a. Arti pembagian kekuasaan.
Pengertian pembagian kekuasaan adalah berbeda dari pengertian pemisahan kekuasaan. Pemisahan kekuasaan berarti bahwa kekuasaan negara itu terpisah-pisah dalam beberapa bagian, baik mengenai orangnya maupun mengenai fungsinya. Kenyataan menunjukkan bahwa suatu pemisahan kekuasaan yang mumi tidak dapat dilaksanakan seperti yang akan diuraikan di bawah ini. Karena itu pilihan jatuh kepada istilah pembagian kekuasaan yang berarti bahwa kekuasaan itu memang dibagi-bagi dalam beberapa bagian, tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa kon-sekwensi bahwa di antara bagian-bagian itu dimungkinkan adanya kerja sama.
Teori pembagian kekuasaan ini lahir di Eropa Barat sebagai reaksi terhadap kekuasaan raja yang absolut dan di satu pihak bertujuan untuk mencegah bertumbuhnya kekuasaan di tangan satu orang, sedangkan di lain pihak agar terdapat jaminan terhadap hak-hak azasi dari rakyat.
b. Beberapa teori tentang pemisahan/pembagian kekuasaan.
Berbicara mengenai teori pemisahan kekuasaan, maka nama yang pertama yang harus dicatat adalah John Locke dalam bukunya ”Two Trities on Civil Government”, di mana dalam bab XII yang berjudul ”0f the Legislatife, Executive and Federative Power of the Commonwealth’ dia mengatakan bahwa dalam suatu negara kekuasaan-kekuasaan dibagi tiga yaitu legislatif, eksekutif dan federatif. Kekuasaan legislatif berarti kekuasaan untuk membuat Undang-Undang, eksekutif berarti kekuasaan untuk melaksanakan Undang-Undang, sedangkan federatif adalah kekuasaan yang meliputi kekuasaan mengenai perang dan damai, membuat perserikatan dan alkansi serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan di luar negeri.
Adanya kekuasaan federatif yang mempunyai kekuasaan yang banyak hubungannya dengan negara lain, disebabkan karena negara Inggeris pada waktu itu mempunyai banyak jajahan.
Dengan diilhami oleh pendapat John Locke, Montesquieu dalam bukunya ”L ’Esprit des Lois” mengemukakan bahwa dalam setiap pemerintahan terdapat tiga jenis kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Kekuasaan eksekutif sama seperti John Locke diartikan sebagai kekuasaan yang menjalankan Undang-Undang, hanya berbe da dengan John Locke kekuasaan yudikatif merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan bukan bagian dari eksekutif seperti John Locke. Legislatif adalah kekuasaan membuat Undang-Undang, gama halnya dengan John Locke, sedangkan kekuasaan untuk mengadili dilaksanakan oleh kekuasaan yudikatif. Dari uraian itu maka kelihatan bahwa Montesquieu tidak menempatkan kekuasaan federatif sebagai kekuasaan yang berdiri sendiri, tetapi merupakan hagian dari eksekutif. Selanjutnya Montesquieu mengatakan bahwa ketiga kekuasaan itu masing-masing terpisah satu sama lain, haik mengenai orangnya maupun fungsinya.
Adalah tidak mungkin untuk melaksanakan teori Trias Politi-ca semurni yang dimaksudkan oleh Montesquieu, karena praktek ketatanegaraan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa pembuatan Undang-Undang yang seharusnya merupakan tugas legislatif saja, eksekutif juga telah diikut sertakan. Keadaan ini sudah merupakan tuntutan zaman, sebab dalam kenyataannya eksekutiflah yang mempunyai banyak tenaga ahli, jika dibandingkan dengan legislatif, dan dalam beberapa hal karena pengalaman dan banyaknya data-data yang diperlukannya, maka eksekutif pulalah yang mempunyai fasilitas yang cukup untuk memikirkan dan menyusun suatu rancangan Undang-Undang.
