BAB I
PENDAHULUAN
A. Landasan Teori
Istilah kebiasaan merupakan istilah
yang umum dipakai dlam kehidupan masyarakat. Selain itu juga
ada istilah adat yang juga mempunyai persamaan dan perbedaan dengan kebiasaan.
Dalam masyrakat minang dikenal istilah adat istiadat, dan adat nan diadatkan.
Istilah Hukum Adat berasal dari
terjemahan Adatrecht, yang mula-mula dikemukakan oleh Snouck Hurgronje,
kemudian dipakai oleh Van Vollenhoven. Istilah yang dipergunakan sebelumnya
dalam perundang-undangan adalah Peraturan Keagamaan (Godsdienstige Wetten)
karena pengaruh ajaran Receptio in Complexu dari Van Den Berg dan Salmon
Keyzer.
Pada masa
Hindia Belanda ada Adatrecht (Hukum Adat) yang berlaku bagi orang-orang
yang tidak tunduk kepada KUH Perdata dan Gewoonte Recht (Hukum
Kebiasaan) yang berlaku bagi mereka yang tunduk kepada Hukum KUHPerdata.
Perbedaan istilah dan pengertian (Hukum
Adat dan Kebiasaan) itu harus dihilangkan karena lambat laun tidak ada lagi
perbedaan antara golongan Eropa, Indonesia dan Timur Asing melainkan hanya ada
perbedaan Warga Negara Indonesia dan Orang Asing (Mahadi). Maka sebaiknya
digunakan satu istilah saja yaitu Hukum Adat (sebagaimana yang telah
dipakai dalam UUPA).
1)
Pengertian
Hukum Adat
Banyak pengertian atau difinisi Hukum
Adat yang telah ditulis oleh para ahli Hukum Adat, tetapi disini hanya akan
dikemukakan beberapa contoh saja. Menurut Van Vollenhoven Hukum Adat adalah
keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi
(oleh karena itu “hukum”) dan di lain pihak, dalam keadaan tidak
dikodifikasikan (oleh karena itu “adat”).
Menurut Soepomo, istilah Hukum Adat
dipakai sebagai sinonim hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan
legeslatif (non statutory law), hukum yang hidup sebagai konvensi
di badan-badan hukum negara (Parlemen, Dewan Propinsi dan seterusnya), hukum
yang timbul karena putusan-putusan hakim (judge made law), hukum yang
hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan dalam pergaulan hidup,
baik di kota-kota maupun di desa-desa (customary law).
Hazairin menyatakan, bahwa dalam sistem
hukum yang sempurna tidak ada tempat bagi sesuatu yang tidak selaras atau
bertentangan dengan kesusilaan. Adat adalah endapan kesusilaan dalam
masyarakat, yaitu bahwa kaidah-kaidah adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan
yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat maka Hukum
Adat adalah hukum yang berurat berakar pada kesusilaan.
Kesimpulan Seminar Hukum Adat dan
Pembangunan Nasional tahun 1975 yang diselenggarakan atas kerja sama BPHN dan
Fak. Hukum UGM mendifinisikan Hukum Adat sebagai :Hukum Indonesia
asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan RI yang di sana sini
mengandung unsur agama).
Pendapat Dosen mengenai Hukum Adat
merupakan hukum rakyat (folk law) sebagai lawan hukum
negara (state law) yaitu hukum yang dibuat oleh rakyat dan diberlakukan
untuk rakyat dan dilaksanakan secara sukarela oleh rakyat tanpa ada
paksaan dari penguasa sehingga merupakan hukum yang hidup tumbuh dan berkembang
bersama masyarakat (the living law).
2)
Ciri-ciri
Hukum Adat
Hukum Adat mempunyai kekhususan yang menjadi ciri-cirinya
dan membedakannya dengan hukum lain, yaitu:
a)
Religio
magis/ Keagamaan
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang
religius, dan hal itu menjiwai hukum yang diciptakannya, yaitu Hukum Adat.
Dalam perbuatan hukum seperti pembukaan tanah, perkawinan tampak jelas adanya
sifat religius itu
b)
Kebersamaan
Berbeda dengan hukum barat yang
berpusat pada individu, maka hukum adat berpusat kepada masyarakat. Kepentingan
bersama lebih diutamakan, sedangkan kepentingan individu diliputi oleh
kepentingan bersama (bermuatan publik). Hal itu dapat dilihat misalnya pada
rumah gadang dan tanah pusaka di Minangkabau, tanah dati di Ambon, tanah Karang
Desa dan Ayahan Desa di Bali. Namun
demikian pengutamaan kepentingan bersama itu bukan berarti kepentingan
perorangan diabaikan.
c)
Tradisional
Kata “tradisional” berasal dari kata benda “tradisi” yang
menurut Myror Wemwr berarti: “the biliefs andpracticies handed down from the
past, as we reinterpret our past, the tradition change”. Hukum Adat pada
hakekatnya adalah tradisi juga, yaitu praktek kehidupan warga masyarakat dalam
pergaulan hidup bermasyarakat yang dianggap benar oleh norma-norma yang
diciptakannya sendiri dan diberi daya memaksa dengan sanksi bagi yang
melanggarnya, norma yang dipraktekkan tersebut berasal dari warisan masa lalu
yang selalu diperbaharui dengan diadakan reinterpretasi agar sesuai dengan
tuntutan jaman dan keadaan serta perubahan masyarakat. Maka Hukum Adat yang
tradisional itu tidak statis.
d)
Konkrit
Sifat hubungan hukum dalam Hukum Adat adalah konkrit,
artinya nyata, Dapat dirasakan oleh panca indra.
e)
Terang, dan tunai,
Terang artinya tidak samar-samar, dapat
dilihat, diketahui, disaksikan dan didengar orang lain, misalnya pada “ijab
kabul”, pemberian panjer dan peningset sebelum terjadinya jual beli dan
perkawinan.
