PENDAHULUAN
Latar Belakang Permasalahan
Kebutuhan rumah tempat tinggal atau hunian di daerah perkotaan semakin meningkat dan dirasakan kurang,
mengingat jumlah perumahan yang tersedia tidak berimbang dengan jumlah
kebutuhan dari orang yang memerlukan rumah tempat tinggal. Kebutuhan akan rumah
tempat tinggal tidak hanya bagi warga negara Indonesia tetapi
juga bagi warga negara asing dan badan hukum asing yang berada di Indonesia. Oleh karena itu diperlukan pengaturan tentang bagaimana kebutuhan ini dapat dipenuhi,
hak atas tanah untuk perumahan, termasuk
didalamnya tata cara dan syarat-syarat pemberian hak atas tanah bagi orang
asing atau badan hukum asing.
Menurut
struktur bangunan, bangunan dapat berbentuk rumah berdiri sendiri atau rumah
susun atau rumah bertingkat. Dari segi fungsinya,
rumah berfungsi untuk tempat tinggal dan
kegiatan usaha atau perkantoran. Kebutuhan akan rumah tempat tinggal adalah
mutlak bagi semua orang karena merupakan kebutuhan primer bagi kehidupan
keluarga, bermasyarakat dan bernegara. Pengunaan rumah sebagai tempat kegiatan
usaha adalah tempat segala kegiatan
administrasi dan operasional dari suatu
badan usaha berjalan secara aktif. Begitu juga pengunaan rumah untuk sarana
penyimpanan barang-barang hasil
produksi. Agar supaya terdapat tertib
hukum dalam pengunaan dan pemanfaatan
rumah itu, maka diperlukan perangkat hukum yang mengaturnya, guna menghindari
pengunaan rumah yang tidak sesuai dengan ijin peruntukannya, pembatasan kepemilikan rumah tempat tinggal,
perbuatan hukum berupa jula beli, hibah, warisan, pembebanan jaminan hutang
atas rumah tempat tinggal oleh pihak pemilik tanah dan atau rumah diatasnya
kepada pihak lain, terutama apabila berkenaan dengan kepemilikan atau peralihan
hak dari dan untuk warga negara asing atau badan hukum asing di Indonesia.
Perangkat
hukum yang mengatur hak-hak atas tanah, penggunaan dan pemanfaatan tanah serta
pengakhiran hubungan hukum atas
penguasaan tanah, berikut rumah diatasnya, khusus
yang berkenaan dengan pengaturan hak pakai
atas tanah dan bangunan tempat tinggal bagi warga negara asing atau badan hukum asing yang berlaku saat ini adalah :
1.
Undang-Undang
No. 5 Tahun 1960 tentang Perauran dasar Pokok
Agaria, selanjutnya disingkat menjadi UUPA.
2.
Undang-Undang
No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.
3.
Undang-Undang
No. 4 Tahun 1994 tentang Perumahan Dan
Permukiman
4.
Peraturan
Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak
Guna Usaha, hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah.
5.
Peraturan
Pemerintah No. 41 Tahun 1996 tentang
Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan
Di Indonesia.
BAB II
PENGATURAN KEPEMILIKAN RUMAH
TEMPAT TINGGAL BAGI WARGA
NEGARA ASING DI INDONESIA
1.
Hak Pakai Bagi Warga Negara Asing Dalam UUPA
Dampak dari globalisasi perdagangan menyebabkan semakin
terbukanya bagi pihak asing, terutama pelaku bisnis asing, dalam penguasan dan
pemanfaatan tanah di Indonesia. Dalam kegiatan ekonomi, terdapat tiga pelaku
usaha yang memiliki akses sumber daya modal dan akses politik berbeda-beda,
yaitu Pemerintah, swasta dan mayarakat. Dalam
hal ini, kedudukan pihak masyarakat dengan swasta tidak seimbang, serta adanya kebijakan pemerintah yang
bersifat bias terhadap kepentingan masyarakat kecil, menyebabkan pihak swasta akan lebih mudah memperoleh
tanah-tanah untuk pembangunan perumahan dan industri dengan mengorbankan
kepentingan masyarakat kecil, sedangkan pada sisi lain, sangat sulit bagi
masyaakat kecil untuk memperoleh persetujuan mengerjakan tanah-tanah bekas
perkebunan atau kehutanan yang telah ditelantarkan untuk mendapatkan pengakuan
haknya secara de yure.