Rahkan Amerika Serikat yang oleh banyak sarjana disebut sebagai satu-satunya negara yang ingin menjalankan teori Trias Politiea, dalam kenyataannya mempraktekkan sistim saling mengawasi dan saling mengadakan perimbangan antara kekuasaan-kekuasaan negara (check and balance system), sehingga akibatnya teori Trias Politics itu tidak dipraktekkan dengan mumi. Sistim check and balance tersebut dimaksud agar ketiga badan (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, yang masing-masing dijalankan oleh Presiden, Kongres dan Mahkamah Agung) itu tidak menjalankan Kekuasaannya melebihi atau kurang dari masing-masing kekuasaan yang ditentukan oleh Konstitusi. Sistim ini juga banyak dipengaruhi oleh bentuk negara Amerika Serikat yang federalist. Apabila ternyata Kongres membuat suatu rancangan Undang-Undang yang menurut penilaian Presiden akan mengurangi kekuasaannya, maka Presiden berhak memveto rancangan Undang-Undang tersebut, dan hak veto ini hanya tidak mampu lagi apabila Kongres dikuasai oleh 2/3 dari partai lawan Presiden, atau didukung oleh 2/3 dari anggauta Kongres. Agar Kongres dan tidak membuat Undang-Undang yang bertentangan dengan Konstitusi, maka kepada Mahkamah Agung juga diberikan hak menguji materiil (Judicial review). Di samping itu Mahkamah Agung dapat membatalkan tindakan eksekutif apabila menurut penilaian Mahkamah Agung, Presiden tidak berhak mengambil tindakan tersebut,
Adanya hak veto dari Presiden sebenarnya sudah mengurangi pelaksanaan dan teori Trias Politica secara mumi, karena di sini wewenang untuk menetapkan Undang-Undang oleh legislatif sudah dikurangi. Demikian pula halnya dengan kekuasaan Mahkamah Agung daiam bidang yudicial review dan untuk membatalkan tindakan Presiden, menempatkan Mahkamah Agung lebih tinggi dari dua kekuasaan lainnya. Karena itulah Mahkamah Agung di Amerika Serikat dinamakan Supreme Court; jadi yang supreme bukan Presiden, bukan Kongres melainkan Mahkamah Agung. Hal ini juga telah mengurangi prinsip Trias Politica, karena ketiga kekuasaan tersebut tidak lagi sederajat, tetapi Mahkamah Agung telah ditempatkan pada tempat yang lebih tinggi.
Berdasarkan keterangan di muka, untuk menilai apakah suatu Undang-Undang Dasar itu menganut pemisahan atau pembagian kekuasaan lebih tepat dipergunakan teori yang dikemukakan oleh Ivor Jennings. Teori Ivor Jennings dapat pula dikatakan sebagai sanggahan terhadap teori Trias Politica dari Montesquieu, yang didasarkan kepada kenyataan — khususnya di Inggeris —, bahwa dalam pembuatan Undang-Undang eksekutif ikut serta.
Ivor Jennings dalam bukunya ’The Law and the Constitution” mengatakan bahwa pemisahan kekuasaan (separation of pwers) dapat dilihat dari sudut materiil dan formil. Pemisahan kekuasaan dalam arti materiil berarti bahwa pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam tugas-tugas kenegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu dalam tiga bagian, legislatif, eksekutif dan yudikatif. 135) Hal ini dikatakan pelaksanaan dari teori Trias Politica dari Montesquieu secara konsekwen. Dan dalam pembagian seperti di atas dapatlah disebutkan pemisahan kekuasaan. Sebaliknya apabila pembagian kekuasaan tidak dipertahankan secara tegas, maka disebut pemisahan kekuasaan dalam arti formil. 136) Hal ini dapatlah dinamakan dengan pembagian kekuasaan. Jadi kalau dalam Undang-Undang Dasar suatu negara dari ketiga kekuasaan yang dibagi itu ternyata dalam kenyataannya tidak terdapat pemisahan kekuasaan, karena umpamanya Undang-Undangnya dibuat oleh Eksekutif dan Legislatif, maka Undang-Undang Dasar tersebut dikatakan menganut azas pembagian kekuasaan.
Dari uraian di muka jeiaslah bahwa dalam bidang eksekutif dan legislatif tidak lagi dianut prinsip Trias Politica atau Sepera-tion of power dalam arti materiil, karena pada masa sekarang ternyata di banyak negara tugas utama dari legislatif untuk membuat Undang-Undang, mengikut sertakan fihak eksekutif di dalam pembuatannya. Namun demikian tidak berarti bahwa dalam bidang yudikatif prinsip tersebut tidak perlu dianut lagi, sebab bagaimanapun tujuan dari pembagian kekuasaan adalah mencegah bertumpuknya kekuasaan di tangan satu orang, dan lebih ditingkatkan lagi jaminan terhadap hak-hak azasi manusia, maka adanya suatu badan yudikatif tidak lain adalah untuk terlaksananya jaminan.