BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Perkembangan Pemasyarakatan Di Indonesia
Bentuk perkembangan Permasyarakatan berhubungan erat
dengan bentuk tujuan pemidanaan. Dalam perkembangan tujuan pemidanaan, muncul
beberapa teori-teori mengenai tujuan pemidanaan.
Ada tiga
golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana :
1.
Teori Relatif atau tujuan (
doeltheorien )
Teori ini
mencari mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan
akibatnya, yaitu untuk mencegah terjadinya kejahatan.Pidana ini biasanya
membuat seseorang takut, memperbaiki atau membinasakan. Bentuk tertua pencegahan
umum dipraktekkan sampai revolusi Prancis, biasanya dilakukan dengan menakuti
orang lain dengan jalan pelaksanaan pidana yang dipertontonkanan, kadang-kadang
pelaksanaan pidana yang telah diputu kan itu dipertontonkan didepan umum dengan
sangat ganasnya agar supaya anggota masyarakat ngeri melihatnya yang akhirnya
muncul sebutan adogium latin ( neon prudens punit,quia peccantum, sed net
peccetur ) supaya kalayak ramai betul-betul takut melakukan kejahatan, maka
perlu pidana yang ganas dan pelaksanaannya didepan umum.
2.
Teori Absolut atau teori pembalasan
( vergeldingstheorien )
Teori ini
muncul pada akhir abad ke 18 dianut antara lain oleh imanuel kant, Hegel,
Herbart, para sarjana yang mendasarkan teorinya pada filsafat katolik dan para
sarjana hukum islam yang mendasarkan teorinya pada ajaran Al-quran. Teori
absolut mengatakan bahwa pidana tidak lah bertujuan untuk yang praktis, seperti
memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur- unsur
untuk dijatuhkan pidana, pidana secara mutlak ada karena dilakukan suatu
kejahatan. Tidak perlu memikirkan manfaat menjatuhkan pidana itu karena setiap
kejahatan harus berakibat dijatuhkan pidana pada pelanggaran.
Oleh karena itu teori ini disebut teori absolut karena pidana merupakan tuntutan
mutlak bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan,
hakikat suatu pidana adalah pembalasan.
3.
Teori gabungan (
verenigingsthrorien)
Teori
gabungan antara pembalasan dan pencegahan beragam pula, ada yang menitik
beratkan pada pembalasan, ada pula yang ingin agar unsur pembalasan dan
prefensi seimbang.
a.
Menitik beratkan pada unsur
pembalasan dianut antara lain oleh Pompe,
Pompe mengatakan orang tidak boleh menutup mata pada pembalasan. Memang
pidana dapat dibedakan dengan saksi-saksi lain tetapi tetap ada cirri-cirinya,
tetap tidak dapat dikecilkan artinya bahwa pidana adalah suatu saksi dan dengan
demikian terikat dengan tujuan saksi-saksi itu. Dan karena itu hanya akan
diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah dan berguna bagi
kepentingan umum.
Van Bemmelan pun menganut teori gabungan dengan mengatakan : pidana
bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat, tindakan bermaksud
mengamankan dan memelihara tujuan jadi pidana dan tindakan keduanya bertujuan
mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana kedalam kehidupan masyarakat.
Grotius mengembangkan teori gabungan yang menitik beratkan keadilan
mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarakat.
Dasar tiap- tiap pidana ialah penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya
perbuatan yang dilakukan oleh terpidana,Tetapi sampai batas mana beratnya
pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat diukur,
ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat.
Teori yang dikemukikan oleh Grotius dilanjutkan oleh Rossi dan kemudian
Zevenbergen yang mengatakan bahwa makna tiap-tiap pidana ialah pembalasan
tetapi maksud tiap-tiap pidana ialah melindungi tata hukum. Pidana
mengembalikan hormat terhadap hukum dan pemerintah.
b.
Teori gabungan yaitu yang
menitikberatkan pertahanan tata tertib masyarakat.
Teori ini tidak boleh lebih berat
daripada yang ditimbulkannya. Dan gunanya juga tidak boleh lebih besar dari
pada yang seharusnya.Pidana bersifat pembalasan karena ia hanya dijatuhkan
terhadap delik – delik, yaitu perbuatan yang dilakukan secara sukarela.
Pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan. Tujuan pidana adalah
melindungi kesejahteraan masyarakat.
Dalam rancangan KUHP nasional telah diatur tentang
tujuan penjatuhan pidana yaitu :
1)
mencegah dilakukannya tindak pidana
dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.
2)
mengadakan koreksi terhadap
terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang yang baik dan berguna.
3)
menyelesaikan konflik yang
ditimbulkan olah tindakan pidana memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa
damai dalam masyarakat.
4)
membebaskan rasa bersalah pada terpidana (
pasal 5 ).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang tercantum
dalam rancangan KUHP tersebut merupakan penjabaran teori gabungan dalam arti
yang luas. Ia meliputi usaha prefensi, koreksi kedamaian dalam masyarkat dan
pembebasan rasa bersalah pada terpidana ( mirip dengan expiation ).
Pembinaan
Narapidana di Indonesia secara konstitusional dikenal sejak berlakunya Reglemen
Penjara (Gesichten Reglement 1917 Nomor 708) yang dibuat oleh pemerintah
kolonial Belanda sebagai realisasi ketentuan pidana penjara yang terkandung
dalam Pasal 10 KUHP.
Sistem pemenjaraan ini sangat menekankan unsur pembalasan semata terhadap
pelaku tindak pidana agar pelaku tindak pidana jera. Kesan pembalasan yang
menjiwai peraturan kepenjaraan telihat dari ketidakjelasan arah dan tujuan yang
hendak dicapai dari penjatuhan pidana. Selain itu juga terlihat dari adanya
kewajiban narapidana untuk mengikuti pekerjaan baik didalam maupun diluar
penjara. Institusi yang digunakan pada sistem pemenjaraan adalah rumah penjara
bagi narapidana dan rumah pendidikan negara bagi anak yang bersalah.
Pola pembinaan
narapidana mengalami pembaharuan sejak dikenal gagasan pemasyarakatan yang
dikemukakan oleh Sahardjo, pada pidato penerimaan gelar Doktor Honoris Causa
dalam bidang ilmu hukum dari Universitas Indonesia tanggal 5 Juli 1963. Dalam pidatonya
beliau memberikan rumusan dari tujuan pidana penjara sebagai berikut :
a.
Tujuan
dari pidana penjara disamping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena
hilangnya kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana bertobat, mendidik supaya
ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna.
b.
Tujuan
dari pidana penjara adalah pemasyarakatan.
Sistem kepenjaraan dan sistem
pemasyarakatan perbedaannya terletak pada asas tujuan dan pendekatan yang
melandasi tata perlakuan (pembinaan) terhadap para narapidana.
No.
|
Perbedaan
|
Sistem Kepenjaraan
|
Sistem Pemasyarakatan
|
1.
|
Asas
|
Titik berat pada pembalasan, memberikan derita kepada
pelanggar hukum.
|
Pancasila (falsafah negara).
|
2.
|
Tujuan
|
Supaya pelanggar hukum menjadi jera, masyarakat dilindungi
dari perbuatan jahatnya.
|
Disamping melindungi masyarakat, juga membina narapidana
agar selama dan terutama setelah selesai menjalani pidananya ia dapat menjadi
manusia yang baik dan berguna.
|
3.
|
Pendekatan
|
Pendekatan keamanan dan pengasingan dari masyarakat secara
penuh.
|
Pendekatan keamanan melalui tahap maksimum, dan minimum security dan dilakukan pula pendekatan
pembinaan (treatment approach) di
dalam maupun diluar lembaga pemasyarakatan dengan menerapkan metode kekeluargaan.
|
Dalam sistem pemasyarakatan,
narapidana dipandang sebagai manusia yang memiliki fitrah kemanusiaan, itikad
dan potensi positif yang dapat digali dan dikembangkan dalam rangka pembentukan
manusia Indonesia seutuhnya, jadi berlainan dengan sistem kepenjaraan yang
semata-mata bersifat balas dendam dan penjelasan terhadap narapidana.
