BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Poligami merupakan perkawinan seorang laki-laki dengan
lebih dari satu wanita atau perkawinan yang banyak atau pemahaman tentang
seorang laki-laki yang membagi kasih sayangnya atau cintanya dengan beberapa
wanita dengan menyunting atau menikahi wanita lebih dari satu dan hal ini dapat
mengundang persepsi setiap orang baik negatif atau positif tentang baik
buruknya moral seseorang yang melakukan poligami.
Poligami sendiri berasal dari bahasa Yunani. Kata ini
merupakan penggalan kata poli dan polus yang artinya banyak, dan kata gamein
atau gamos, yang artinya kawin atau perkawinan. Maka, ketika kedua kata ini
digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak.
Dalam Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang
lebih dari satu, dengan batasan, umumnya dibolehkan hanya sampai empat wanita.
Walaupun ada juga yang memahami ayat tentang poligami dengan batasan lebih dari
empat atau bahkan lebih dari sembilan istri. Poligami dengan batasan empat
nampaknya lebih didukung oleh bukti sejarah karena Nabi melarang menikahi wanita lebih dari empat
orang.
Tujuan hidup keluarga adalah untuk mendapatkan
kebahagiaan lahir dan batin. Namun dengan adanya Polligami yang dilakukan sang
suami, kebahagiaan dalam keluarga dapat menjadi hilang. Hal ini tentunya
merugikan bagi kaum istri dan anak-anaknya karena mereka beranggapan tidak akan
mendapatkan perlakuan yang adil dari sang suami.
Pandangan
masyarakat terhadap poligami beragam, ada yang setuju namun juga ada yang tidak
setuju atau menentang terlebih lagi bagi kaum hawa yang merasa dirugikan,
karena harus berbagi dengan yang lain.
1.2
Identifikasi masalah
Dalam
penulisan makalah ini, permasalahan-permasalahan yang akan dibahas adalah
sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah pelaksanaan poligami dan sejauh apa kaitannya dengan hukum islam dan hukum
positif ?
2.
Bagaimanakah akibat hukum terhadap Poligami dalam hukum positif Indonesia?
1.3
Rumusan Masalah
Rumusan yang dibuat adalah yang dikutip dari internet ataupun buku
rujukan mengenai Poligami adalah sebagai suatu lembaga hukum yang menyebabkan
seorang beralih ke hubungan kekeluargaan lain, sehingga timbul hubungan-hubungan
hukum yang sah dengan isteri kedua ataupun seterusnya sesuai jumlah istrinya,
Ditambahkan bahwa Poligami itu dilakukan sedemikian rupa, sehingga Suami itu
baik secara lahir maupun batin harus bias berlaku adil terhadap
isteri-isterinya sebagaimana yang di tentukan oleh ahlulkitab.
1.4
Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini diantaranya
adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kapsel Hukum Islam. Selain itu,
penulisan makalah ini bertujuan untuk menelaah
lebih jauh, menambah pemahaman serta memperluas pengetahuan mengenai Poligami
menurut Hukum Islam dan Hukum Positif.
1.5
Manfaat Penulisan Makalah
Secara Teoritis
Makalah ini diharapkan dapat memperluas serta menambah khazanah pengetahuan dalam bidang Hukum Keluarga khususnya mengenai Poligami menurut hukum Islam dan hukum positif
Secara
Praktis
Diharapkan uraian dalam makalah ini dapat memberikan
dasar dan pengarahan dalam pemahaman mengenai Poligami
dikaitkan dengan hukum positif dan hukum islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Poligami
Poligami merupakan perkawinan seorang
laki-laki dengan lebih dari satu wanita atau perkawinan yang banyak atau
pemahaman tentang seorang laki-laki yang membagi kasih sayangnya atau cintanya
dengan beberapa wanita dengan menyunting atau menikahi wanita lebih dari satu
dan hal ini dapat mengundang persepsi setiap orang baik negatif atau positif
tentang baik buruknya moral seseorang yang melakukan poligami.
Poligami sendiri berasal dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan
penggalan kata poli dan polus yang artinya banyak, dan kata gamein atau gamos,
yang artinya kawin atau perkawinan. Maka, ketika kedua kata ini digabungkan
akan berarti suatu perkawinan yang banyak.