Tunai artinya setiap ada
perbuatan hukum terjadi secara bersamaan
antara
penyerahan dengan penerimaan.
f)
Dinamis
dan plastis
Dinamis artinya dapat berubah
sesuai dengan perkembangan jaman dan perubahan masyarakat, sedangkan plastis
dapat menyesuaikan diri dengan keadaan.
g)
Tidak
dikodifikasi
Hukum Adat kebanyakan tidak
tertulis, walaupun ada yang tertulis seperti awig-awig di Bali. Karena
bentuknya yang tidak tertulis maka mudah berubah menyesuaikan diri dengan
perkembangan masyarakat jika mereka menginginkannya.
h)
Musyawarah
dan Mufakat
Hukum Adat mementingkan musyawarah
dan mufakat dalam melakukan perbuatan dan hubungan hukum di dalam keluarga,
kekerabatan dan masyarakat bahkan dalam penyelesaian sengketa. Hukum Adat,
menurut Koesnoe, sebagai hukum rakyat pembuatnya rakyat sendiri, mengatur
kehidupan mereka yang terus menerus berubah dan berkembang malalui
keputusan-keputusan atau penyelesaian-penyelesaian yang dikeluarkan oleh
masyarakat sebagai temu rasa dan temu pikir lewat musyawarah. Hal-hal lama yang
tidak dipakai diubah atau ditinggalkan secara tidak mencolok. Ciri-ciri
kebersamaan, tradisional, dinamis, plastis, tidak dikodifikasikan, musyawarah
dan mufakat adalah saling berkaitan dan saling mendukung satu sama lain.
2. Identifikasi Masalah
Dalam penulisan makalah ini, permasalahan-permasalahan yang
akan dibahas adalah sebagai berikut :
a.
Bagaimanakah
pelaksanaan system hukum adat pada masa penjajahan atau sebelum merdeka ?
b.
Bagaimanakah akibat
hukum dari hukum adat yang tidak tertulis terhadap hukum yang tertulis ?
3. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini diantaranya adalah untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Adat. Selain itu, penulisan makalah ini bertujuan untuk menelaah lebih jauh, menambah pemahaman serta memperluas
pengetahuan mengenai system hukum adat pada masa kerajaan di Indonesia.
4. Manfaat
a)
Secara Teoretis
Makalah ini diharapkan dapat memperluas serta menambah khazanah
pengetahuan dalam bidang Hukum.
b)
Secara Praktis
Diharapkan uraian dalam makalah ini dapat
memberikan dasar dan pengarahan dalam pemahaman
mengenai hukum Adat dalam kehidupan
masyarakat adat yang berada di Indonesia.
BAB
II
A.
Sejarah Hukum Adat
Peraturan adat istiadat kita ini, pada hakekatnya
sudah terdapat pada zaman kuno, zaman Pra-Hindu. Adat istiadat yang hidup dalam
masyarakat Pra-Hindu tersebut menurut ahli-ahli hukum adat adalah merupakan
adat-adat Melayu Polinesia.
Kemudian datang kultur Hindu, kultur Islam dan
kultur Kristen yang masing-masing mempengaruhi kultur asli tersebut yang sejak
lama menguasai tata kehidupan masyarakat Indonesia sebagai suatu hukum adat.
Sehingga Hukum Adat yang kini hidup pada rakyat itu adalah hasil akulturasi
antara peraturan-peraturan adat-istiadat zaman Pra-Hindu dengan
peraturan-peraturan hidup yang dibawa oleh kultur Hindu, kultur Islam dan
kultur Kristen.
Setelah terjadi akulturasi itu, maka hukum adat atau
hukum pribumi atau “Inladsrecht” menurut Van Vaollenhoven terdiri dari :
B.
Dasar Berlakunya Hukum Adat
a) Dasar filosofis
Adapun yang dimaksud dasar
filosofis dari Hukum Adat adalah sebenarnya nilai-nilai dan sifat Hukum Adat
itu sangat identik dan bahkan sudah terkandung dalam butir-butir Pancasila. Sebagai contoh, religio magis,
gotong royong, musyawarah mufakat dan keadilan. Dengan demikian Pancasila
merupakan kristalisasi dari Hukum Adat.
Dasar Berlakunya Hukum Adat ditinjau dari segi
Filosofi Hukum Adat yang hidup, tumbuh dan berkembang di
indonesia sesuai dengan perkembangan jaman yang berfiat
luwes, fleksibel sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila seperti yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945. UUD 1945 hanya
menciptakan pokok-pokok pikiran yang meliputi suasana
kebatinan dari UUD RI. Pokok pokok pikiran tersebut menjiwai
cita-cita hukum meliputi hukum negara baik yang tertulis maupun
yang tidak tertulis. Dalam pembukaan UUD 1945 pokok pokok
pikiran yang menjiwai perwujudan cicta-cita hukum dasar
negara adalah Pancasila. Penegasan Pancasila
sebagai sumbertertib hukum sangat berarti bagi
hukum adat karena Hukum Adat berakar pada kebudayaan
rakyat sehingga dapat menjelmakan
perasaan hukum yang nyata dan hidup
dikalangan rakyat dan mencerminkan kepribadian masyarakat dan
bangsa Indonesia (Wignjodipoero, l983:14). Dengan demikian hukum adat
secara filosofis merupakan hukum yang berlaku sesuai
Pancasila sebagai pandangan hidup atau falsafah hidup bangsa Indonesia.
b) Dasar
sosiologis
Hukum yang berlaku di suatu negara merupakan
suatu sistem artinya bahwa hukum itu merupakan tatanan, merupakan
satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau
unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lainnya (Mertokusumo,
l986:100). Dengan kata lain bahwa sistem hukum adalah suatu
kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang
mempunyai interaksi satu sama lainnya dan bekerja bersama
untuk mencapai tujuan. Keseluruhan tata hukum nasional yang
berlaku di Indonesia dapat disebut sebagai sistem hukum nasional. Sistem
hukum berkembang sesuai dengan perkembangan hukum. Selain itu
sistem hukum mempunyai sifat yang berkesinambungan,
kontinyuitas dan lengkap.
Dalam
sistem hukum nasional wujud/ bentuk hukum yang ada dapat
dibedakan menjadi hukum tertulis ((hukum yang tertuang
dalan perundang-undangan) dan hukum yang tidak tertulis
(hukum adat,
hukum kebiasaan).
Hukum yang berlaku di suatu negara dapat dibedakan
menjadi hukum yang benar-benar berlaku sebagai the living law (hukum yang
hidup) ada hukum yang diberlakukan tetapi tidak berlaku sebagai the
living law. Sebagai contoh Hukum yang berlaku dengan
cara diberlakukan adalah hukum tertulis yaitu dengan cara
diundangkan dalam lembaran negara. Hukum tertulis dibuat ada
yang berlaku sebagai the living law tetapi juga ada yang tidak
berlaku sebagai the living law karena tidak ditaati/ dilaksanakan
oleh rakyat.
Hukum
tertulis yang diberlakukan dengan cara diundangkan
dalamlembaran negara kemudian dilaksanakan dan ditaati
oleh rakyat dapat dikatakan sebagai hukum yang hidup (the living
law.)
Sedangkan hukum tertulis yang walaupun telah diberlakukan
dengan cara diundangkan dalam lembaran negara tetapi
ditinggalkan dan tidak dilaksanakan oleh rakyat maka tidak
dapat dikatakan sebagai the living law. Salah satu contohnya adalah
UU nomor 2 tahun 1960 tentang Bagi hasil.
Hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis tidak
memerlukan prosedur/ upaya seperti hukum tertulis, tetapi dapat
berlaku dalam arti dilaksanakan oleh masyarakat dengan
sukarela karena memang itu miliknya. Hukum adat dikatakan sebagai
the living law karena Hukum adat berlaku di masyarakat, dilaksanakan dan
ditaati oleh rakyat tanpa harus melalui prosedur
pengundangan dalam lembaran negara.
Berbagai
istilah untuk menyebut hukum yang tidak tertulis sebagai
the living law yaitu : People law, Indegenous law, unwritten
law, common law, customary law dan sebagainya.
c) Dasar
yuridis
Dasar
Berlakunya Hukum Adat Ditinjau Secara Yuridis dalam
Berbagai Peraturan Perundang-undangan, Mempelajari segi Yuridis dasar
berlakunya Hukum Adat berarti mempelajari dasar hukum
berlakunya Hukum Adat di Indonesia (Saragih,
l984:15). Berdasarkan fakta sejarah dapat dibagi dalam dua periode
yaitu pada jaman Kolonial (penjajahan Belanda dan Jepang) dan
jaman Indonesia Merdeka.
C. Bukti Adanya Hukum Adat di
Indonesia
Bukti-bukti bahwa dulu
sebelum bangsa Asing masuk ke Indonesia sudah ada hukum adat, adalah sebagai
berikut :
1. Tahun 1000, pada zaman Hindu, Raja Dharmawangsa
dari Jawa Timur dengan kitabnya yang disebut Civacasana.
2. Tahun 1331-1364, Gajah Mada Patih Majapahit,
membuat kitab yang disebut Kitab Gajah Mada.
3. Tahun 1413-1430, Kanaka Patih Majapahit, membuat
kitab Adigama.
4. Tahun 1350, di Bali ditemukan kitab hukum
Kutaramanava.
Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Perkembangan Hukum Adat
Banyak faktor yang mempengaruhi
perkembangan hukum adat, disamping kemajuan zaman,
ilmu pengetahuan dan teknologi, kondisi alam, juga
faktorfaktor yang bersifat tradisional adalah sebagai berikut :
1. Magis dan Animisme :
Alam pikiran magis dan animisme pada dasarnya
dialami oleh setiap bangsa di dunia. Di Indonesia faktor magis dan animisme
cukup besar pengaruhnya. Hal ini dapat dilihat dalam upacara-upacara adat yang
bersumber pada kekuasaan-kekuasaan serta kekuatan-kekuatan gaib.
a. Kepercayaan
kepada mahkluk-mahkluk halus, roh-roh, dan hantuhantu yang menempati seluruh
alam semesta dan juga gejala-gejala alam, semua benda yang ada di alam
bernyawa.
b. Kepercayaan
terhadap kekuatan-kekuatan sakti dan adanya roh-roh yang baik dan yang jahat.
c. Adanya
orang-orang tertentu yang dapat berhubungan dengan dunia gaib dab atau sakti.
d. Takut
adanya hukuman/ pembalasan oleh kekuatan-kekuatan gaib. Hal ini dapat dilihat
adanya kebiasaan mengadakan siaran-siaran, sesajen di tempat-tempat yang
dianggap keramat.
Animisme
yaitu percaya bahwa segala sesuatu dalam alam semesta ini bernyawa.
Animisme
ada dua macam yaitu :
a. Fetisisme
: Yaitu memuja jiwa-jiwa yang ada pada alam semesta, yang mempunyai kemampuan
jauh lebih besar dari pada kemampuan manusia, seperti halilintar, taufan,
matahari, samudra, tanah, pohon besar, gua dan lain-lain.
b. Spiritisme
: Yaitu memuja roh-roh leluhur dan roh-roh lainnya yang baik dan yang jahat.
2. Faktor Agama
Masuknya
agama-agama di Indonesia cukup banyak memberikan pengaruh terhadap perkembangan
hukum adat misalnya :
Agama
Hindu :
Pada abad
ke 8 masuknya orang India ke Indonesia dengan membawa agamanya, pengaruhnya
dapat dilihat di Bali. Hukum-hukum Hindu berpengaruh pada bidang pemerintahan
Raja dan pembagian kasta-kasta.
Agama
Islam :
Pada abad ke
14 dan awal abad 15 oleh pedagang-pedagang dari Malaka, Iran. Pengarush Agama
Islam terlihat dalam hukum perkawinan yaitu dalam cara melangsungkan dan
memutuskan perkawinan dan juga dalam bidang wakaf. Pengaruh hukum perkawinan
Islam didalam hukum adat di beberapa daerah di Indonesia tidak sama kuatnya
misalnya daerah Jawa dan
Madura, Aceh
pengaruh Agama Islam sangat kuat, namun beberapa daerah
tertentu walaupun sudah diadakan menurut hukum perkawinan Islam,
tetapi tetap dilakukan upacara-upacara perkawinan menurut hukum adat,
missal di Lampung, Tapanuli.Agama Kristen :Agama Kristen dibawa oleh
pedagang-pedagang Barat. Aturan-aturanhukum Kristen di Indonesia cukup
memberikan pengaruh pada hukum keluarga, hukum perkawinan.Agama Kristen juga
telah memberikan pengaruh besar dalam bidang socialkhususnya dalam bidang
pendidikan dan kesehatan, dengan didirikannyabeberapa lembaga Pendidikan dan
rumah-rumah sakit.
3.
Faktor Kekuasaan yang lebih tinggi
Kekuasaan-kekuasaan
yang lebih tinggi yang dimaksud adalah kekuasaankekuasaan Raja-raja, kepala
Kuria, Nagari dan lain-lain. Tidak
semua Raja-raja yang pernah bertahta di negeri ini baik, ada juga Raja yang
bertindak sewenang-wenang bahkan tidak jarang terjadi keluarga dan lingkungan
kerajaan ikut serta dalam menentukan kebijaksanaan kerajaan misalnya
penggantian kepala-kepala adat banyak diganti oleh orang-orang yang dengan
kerajaan tanpa menghiraukan adat istiadat bahkan menginjak-injak hukum adat
yang ada dan berlaku didalam masyarakat tersebut.
4. Adanya Kekuasaan Asing
Yaitu kekuasaan penjajahan Belanda, dimana
orang-orang Belanda dengan alam pikiran baratnya yang individualisme. Hal
ini jelas bertentangan dengan alam pikiran adat yang bersifat kebersamaan.
