BAB III
KESIMPULAN
A.
Pemerkosaan
diperhitungkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Pasal 5 (g) dari
Statuta ICTY dan Pasal 3 (g) dari Statuta ICTR. Statuta Roma juga persis
mendaftarkan pemerkosaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Pasal 7
(g); meski demikian, Statuta Roma melangkah lebih jauh dan juga menyatakan
bahwa perbudakan seksual, pelacuran paksa, kehamilan, serilisasi paksa, atau
bentuk kekerasan seksual lainnya dalam taraf yang sebanding juga merupakan
kejahatan terhadap kemanusiaan. Pengadilan-pengadilan ad hoc telah mengakui hal
ini dan tindak kekerasan seksual lainnya dalam kategori “tindakan tidak
manusiawi lainnya” dari kejahatan terhadap kemanusiaan. Di satu sisi Pemerkosaan
juga adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang lelaki terhadap
seorang perempuan dengan cara yang menurut moral dan atau hukum yang berlaku
melanggar.
Dalam
Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
menyebutkan bahwa: Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 huruf g, h, atau i dipidana dengan pidana penjara paling lama 20
(dua puluh) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.
Kemudian
sanksi bagi pelaku pemerkosaan dalam Pasal 285 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana) telah disebutkan “Barang siapa dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar
perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun
B.
Baik dalam Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 Tentang Pengadilan Haks asasi manusia maupun di KUHP bentuk
perlindungan yang diberika bagi korban kejahatan genosida maupun kejahatan
kemanusiaan yaitu berupa pemberian restitusi kompensasi, konseling,
pelayanan / bantuan medis, bantuan hukum, pemberian informasi, rehabilitasi.