Kebutuhan akan rumah bagi orang
perorangan atau badan, baik untuk tempat
tinggal maupun untuk tempat usaha, menjadi kebutuhan yang paling dirasakan
mendesak untuk dipenuhi. Kebutuhan ini bukan
saja bagi warga negara Indonesia tetapi juga menjadi kebutuhan warga negara asing
dan badan hukum asing yang berada atau bekerja atau membuka kegiatan usahanya
di Indonesia.
Pada
prinsipnya UUPA secara tegas melarang warga negara asing atau badan hukum asing
untuk memiliki hak-hak atas tanah, sebagai pencerminan dari asas nasionalitas yang dianut
didalamnya. Terdapat
hubungan yang erat antara status kewarganegaran Indonesia dengan hak-hak atas tanah dalam UUPA, hanya
warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik atas tanah
Demikian juga dengan hak-hak atas tanah lainnya seperti hak guna bangunan, hak
guna usaha.
Dalam UUPA tidak memperjelas siapa saja yang
termasuk warga negara asing oleh sebab itu kita akan melihat ketentuan pada dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang
tersebut, juga tidak merumuskan
secara jelas yang dimaksud dengan pengertian warga negara asing atau orang
asing, hanya dapat disimpulkan secara negatif pada pasal 7,
berbunyi sebagai berikut : “ Setiap orang yang bukan Warga Negara
Indonesia diperlakukan sebagai orang asing”.
Jadi yang menjadi ukuran untuk
menentukan Warga Negara Indonesia dan orang asing adalah orang yang bukan Warga Negara
Indonesia. Hal itu berarti orang yang
tidak termasuk pada pasal 2, 4, 5, 7,
adalah bukan Warga Negara Indonesia atau disebut sebagai orang asing.
Menurut pasal 2, bahwa yang menjadi
Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang
bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Kemudian
pada penjelasan pasal 2 dinyatakan bahwa
yang dimaksud dengan “orang-orang
bangsa Indonesia asli” adalah
orang Indonesia yang menjadi Warga
Negara Indonesia sejak kelahirannya dan
tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri. Dengan demikian yang menjadi ukuran untuk
menentukan Warga Negara Indonesia yang berasal dari bangsa Indonesia asli
adalah berdasarkan tempat kelahiran dan
kehendak orang itu hanya menerima
satu kewarganegaraan, yaitu Warga
Negara Indonesia. Sedangkan mengenai
orang-orang bangsa lain tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai hal
tersebut, hanya diisyaratkan apabila ada orang asing yang akan menjadi Warga
Negara Indonesia harus menurut
persyaratan dan pengesahan oleh undang-undang.
Pada pasal 4 ditentukan siapa saja yang menjadi Warga Negara Indonesia, adalah :
a. Setiap orang yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan/ atau
perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum
undang-undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia.
b. Anak
yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga
Negara Indonesia.
c. Anak
yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara
Indonesia dan ibu warga negara asing.
d. Anak
yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan
ibu Warga Negara Indonesia.
e. Anak
yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu
Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut.
f. Anak
yang lahir di luar perkawinan
yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia.
g. Anak
yang lahir dalam tenggang waktu
300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah
dan ayahnya Warga Negara Indonesia.
h. Anak
yang lahir di luar perkawinan
yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang
ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya
dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berumur 18 (delapan
belas) tahun atau belum kawin.
i.
Anak yang lahir di wilayah Republik Indonesia yang pada waktu
lahirnya tidak jelas statusi
kewarganegaraan ayah dan ibunya.
j.
anak
yang baru lahir ditemukan di wilayah negara Republik
Indonesia selama ayah ibunya tidak diketahui.
k. Anak
yang lahir di wilayah Republik
Indonesia apabila ayah ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya.
l.