D. Zaman Hindu
Agama Hindu hanya mempunyai pengaruh di pulau Jawa, Sumatera dan Bali,
sedangkan di daerah lain mendapat pengaruh dari zaman “Malaio polynesia”, yaitu
: Suatu zaman dimana nenek moyang kita masih memegang adat istiadat asli yang
dipengaruhi oleh alam yang serba kesaktian.
Pada zaman Hindu tumbuh beberapa kerajaan yang dipengaruhi oleh hukum agama
Hindu serta hukum agama Budha yang dibawa oleh para pedagang (khususnya dari
Cina). Kerajaan-kerajaan tersebut antara lain :
- Sriwijaya – Raja Syailendra (abad 7 s/d 9)
~ Pusat pemerintahan : hukum agama Budha
~ Pedalaman : hukum adat Malaio Polynesia
- Medang (Mataram)
Masa raja “Dharmawangsa” dikeluarkan suatu UU “Iwacasana – Jawa Kuno –
Purwadhigama.
Untuk mengabadikan berbagai peristiwa penting dalam bidang peradilan, telah
dibuat beberapa prasasti antara lain :
- Prasasti Bulai (860 M)
- Prasasti Kurunan (885 M)
- Prasasti Guntur (907 M)
Setelah runtuhnya kerajaan Mataram, Jawa dipimpin oleh “Airlangga” yang membagi
wilayah kerajaan atas :
- Kerajaan Jonggala
- Kerajaan Kediri (Panjalu)
Zaman raja-raja “Airlangga”, usaha-usaha yang dilakukan terhadap hukum adat :
1. Adanya meterai raja yang bergambar kepala garuda.
2. Macam-macam pajak dan penghasilan yang harus dibayar kepada raja
Zaman raja “Jayabaya” usaha-usaha yang dilakukan terhadap hukum adat:
1. Adanya balai pertemuan umum.
2. Bidang kehakiman, tidak dikenal hukuman siksa badan, kecuali kejahatan
perampokan dan pencurian.
3. Hukuman yang berlaku kebanyakan hukuman denda.
- Zaman Singosari (Tumapel) – didirikan oleh Ken Arok (Rajasa)
Raja yang terkenal “Prabu Kertaqnegara” yang menghina utusan Cina (Men Gici).
Usaha yang dilakukan terhadap hukum adat :
Mendirikan prasasti “Sarwadharma” yang melukiskan tentang adanya “Tanah
Punpunan”, yaitu : tanah yang disediakan untuk membiayai bangunan suci yang
statusnya dilepaskan dari kekuasaan Thanibala atau kekuasaan sipil (masyarakat)
dengan ganti rugi.
- Zaman Majapahit – didirikan oleh Jayakatong (Jayakatwang)
Dengan adanya pemberontakan yang dilakukan oleh Raden Wijaya (Kertarajasa
Jayawardhana), Jayakatwang berhasil dibunuh. Pada masa pemerintahan Hayam
Wuruk, hukum adat mendapat perhatian berkat usaha Mahapatih Gajah Mada. Usaha
yang dilakukan :
- Membagi bidang-bidang tugas pemerintahan dan keamanan negara. Misal : soal
perkawinan, peralihan kekuasaan, ketentaraan negara.
- Keputusan pengadilan pada masa itu disebut : Jayasong (Jayapatra).
Gajahmada mengeluarkan suatu kitab UU, yaitu : “Kitab Hukum Gajah Mada”
Kesimpulan :
Secara zaman ini di mana kerajaan-kerajaan yang ada dipengaruhi oleh agama
Hindu dan sebagian kecil agama Budha. Hal ini terlihat adanya
pembagian-pembagian kasta dalam bidang pemerintahan dan peradilan.
Zaman ini berakhir dengan wafatnya Mahapatih Gajah Mada dan Raja Hayam Wuruk
dengan raja terakhir Kertabumi (1478). Sejak saat itu kekuasaan di Jawa diambil
alih oleh Kerajaan Demak.
Sebab-sebab runtuhnya kerajaan Majapahit :
- Perpecahan diantara pemimpinnya.
- Perang saudara dan perebutan kekuasaan.
B. Zaman Islam
- Aceh (Kerajaan Pasai dan Perlak)
Pengaruh hukum Islam cukup kuat terhadap hukum adat, terlihat dari setiap
tempat pemukiman dipimpin oleh seorang cendekiawan agama yang bertindak sebagai
imam dan bergelar “Teuku/Tengku”.
- Minangkabau dan Batak
Hukum adat pada dasarnya besar tetap bertahan dalam kehidupan sehari-hari,
sedang hukum Islam berperan dalam kehidupan keagamaan, dalam hal ini terlihat
dalam bidang perkawinan.
Pepatah adat : Hukum adat bersendi alur dan patut, hukum agama/syara bersendi
kitab Allah.
Di Batak yang terdiri dari berbagai suku :
- Toba
- Karo
- Dairi
- Simalungun
- Angkola
Masing-masing suku tetap pada hukum adat, karena menghormati Sisingamangaraja,
tetapi berkat Ompu Nommensen, agam Kristen juga ikut berpengaruh (jalan damai).
Secara umum, agama Islam dan Kristen di Batak hanya dalam hal kerohanian saja,
tetapi tetap dalam struktur kemasyarakatan hukum adat tetap dipakai.
Kedudukan pejabat agama hanya sebagai penyerta saja dalam pemerintahan desa,
mengurus dan menyelenggarakan acara agama, misalnya : perkawinan, perceraian
dan sebagainya.
- Sumatera Selatan (Palembang/Kukang)
Masuknya agama Islam berasal dari :
~ Barat : Pedagang/mubaligh dari Aceh dan Minangkabau
~ Utara : Pedagang/mubaligh dari Aceh, Malaka dan Cina
~ Selatan : Pedagang/mubaligh dari Cirebon dan Banten
Perkembangan terhadap hukum adat :
Pada masa “Ratu Senuhun Seding”, hukum adat dibukukan dalam bahasa Arab Melayu
– UU Simbur Cahaya. Di dalamnya memuat istilah-istilah yang berasal dari hukum
Islam, seperti : Khatib Bilal.
Berdasarkan Tambo Minang : Datuk Perpatih Nan Sabatang dari Minangkabau pernah
mengusahakan tambang emas di daerha Rejang Lebong (Bengkulu).
Masuknya para mubaligh yang berasal dari Minangkabau membawa pula pengaruh
terhadap hukum adat dengan gari matrilineal – daerah Semendo. (jadi menempatkan
kedudukan wanita sebagai penguasa harta kekayaan dari kerabatnya).