Islam, poligami mempunyai arti
perkawinan yang lebih dari satu, dengan batasan, umumnya dibolehkan hanya
sampai empat wanita. Walaupun ada juga yang memahami ayat tentang poligami
dengan batasan lebih dari empat atau bahkan lebih dari sembilan istri. Poligami
dengan batasan empat nampaknya lebih didukung oleh bukti sejarah. Karena Nabi melarang
menikahi wanita lebih dari empat orang.
2.2 Poligami
Menurut Pandangan Hukum Islam
Poligami adalah
isyarat islam yang merupakan sunah Rasulullah SAW tentunya dengan syarat sang
suami memiliki kemampuan untuk adil diantara para isteri.Sebagai mana pada ayat
yang artiya :
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap(hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya),maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senang, dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak dapat berlaku adil,maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yangkamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat daripada
tidak berbuat aniaya.” (QS.An-Nisa ayat ke-3)
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku
adil diantara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian,
karena itu janganlah kamu terlalau cenderung (kepada yang kamu cintai),
sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.” (QS.An-Nisa ayat 129)
Selain itu, tidak adanya ayat Al-Quran
dan sunah Rasulullah yang menggambarkan diperbolehkan atau dilarangnya
poligami. Sesungguhnya poligami yang diatur dalam islam tidak memperbolehkan
bagi laki-laki untuk berhubungan dengan wanita yang ia sukai diluar pernikahan.
Poligami
merupakan sistem yang manusiawi, karena dapat meringankan beban masyarakat
yaitu dengan melindungi wanita yang tidak bersuami dan menempatkannya ke shaf
para isteri yang terpelihara dan terjaga.
2.2.1 Faktor –faktor
Yang Mempengeruhi Poligami
a. Faktor Biologis
3.
Istri yang
Sakit
4.
Hasrat
Seksual yang Tinggi
5.
Rutinitas
Alami Setiap Wanita
6.
Masa Subur
Kaum Pria Lebih Lama
b. Faktor Internal Rumah Tangga
7.
Kemandulan
8.
Istri yang
Lemah
9.
Kepribadian
yang Buruk
c. Faktor Sosial
10. Banyaknya Jumlah Wanita
11. Kesiapan Menikah dan Harapan Hidup pada Wanita
12. Berkurangnya Jumlah Kaum Pria
13. Lingkungan dan Tradisi
14. Kemapanan Ekonomi
2.2.2
Dampak Negatif Poligami
Terhadap Kehidupan Rumah Tangga
Dampak poligami terhadap kehidupan
rumah tangga antara lain
1.
Ketidakharmonisan hubungan anggota
keluarga.
2.
Sering timbul permasalahan atau
percek-cokan.
3.
Tidak adanya rasa saling pecaya.
4.
Tidak adanya kepedulian yang besar dari
suami terhadap anak dan isteri.
5.
Kemungkinan dapat menyebabkan
perceraian.
2.2.3 Syarat
Diperbolehkannya Poligami
Syarat yang dituntut Islam dari
seotrang muslim yang akan melakukan poligami adalah keyakinan dirinya bahwa ia
bisa berlaku adil di antara dua istri atau istri-istrinya dalam hal makanan,
minuman, tempat tinggal, pakaian , dan nafkah. Barang siapa kurang yakin akan
kemampuannya memenuhi hak-hak tersebut dengan seadil-adilny, haramlah baginya
menikah dengan lebih dari satu perempuan. Allah SWT berfirman :
“ Lalu jika kalian khawatir tidak bisa adil,
cukuplah satu saja.” (An- Nisa : 3)
Beliau SWT juga bersabda,
“ Barang siapa mempunyai dua istri,
sementara ia lebih condong kepada salah satu diantara keduanya, maka pada hari
kiamat nanti akan datang dengan menyeret salah satu belahan tubuhnya yang
terjatuh atau miring.”
Miring yang diperingatkan dalam hadist
ini adalah ketidakadilan dalam hak-haknya, bukan sekedar kecenderungan hati,
karena yang disebut terakhir ini termasuk hal yang susah dipenuhi, bahkan
dimaklumi dan dimaafkan Allah Swt.