Anak yang lahir di luar wilayah Republik Indonesia dari seorang ayah
dan ibu Warga Negara Indonesia yang
karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan
kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan.
m. Anak
dari seorang ayah dan ibu yang
telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya
meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Sehubungan
dengan rumusan pasal 1 huruf (a)
mengenai “ orang yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan/ atau perjanjian Pemerintah Republik Indonesia
dengan negara lain sebelum Undang-Undang
ini berlaku sudah menjadi Warga
Negara Indonesia” , meliputi apa saja
peraturan perundang-undangan dan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia
dengan negara lain yang mengatur dan
menetapkan seseorang telah menjadi Warga Negara Indonesia sebelum UU No. 12 Tahun 2006
diberlakukan, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai itu. Dengan demikian
yang dimaksudkan pada pasal 2 tersebut adalah orang-orang yang telah menjadi Warga Negara
Indonesia menurut undang-undang kewarganegaraan yang lama dan atau perjanjian
antara Pemerintah Indonesia dengan negara lain mengenai kewarganegaraan, sepanjang orang itu tidak pindah
kewarganegaraan, masih diakui sebagai
Warga Negara Indonesia.
Mengenai
status anak Warga Negara Indonesia di
luar perkawinan sah dan anak angkat Warga Negara Indonesia yang diangkat orang asing, mereka tetap
diakui sebagai Warga Negara Indonesia
sesuai syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5, berbunyi sebagai berikut :
“ (1). Anak Warga Negara Indonesia yang lahir di luar
perkawinan yang sah , belum berusia 18
(delapan belas) tahun dan belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang
berkewargannegaraan asing tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia.
(2). Anak
Warga Negara Indonesia yang belum berusia 5
(lima ) tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh warga negara asing
berdasarkan penetapan pengadilan tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia”.
Namun
UUPA masih memberikan hak penguasaan tanah atau memunggut hasil dari tanah berupa
hak pakai kepada warga negara asing atau
badan hukum asing yang berada di Indonesia, seperti diatur pada pasal 41 dan 42 UUPA,
yang dijabarkan lebih lanjut dalam PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha,
hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah. Dari ketentuan pada pasal 41 dan 42 itu, hak
pakai merupakan hak-hak untuk mengunakan dan memunggut hasil dari tanah yang
bukan miliknya. Tanah yang berstatus
hak pakai dapat berasal dari negara atau hak milik orang lain. Hak pakai
diberikan untuk jangka waktu tertentu selama pemanfaatan fungsi tanah itu atau
pemberian dengan cuma-cuma, dengan pembayaran berupa uang atau jasa kepada
pemilik tanah. Hak pakai ini dapat diberikan kepada orang asing atau badan
hukum yang berkedudukan di Indonesia.
Badan hukum yang diberikan hak pakai harus didirikan menurut hukum Indonesia
atau mempunyai perwakilan di Indonesia (bilamana badan hukum asing). Alasan
pemberian hak pakai pada orang asing atau badan hukum asing, karena hak ini
bersifat terbatas atau memberi kewenangan terbatas pada pemiliknya
Selain itu, pasal 43 menentukan hak pakai yang berasal dari tanah negara, hanya
dapat dialihkan pada pihak lain dengan ijin dari pejabat yang berwenang. Hak
pakai yang berasal dari tanah hak milik, untuk pengalihan haknya harus
berdasarkan perjanjian yang diperbolehkan untuk itu.
Pada PP No. 40 Tahun 1996, ditambah
lagi pihak-pihak yang dapat
memperoleh hak pakai, yaitu departemen, lembaga pemerintah departemen dan non departemen;
badan-badan keagamaan dan sosial; serta perwakilan negara asing dan perwakilan
badan internasional.
Hak pakai juga dapat diberikan dari tanah hak pengelolaan.
Mengenai jangka waktu pemberian hak
pakai adalah 25 tahun. Perpanjangan dan pembaharuan hak pakai adalah
§ Hak pakai yang berasal dari tanah negara, dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 tahun
dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu 25 tahun.
§ Hak pakai yang berasal dari hak
pengelolaan, perpanjangan dan pembaharun haknya atas usul pemegang haknya.
§ Hak pakai yang berasal dari hak milik,
tidak dapat diperpanjang tetapi dapat diperbaharui sesuai kesepakatan antara
pemegang hak pakai dengan pemegang hak milik.
Dengan
demikian UUPA dan peraturan pelaksanannya, tidak menentukan secara jelas bentuk-bentuk
kegiatan usaha atau peruntukan dari pengunaan hak pakai. Pengunaan, penguasaan
dan pemanfaatan hak pakai tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dan jiwa
UUPA, harus sesuai dengan ijin
pemberiannya atau kesepakatan dalam perjanjian yang dibuat untuk itu. Oleh
sebab itu, pihak pemerintah atau swasta dapat membangun perumahan diatas tanah
hak pakai, untuk kemudian diperjualbelikan kepada masyarakat
luas, termasuk apabila pembelinya berasal dari warga negara asing. Demikian juga, pihak warga negara asing yang
memperoleh hak pakai, dapat mengunakannya untuk mendirikan bangunan perumahan
atau kegiatan usaha sesuai ijin pemberian dari hak itu atau menurut kesepakatan
dari perjanjian kedua belah pihak.