Di daerah Semendo dengan dianutnya garis keturunan matrilineal, telah membawa
pengaruh terhadap sistem kewarisan yang dipakai, yaitu :
Sitem kewaisan mayorat (Mayorat Erprecht), dimana anak wanita tertua sebagai
“tunggu tubang” atas harta kerabat yang tidak terbagi. Sedangkan anak lelaki
tertua disebut “payung jurai” yang bertugas harta pengurusan harta tersebut.
Di samping itu juga berlaku adat “kawin Semendo”, dimana suami setelah kawin
menetap di pihak istri.
- Lampung
Masuknya Islam disini pada masa “Ratu Pugung” dimana puterinya yang bernama
“Sinar Alam” melangsungkan perkawinan dengan “Syarif Hidayat Fatahillah/sunan
Gunung Jati”, setelah jatuhnya Sunda Kelapa ke tangan Islam. Susunan
kekerabatan yang dianut adalah garis keturunan laki-laki (patrilineal). Di mana
laki-laki tertua (disebut “pun” – yang dihargai) – Kewarisan Mayorat. Ia berhak
dan berkewajiban melanjutkan orang tua.
- Jawa
~ Jawa Timur : pelabuhan Gresik dan Tuban
Penduduknya : Kota pantai – orang pendatang (Arab, Cina, Pakistan) dengan agama
Islam. adanya makam Maulana Malik Ibrahim. Penduduk asli : agama Hindu.
~ Jawa Tengah
BerdIrinya kerajaan Demak – Raden Patah.
Dimana Masjid – menjadi pusat perjuangan dan pemerintahan pembantu raden Fatah
yang terkenal – Raden Sa’id/Sunan Kali Jogo.
Pada masa “Pangeran Trenggana” dengan bantuan Fatahillah berhasil menduduki
Cirebon dan Banten.
~ Jawa Barat – kerajaan Pajajaran didirikan “Ratu purana”
Pelabuhan laut :
- Banten
- Kalapa (Sunda Kelapa)
Tahun 1552 Fatahillah memimpin Armada Demak dan menduduki pelabuhan Sunda
Kelapa – Jayakarta.
- Bali
Pengaruh Islam sangat kecil, masyarakat masih tetap mempertahankan adat
istiadat dari agama Hindu. Menurut I Gusti Ketut Sutha, SH bahwa hubungan
antara adat/hukum adat dengan agama (khususnya agama Hindu) di Bali merupakan
pengecualian. Hal ini diperkuat oleh penegasan Pemda Bali yang menyatakan :
Bahwa pengertian adat di Bali dengan desa dan krama adatnya adalah berbeda
dengan pengertian adat secara umum.
Artinya : pelaksanaan agama dengan segala aspeknya terwujud dalam Panca Yodnya
yang merupakan wadah konkrit dan tatwa (Filsafah) dan susila (etika) agama,
karena seluruh kehidupan masyarakat Bali terjali erat berdasarkan atas
keagamaan.
Contoh : dalam hal pembagian warisan erat hubungannya dengan pengabenan atau
upacara pembakaran mayat yang hakekatnya adalah pengaruh agama Hindu, juga ada
bagian tertentu dari jumlah warisan yang diperuntukkan untuk tujuan keagamaan.
- Kalimantan
~ Agama Islam hanya berhasil mempengaruhi masyarakat di daerah pantai.
~ Masyarakat daerah pedalaman masih berdasarkan kepercayaan dari zaman Malaio
Polynesia – kepercayaan kaharingan.
- Sulawesi
Dimulai berdirinya kerajaan “Goa” oleh Datuk Ri Bandang. Pengaruh Islam hanya
sebagai pengisi rohani, tidak merubah/mendesak adat masyarakat.
C. Zaman VOC (1596 – 1608 / 1600 – 1800)
Tanggal 20 Maret 1602 didirikan VOC yang merupakan gabungan dari maskapai
dagang Belanda. Tahun 1619 VOC di bawah pimpinan Jenderal Jan Pieter Zoon Coen
menduduki Jakarta (Batavia).
Wilayah VOC meliputi daerah di antara laut Jawa dan Samudera Indonesia, dengan
batas-batas :
- Sebelah barat : sungai Cisadane
- Sebelah timur : sungai Citarum
Kedudukan VOC pada waktu itu
1. Sebagai pengusaha perniagaan
2. Sebagai penguasa pemerintahan
Guna menjaga kepentingan VOC di Hindia Belanda, tahun 1609 Staten General
(Perwakilan Rakyat), Belanda memberikan kuasa kepada pengurus VOC di Banten
(Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia/Raad Van Indie) untuk membentuk hukum
sendiri.
Adapun hukum yang diteapkan pada waktu itu adalah hukum VOC, yang terdiri dari
unsur-unsur :
- Hukum Romawi
- Asas-asas hukum Belanda Kuno
- Statuta Betawi
Statuta Betawi dibuat oleh Gubernur Jenderal Van Diemen yang berisikan kumpulan
plakat-palakat dan pengumuman yang dikodifikasikan.
Menurut Van Vollenhoven : Kebijakan yang diambil oleh VOC dalam bidang hukum
tersebut disebutnya “Cara mempersatukan hukum yang sederhana”
Dalam praktek/kenyataannya, peraturan yang diambil oleh VOC dalam bidang hukum
tersebut tidak dapat dijalankan, sebab :
1. Ada hukum yang berlaku di dalam pusat pemerintahan VOC, yaitu dalam kota
Betawi/Batavia.
2. Ada hukum yang berlaku di luar pusat pemerintahan VOC, yaitu di luar kota
Betawi/Jakarta.
Menurut Utrecht : Hukum yang berlaku untuk penduduk asli adalah hukum adat.
kecuali untuk daerah Betawi/Jakarta
Sebab : - kesulitan sarana transportasi waktu itu.
- kurangnya alat pemerintah.
Sebagai jalan keluarnya, maka dikeluarkan resolutie 21-12-1708
Sebagian Priangan (barat, tengah dan timur) diadili oleh Bupati dengan
ombol-ombolnya dalam perkara perdata dan pidana menurut hukum adat.
Perhatian terhadap hukum adat pada masa ini sedikit sekali, tapi ada beberapa
tulisan-tulisan baik perorangan maupun karena tugas pemerintahan, diantaranya :
1. Confendium (karangan singkat) dari D.W. Freijer
Memuat tentang peraturan hukum Islam mengenai waris, nikah dan talak.
2. Pepakem Cirebon.
Dibuat oleh Mr. P.C. Hasselar (residen Cirebon). Membuat suatu kitab hukum yang
bernama “pepakem Cirebon” yang diterbitkan oleh Hazeu. Isinya merupakan
kumpulan dari hukum adat Jawa yang bersumber dari kitab kuno antara lain : UU
Mataram, Kutaramanawa, Jaya Lengkaran, dan lain-lain.
