Teori ini bersangkutan dengan Blood and Boden Theorie (Teori darah dan Tanah) oleh Kari Haushofer yang dianggap sebagai sendi bagi politik imperialisme Jerman, tetapi digunakan pula oleh kaum nasionalis di Asia, khususnya untuk membela cita-cita kemerdekaan, persatuan bangsa dan tanah air. Geopolitik mendasarkan diri pada faktor-faktor geografis sebagai suatu faktor yang konstan.
Paham kebangsaan yang dikembangkan atas dasar semangat kebangsaan, yang pada gilirannya berasal mula dari hadirnya kesadaran berbangsa, yang merupakan suatu fenomena baru dalam sejarah kehidupan manusia. Kesadaran akan adanya kesamaan bahasa yang kemudian dimaknai sebagai kesamaan asal-usul dari satu nenek moyang yang sama. Tatkala berkembang bersamaan dengan perkembangan ide dan proses territorialisasi dalam penataan kehidupan masyarakat, telah melahirkan keyakinan bahwa komunitas yang dapat diharapkan adalah kemampuannya untuk menjamin kesejahteraan dan keselamatan manusia di dunia hanyalah suatu komunitas politik yang dapat tegak dan berhasil mengintegrasikan satuan-satuan lokal yang beridentitas sama. Adapun kesamaan identitas dicari dari dan ditengarai oleh adanya kesamaan bahasa (yang bermakna sebagai kesamaan seketurunan).
Mengapa obsesi integrasi selalu ditemui di dalam setiap paham kebangsaan, apapun kadar dan versinya. Upaya integrasi ini dilakukan pertama-tama dengan menegaskan perbatasan-perbatasan fisik kawasan teritorial yang melambang kan adanya yurisdiksi dan kedaulatan yang harus diakui oleh siapapun, yang kemudian daripada itu harus dipertahankan dengan dan oleh kekuatan sentral yang kuat. Demi dipertahankannya dalam jangka panjang, integrasi itu harus diupayakan dengan mengefektifkan kekuasaan sentral itu untuk mempertinggi taraf kemakmuran bangsa dengan upaya-upaya yang eksploitatif, tapi juga produktif, baik intra territorial maupun ekstra territorial. Dari awal imperatif kebijakan inilah datangnya upaya modernisasi dan birokratisasi aparat pemerintahan.
Obsesi paham kebangsaan untuk selalu tanpa kompromi mempertahankan dan meningkatkan integrasi nasional seperti itu, berkonsekuensi pada terjadinya ekses otokratisme sentral pada gerak dinamisnya yang internal di satu pihak dan terjadi ekses imperialisme pada sisi gerak dinamisnya yang eksternal. Paham kebangsaan yang berkonduksi ke arah terjadinya otokratisme dan imperialisme yang demikian itulah yang menyebabkan terjadinya penjelajahan-penjelajahan bumi, akan tetapi juga akan terjadi peperangan antara negara-negara bangsa seperti yang terjadi di Eropah Barat pada abad keenam belas dan tujuh belas. Gambaran terhadap otokratisme yang berawal mula dari obsesi untuk memperoleh kejayaan nasional seperti yang terjadi dalam revolusi kemerdekaan Amerika Serikat 1776 dan revolusi kerakyatan Perancis 1779. Kedua revolusi tersebut membebaskan rakyat dari otokratisme sentral yang berlebihan dan sekaligus juga mereformasi paham dan praksis paham kebangsaan yang elitis dan eksploitatif itu menjadi paham baru yang tidak hanya lebih bernuansa demokratis, akan tetapi sesungguhnya juga makin berkembang paham humanistis.151
Tercatat dalam sejarah, bahwa kebangkitan kesadaran kebangsaan yang berlanjut ke paham kebangsaan dan dengan kuatnya menjadi motif politik bangsa barat untuk membangun negara bangsa, yang pada awalnya telah menyebabkan terjadinya pemisahan antara negara dan gereja (agama).Namun demikian nyatalah dalam sejarah itu pula bahwa imperialisme yang lahir sebagai anak paham kebangsaan di negeri barat itu, dan juga diwarnai oleh konsep keagamaan kaum universalis. Ada dua model yang dipraktekkan dalam kebijakan untuk membangun oleh kekuasaan nasional barat berkenaan dengan perlakuan terhadap negara jajahan, yaitu :
1. Model asimilatif sebagaimana yang dilaksanakan bangsa Spanyol dan Portugis yang selalu bekerja untuk mengefektifkan Portugislisasi atau Spanyolisasi terhadap anak-anak pribumi di negara jajahan yang dilakukan secara total sehingga anak-anak negeri pribumi tanah jajahan tidak lagi mempunyai pilihan kecuali mengadopsi agama, bahasa, hukum dan boleh dibilang seluruh tatalaku Spanyol dan Portugis.
2. Model integratif sebagaimana dipraktekkan oleh bangsa Belanda, Inggris dan Jerman yang menyatukan daerah jajahan sebagai bagian dari usaha mengkorporasikan daerah-daerah jajahan ke dalam satu kesatuan imperium dan anak-anak negeri jajahan dibiarkan tertahan dalam lingkungan identitas budayanya sendiri.
Membangun sebuah imperium melalui model apapun, asimilatif ataupun integratif sesungguhnya sebagai suatu upaya membangun satu kesatuan kehidupan yang wujudnya akan berlanjut sebatas eksistensinya sebagai satu kesatuan atau satu produk penyatuan yang ekonomis dan politik atas dasar paham kebangsaan. Problem yang mengedepan di sini adalah berada di ranah sosial budaya. Di sini tidaklah ada masalah kemajemukan atau keragaman bahasa, tradisi dan berbagai aspek budaya lainnya yang harus diatasi entah melalui kebijakan dan proses asimilasi atau melalui kebijakan dan proses integrasi.
Imperium-imperium yang dibangun atas dasar paham kebangsaan barat yang klasik, namun tidak jarang vulgar yang pada akhirnya terintegrasi ke dalam berpuluh-puluh satuan komunitas politik yang masing-masing memaklumkan diri sebagai negara-negara bangsa baru yang merdeka. Kegagalan bangsa-bangsa barat bukanlah disebabkan karena paham kebang-saannya yang salah tetapi kegagalan itu bermula dari suatu prasangka, bahwa dalam kehidupan yang majemuk itu ada agama, kekayaan budaya dan atau tradisi ras, bangsa atau suku bangsa tertentu yang lebih superior dari yang lain.