2.
Hak Pakai
Untuk Rumah Tempat Tinggal Bagi
Warga Negara Asing
UUPA dengan
UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun serta UU No. 4 Tahun 1994 tentang Perumahan
Dan Permukiman, memiliki keterkaitan yang erat,
karena dalam pembangunan rumah susun atau perumahan harus dikaitkan dengan hak atas tanah. Ketiga UU itu terletak
pada satu sistem hukum benda yang terdiri dari sub sistem hukum agraria dan
subsistem hukum bangunan. Pengaturan hukum agraria dan hukum bangunan itu masih
lemah, karena ketentuan pelaksanaan UUPA yang harus diatur dengan UU ternyata
hingga saat ini belum ada, akibatnya terdapat perbedaan persepsi dari berbagai
instansi dan menimbulkan ketidak pastian dalam penerapannya
Pembangunan rumah susun bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan yang layak bagi rakyat, dengan meningkatkan daya guna dan
hasil guna tanah di daerah-daerah yang berpenduduk padat dan hanya tersedia
luas dan terbatas. Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian dalam
pembangunannya adalah kepastian hukum
atas penguasaan dan keamanan dalam pemanfaatan rumah susun itu.
Rumah susun, pertokoan dan bangunan
perkantoran merupakan benda yang
mempunyai status yang mengambang. Suatu saat bangunan menyatu dengan tanah dan
pada saat lain ia terpisah dengan tanah. Penyatuan tanah dengan bangunan yang
menjadi alasnya karena asas pemisahan
vertikal sedangkan bila bangunan dan tanah terpisah karena asas yang dipakai
adalah pemisahan horisontal. Perangkat hukum kita tidak mempunyai pendirian
yang konsekuen mengenai asas mana yang dipakai.
Orang asing hanya boleh memiliki bangunan yang dibangun diatas tanah hak pakai
atau hak sewa bangunan
Bangunan yang berdiri diatas hak pakai dapat digunakan untuk tempat tinggal
atau bukan tempat tinggal.
Rumah
tempat tinggal atau hunian yang dapat dimiliki oleh warga negara asing, selain
rumah yang dibangun diatas tanah hak pakai, juga berdasarkan perjanjian dengan pemilik hak
atas tanah. Perjanjian itu berbentuk tertulis yang dibuat dengan akta pejabat
pembuat akta tanah. Perjanjian itu dibuat untuk jangka waktu 25 tahun, dan
dapat diperbaharui untuk paling lama 25 tahun.
Berkenaan
dengan pemilikan atas rumah susun oleh warga negara asing, sesuai UU No. 16
Tahun 1985, harus berada di atas hak pakai atas tanah negara.
Hal ini disebabkan karena konsep pemilikan rumah susun terdapat pemilikan
secara individuil dan terpisah, yakni pemilikan rumah susun itu sendiri, dan
mengandung pemilikan bersama secara proporsional dan tidak terpisahkan terhadap
tanah bersama, benda bersama dan bagian bersama.
Terkait dengan berkedudukan di
Indonesia, sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2006, setiap orang asing yang berada
di Indonesia harus memenuhi syarat-syarat keimigrasian :
1. Mempunyai
izin tinggal tetap.
2. Mempunyai izin kunjungan.
3. Mempunyai
izin tinggal terbatas.
Dibuktikan dengan dokumen keimigrasian
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ijin tinggal tetap diberikan
kepada orang asing untuk tinggal menetap di wilayah Indonesia. Ijin tinggal terbatas diberikan
dalam arti jangka waktu tinggal terbatas. Izin kunjungan diberikan untuk tujuan
kunjungan dalam jangka waktu terbatas dalam rangka tugas pemerintahannya,
parawisata, kegiatan sosial budaya atau usaha. Sedangkan badan hukum asing yang dapat
mempunyai hak pakai adalah badan hukum privat dan badan hukum publik. Badan
hukum asing privat adalah badan hukum keperdataan yang didirikan tidak menurut hukum Indonesia
dan perkumpulan atau badan-badan lainnya, yang lebih separuh jumlah anggotanya
adalah warga negara asing. Badan hukum asing publik seperti kantor perwakilan
diplomatik atau organisasi internasional yang berada di Indonesia.