Jadi, sebagaimana talaq, begitu jugalah
halnya dengan poligami yang diperbolehkan kerana hendak mencari jalan keluar
dari kesulitan. Islam memperbolehkan umatnya berpoligami berdasarkan nas-nas
syariat serta realiti keadaan masyarakat. Ini bererti ia tidak boleh dilakukan
dengan sewenang-wenangnya demi untuk mencapai kesejahteraan masyarakat Islam,
demi untuk menjaga ketinggian budi pekerti dan nilai kaum Muslimin.
Oleh yang demikian, apabila seorang
lelaki akan berpoligami, hendaklah dia memenuhi syarat-syarat sebagai berikut;
1.
Membatasi
jumlah isteri yang akan dikawininya.
2.
Diharamkan mengumpulkan
wanita yang masih ada tali persaudaraan menjadi isterinya.
3.
Disyaratkan
pula berlaku adil.
4.
Tidak
menimbulkan huru-hara di kalangan isteri mahupun anak-anak.
5.
Berkuasa
menanggung nafkah.
2.3 Poligami Mneurut Pandangan Hukum Positif
Poligami sendiri mempunyai arti suatu sistem perkawinan
antara satu orang pria dengan lebih dari seorang istri. (Dikutip dari
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974). Pada dasarnya dalam Undang-Undang
Perkawinan No. 1/1974 menganut adanya asas monogami dalam perkawinan. Hal ini
disebut dengan tegas dalam pasal 3 ayat 1 yang menyebutkan bahwa pada asasnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.¿Akan tetapi asas
monogami dalam UU Perkawinan tidak bersifat mutlak, artinya hanya bersifat
pengarahan pada pembentukan perkawinan monogami dengan jalan mempersulit dan
mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapus sama sekali sistem
poligami. Ini dapat diambil sebuah argumen yaitu jika perkawinan poligami ini
dipermudah maka setiap laki-laki yang sudah beristri maupun yang belum tentu
akan beramai-ramai untuk melakukan poligami dan ini tentunya akan sangat
merugikan pihak perempuan juga anak-anak yang dilahirkannya nanti dikemudian
hari.
Ketentuan adanya asas monogami ini bukan hanya bersifat
limitatif saja, karena dalam Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan disebutkan dimana
pengadilan dapat memberikan ijin pada seorang suami untuk beristri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh para pihak yang bersangkutan. Ketentuan ini
membuka kemungkinan seorang suami dapat melakukan poligami dengan ijin
pengadilan. Hal ini erat kaitannya dengan berbagai macam agama yang ada yang
dianut oleh masyarakat karena ada agama yang melarang untuk berpoligami dan ada
agama yang membenarkan atau membolehkan seorang suami untuk melakukan poligami.
Khusus yang beragama Islam harus mendapat ijin dari pengadilan agama ( Pasal 51
ayat (1) Kompilasi Hukum Islam) dan yang beragama selain Islam harus mendapat
ijin dari pengadilan negeri. Jadi hal ini tergantung dari agama yang dianut dan
pengadilan yang berkompeten untuk itu.
Untuk mendapatkan ijin dari pengadilan harus memenuhi
syarat-syarat tertentu disertai dengan alasan yang dapat dibenarkan. Tentang
hal ini lebih lanjut diatur dalam pasal 5 UU Perkawinan No. 1/1974 dan PP No.
9/1975 juga harus mengindahkan ketentuan khusus yang termuat dalam PP No.
10/1983 tentang ijin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
Perkawinan poligami didalam masyarakat lebih sering kita
lihat daripada perkawinan poliandri yaitu seorang istri atau seorang wanita
mempunyai lebih dari seorang suami. Bahkan masyarakat lebih dapat menerima
terjadinya perkawinan poligami daripada perkawinan poliandri, sehingga dalam
kenyataannya sangat jarang terjadi perempuan menikah dengan lebih dari seorang
laki-laki, kalaupun ada itu hanya bersifat kasuistis saja. Dan ini bisa juga
karena seorang istri atau seorang perempuan itu lebih mengandalkan perasaannya
dan dengan pertimbangan akan adanya anak juga. Didalam Al Qur¿an poliandri
tidak diperbolehkan, hal ini diatur dalam surat An Nisa ayat 24.
