BAB II
PEMBAHASAN
A. Penerapan Sanksi Terhadap
Pelaku Kejahatan Berupa Pemerkosaan di Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
Tentang Pengadilan Hak Asasi manusia dan KUHP Di Indonesia.
Bassiouni
telah menetapkan 22 jenis tindak pidana Internasonal (Internasional Crime). Kemudian Bassiouni mengkategorikan 7 jenis
kejahatan sebagai kejahatan yang signifikan kedudukannya. Ketujuh jenis
kejahatan Internasional ini adalah :
a.
War crime (kejahatan
perang);
b.
Unlawful use weapons
(penyalahgunaan senjata api);
c.
Crimes against humanity
(kejahatan terhadap kemanusiaan);
d.
Genocide (kejahatan
pembasmian etnis tertentu berdasarkan ras dan agama);
e.
Rasial diskriminasi dan
apartheid;
f.
Slavery (perbudakan) dan
related crimes (dan kejahatan yang berkaitan dengan perbuadadkan);
g.
Torture (penyiksaan).
Pemerkosaan
diperhitungkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Pasal 5 (g) dari
Statuta ICTY dan Pasal 3 (g) dari Statuta ICTR. Statuta Roma juga persis
mendaftarkan pemerkosaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Pasal 7
(g); meski demikian, Statuta Roma melangkah lebih jauh dan juga menyatakan
bahwa perbudakan seksual, pelacuran paksa, kehamilan, serilisasi paksa, atau
bentuk kekerasan seksual lainnya dalam taraf yang sebanding juga merupakan
kejahatan terhadap kemanusiaan. Pengadilan-pengadilan ad hoc telah mengakui hal
ini dan tindak kekerasan seksual lainnya dalam kategori “tindakan tidak
manusiawi lainnya” dari kejahatan terhadap kemanusiaan.
Unsur-unsur
kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pemerkosaan menurut unsur-unsur ICC
adalah sebagai berikut :
1. Pelaku
menginvasi tubuh seseorang dengan tindakan yang menghasilkan penetrasi, sedalam
apa pun, pada bagian tubuh mana pun dari korban dengan organ seksual, atau
dengan membuka anus atau alat kelamin korban dengan objek apapun atau bagian
tubuh lain manapun.
2. Invasi
tersebut dilakukan dengan kekerasan, atau dengan ancaman kekerasan atau
paksaan, seperti yang disebabkan oleh ketakutan akan kekerasan, paksaan, penahanan,
penindasan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan, terhadap orang tersebut
atau orang lainnya, atau dengan mengambil keuntungan dari lingkungan yang
memaksa, atau invasi dilakukan terhadap seseorang yang tidak mampu memebrikan
persetujuan ikhlas.
3. Tindakan
tersebut dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematis yang
diarahkan pada penduduk sipil.
4. Pelaku
mengetahui bahwa tindakan tersebut merupakan bagian dari atau memaksudkan
tindakan tersebut sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematis yang diarahkan pada penduduk
sipil.
Walaupun Indonesia belum meratifikasi
suatu konvensi internasional mengenai kejahatan internasioanal, sebenarnya
indonesia hanya mengadofsi beberapa kejahatan internasional di bawah kewenangan
ICC. Misalnya indonesia mengadofsi tentang kejahatan perang, kejahatan
genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana tercantum di dalam
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,
sebenarnya di adofsi dari pasal 5-6 Statuta Roma 1998 yang merupakan Statuta
Mahkamah Pidana Internasional yang hingga kini belum di ratifikasi oleh
Indonesia. Dengan pengadofsian dan pencantumannya sebagai ketentuan suatu
undang-undang, berarti substansi perjanjian internasional itu sudah secara
langsung masuk menjadi bagian dari undang-undang nasional negara yang
bersangkutan. Oleh karena itu secara sah sudah berlaku dan dengan demikian
dapat diterapkan terhadap orang yang diduga telah melanggarnya.