Pembatasan
bagi warga negara asing hanya boleh memiliki satu rumah tempat tinggal,
bisa berupa rumah yang berdiri sendiri atau rumah susun yang dibangun diatas
hak pakai. Bangunan yang dapat dipunyai
warga negara asing dan badan hukum asing untuk rumah tempat tinggal atau
hunian, baik rumah berdiri sendiri maupun rumah susun, adalah rumah yang tidak termasuk dalam kualifikasi sebagai
berikut :
·
Sederhana
atau sangat sederhana;
·
Rumah
yang pembangunannya dibiayai oleh
pemerintah; dan
·
Rumah
yang pembangunannya mendapat fasilitas subsidi dari pemeritah.
Untuk rumah susun, syarat lain adalah :
·
Satuan
rumah susun yang dibeli terdiri dari 2 lantai atau lebih sesuai dengan kondisi di Indonesia. Untuk bangunan
bukan hunian dapat berupa bangunan yang
berdiri sendiri atau rumah susun yang digunakan untuk perkantoran atau usaha
komersil. Warga negara asing atau badan hukum asing yang dapat memiliki
bangunan perkantoran atau tempat usaha adalah
·
Merupakan
bangunan yang berdiri sendiri, terletak
dalam kawasan yang diperuntukan bagi pembangunan tersebut.
·
Bangunan
rumah susun yang terdiri dari 3 lantai atau lebih dalam kawasan yang sesuai.
·
Berbentuk
rumah toko yang terdiri dari 3 lantai atau lebih.
PP
No. 41 Tahun1996 tidak mengatur tentang penjualan tanah dan bangunan yang
dimiliki warga negara asing kepada pihak lain. Juga tidak secara eksplisit
memuat ketentuan tentang hibah dan
pewarisan hak atas tanah dan bangunan yang dimiliki warga negara asing. Sedangkan untuk penyewaan bangunan pada pihak
lain, Peraturan Menteri Agaria /Kepala BPN No. 7/1996 membolehkan tanah dan
bangunan yang dimiliki warga negara asing di sewakan kepada pihak lain asalkan,
tanah dan bangunan itu tidak digunakan oleh pemiliknya dan rumah itu disewakan
melalui perusahaan Indonesia berdasarkan perjanjian tertulis antara warga
negara asing pemilik rumah dengan
perusahaan tersebut.
3.
Berakhirnya Hubungan Hukum Kepemilikan
Rumah Tempat Tinggal Warga Negara Asing
Dalam UUPA ditentukan, hak
pakai hapus karena :
a)
Berakhirnya
jangka waktu yang ditetapkan dalam
keputusan pemberiannya atau perpanjangannya atau perjanjian pemberiannya;
b)
Dibatalkan
oleh pejabat yang berwenang, pemegang
hak pengelolaan atau pemegang hak milik sebelum jangka waktu berakhir, karena :
1)
Tidak
dipenuhi kewajiban-kewajiban pemegang hak dan atau dilanggarnya
ketentuan-ketentuan sebgaimana dimaksud pada pasal 50 mengenai
kewajiban-kewajiban dari pemegang hak pakai, pasal 51 mengenai kewajiban
pemegang hak pakai untuk memberikan jalan keluar, jalan air, kemudahan lain
bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung, pasal 52 kewenangan pemegang
hak pakai untuk menguasai dan mempergunakan tanah hak pakai;
2)
Tidak
dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam
perjanjian pemberian hak pakai antara pemegang hak pakai dan pemegang hak milik
atau perjanjian penggelolaan; atau
3)
Putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
c)
Dilepaskan
secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir;
d)
Hak
pakai dicabut berdasarkan UU No. 20 Tahun 1961;
e)
Ditelantarkan;
f)
Tanahnya
musnah;
g)
Ketentuan
pasal 40 ayat (2) mengenai pemegang hak pakai
yang tidak memenuhi syarat, wajib melepaskan atau mengalihkan haknya
kepada pihak lain yang memenuhi syarat dalam waktu 1 tahun. Bila setelah lewat
1 tahun, tidak dilakukan pelepasan atau pengalihan haknya, maka hak pakai itu
hapus demi hukum.