Hikmah perkawinan poliandri dilarang adalah untuk menjaga
kemurnian keturunan, jangan sampai bercampur aduk, dan untuk menjamin kepastian
hukum seorang anak. Karena sejak dilahirkan bahkan dalam keadaan tertentu
walaupun masih dalam kandungan telah berkedudukan sebagai pembawa hak, sehingga
perlu mendapat perlindungan dan kepastian hukum. Menurut hukum waris Islam
seorang anak yang masih ada dalam kandungan yang kemudian lahir dalam keadaan
hidup berhak mendapat bagian penuh apabila ayahnya meninggal dunia biarpun dia
masih janin dalam kandungan. Untuk larangan pelaksanaan perkawinan poliandri
ini didalam Undang-Undang Perkawinan juga telah ditentukan didalam pasal 3 ayat
1 yang menentukan bahwa pada dasarnya seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang
suami, larangan ini bersifat mutlak karena tidak ada alasan-alasan lain yang
ditentukan untuk kawin dengan lebih dari seorang suami.
Untuk kasus poligami untuk beristri lebih dari satu orang
dengan ketentuan jumlah istri dalam waktu yang bersamaan terbatas hanya sampai
4 orang. Adapun syarat utama yang harus dipenuhi adalah suami mampu berlaku
adil terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya, akan tetapi jika si suami tidak
bisa memenuhi maka suami dilarang beristri lebih dari satu, disamping itu si
suami harus terlebih dahulu mendapat ijin dari pengadilan agama, jika tanpa
ijin dari pengadilan agama maka perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan
hukum.
Pengadilan
agama baru dapat memberikan ijin kepada suami untuk berpoligami apabila ada
alasan yang tercantum dalam pasal 4 ayat 2 UU Perkawinan 1/1974 :
1. Istri tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai istri
2. Istri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. Istri tidak
dapat melahirkan keturunan
Disamping
syarat-syarat tersebut yang merupakan alasan untuk dapat mengajukan poligami
juga harus dipenuhi syarat-syarat pendukung yaitu :
1. Adanya
persetujuan dari istri
2. Ada
kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anaknya
3. Ada jaminan
bahwa suami berlaku adil terhadap para istri dan anak-anaknya.
Mengenai persyaratan persetujuan dari istri yang
menyetujui suaminya poligami dapat diberikan secara tertulis atau secara lisan
akan tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis dari istri persetujuan ini
harus dipertegas dengan persetujuan lisan dari istri pada sidang pengadillan
agama. Persetujuan dari istri yang dimaksudkan tidak diperlukan bagi suami
apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak
mungkin menjadi pihak dalam perjanjian dan apabila tidak ada khabar dari
istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang
mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama. Dapat diambil contoh apabila si
istri ada di Luar Negeri menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita) selama 2 tahun atau
lebih misalnya atau bisa juga karena selama minimal 2 tahun si istri memang
tidak ada kabar beritanya. Persetujuan secara lisan ini nantinya si istri akan
dipanggil oleh Pengadilan dan akan didengarkan oleh majelis hakim, tidak hanya
istri tetapi suami juga akan diperlakukan hal yang sama. Kemudian pemanggilan
pihak-pihak ini dilakukan menurut tata cara yang diatur dalam hukum acara
perdata biasa yang diatur dalam pasal 390 HIR dan pasal-pasal yang berkaitan. (
Drs. H.A. Mukti Arto, S.H., Praktek-praktek Perkara Perdata pada Pengadilan
Agama, , Pustaka Pelajar, 2003 )
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 disebutkan
bahwa untuk memperoleh ijin melakukan poligami hanya dapat diberikan oleh
pejabat yang berwenang apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat
alternatif dan ketiga syarat kumulatif sebagaimanan disebutkan dalam pasal 10
ayat 2 dan 3 PP Nomor 10 tahun 1983. Akan tetapi dari hasil penelitian pernah
ada permohonan ijin poligami pegawai negeri sipil yang diajukan kepada pejabat
atasannya tidak memenuhi alasan dan istri tidak memenuhi kewajibannya sebagai
istri akibat tindakan suami itu sendiri yang hanya menuntut haknya saja tanpa
mau melaksanakan kewajibannya dengan semestinya. Dalam hal ini kesalahan tidak
dapat dilimpahkan kepada istri. Dan kasus-kasus semacam ini juga sering sekali
terjadi.