Dalam sistem pemasyrakatan
dimaksudkan sebagai suatu proses pembinaan narapidana yang bertujuan untuk
membina narapidana dalam arti menyembuhkan seseorang yang sementara tersesat
hidupnya karena ada kelemahan-kelemahan yang dimilikinya. Disamping itu juga
mereka dapat menjadi manusia seutuhnya bagaimana telah menjadi arah pembangunan
nasional, hal ini sesuai dengan tujuan dan fungsi sistem pemasyarakatan (Pasal
2 dan 3 Undang-undang tentang Pemasyarakatan No. 12 tahun 1995) yaitu :
a.
Dalam rangka membentuk warga binaan sistem pemasyarakatan
(antara lain narapidana) agar menjadi manusia seutuhnya menyadari kesalahan,
memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga diterima kembali
oleh lingkungan masyarakat, dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang
baik dan bertanggung jawab.
b.
Menyiapkan warga binaan pemasyarakatan (antara lain
narapidana) agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat yang bebas
dan bertanggung jawab.
c.
Mampu menempatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
B. Pengertian,
Tujuan, dan Fungsi Pemasyarakatan
Lembaga
Pemasyarakatan (disingkat LP atau Lapas) adalah tempat untuk melakukan pembinaan
terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan di Indonesia, tempat
tersebut disebut dengan istilah penjara.
Eksistensi
pemasyarakatan sebagai instansi penegakan hukum telah diatur secara tegas di
dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dalam pasal 1
ayat (1) menyatakan bahwa:
“Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk
melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan
dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam
tata peradilan pidana.”
Sedangkan dalam Pasal 1 butir 2 Bab
I Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang
dimaksud dengan Sistem Pemasyarakatan adalah:
“Suatu tatanan mengenai arah dan
batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila
yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat
untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari
kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat
diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam
pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan
bertanggungjawab.”
Tujuan diselenggarakannya Sistem
Pemasyarakatan adalah dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar
menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan memperbaiki diri, dan tidak
mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan
masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar
sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12
tahun 1995 tentang Pemasyarakatan).
Yang dimaksud dengan “agar menjadi
manusia seutuhnya” adalah upaya untuk memulihkan narapidana dan anak didik
pemasyarakatan kepada fitrahnya dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia
dengan pribadinya, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan lingkungannya
(Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan).
Fungsi Sistem Pemasyarakatan yaitu
menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat
dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat
yang bebas dan bertanggungjawab (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995
tentang Pemasyarakatan). Yang dimaksud dengan “berintegrasi secara sehat”
adalah pemulihan kesatuan hubungan Warga Binaan Pemasyarakatan dengan
masyarakat.
C. Asas Sistem Pembinaan Masyarakat
Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan
berdasarkan asas:
a.
Pengayoman;
b.
Persamaan perlakuan dan pelayanan;
c.
Pendidikan;
d.
Pembimbingan;
e.
Penghormatan harkat dan martabat
manusia;
f.
Kehilangan kemerdekaan merupakan
satu-satunya penderitaan;
g.
Terjaminnya hak untuktetap
berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.
“Pengayoman” adalah perlakuan terhadap
Warga Binaan Pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan
diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan Pemasyarakatan, juga memberikan
bekal hidupnya kepada Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi warga yang
berguna di dalam masyarakat.
“Persamaan perlakuan dan pelayanan”
adalah pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada Warga Binaan
Pemasyarakatan tanpa membeda-bedakan orang.
“Pendidikan” adalah bahwa
penyelenggaraan pendidikan dan bimbingan dilaksanakan berdasarkan Pancasila,
antara lain penanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian,
dan kesempatan untuk menunaikan ibadah.
“Penghormatan harkat dan martabat
manusia” adalah bahwa sebagai orang yang tersesat Warga Binaan Pemasyarakatan
harus tetap diperlukan sebagai manusia.