Dalam Pepakem Cirebon, dimuat gambaran seorang hakim yang dikehendaki oleh
hukum adat :
a. Candra : bulan yang menyinari segala tempat yang gelap
b. Tirta : air yang membersihkan segala tempat yang kotor
c. Cakra : dewa yang mengawasi berlakunya keadaan
d. Sari : bunga yang harum baunya
Penilaian VOC terhadap hukum adat :
1. Hukum adat identik dengan hukum agama
2. Hukum adat terdapat dalam tulisan-tulisan yang berbentuk kitab hukum.
3. Penerapannya bersifat opportunitas (tergantung kebutuhan)
4. Hukum adat kedudukannya lebih rendah dari hukum Eropa.
D. Kedudukan Hukum Adat Zaman Daendels
Hukum adat pada zaman Daendels, tidak diperhatikan dan tidak ada
peraturan-peraturan yang lahir. Daendels berpendapat bahwa hukum adat di Jaea
terdiri atas hukum Islam. Akan tetapi hukum adat keseluruhan menurut Daendels
terdiri atas hukum Islam.
Menurut Daendels derajat hukum Eropa lebih tinggi dari hukum adat. Meskipun
demikian Daendels mempunyai pengertian tentang desa sebagai persekutuan. Selain
itu Daendels juga mengenal sistem panjer.
E. Kedudukan Hukum Adat zaman Raffles
Raffles beranggapan bahwa hukum adat sama dengan hukum islam. Hukum adat
menurut Raffles tidak mempunyai derajat setinggi hukum Eropa. Hukum adat
dianggap hanya baik untuk bangsa Indonesia, akan tetapi tidak patut jika
diberlakukan atas orang Eropa.
Politik Hukum Kolonial
Pada tahun 1838 di negeri Belanda dilakukan kodifikasi terhadap semua aturan
perundangan terutama hukum perdata dan hukum dagang. Dengan adanya kodifikasi
hukum, di Belanda timbul juga pemikiran untuk diberlakukan unifikasi hukum di
Hindia Belanda. hal ini sesuai dengan asas konkordansi. Saat itu di Hindia
Belanda berlaku hukum adat bagi golongan bumiputera yang selama ini hukum adat
belum pernah mendapat perhatian. Tugas ini diserahkan kepada Mr. Hageman,
tetapi tugas ini gagal, karena pemerintahan Belanda tidak mengetahui keadaan
hukum di Hindia Belanda. Tugas tersebut diganti oleh scholten, lalu diganti
lagi oleh Mr. H.L. Wichers. Tugas utamanya adalah mengadakan unifikasi hukum.
Unifikasi hukum ini ditentang oleh Van der Vinne yang mengatakan :
Suatu kejanggalan untuk memberlakukan hukum Belanda di Hindia Belanda yang
sebagian besar penduduknya beragama Islam dan memegang teguh adat istiadat
mereka. Pada tahun 1848, hasil unifikasi dan kodifikasi terhadap hukum perdata
dan hukum dagang di Belanda telah selesai. Dan ini merupakan hasil kerja dari :
1. A.B. (Algemene Bepalingen van Wetgering) mengenai ketentuan umum
perundang-undangan di Hindia Belanda.
2. B.W. (Burgelijk Wetbock) mengenai hukum perdata.
3. Wetbock van Krophandel (WUK) mengenai hukum dagang.
4. R.O. (Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie)
mengenai peraturan susunan dan kekuasaan badan-badan peradilan.
Sedangkan hasil kerja dari Mr. H.L. Witchers antara lain :
1. RV/BRV (Reglement op de Rechtsvordering). Mengenai hukum acara
perdata untuk golongan Eropa di Indonesia.
2. RSV (Reglement of de Rechtstraftvordering). Mengenai hukum acara
pidana untuk golongan Eropa di Indonesia.
3. HIR (Herzien Inland Reglement) mengenai hukum acara perdata dan acara
pidana untuk golongan bumiputera di Jawa dan Madura.
4. RBG (Rechtreglement Buitentewesten). Mengenai hukum acara pidana dan
hukum acara perdata untuk golongan Bumiputera di luar Jawa dan Madura.
Dalam bidang hukum tanah, dilakukan unifikasi hukum diantaranya :
1. Agrarische Wet (stb. 1850-1855). Lahir atas desakan pengusaha swasta
yang dikenal dengan Cultuur Stelsel.
2. Agrarische Besluit (stb 1870-1877), mengenai Domein Verklarine.
3. Agrarische Zigendum (stb 1872-1877), yang sekarang dikonversi menjadi
hak milik, Hak Guna Usaha dan hak Guna Bangunan.
4. Vervremding Verbrod (stb 1875-1879)
Saat itu yang dikodifikasi hanya hukum perdata berat dan hukum dagang.
Sedangkan untuk hukum adat belum diperhatikan.
Mengenai hukum adat timbul pemikiran untuk melakukan unifikasi sesuai
kepentingan ekonomi dan kepentingan keamanan dari pemerintah Belanda, tetapi
termasuk kepentingan bangsa Indonesia.
Tahun 1904 pemerintah Belanda (kabinet Kuyper) mengusulkan suatu rencana
Undang-Undang untuk mengganti hukum adat dengan hukum Eropa dan mengharapkan
agar Bumiputera tunduk hukum Eropa, karena hukum adat tidak mungkin diunifikasi
dan dikodifikasi, selama ini usaha itu gagal. Kegagalan ini mengakibatkan hukum
adat semakin terdesak dan ada pemikiran untuk menghilangkan hukum adat.
Kegagalan untuk mengganti hukum adat dengan hukum Eropa, karena :
Dalam kenyataan tidak mungkin, bangsa Indonesia yang merupakan bagian terbesar
dari penduduk Indonesia tunduk pada hukum Eropa yang disesuaikan dengan
orang-orang Eropa, sedangkan bangsa Eropa hanya sebagian kecil saja, tidak
mungkin bangsa Indonesia dimasukkan dalam golongan Eropa di dalam lapangan
hukum privat.
Tahun 1927 pemerintah Belanda mulai menolak untuk mengadakan unifikasi hukum
adat, mulai melaksanakan konsepsi Van Vollenhoven yang isisnya menganjurkan
diadakan pencatatan yang sistematis dari hukum adat yang didahului dengan
penelitian.
Tujuannya adalah untuk memajukan hukum dan untuk membantu hakim yang harus
mengadili menurut hukum adat.