Seorang pegawai negeri sipil yang akan melakukan poligami
harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagaimana telah ditentukan dalam
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun
1975.
Syarat-syarat
komulatif itu antara lain :
1. Adanya
persetujuan tertulis dari istri.
2. Adanya
kepastian bahwa suami menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak.
3. Adanya
jaminan bahwa suami akan berlaku adil kepada istri dan anak mereka.
Dalam pasal 1 ayat 1 PP Nomor 10 tahun 1983 bahwa pegawai
negeri sipil yang akan beristri lebih dari seorang wajib memperoleh ijin dari
pejabat dimana dalam surat permintaan ijin sebagaimana dimaksud dalam pasal 4
ayat 1 tadi harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan
untuk beristri lebih dari seorang. Permintaan ijin itu harus diajukan kepada
pejabat melalui saluran hirarki. Dalam hal ini setiap alasan yang menerima
permintaan ijin dari Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya untuk melakukan
poligami wajib memberikan pertimbangan dan wajib meneruskan kepada pejabat
melalui saluran hierarki dalam
jangka waktu selambat-lambatnya 3 bulan terhitung mulai tanggal menerima
permintaan surat itu.
Ada atau
tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istrinya dan
anak-anak dengan memperlihatkan :
1. Surat
keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat
bekerja.
2. Surat
keterangan pajak penghasilan.
3. Surat
keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
Dalam PP Nomor
10 tahun 1983 pejabat dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan akan
memberikan ijin apabila ternyata :
1. Tidak
bertentangan dengan ajaran atau peraturan agama yang dianut oleh Pegawai Negeri
Sipil yang bersangkutan.
2. Memenuhi
syarat alternatif dan semua syarat komulatif .
3. Tidak
bertentangan dengan peraturan yang berlaku.
4. Tidak
bertentangan dengan akal sehat.
5. Tidak ada
kemungkinan mengganggu tugas kedinasan yang dinyatakan dalam surat keterangan
atasan langsung Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan, serendah-rendahnya
pejabat eselon IV atau setingkat dengan itu.
Adapun proses dalam acara pengadilan agama dimana dalam
pemeriksaan pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan.
Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30
hari setelah diterima surat permohonan beserta lampiran-lampirannya. Apabila
pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari
satu maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa ijin untuk beristri
lebih dari seorang.
Pengadilan didalam memberikan pertimbangan terhadap
pegawai negeri sipil yang mengajukan permohonan untuk beristri lebih dari
seorang dengan melihat apakah hukum membolehkannya atau tidak yaitu dengan
memperlihatkan ketentuan undang-undang yang berlaku serta memperhatikan
kelengkapan syarat-syarat maupun alasan-alasan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun
1975, Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 dan juga Kompilasi Hukum Islam.
Berbicara mengenai perkawinan poligami, yang tentu saja
dilakukan oleh seorang suami ini, ada beberapa contoh kasus yang dapat diambil
dimana jika diamati banyak sekali terjadi di sekitar lingkungan kita.
Contoh kasus yang terjadi : Apabila ada seorang suami
yang mempunyai keinginan untuk melakukan poligami tetapi suami ini tidak
mendapatkan persetujuan dari istrinya untuk melaksanakan perkawinan poligami,
sedangkan si perempuan yaitu calon istri dari suami ini sudah terlanjur
berbadan dua atau dengan kata lain si perempuan ini sudah dalam keadaan hamil
dan hanya tinggal menunggu tanggal kelahirannya saja. Kemudian dari kasus ini
akan timbul pertanyaan, Bagaimana tindakan selanjutnya yang harus diambil jika
si istri yang syah tetap tidak mau memberikan persetujuan perkawinan poligami
yang akan dilakukan oleh suaminya.
Seorang suami jika dia akan melakukan perkawinan poligami
pada dasarnya tetap harus memenuhi syarat-syarat yang telah diatur dan telah
ditentukan didalam Undang-Undang Perkawinan Nomor. 1 tahun 1974, dimana salah
satu syarat yang utama yang harus dipenuhi adalah adanya persetujuan dari
istri. Persetujuan inipun seperti telah dikemukakan diawal yaitu ada persetujuan
tertulis dan persetujuan secara lisan yang akan didengar oleh hakim pada saat
sidang pengadilan berlangsung. Jadi jika dilihat dari kacamat hokum positif,
sorang suami ini tetap tidak bisa melaksanakan perkawinan poligami seperti yang
diinginkannya tanpa adanya persetujuan dari istri.
