Dalam ilmu hukum, hubungan hukum diartikan sebagai hubungan yang menimbulkan akibat hukum. Hubungan hukum meliputi: subyek, obyek, tindakan, kewenangan, hak dan kewajiban, yang dapat berlaku secara timbal balik atau sebaliknya.
Secara keperdataan, tanah disebut sebagai obyek hukum, sedangkan perorangan, masyarakat, dan negara sebagai subyek hukum. Dalam hukum pertanahan, tanah disebut obyek hak, sedangkan perorangan, masyarakat, dan negara disebut subyek hak.
Bangsa adalah sebagai subyek hukum, dalam hubungan dengan tanah bahwa bangsa belum tentu menjadi subyek hak atas tanah, karena subyek hak atas tanah harus memenuhi ketentuan-ketentuan hukum pertanahan. Kedudukan manusia sebagai subyek hukum, menjadi penting karena hukum berasal dari, oleh, dan untuk manusia. Manusia adalah asal dari hukum dan sekaligus menentukan bentuk dan isi dari hukum tersebut. Secara serta merta sebagaimana dipahami oleh orang pada zaman Romawi, manusia merupakan subyek dalam hukum dan sekaligus merupakan subyek hukum. Artinya disatu sisi manusia menentukan hukum apa yang dibuatnya dan bagaimana dia akan memperlakukan hukum itu, dan di-sisi lain, dia juga menentukan kedudukan yang bagaimana yang akan diambilnya terhadap pilihan hukum yang dibuatnya. Hal inilah yang menyebabkan, mengapa persoalan utama yang muncul dalam hukum adalah subyek hukum.
Sejak zaman purba, persoalan subyek hukum selalu menjadi perdebatan, mengenai siapa yang memenuhi kualifikasi untuk menjadi subyek hukum, sehingga berkembang beragam pertanyaan, siapakah yang dapat dianggap sebagai subyek hukum. Jika, semua orang dapat menjadi subyek, apakah anak-anak yang di bawah umur mempunyai kapasitas untuk melakukan perbuatan hukum. Jika tidak, siapakah yang mempunyai kewenangan untuk mewakilinya. Dalam kenyataan, tidak hanya orang sebagai subyek hukum yang melakukan perbuatan hukum. Sering kali pemerintah melakukan perbuatan hukum, yang justru tidak boleh dilakukan oleh warga negara pada umumnya. Mengapa demikian dan seberapa jauh tindakan itu dapat dibenarkan.
Persoalan subyek hukum, pertama kali dikaji secara sistematik pada hukum Romawi. Kekaisaran Romawi yang mengandalkan administrasi negara yang efektif dan efisien, menghadapi kenyataan bahwa negara itu mempunyai penduduk yang beraneka ragam, terutama dibedakan antara bangsa Romawi sebagai bangsa yang berkuasa dan karena itu merupakan warga negara, serta penduduk dari wilayah yang ditaklukkan. Penduduk yang ditaklukan itu dibedakan lagi antara mereka yang mendapatkan hak untuk menjalankan transaksi hukum dar mereka yang tidak mempunyai hak yang demikian. Terjadi juga zaman Hindia Belanda, yang membedakan pemberlakuan hukum atas tiga golongan, yaitu: Eropah, Timur Asing, dan Bumiputra. Untuk golongan Eropah dan Timur Asing berlaku hukum perdata barat (Burgerlijk Wetboek), sedangkan golo-ngan Bumiputra berlaku hukum adat.