“Kehilangan kemerdekaan merupakan
satu-satunya penderitaan” adalah Warga Binaan Pemasyarakatan harus berada dalam
LAPAS untuk jangka waktu tertentu, sehingga mempunyai kesempatan penuh untuk
memperbaikinya. Selama di LAPAS, (Warga Binaan Pemasyarakatan tetap memperoleh
hak-haknya yang lain seperti layaknya manusia, dengan kata lain hak perdatanya
tetap dilindungi seperti hak memperoleh perawatan kesehatan, makan, minum,
pakaian, tempat tidur, latihan, keterampilan, olah raga, atau rekreasi).
“Terjaminnya hak untuk tetap
berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu” adalah bahwa walaupun
Warga Negara Binaan Pemasyarakatan berada di LAPAS, tetapi harus tetap
didekatkan dan dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat,
antara lain berhubungan dengan masyarakat dalam bentuk kunjungan, hiburan ke
dalam LAPAS dari anggota masyarakat yang bebas, dan kesempatan berkumpul
bersama sahabat dan keluarga seperti program cuti mengunjungi keluarga.
Kemudian selain dari asas-asas di
atas, Pasal 8 UU No. 12 Tahun 1995, Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan
dilakkkan di LAPAS dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan dilakukan oleh
BAPAS. Sedankgan pembinaan di LAPAS dilakukan terhadap NARAPIDANA dan Anak
DIDIK Pemsayarakatan.
Pembinaan Warga Binaan
Pemasyarakatan d LAPAS dilaksanakan:
a.
Secara intramural (di dalam LAPAS);
dan
Pembinaan secara intramural yang dilakukan di LAPAS
disebut asimilasi, yaitu proses
pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah memenuhi persyaratan tertentu
dengan membaurkan mereka ke dalam kehidupan masyarakat.
b.
Secara ekstramural (di luar LAPAS).
Pembinaan secara ekstramural juga dilakukan oleh BAPAS
yang disebut integrasi, yaitu proses
pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah memenui persaratan tertentu
untuk hidup dan berada kembal di tengah-tengah masyarakat dengan bimbingan dan
pengawasan BAPAS.
Pembimbingan oleh BAPAS dilakukan terhadap:
1)
Terpidana bersyarat;
2)
Narapidana, Anak Pidana dan Anak
Negara yang mendapat pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas;
3)
Anak Negara yang bersasarkan putusan
pengadilan, pembinaan diserahkan kepada orang tua asuh atau badan social;
4)
Anak Negara yang bersdasarkan
Keputusan Menteri atau Pejabat di Lingkungan Direktorat Jendral Pemasyarakatan
yang ditunjuk, bimbingannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial;
dan
5)
Anak yang berdasarkan penetapan
pengadilan, bimingannya dikembalikan kepada orang tua atau walinya. (Pasal 6
ayat (3)).
D. Proses Pemasyarakatan
Konsep pemasyarakatan pertama kali digagas
oleh Menteri Kehakiman Sahardjo
pada tahun 1962,
dimana disebutkan bahwa tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan
hukuman, namun tugas yang jauh lebih berat adalah mengembalikan orang-orang
yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat.
Saat seorang narapidana menjalani vonis
yang dijatuhkan oleh pengadilan, maka hak-haknya sebagai warga negara akan
dibatasi. Walaupun terpidana kehilangan
kemerdekaannya, tapi ada hak-hak narapidana yang tetap dilindungi dalam sistem
pemasyarakatan Indonesia.
Untuk
melaksanakan sistem pemasyarakatan, maka harus ada petunjuk teknis yang dapat
berguna sebagai pedoman atau petunjuk pelaksana dalam setiap tindakan dalam
penanganan narapidana agar sistem pemasyarakatan dapat berjalan dengan baik,
seperti tertuang dalam Surat Edaran Kepala Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
No. K.P. 10.13/3/1 tanggal 8 Februari 1965 tentang “Pemasyarakatan Sebagai
Proses di Indonesia” maka metode yang dipergunakan dalam proses pemasyarakatan
ini meliputi 4 (empat) tahap, yang merupakan suatu kesatuan proses yang
bersifat terpadu sebagaimana di bawah ini :
1.