Sedangkan apabila dilihat dari segi hukum Islam, seorang
suami ini dapat melakukan perkawinan dibawah tangan atau kawin siri, meskipun
banyak ulama yang saling berbeda pendapat . Maksudnya disini adalah ada
sebagian ulama yang menentang adanya perkawinan ini jika si perempuan dalam
keadaan berbadan dua, tetapi tidak sedikit juga ada sebagian ulama yang tidak
mengharamkan artinya ada sebagian ulama yang membolehkan seorang suami
mengawini perempuan yang sedang hamil dengan alasan untuk menjaga kemaslahatan
si anak yang dikandung ini dikemudian hari.
Tetapi dengan melakukan perkawinan siri tersebut juga ada
hal-hal yang harus diingat dan diperhatikan oleh seorang perempuan. Dikarenakan
apa ? Jika seorang perempuan tersebut telah melakukan kawin siri atau
perkawinan di bawah tangan maka si perempuan juga harus siap dengan segala
akibat dan konsekwensi yang ditimbulkannya. Akibat dan konsekwensi tersebut
adalah tidak mendapatkannya si perempuan beserta anak yang dikandung dan dilahirkannya
itu harta warisan dari suaminya, dan si anak ini hanya akan mewaris dari ibunya
saja.Karena ini adalah perkawinan dibawah tangan atau kawin siri dan tidak
dicatatkan di Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama setempat.
Berbeda memang jika perkawinan poligami ini dicatatkan,
tetapi sepanjang istri yang pertama tidak atau istri yang syah tidak memberikan
persetujuannya maka perkawinan itu sampai kapanpun tetap tidak bisa dicatatkan
dan atau dilegalkan oleh hokum positif. Dan ini dikemudian hari imbasnya akan
keanak juga setelah anak tersebut dilahirkan. Akibat yang ditimbulkan pada
tatanan anak tersebut akan membuat akta kelahiran, baik itu untuk keperluan
mendaftarkan kesekolah maupun untuk keperluan yang lain. Sedangkan dalam
pembuatan akta kelahiran itu sendiri diperlukan akta nikah dari kedua orang
tuanya, supaya nanti ada kejelasan mengenai identitas orang tua anak itu juga.
Apalagi jika didalam akta kelahiran nanti identitas orang tua tersebut berbeda,
maksudnya jika identitas orang tua yang tercantum didalam akta kelahiran
tersebut tidak sesuai dengan identitas orang tua kandung anak tersebut, ini
tentu akan menimbulkan permasalahan yang baru lagi. Bisa permasalahan itu
muncul ketika si anak akan melanjutakan sekolah yang lebih tinggi, yang sangat
memerlukan adanya Surat Tanda Tamat Belajar atau sering disebut juga dengan
ijazah, yang dalam ijazah tercantum identitas orang tua kandungnya. Jadi begitu
pentingnya akta kelahiran ini bagi anak yang akan dilahirkannya maka sebuah
perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan harus dicatatkan dan
harus melalui prosedur yang diberlakukan dan telah diatu di dalam hukum positif
kita.
Sebenarnya banyak sekali kasus-kasus yang terjadi di
dalam masyarakat sekitar kita yang berkaitan serat berhubungan dengan
perkawinan poligami ini. Kemarin ada satu pernyataan atau statemen dari seorang
laki-laki yang harus kita jawab dan kita berikan pendapatnya, pernyataanya
begini sekarang ini kaum perempuan lebih banyak dari kaum laki-laki atau kaum adam,
kemudian jika kaum laki-laki ini ingin melakukan perkawinan poligami dengan
alasan ini dilakukan juga untuk melindungi istri, dilakukan untuk menyambung
hidup atau untuk meningkatkan dan mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga, ini
bagaimana ? Meskipun pada
dasarnya setiap perempuan atau setiap istri tidak mau pdimadu, atau bisa dikatakan ini untuk kemaslahatan.
