BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Terminologi
“crime against humanity” yang di Indonesia sudah digunakan secara
juridis-formal sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan – sudah digunakan secara
non-teknis pada tahun 1915, ketika pemerintah Perancis, Inggris dan Rusia
mengeluarkan sebuah Deklarasi (28 Mei 1915) yang mengutuk pembantaian warga
Amerika oleh Turki sebagai “kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban (crime
against humanity and civilation)”, dan semua aparat pemerintahan Turki
harus bertanggungjawab. Istilah ini kembali digunakan berkaitan dengan PD I,
dimana komisi 15 Negara yang dibentuk pada januari 1919 untuk menyelidiki
kejahatan perang yang terjadi dalam laporannya menyebut kejahatan terhadap “laws
of humanity”, disamping kejahatan perang (war crime). Tetapi penggunaan
istilah tersebut dibatalkan oleh anggota Komisi 15 dari Amerika Serikat dengan
alasan bahwa pengadilan hanya dapat menerapkan hukum yang berlaku, bukan
gambaran umum tentang hukum dan prinsip-prinsip kemanusiaan (principles of
humanity) yang merupakan bagian dari ranah hukum moral.
Konferensi
Dunia tentang Hak Asasi Manusia di Wiena pada tahun 1993 mengembangkan satu
perspektif yang lebih luas atas hak asasi manusia, dan akibatnya juga pada
pelanggaran hak asasi manusia. Pengakuan kuat atas hak asasi manusia yang
terdiri dari hak-hak sipil, budaya, ekonomi, politik dan social yang tidak bisa
dipilah-pilah, saling berkaitan dan saling bergantungan juga ditujukan pada
tanggung jawab dari berbagai pelaku swasta, bukan hanya negara. Indonesia
nampak menerima perspektif yang lebih luas itu, sebagaimana yang terlihat dari arti
pelanggaran hak asasi manusia yang diberikan oleh UU. No. 39/1999 membandingkan
arti itu dengan arti tindakan kejahatan, yaitu: Satu tindakan kejahatan
(kriminal) adalah satu tindakan atau tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
seseorang atau lebih yang bersifat melukai atau merusak masyarakat dan telah
dilarang oleh hukum domestik negara. Pelanggaran HAM di Indonesia billah Komnas
HAM Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau
kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja
atau kelalaian yang secara melawan hak hukum, mengurangi, menghalangi,
membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang
yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak mendapat, atau dikhawatirkan
tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan
mekanisme hukum yang berlaku.
Saat ini
tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang cukup mendapat perhatian di
kalangan masyarakat. Sering di koran atau majalah diberitakan terjadi tindak
pidana perkosaan. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak pidana ini
sudah ada sejak dulu, atau dapat dikatakan sebagai suatu bentuk kejahatan
klasik yang akan selalu mengikuti perkembangan kebudayaan manusia itu sendiri,
ia akan selalu ada dan berkembang setiap saat walaupun mungkin tidak terlalu
berbeda jauh dengan sebelumnya. Tindak pidana perkosaan ini tidak hanya terjadi
di kota-kota besar yang relatif lebih maju kebudayaan dan kesadaran atau
pengetahuan hukumnya, tapi juga terjadi di pedesaan yang relatif masih memegang
nilai tradisi dan adat istiadat.
Masalah
perlindungan terhadap korban perkosaan selalu menjadi permasalahan yang menarik
untuk dicermati, karena masalah perlindungan terhadap korban perkosaan tidak
hanya berkaitan dengan pemberian perlindungannya saja, akan tetapi berkaitan
dengan hambatan yang dihadapi. Tidak mudah untuk memberikan perlindungan
terhadap korban perkosaan karenaada beberapa faktor yang jadi penghambat.
Faktor
korban berperan penting untuk dapat mengatasi atau menyelesaikan kasus
perkosaan ini, hal ini memerlukan keberanian dari korban untuk melaporkan
kejadian yang menimpanya kepada polisi, karena pada umumnya korban mengalami
ancaman akan dilakukan perkosaan lagi dari pelaku dan hal ini membuat korban
takut dan trauma. Diharapkan dari pengaduan ini, maka kasusnya dapat terbuka
dan dapat dilakukan proses pemeriksaan sehingga korban akan memperoleh keadilan
atas apa yang menimpa dirinya.
B.
Identifikasi
Masalah
Dalam penulisan makalah ini tentulah
penulis memiliki beberapa perumusan masalah guna meminimalisir keraguan atau
pelebaran masalah. Perumusan masalah ini, yakni sebagai berikut :
1. Bagaimana
penerapan sanksi terhadap pelaku kejahatan berupa pemerkosaan di dalam Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak asasi manusia dan KUHP di Indonesia
?
2. Apa
saja bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada korban pemerkosaan tersebut
?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun Tujuan dari penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui,
memahami dan menganalisa penerapan sanksi terhadap pelaku
kejahatan berupa pemerkosaan di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak asasi manusia dan KUHP di Indonesia.
2. Apa
saja bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada korban pemerkosaan tersebut?