Konsepsi van Vollenhoven didukung oleh :
a) Pengalaman yang pahit bertahun-tahun lamanya, bahwa memaksakan hukum barat
dari atas selalu gagal.
b) Selalu berkembangnya pengertian akan pentingnya hukum adat dalam lingkungan
bangsa Indonesia
Politik hukum semenjak tahun 1927 adalah konsepsi Van Vollenhoven mengenai
hukum adat. Sebelum menggunakan konsepsi Van Vollenhoven digunakan pasal II AB
sebagai dasar hukum berlakunya hukum adat. Awalnya hukum adat tidak dikenal,
istilah yang dikenal adalah istilah Undang-Undang Keagamaan, Lembaga Rakyat dan
kebiasaan.
Dasar hukum yang berlaku pada saat itu adalah pasal II AB yang isisnya :
Bagi golongan pribumi, golongan Timur Asing berlaku peraturan-peraturan hukum
yang didasarkan atas agama-agama dan kebiasaan-kebiasaan mereka.
Kegagalan mengadakan unifikasi dan kodifikasi terhadap hukum adat, dikarenakan
keanekaragaman penduduk Indonesia, sehingga sulit diarahakan pada keseragaman
hukum. Maka tahun 1906 DPR Belanda mempertahankan hukum adat dengan
memberlakukan pasal 131 ayat 2 b IS yang berlaku 1 Januari 1926.
Pasal 131 ayat 2 b isinya :
Bagi golongan Bumiputera, Timur Asing, berlaku peraturan hukum yang didasarkan
atas agama-agama dan kebiasaan-kebiasaan mereka.
Dengan demikian dasar hukum berlakunya hukum adat masa Hindia Belanda
- Pasal II AB ditujukan pada Hakim Indonesia
- Pasal 131 IS ditujukan kepada pembuat ordonansi.
Tahun 1927 – 1928
Merupakan tahun titik balik, dimana hukum Indonesia asli akan ditentukan
kemudian setelah dilakukan penelitian lebih lanjut tentang kebutuhan hukum
mereka dan untuk sementara dipakai hukum adat, karena belum bisa ditinggalkan.
Sarjana Belanda yang banyak memperjuangkan hukum adat adalan Van Vollenhoven
disebut juga Bapak Hukum Adat.
Usaha yang dilakukan adalah :
- Menghilangkan kesalahpahaman hukum adat identik dengan hukum Islam
- Membela hukum adat terhadap usaha yang ingin menghilangkan hukum adat.
- Membagi wilayah Indonesia dalam 19 lingkup hukum adat.
Karya dari Van Vollenhoven tentang hukum adat adalah :
- Het Adatrech van Nederlandsc Indie (1901-1933), pengantar hukum adat
Hindia Belanda.
- Een adat Wetboektje Voor Hele Indie (1910), buku adat untuk seluruh
Indonesia.
- De Indonesienen Zinj Grond (1919), orang Indonesia dan tanahnya.
- De Ontdekring van Het Adatrecht (1829), penemuan hukum adat.
F. Kedudukan Hukum Adat pada Masa Pemerintahan Jepang
Masa itu berlaku hukum militer, sedangkan hukum perundangan dan hukum adat
tidak mendapat perhatian saat itu. Peraturan pada masa pemeintahan Belanda
tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan hukum militer.
Ketentuan ini diatur pada UU No. 1 Balatentara Jepang 1942 pasal 3 isinya :
Semua badan-badan pemerintah dan kekuasaan, hukum dan Undang-Undang dari
pemerintah yang dahulu, tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal tidak
bertentangan dengan aturan pemerintah militer. (dasar hukum adat masa Jepang).
E.
Jaman Kolonial (Penjajahan
Belanda dan Jepang)
Sebelum Konstitusi RIS
berlaku yaitu pada jaman penjajahan Jepang, terdapat peraturan Dai
Nippon yaitu Osamu Sirei pasal 3 menentukan bahwa peraturan-peraturan
sebelumnya juga masih tetap berlaku. Ketentuan yang ada pada waktu
sebelum penjajahan Jepang adalah ketentuan pasal 75 baru RR yang pada
tahun l925 diundangkan dalan Stb nomor 415 Jo 577
berlaku mulai 1 januari 1926
dimasukkan dalam pasal 131 IS _(Indische
Staatsregeleing) lengkapnya wet op de staatsinrichting
van Nederlands Indie.
Ketentuan tersebut juga merupakan penyempurnaan
dari pasal 75 ayat 3 lama RR l854 _(Regeringsreglemen)
lengkapnya Reglement op het beleid der regering
van Nederlands Indie_ (Peraturan tentang kebijaksanaan
pemerintah di Hindia Belanda ) stb no. 2 tahun 1854 (belanda) dan
Stb nomor 2 jo 1 1855 (Hindia Belanda) .Pasal 75 lama RR terdiri
dari 6 ayat (Mahadi, 1991:1-2)
yaitu:.
(1). Sepanjang mengenai golongan Eropa, pemberian
keadilan dalam bidang hukum perdata
juga dalam hukum pidana didasarkan
pada _verordering-verordering umum, yang sejauh mungkin
sama bunyinya dengan undang undang yang berlaku
di negeri Belanda.
(2). Gubernur Jendral berhak
menyatakan berlaku aturan-aturan yang
dipandang pantas, dari _verordering-verordering tersebut bagi golongan
orang orang bumi putra. Jika perlu aturan- aturan
tersebut boleh dirubah.
(3) Kecuali secara suka rela orang Bumi
putra menundukkan diri ke dalam
hukum perdata Eropa, maka dalam memutus
suatu perkara hakim mempergunakan
Hukum Adat.
Pada waktu itu
istilah untuk menyebut Hukum Adat
dengan berbagai macam yaitu:
(1) UU agama, (2)l Lembaga-lembaga golongan
bumi putra dan (3) Kebiasaan golongan bumi putra
sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas yang
diakui umum tentang kepatutan dan keadilan
(4), (5) dan seterusnya tidak begitu penting bagi hukum adapt (6). Jika
hukum adat tidak mengatur tentang suatu perkara yang
diajukan ke pengadilan maka hakim memberikan
keadilan kepada golongan bumi putra
mengambil asas-asas umum dari
hukum perdata Eropa.
Menurut Mahadi (l991:2) pengertian Verordering
umum dalam pa0sal 75 RR meliputi:- Wet (UU) yang
dibuat di negri Belanda oleh DPR belanda bersa-
ma-sama raja Belanda.
- AMVB (Algemene Maatregel van Bestuur)_
peraturan yang dibuat
oleh raja Belanda untuk
menjalankan suatu undang undang yang
di Indonesia dikenal dengan Peraturan
Pemerintah (PP).
