BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasrakan uraian yang telah dipaparkan
di atas maka penulis mengambil kesimpulan bahwa:
1. Latar
belakang mengenai kriminalisasi tindak pidana santet ialah, pertama pertimbangan meng-kriminalisasi-kan suatu
perbuatan (khususnya yang berhubungan dengan masalah persantetan) ialah
perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan praktik persantetan itu termasuk
perbuatan yang dipandang sangat tercela/membahayakan/merugikan kehidupan
bermasyarakat atau tidak. Di zaman Majapahit dan dalam lingkungan masyarakat
adat hal ini merupakan sebuah delik. Bahkan seperti yang dikemukakan di atas
mengenai santet/tenung di masa Majapahit merupakan kejahatan yang berat yang
pantas diancam dengan pidana mati. Keadaan sekarang memang tidak sama dengan
masa lalu. Sehingga alasan itulah yang menjadi pertimbangan untuk
meng-kriminalisasi-kan permasalaha tindak pidana santet ini.
Kedua, karena secara
filosofi santet diakui dan dipercaya keberadaannya di masyarakat, dan
menimbulkan keresahan, namun tidak dapat dicegah dan diberantas melalui hukum
karena kesulitan dalam hal pembuktiannya. Dengan alasan tersebut maka perlu
dibentuk tindak pidana baru mengenai santet yang sifatnya mencegah agar
perbuatan tersebut tidak terjadi.
2. Pada
hakikatnya ketiga sistem hukum ini sama-sama mempunyai aturan yang mengatur
mengenai perumusan tindak pidana santet ini:
Untuk Indonesia
sendiri tindak pidana santet diatur dalam RUU KUHP, walaupun kenyataannya
demikian, tapi dalam RUU KUHP mengenai santet sendiri masih ada beberapa
kekurangan, serta yang disayangkan para pembuat undang-undag/legislative sampai
saat ini sudah hamper setengah abad belum saja merampungkan RUU KUHP yang sekarang
masih terus digodog.
Untuk Papua New
Guinea senidri sudah lama sekali mempunyai aturan mengenai tindak pidana sihir
ini yaitu terdapat pada Bab 274 tentang Undang-Undang Sihir Tahun 1971. Serta
jenis-jenis tindak pidana sihir ini pun sudah diatur. Indonesia sampai saat ini
hanya mempunyai aturan yang berupa RUU saja.
Untuk Hukum Islam
sendiri mengenai ketentuan tentang sihir ini merupakan hukum yang mengatur
samapi ke detail-detailnya, elas
hukum syariat Islam sebagai hukum Allah Yang Maha Kuasa sangat bisa mengatasi
kejahatan santet, sihir, teluh, atau apapun namanya untuk melindungi
keselamatan jiwa dan menjaga ketertiban masyarakat.
B.
Saran
1. Kepada
pembuat undang-undang/legislative diharapkan segera merampungkan dan
mengesahkan RUU KUHP ini, soalnya bagaimanapun juga RUU KUHP ini merupakan
aturan umum yang mengatur segala sesuatu mengenai tindak pidana. Agar khususnya
mengenai tindak pidana santet bisa dicegah dan ditanggulangi apabila aturannya
sudah berlaku.
2. Diharapkan
juga kelemahan-kelamahan khsususnya dalam rumusan tindak pidana santet
diperbaiki dan disesuaikan dengan kebutuhan.
3. Lebih perlu lagi, seluruh pasal dalam RUU
KUHP khususnya mengenai sihir, santet atau yang semisalnya distandarisasi oleh
para ulama ahli syariah dengan hukum syariat Allah yang Maha Tahu cara
mengatasi seluruh masalah manusia.
4. Untuk
anggota DPR ketika melakukan studi banding, maka menurut hemat penulis syariat
hukum islam lah yang harus dijadikan studi banding, dalam hal ini studi banding
ke Negara-negara yang sudah menggunakan syariat islam dalam aturan mengenai
tindak pidananya, jangan studi banding ke Eropa, sehingga menghabiskan anggaran
saja.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku-buku
B.
Internet
Bahaya
Laten Santet, http://surabaya.okezone.com/read/2013/04/17/524/792828/bahaya-laten-santet//
Soal
Hap Sihir, http://samardi.wordpress.com/2013/06/05/soal-hap-sihir/.
Hukum
Syariah tentang Santet Perlu Masuk KUHP, http://www.suara-islam.com/read/index/6963/Hukum-Syariah-tentang-Santet-Perlu-Masuk-KUHP