 aliran yang berkaitan dengan hubungan hukum humaniter internasional;
1. Aliran
integritas
Aliran
integrationis berpendapat bahwa sistem hukum yang satu berasal dari
hukum yang lain. Dalam hal ini, maka ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu:
- Hak
asasi manusia menjadi dasar bagi hukum humaniter internasional, dalam arti
bahwa hukum humaniter merupakan cabang dari hak asasi manusia. Pendapat
ini antara lain dianut oleh Robertson, yang menyatakan bahwa hak
asasi manusia merupakan hak dasar bagi setiap orang, setiap waktu dan
berlaku di segala tempat. Jadi hak asasi manusia merupakan genus dan hukum
humaniter merupakan species-nya, karena hanya berlaku untuk golongan
tertentu dan dalam keadaan tertentu pula.
- Hukum
Humaniter Internasional merupakan dasar dari Hak Asasi Manusia, dalam arti
bahwa hak asasi manusia merupakan bagian dari hukum humaniter. Pendapat
ini didasarkan pada alasan bahwa hukum humaniter lahir lebih dahulu
daripada hak-hak asasi manusia. Jadi secara kronologis, hak asasi manusia
dikembangkan setelah hukum humaniter internasional.
2. Aliran
Separatis
Aliran
separatis melihat Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional
sebagai sistem hukum yang sama sekali tidak berkaitan, karena keduanya berbeda.
Perbedaan kedua sistem tersebut terletak pada obyek, sifat, dan saat
berlakunya.
3. Aliran
komplementaris
Aliran
Komplementaris melihat Hukum Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter
Internasional melalui proses yang bertahap, berkembang sejajar dan saling
melengkapi.
Dengan
demikian, walaupun hukum humaniter berlaku pada waktu sengketa bersenjata dan
hak asasi manusia berlaku pada waktu damai. Namun inti dari hak-hak asasi atau
“hard core rights” tetap berlaku sekalipun pada waktu sengketa
bersenjata. Keduanya saling melengkapi. Selain itu, ada keterpaduan dan
keserasian kaidah-kaidah yang berasal dari instrumeninstrumen hak asasi manusia
dengan kaidah-kaidah yang berasal dari instrumeninstrumen hukum humaniter
internasional. Keduanya tidak hanya mengatur hubungan diantara negara dengan
negara dengan menetapkan hak-hak dan kewajiban mereka secara timbal balik.
Secara
implisit dalam pengertian perjuangan Nasional atau memperjuangkan kepentingan
Nasional, tidak dapat dilepaskan dengan kemungkinan-kemungkinan adanya
pertentangan kepentingan dengan bangsa lain, bahkan pula pertentangan
kepentingan antar kelompok dalam tubuh bangsa sendiri. Dari sini timbullah
situasi konflik. Penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan akomodasi,
integrasi secara konsensus tanpa kekerasan. Banyak dilakukan dengan tekanan dan
kekerasan, tidak terbatas selalu dengan kekerasan senjata, tetapi dengan bentuk-bentuk
kekerasan yang meliputi bidang kehidupan, apakah politik, ekonomi, kebudayaan
dan sebagainya.
Perang
adalah pelaksanaan atau bentuk konflik dengan intensitas kekerasan yang tinggi.
Von Clausewitz, seorang militer dan filsuf Jerman mengatakan antara lain bahwa
perang adalah kelanjutan politik dengan cara-cara lain. Dengan prinsip tersebut
ia melihat bahwa hakekat kehidupan bangsa adalah suatu perjuangan sepanjang
masa dan dalam hal ini ia identikkan politik dengan perjuangan tersebut.
Sementara Indonesia menganut pendirian bahwa Bangsa Indonesia adalah Bangsa
yang cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaannya. Pada hakekatnya perang
adalah mematahkan semangat musuh untuk melawan.
Dahulu
rakyat tidak mengetahui adanya perang, karena peperangan dilakukan oleh dua
negara dengan masing-masing menggunakan prajuritnya bahkan prajurit sewaan.
Saat ini, bersamaan dengan tumbuhnya demokrasi dalam pemerintahan dan dukungan
teknologi yang cepat, maka berubahlah perang dan konflik antar negara menjadi
sangat luas dan kompleks. Dalam alam demokrasi, perang dan konflik telah
melibatkan secara politis seluruh rakyat negara yang bersangkutan. Dengan
alat-alat komunikasi mutakhir setiap manusia dimanapun berada akan dapat
dijangkau oleh radio, bahkan televisi, sarana komunikasi dan informasi lainnya
sebagai alat konflik yang akan mempengaruhi pikirannya.
Negara
yang memulai perang, melakukannya dengan melancarkan serangan berkekuatan
militer terhadap Negara yang hendak ditundukkannya. Serangan dengan kekuatan
militer dapat berupa satu ofensif luas yang dinamakan invasi, juga dapat berupa
serangan dengan sasaran terbatas. Hal ini, mencerminkan adanya konflik
bersenjata dimana pihak-pihak yang berperang menggunakan kemampuan senjata yang
dimiliki. Konflik bersenjata umumnya terjadi antar Negara, namun konflik
bersenjata bukan perang dapat terjadi di dalam suatu Negara sebagai usaha yang
dilakukan daerah untuk memisahkan diri atau gerakan separatisme dengan
menggunakan kekerasan senjata, dan usaha terorisme baik yang bersifat nasional
maupun internasional. Masalah-masalah tersebut, ada yang berkembang sepenuhnya
sebagai usaha domestik karena dinamika dalam satu Negara, tetapi juga ada yang
terjadi karena peran atau pengaruh Negara lain. Meskipun masalah-masalah itu
tidak termasuk perang, dampaknya bagi Negara yang mengalami bisa sama atau
dapat melebihi.