Mengenai hapusnya hak pakai atas
tanah negara, berakibat tanahya menjadi tanah negara. Hapusnya hak
pakai atas tanah hak pengelolaan, tanahnya kembali pada penguasaan pemegang hak
pengelolaan. Hapusnya hak pakai yang berasal dari tanah hak milik, tanahnya
kembali pada penguasaan pemegang hak milik
Kaitan
antara hapusnya hak pakai dengan bangunan diatasnya, bila hak pakai dari tanah negara, maka
pemegang hak pakai wajib membongkar bangunan dan benda-benda diatasnya dan
menyerahkan tanahnya kepada negara dalam keadaan kosong selambat-lambatnya
dalam waktu 1 tahun sejak hapusnya hak
pakai. Bila bangunan dan benda-benda masih diperlukan, kepada bekas pemegang
hak diberikan ganti kerugian. Biaya pembongkaran bangunan dan benda-benda ditanggung pemegang hak. Jika pemegang hak
lalai dalam memenuhi kewajibannya untuk membongkar bangunan dan benda-benda
diatasnya, maka pemerintah akan melakukan pembongkaran atas biaya pemegang hak.
Apabila hak pakai atas tanah hak pengelolaan atas tanah hak milik sebagaimana dimaksud pasal 56, bekas pemegang
hak pakai wajib menyerahkan tanahnya kepada pemegang hak pengelolaan atau
pemegang hak milik dan memenuhi ketentuan yang sudah disepakati dalam
perjanjian penggunaan tanah hak pengelolaan atau perjanjian pemberian hak pakai
atas tanah hak milik.
Ketentuan-ketentuan
diatas menjadi kaidah umum bagi hapusnya
hak pakai dan akibat-akibat hukum dari hapusnya hak pakai
bagi pemegang hak pakai, bangunan dan benda-benda diatasnya. Ketentuan ini juga
dapat diberlakukan untuk mengakhiri hak pakai kepada pemegang hak pakai yang berasal
dari warga negara asing atau badan hukum asing.
Mengenai
hapusnya hak pakai dan bangunan diatasnya bagi warga negara asing dan nbadan
hukum asing di atur juga pada PP No. 41 Tahun 1996, menentukan Warga negara
asing yang membeli rumah di Indonesia
apabila tidak memenuhi syarat berkedudukan di Indonesia atau tidak lagi memiliki dan memelihara
kepentingan ekonomi di Indonesia.
Hubungan hukum antara warga negara asing dengan tanah dan bangunan tempat
tinggalnya juga dapat berakhir
apabila jangka waktu dalam
perjanjian berakhir, dan apabila warga negara asing itu tidak berada
di Indonesia lagi, sebelum jangka waktunya berakhir. Selama jangka waktu 1
tahun wajib melepaskan atau mengalihkan tanah dan bangunannya pada orang lain
yang memenuhi syarat.
Apabila orang asing memiliki rumah
yang dibangun diatas tanah hak
pakai atau tanah negara atau menurut perjanjian, bila selama jangka waktu 1
tahun, ternyata hak atas tanah belum diserahkan pada pihak lain yang memenuhi syarat,
maka rumah yang dibangun diatas tanah hak pakai dikuasai negara untuk dilelang.
Bila rumah itu dibangun berdasarkan
perjanjian maka rumah itu akan menjadi
milik pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.
Selain itu, hak pakai atas rumah tempat tinggal bagi warga negara asing,
juga dapat berakhir bila ia tidak
memenuhi syarat-syarat keimigrasian yang diatur pada PP No. 32 Tahun 1994. Apabila
warga negara asing melanggar atau tidak memenuhi ketentuan-ketentuan
keimigrasian maka kepada orang asing itu
tidak mungkin lagi berada atau berkedudukan di Indonesia. Adapun
ketentuan-ketrentuan keimigrasian yang dimaksud yaitu :
§ Warga negara asing melepaskan hak
ijin tinggal tetap atau ijin tinggal terbatas atas kemauannya sendiri.
§ Berada di luar wilayah Negara
Republik Indonesia terus menerus dan telah melebihi batas waktu ijin masuk
kembali ke wilayah negara Republik Indonesia.
§ Dikenakan tindakan keimigrasian.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan, maka
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
a.
Pada prinsipnya warga negara asing tidak berhak memiliki hak atas tanah
yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria.