- Ordonansi yaitu peraturan yang dibuat oleh
Gubernur Jendral
bersama-sama Raad van
Indie (Dewan Hindia Belanda) juga
dengan Volksraad (DPR). Di Indonesia disebut UU
- RV (regeringsverordering) yang dibuat
oleh Gubernur Jendral
untuk menjalankan
Ordonansi.
Pasal 75 lama RR merupakan hasil
perubahan dan penyempurnaan dari ketentuan pasal 11 AB _(Algemene
Bepalingen van Wetgeving). Pasal 75 lama RR berlaku sampai
tanggal 1 Januari 1920 dan sejak tanggal itu pasal 75 lama RR mendapat
perubahan yaitu menjadi pasal 75 baru RR. Sebenarnya perubahan
tersebut di Belan
da sudah terjadi pada tahun 1906 dengan Stb nomor
346. diikuti di Indonesia pada tahun l907 dengan Stb nomor 204,
tetapi sebelum berlaku, pada tahun yang sama
(l907) pasal 75 baru RR sudah mengalami perubahan lagi
dengan Stb 286 di Belanda dan stb no. 621 di Indonesia. Pada
tahun l920 RR baru dirubah lagi dan pada tahun l925 RR dimasukkan ke
dalam pasal 131 IS yang diberlakukan mulai tahun 1926 dengan Stb nomor
415 jo 577 tahun l925. Pasal 131 ayat 2 sub b IS berisi tentang
ketentuan bahwa bagi golongan hukum bumi putra dan timur asing
berlaku hukum adat mereka, _tetapi dengan pembatasan _(Sudiyat, l981:24):
1. Jika kepentingan sosial mereka
membutuhkan maka pembuat ordonansi (Gubernur
jendral dan Voksraad) dapat
menentukan bagi mereka:
a. Hukum Eropa
b. Hukum Eropa yang telah diubah
c. Hukum bagi beberapa golongan
bersama-sama
2. Jika kepentingan umum memerlukan maka bagi
mereka dapat ditentukan yaitu hukum baru
yang merupakan sintesa antara Hukum
Adat dan Hukum Eropa.
Pasal 131 IS ditujukan kepada pembuat ordonansi
untuk membuat kodifikasi hukum privat bagi Bumi putra dan timur asing
dan bukan kepada hakim. Masalahnya: ketika pembuat ordonansi
belum sempat membuat kodifikasi yang dimaksudkan maka apa
yang menjadi pegangan bagi hakim?. Jawab: berdasarkan pasal
131 ayat 6 (merupakan ketentuan peralihan) yaitu selama
hukum perdata dan hukum dagang yang sekarang
berlaku bagi Bumi Putra dan Timur Asing belum diganti
dengan kodifikasi maka hukum yang berlaku bagi mereka
adalah Hukum Adat mereka sebelum tahun 1920 yang
ditentukan dalam pasal 75 RR 1854.
Menurut Muhammad (1991:45),
Karena kodifikasi belum terlaksana maka kedua
kekuasaan istimewa hakim mengenai Hukum Adat tetap
dapat dijalankan atas dasar bukan asas
konkordansi seperti pada jaman dahulu, tetapi yang menjadi
ukuran bagi hakim adalah asas-asas hukum harus
yang dipertahankan dalam suatu negara hukum yang
merdeka berdaulat berdasarkan UUD 45 dan Pancasila.
Perbedaan
antara pasal 131 IS dengan pasal 75 lama RR antara
lain:
1.
Hukum Adat dirumuskan secara berbeda dalam kedua pasal 75
lama RR dan 131 IS (Mahadi, l991:17). Dalam pasal
75 lama Hukum Adat dirumuskan sebagai UU
agama lembaga-lembaga dan kebia saan-kebiasaan golongan
bumi putra. Dalam pasal 131 IS, Hukum Adat dirumuskan
sebagai norma hukum yang erat
hubungannya dengan agama dan
kebiasaan-kebiasaan. Rumusan Hukum
Adat menurut pasal 75 lama RR dipengaruhi
oleh pendapat van den Berg yang dikenal
dengan teori resepsi (_Recetio in complexu)
2.
Pasal 75 RR ditujukan kepada hakim sedang 131 ditujukan kepada pembuat UU.
3.
Pasal 75 lama RR tidak ada kemungkinan bagi BP untuk
menun dukkan diri kepada hukum baru, sedangkan 131 IS
ada kemung kinan untuk itu.
4.
Pasal 75 lama RR memuat ketentuan tentang pembatasan terhadap berlakunya Hukum
Adat yaitu Hukum Adat tidak diberlakukan jika bertentangan
dengan asas-asas keadilan. 1 Pembatasan ini tidak ada dalam pasal
131 IS. Pasal 134 ayat 2 IS menentukan bahwa
dalam hal timbul perkara antara orang
muslim dan hukum adat memeinta penyelesaiannya maka
penyelesaian perkara tersebut diselenggarakan oleh hakim agama kecuali
ordonansi menetapkan lain.
Pasal
131 dan 134 IS hanya berlaku bagi hakim Landraad (PN), sedangkan bagi hakim
Peradilan Adat _(inheemse rechtspraak) dasar hukumnya adalah pasal 3
stb nomor 80 tahu 1932 bagi daerah yang langsung dikuasai
oleh Belanda yang di luar Jawa dan Madura. Sedangkan
bagi daerah swapraja dasar hukumnya berlakunya Hukum Adat
adalah pasal 13 ayat 3 stb nomor 529 tahun 1938 dalam lange contracten.
Dasar hukum peradilan adat di Jawa dan Madura adalah
ketentuan pasal 3 RO stb 23 tahun 1847 jo stb jo.
nomor 47 tahun 1848. RO ingkatan dari
_Rechterlijke Organisatie (Reglement op de Rechterlijke Organisatie
en het Beleid der Justitie in Indonesie
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari
penjelasan-penjelasan di muka, terlihat bahwa memang Hukum Adat yang dibentuk
pada situasi dan kondisi “Low Energy Society”, mempunyai peranan yang penting
sekali dalam pembentukan Hukum Nasional. Disamping itu, pembentukan Hukum
Nasional dapat didekati dengan pendekatan system dalam system social, yang
dalam uraian dimuka didasarkan pada pendapat Talcot Parsons.
Dalam
tulisan ini hanya diberikan salah satu contoh aspek saja tentang Hukum adat ke
Hukum Nasional, yaitu mengenai Hukum lainnya (Adat) yang dapat diangkat menjadi
Hukum Nasional dengan melalui proses tertentu; hal ini tergantung pada
identifikasi kebutuhan.
B. SARAN
DAFTAR
FUSTAKA
Abdurrahman
.1978.Kedudukan Hukum Adat dalam Rangka
Pembangunan Nasional .Bandung: Alumni.