Dewasa
ini (pada masa damai), sering terjadi konflik di dalam suatu Negara yang
dipandang akan berdampak langsung maupun tidak langsung bagi stabilitas suatu
Negara. Kesalahan tindakan preventif terhadap konflik yang terjadi, akan
berakibat fatal bagi keutuhan sebuah Negara. Pengalaman penanganan konflik
etnik yang melanda Uni Soviet dan Negara-negara bagian, misalnya, menyadarkan
banyak Negara akan arti pentingnya tindakan preventif untuk pencegahan konflik,
agar tidak berdampak negatif bagi keamanan nasional mereka. Pengalaman Uni
Soviet, yang gagal untuk mengantisipasi konflik menyebabkan Negara tersebut
runtuh menjadi serpihan-serpihan Negara kecil, ternyata telah menyadarkan banyak
Negara akan dampak langsung konflik bagi aspek pertahanan. Begitu pula sulitnya
penanganan konflik yang dipicu oleh masalah identitas agama yang menyebabkan
konflik, yang belum kunjung selesai di India antara Hindu dan Muslim sehingga
Muslim membentuk identitas tersendiri sejak akhir abad 19 mendorong setiap
Negara untuk mengantisipasi sifat dan jenis-jenis konflik yang mungkin
berdampak bagi faktor keamanan dan pertahanan.
D.
Jenis-jenis
Konflik Bersenjata
Secara
garis besar, hanya ada dua bentuk konflik bersenjata saja yang diatur dalam
Hukum Humaniter sebagaimana yang dapat dilihat dan mengkaji konvensi-konvensi
jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 yaitu : 1). “sengketa atau
konflik bersenjata yang bersifat internasional” (international armed conflict);
serta 2.) “sengketa bersenjata
yang bersifat non-internasional” (non-international armed conflict).
Pembagian dua bentuk konflik ini adalah juga menurut Haryomataram.
Selain
Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan, para pakar Hukum Humaniter telah mengajukan
bentuk konflik bersenjata, antara lain :
·
Starke,
membagi konflik bersenjata menjadi dua, yaitu war proper between States, and
armed conflict which are not of the character of war. Mengenai “armed
conflict” yang menjadi pihak belum tentu negar, dapat juga bukan negara
menjadi pihak dalam konflik tersebut. Ditambahkan pula bahwa “war proper” adalah
“declared war”, yaitu perang yang didahului dengan suatu “declaration
of war”.
·
Shigeki
Miyazaki, pakar ini menjabarkan konflik bersenjata sebagai berikut :
- Konflik
bersenjata antara pihak peserta konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan
1977. Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 1 dan Protokol I, Pasal 1,
Paragraf 3.
- Konflik
bersenjata antara pihak peserta (negara) dengan bukan pihak peserta
(negara atau penguasa de facto), misalnya penguasa yang memimpin
kampanye pembebasan nasional yang telah menerima Konvensi Jenewa dan/atau
Protokol. Konvensi Jenewa Pasal 2, Paragraf 4, Protokol Tambahan I, Pasal
1, Paragraf 4, Pasal 96, Paragraf 2.
- Konflik
bersenjata antar pihak peserta (negara) dan bukan pihak peserta (negara
atau penguasa de facto), yang belum menerima baik Konvensi Jenewa
maupun Protokol. Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 4, Marthen Clause,
Protokol II (penguasa : authority).
- Konflik
bersenjata antara dua bukan pihak peserta (non-contracting parties).
Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 4, Kovensi Jenewa Pasal 3 (penguasa), Marthen
Clause, Protokol 2 (penguasa).
- Konflik
bersenjata yang serius yang tidak bersifat internasional (pemberontakan).
Konvensi Jenewa, Pasal 3, Protokol 2, Hukum Internasional Publik.
- Konflik
bersenjata yang lain. Kovenan Internasional HAM, Hukum Publik (Hukum
Pidana).
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hukum
Humaniter Internasional membedakan dua jenis pertikaian bersenjata, yaitu
sengketa bersenjata yang bersifat internasional dan yang bersifat
non-internasional. Menurut Mochtar
Kusumaatmadja hukum humaniter adalah Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban
perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang iu sendiri dan segala sesuatu
yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.
Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, atau untuk mengadakan
undang-undang yang menentukan permainan “perang”,
tetapi karena alasan-alasan perikemanusiaan untuk mengurangi atau membatasi
penderitaan individu-individu dan untuk membatasi wilayah dimana kebuasan
konflik bersenjata diperbolehkan.
B.
Saran
Dengan
adanya makalah ini diharapkan kepada mahasiswa dapat mengetahui dan memahami
tentang Hukum Humaniter Internasional lebih khusus lagi mengenai jenis-jenis
konflik bersenjata.
Kita
sebagai manusia tentu masih banyak kekurangan oleh karena itu marilah kita
bersama saling mengisi kekurangan itu dengan berbagi pengetahuan. Tim penulis
menyadari bahwa kemampuan yang dimiliki masih sangat kurang dan sangat terbatas
untuk meningkatkan kemampuan penulis maka sangat diharapkan sumbangan-sumbangan
pemikiran dari mahasiswa lainnya / pembaca. Karena tim penulis memahami sebagai
seorang mahasiswa yang masih dalam tahap pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Prof.
DR. Mochtar Kusumaatmadja, S.H, LLM, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949,
Alumni, Bandung, 2002
Zulkarnain,
S.H, M.H & Insarullah, S.H, Buku Ajar Hukum Humaniter dan HAM, Fakultas
Hukum Untad, Palu, 2002