Namun, sesuai pasal 41 UUPA Jo pasal 39 PP No. 40 Tahun 1996, warga negara asing dan badan hukum asing
diperbolehkam memiliki hak atas tanah berupa hak pakai sesuai dengan keputusan ijin pemberiannya atau berdasarkan
perjanjian pemberian hak pakai itu.
b. Meskipun hak pakai yang diatur dalam UUPA
tidak secara jelas mengatur tujuan pemberian dan bentuk-bentuk kegiatan dari
pemberian hak pakai, maka menurut PP No
41 Tahun 1996, hak pakai dapat diberikan
sebagai alas rumah tempat tinggal yang dapat dimiliki oleh warga negara asing
dan badan hukum asing yang berkedudukan di Indonesia.
c. Hubungan hukum antara pemegang hak pakai dengan bangunan diatasnya menurut
PP No. 41 Tahun 1996, akan berakhir sesuai jangka waktu pemberian hak pakai atau menurut perjanjian jangka waktunya
telah berakhir, bila warga negara asing
tidak lagi berkedudukan atau bertempat tinggal di Indonesia atau tidak memiliki
dan memelihara kepentingan ekonomi di Indonesia. Bila jangka waktu berakhir
tanah hak pakai yang berasal dari negara, akan jatuh pada negara. Bila hak pakai berasal dari
perjanjian, maka tanah kembali kepada pemilik tanah, mengenai bangunan
diatas tanah hak pakai, bila hak itu
berakhir, maka akan dilakukan pembongkaran. Bangunan dan benda-benda diatas
tanah hak pakai akan diberikan ganti
kerugian.
2. Saran-Saran
a.
Meskipun sudah ada PP No 41 Tahun 1996 yang mengatur kepemilikan rumah
tempat tinggal bagi warga negara asing yang berkedudukan di Indonesia, tetapi
masih perlu diperjelas mengenai hal-hal berkenaan dengan syarat berkedudukan atau
bertempat tinggal di Indonesia, serta bentuk-bentuk atau jenis-jenis kegiatan yang
bermanfaat untuk kepentingan pembangunan nasional. Kedua hal itu merupakan
persyaratan utama yang ditentukan pada pasal 1 ayat (1) (2) dari PP itu.
b.
Seiring dengan arus globalisasi di segala sektor kehidupan, termasuk juga kebutuhan akan rumah tempat
tinggal dan tempat kegiatan usaha baik bagi warga negara Indonesia maupun warga
negara asing atau badan hukum asing di Indonesia, dan dalam rangka menarik investasi penanaman
modal asing di Indonesia, perlu dipertimbangkan kemungkinan menjadikan hak
pakai dan bangunan diatasnya dibebani suatu hak tanggungan, demikian juga kemungkinan peralihan
hak pakai dan bangunan kepada pihak lain karena hibah atau wasiat, serta
peralihan hak lainnya sesuai peraturan perundangan agraria yang berlaku, melalui penggantian
produk hukum agraria yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan menyempurnakan ketentuan-ketentuan yang
lama atau membuat yang baru sesuai kebutuhan dan kondisi pertanahan, perumahan
dan permukiman penduduk yang ada saat ini dan bagi perkembangan untuk masa yang
akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Darus Badrulzaman, Mariam, Aneka
Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994.
Gautama, Sudargo, Tafsiran
Undang-Undang Pokok Agraria, Alumni, Bandung, 1981.
Halim, A. Ridwan, Sendi-Sendi Hukum
Hak Milik Kondominium, Rumah Susun Dan
Sari-Sari Hukum Benda, Puncak Karma, Jakarta, 2002.
Himpunan Peraturan
Perundang-Undangan Rumah Susun, Karya Gemilang, Jakarta, 2009.
Harsono, Boedi, Hukum Agaria
Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 2004.
_____________, Hukum Agraria Indonesia
Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi Dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta,
2003.
Noor, Aslan, Konsep Hak Milik Atas Tanah
Bagi Bangsa Indonesia, Mandur Jaya, Bandung, 2006.
S. W. Sumardjono, Maria, Alternatif
Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan
Bagi warga Negara Asing dan Badan
Hukum Asing, Kompas, Jakarta, 2007.
_______________, Tanah Dalam Presfektif Hak Ekonomi Sosial Dan
Budaya, Kompas, Jakarta, 2008.