Tahap Orientasi / Pengenalan
Setiap
narapidana yang ditempatkan di dalam lembaga pemasyarakatan itu dilakukan
penelitian untuk mengetahui segala hal tentang diri narapidana, termasuk
tentang apa sebabnya mereka telah melakukan pelanggaran, berikut segala
keterangan tentang diri mereka yang dapat diperoleh dari keluarga mereka, dari
bekas majikan atau atasan mereka, dari teman sepekerjaan mereka, dari orang
yang menjadi korban perbuatan mereka dan dari petugas instansi lain yang
menangani perkara mereka
2.
Tahap Asimilasi dalam Arti Sempit
Jika pembinaan diri narapidana dan antara hubungannya dengan
masyarakat telah berjalan kurang dari 1/3 masa pidana sebenarnya menurut Dewan
Pembinaan Pemasyarakatan telah dicapai cukup kemajuan dalam proses antara lain:
bahwa narapidana telah cukup menunjukkan perbaikan-perbaikan dalam tingkah
laku, kecakapan ia menunjukkan keinsafan, disiplin dan
patuh pada peraturan-peraturan tata tertib yang berlaku di lembaga
pemasyarakatan
dan lain-lain. Maka tempat atau wadah utama dari proses pembinaanya ialah
gedung lembaga pemasyarakatan terbuka dengan maksud memberikan kebebasan
bergerak lebih banyak lagi dengan memberlakukan
tingkat pengawasan medium security atau para narapidana yang sudah
dalam tahap ini dapat dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Terbuka. Di tempat
baru ini narapidana diberi tanggungjawab terhadap masyarakat. Bersamaan dengan
ini pula dipupuk rasa harga diri, tatakrama, sehingga dalam masyarakat luas
timbul kepercayaannya dan berubah sikapnya terhadap narapidana. Kontak dengan
unsur-unsur masyarakat frekuensinya lebih diperbanyak lagi misalnya kerjabakti
dengan masyarakat luas. Pada saat itu dilakukan kegiatan bersama-sama dengan
unsur masyarakat. Masa tahanan yang harus dijalani pada tahap ini adalah sampai
berkisar 1/2 dari masa pidana yang sebenarnya.
3.
Tahap Asimilasi dalam Arti Luas
Jika narapidana sudah menjalani
kurang dari 1/2 masa pidana yang sebenarnya menurut Dewan Pembinaan
Pemasyarakatan dinyatakan proses pembinaannya telah mencapai kemajuan yang
lebih baik lagi, maka mengenai diri narapidana maupun unsur-unsur masyarakat,
maka wadah proses pembinaan diperluas ialah dimulai dengan usaha asimilasi para
narapidana dengan penghidupan masyarakat luar yaitu seperti kegiatan
mengikutsertakan pada sekolah umum, bekerja pada badan swasta atau instansi
lainnya, cuti pulang beribadah dan berolahraga dengan masyarakat dan
kegiatan-kegiatan lainnya. Pada saat berlangsungnya kegiatan segala sesuatu
masih dalam pengawasan dan bimbingan petugas lembaga pemasyarakatan.
4.
Tahap Integrasi dengan
Lingkungan Masyarakat.
Tahap ini adalah tahap terakhir pada
proses pembinaan dikenal dengan istilah integrasi. Bila proses pembinaan dari
tahap Observasi, Asimilasi dalam arti sempit, Asimilasi dalam arti luas dan
Integrasi dapat berjalan dengan lancar dan baik serta masa pidana yang
sebenarnya telah dijalani 2/3-nya atau sedikitnya 9 bulan, maka kepada
narapidana dapat diberikan pelepasan bersyarat atau cuti bersyarat yang penetapan tentang
pengusulannya ditentukan oleh Dewan Pembina Pemasyarakatan. Dalam tahap ini proses pembinaannya
adalah berupa masyarakat luas sedangkan pengawasannya semakin berkurang
sehingga narapidana akhirnya dapat hidup dengan masyarakat. Adapun pelaksanaan
lepas bersyarat diberikan kepada narapidana yang telah menjalani 2/3 (dua per
tiga) dari masa pidananya dan didasarkan kepada ketentuan dari Pasal 15a (1 s/d
6), Pasal 15b (1 s/d 3), Pasal 16 (1 s/d 4) dan Pasal 17 KUHPidana.