Dalam Pasal 7 dan 9 Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa :
Pasal
7 : Pelanggaran HAM yang berat meliputi :
a. kejahatan
genosiada
b. kejahatan
terhadap kemanusiaan,
Pasal
9 : kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah
salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas
atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditunjukkan secara
langsung terhadap penduduk sipil, berupa :
a. pembunuhan;
b. pemusnahan;
c. perbudakan;
d. pengusiran
atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. perampasan
kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang
melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f.
penyiksaan;
g. perkosaan,
perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan
atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang
setara;
h. penganiayaan
terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan kebangsaan, etnis, budaya,
agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal
sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
i.
penghilangan orang secara
paksa;
j.
kejahatan apartheid.
Bassiouni berpendapat bahwa tindakan atau
perbuatan yang memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai pelanggaran terhadap
kepentingan masyarakat bangsa-bangsa atau masyarakat Internasional atau “delicto jus gentium” dan memenuhi
persyaratan bahwa tindak pidana dimaksud memerlukan penanganan internasioanal
sehingga dengan demikian terhadap pelaku kejahatan dimaksud, setiap negara
berhak dan berkewajiban untuk menangkap, menahan dan menuntut, serta mengadili
pelaku kejahatan dimaksud dimana pun kejahatan itu dilakukan.
Dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa: Setiap orang
yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf g, h, atau i
dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling
singkat 10 (sepuluh) tahun.
Kemudian sanksi bagi pelaku pemerkosaan
dalam Pasal 285 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) telah disebutkan “Barang siapa
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh
dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun”.
Dalam ketentuan
Pasal 285 diatas terdapat unsur-unsur untuk membuktikan ada atau tidaknya
tindak pidana perkosaan, unsur-unsur yang dimaksud adalah sebagai berikut :
- Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan
- Memaksa seorang wanita
- Bersetubuh di luar perkawinan dengan dia (pelaku)
a)
Adanya kekerasan atau ancaman
kekerasan, artinya mempergunakan tenaga atau
kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan
tangan atau dengan segala senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya sampai
orang itu jadi pingsan atau tidak berdaya.
b)
Memaksa seorang wanita, artinya
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan iastrinya
bersetubuh dengan dia.
c)
Bersetubuh di luar perkawinan,
artinya peraduan antara kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan
untuk mendapatkan anak, jadi anggota kelamin laki-laki harus masuk ke anggota
kelamin perempuan, sehingga mengeluarkan mani dengan wanita yang bukan
istrinya.
B. Bentuk Perlindungan Hukum Yang
Diberikan Kepada Korban Pemerkosaan
Dalam hal
perlindungan korban kejahatan pemerkosaan ini. Perlindungan korban berupa
penggantian kerugian materiil dapat dituntut langsung kepada si pelaku
kejahatan. Akan tetapi terhadap penggantian kerugian immateriil , di beberapa
Negara (apabila pelaku orang yang tidak mampu) dibebankan kepada negara.
Adapun
tujuan dari perlindungan korban adalah sebagai berkut :
- Memberikan rasa aman kepada korban, khususnya
pada saat memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana;
- Memberikan dorongan dan motivasi kepada korban
agar tidak takut dalam menjalani proses peradilan pidana;
- Memulihkan rasa percaya diri korban dalam hidup
bermasyarakat;
- Memenuhi rasa keadilan, bukan hanya kepada korban
dan keluarga korban, tapi juga kepada masyarakat;
- Memastikan perempuan bebas dari segala bentuk
kekerasan;
- Menempatkan kekerasan berbasis jender sebagai
bentuk kejahatan yang serius dan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia;
- Mewujudkan sikap yang tidak mentolerir kekerasan
berbasis jender;
- Penegakan hukum yang adil terhadap pelaku
kekerasan terhadap perempuan (perkosaan).
Baik dalam
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Haks asasi manusia maupun
di KUHP bentuk perlindungan yang diberika bagi korban kejahatan genosida maupun
kejahatan kemanusiaan adalah sebagai berikut :
1.
Pemberian restitusi dan
kompensasi
2.
Konseling
3.
Pelayanan / bantuan medis
4.
Bantuan hukum
5.
Pemberian informasi
6.
Rehabilitasi
LANJUT BAB III
Pasal
285, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
http://ibelboyz.wordpress.com/2011/06/03/perlindungan-korban-perkosaan/