E. Klasifikasi
Penghuni Lembaga Pemasyarakatan
Penghuni Lembaga Pemasyarakatan bisa narapidana (napi) atau Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksudnya orang tersebut masih berada dalam proses peradilan dan belum
ditentukan bersalah atau tidak oleh hakim.
Sesuai Undang Undang Nomor 12 Tahun 1995, narapidana
adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga
Pemasyarakatan. Penghuni suatu lembaga pemasyarakatan atau orang-orang tahanan
itu terdiri dari :
1. Mereka yang menjalankan pidana penjara dan pidana kurungan;
2. Orang-orang yang dikenakan penahanan sementara;
3. Orang-orang yang disandera.
4. Lain-lain orang yang tidak menjalankan pidana penjara atau pidana
kurungan, akan tetapi secara sah telah dimasukkan ke dalam lembaga
pemasyarakatan.
Golongan orang-orang yang dapat
dimasukkan atau ditempatkan di dalam lembaga pemasyarakatan itu ialah :
1. Mereka
yang ditahan secara sah oleh pihak kejaksaan;
2. Mereka
yang ditahan secara sah oleh pihak pengadilan;
3. Mereka
yang telah dijatuhi hukuman pidana hilang kemerdekaan oleh pengadilan negeri
setempat;
4. Mereka
yang dikenakan pidana kurungan;
5. Mereka
yang tidak menjalani pidana hilang kemerdekaan, akan tetapi dimasukkan ke
lembaga pemasyarakatan secara sah.
D. Faktor
Penghambat dan Pendukung Pembinaan Narapidana
Dalam proses pembinaan narapidana oleh
Lembaga Pemasyarakatan dibutuhkan sarana dan prasarana, sarana dan prasarana pun di satu sisi bisa jadi
penghabat, dan di sisi lain bisa jadi pendukung guna mencapai
keberhasilan yang ingin dicapai. Sarana dan prasarana tersebut meliputi :
1. Sarana
Gedung Pemasyarakatan
Gedung Pemasyarakatan merupakan
representasi keadaan penghuni di dalamnya. Keadaan gedung yang layak dapat
mendukung proses pembinaan yang sesuai harapan. Di Indonesia sendiri, sebagian
besar bangunan Lembaga Pemasyarakatan merupakan warisan kolonial, dengan
kondisi infrastruktur yang terkesan ”angker” dan keras. Tembok tinggi yang
mengelilingi dengan teralis besi menambah kesan seram penghuninya. Selain
dari itu kapasitas dari Gedung Pemasyarakatan tersebut, terkadang Kapasitas satu
ruangan idealnya untuk dua orang, sekarang malah 10 orang dalam satu ruangan,
sehingga dengan kelebihan kapasitas ini bisa menimbulkan masalah terhadap
narapidana lain, dan akhirnya bisa menimbulkan kerusuhan di Lembaga
Pemasayarakatan tersebut.
2. Pembinaan
Narapidana
Bahwa sarana untuk pendidikan keterampilan
di Lembaga Pemasyarakatan sangat terbatas, baik dalam jumlahnya maupun dalam
jenisnya, dan bahkan ada sarana yang sudah demikian lama sehingga tidak
berfungsi lagi, atau kalau itu
berfungsi, hasilnya tidak memadai dengan barang-barang yang diproduksikan di
luar (hasil produksi perusahan).
3. Petugas
Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan
Petugas pemasyarakatan adalah pegawai
negeri sipil yang menangangi pembinaan narapidana dan tahanan di lembaga
pemasyarakatan. Berkenaan dengan masalah petugas pembinaan di Lembaga
Pemasyarakatan, ternyata dapat dikatakan belum sepenuhnya dapat menunjang
tercapainya tujuan dari pembinaan itu sendiri, mengingat sebagian besar dari
mereka relatif belum ditunjang oleh bekal kecakapan melakukan pembinaan dengan
pendekatan humanis yang dapat menyentuh perasaan para narapidana, dan mampu
berdaya cipta dalam melakukan pembinaan.