Untuk permasalahan yang seperti ini jika ditujukan ke
kaum perempuan tentu si perempuan banyak yang tidak menyetujuinya dan ini
sangat-sangat menguntungkan kaum laki-laki tentunya. Tetapi kita tidak boleh
asal dalam menjawab suatu pertanyaan. Jadi begini misalkan seorang suami akan
melakukan perkawinan poligami tetap saja suami tersebut harus mempunyai
persetujuan dari istri, dengan alasan apapun, tetapi jika untuk alas an-alasan
diatas si istri bisa menerima dan memeberikan sebuah persetujuan maka si suami
ini kan dapat melangsungkan perkawinan poligaminya, dan jika si istri untuk
alas an-alasan-alasan diatas tetap tidak mau menerima dan tidak bisa menyetujuinya
maka si suami juga harus sadar diri untuk tidak melakukan hal tersebut, dalam
hal ini jika si suami tetap melakukannya maka akibat yang akan ditanggung
dengan segala konsekwensinya akan sama sperti yang telah dikemukakan diatas
tadi. Perkawinan tersebut tidak syah dan tidak diakui oleh hukum positif yaitu
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974.
Dari kasus-kasus yang banyak terjadi di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa apabila seorang suami akan melakukan perkawinan
poligami, suami tersebut harus harus memikirkan lebih jauh lagi apakah
syarat-syarat yang sudah ditentukan dan telah diatur di dalam Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 sudah terpenuhi atau sudah terlengkapi belum.
Seandainya belum lengkap maka seorang suami tersebut harus mempertimbangkannya
sekali lagi.
Masalah pokoknya atau hal yang paling utama nanti adalah
Pengadilan bisa tidak dalam memberikan ijin berpoligami tersebut karena disini
yang paling berkompeten dalam memberika ijin untuk melangsungkan perkawinan
poligami adalah Pengadilan. Jadi pertimbangkan sekali lagi segala akibat yang
bisa ditimbulkan apabila salah dalam melangkah dan salah dalam mengambil
keputusan setiap tindakan yang dilakukan
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari data-data
yang saya peroleh, baik dari buku, internet serta dari teman-teman yang saya
mintai pendapat, Saya dapat menyimpulkan bahwa pada dasarnya poligami
diperbolehkan oleh agama apabila tujuannya baik dan sang suami dapat berlaku
adil terhadap istri-istrinya dan jumlah istrinya tidak melebihi 4 orang. Namun
masyarakat masih beranggapan negatif kepada orang-orang yang berpoligami. Hal
ini terjadi karena masalah poligami masih tabu di masyarakat.
3.2 Saran
Sebaiknya
masyarakat tidak selalu beranggapan negatif terhadap seseorang yang melakukan
poligami karena ia pasti memiliki alasan-alasan serta faktor-faktor yang jelas
untuk melakukan poligami. Selain itu, sebaiknya para suami jangan melakukan
poligami apabila tidak dapat berlaku adil bagi istri-istrinya karena hukuman
bagi suami yang tidak bisa berlaku adil sangatlah pedih.
Nabi bersabda, “Barang siapa beristri
dua dan tidak berlaku adil pada keduanya maka ia akan datang pada hari kiamat
dalam keadaan tubuhnya.” (HR Tirmidzi dan Al Hakim)
Kami juga memberikan saran, khususnya kepada para suami yang ada
di Negara Indonesia sebaiknya :
1.
Janganlah melakukan poligami, jika isteri masih dapat memenuhi kebutuhan baik
secara lahir dan bathin.
2.
Disamping itu pula jika ingin melakukan poligami, maka bersikaplah adil
terhadap isteri dan anak – anak, dan juga harus mendapatkan persetujuan dari
isteri baik secara lisan maupun tulisan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam
UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
Qardhawi, Yusuf.2007.Halal Haram Dalam
Islam.Surakarta:Era Intermedia.
Abdillah, Abu Azzam.2007.Agar Suami Tak
Berpoligami.Bandung: Ikomatuddin Press.
Aydi, Hasan.2007.Poligami Syariah dan Perjuangan Kaum
Perempuan.Bandung: Alfa Beta.
Faqih, Khoyin Abu.2007.Poligami Solusi atau
Masalah.Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat.
Gusmaian,Islah.2007.Mengapa Nabi Muhammad
Berpoligami.Jogjakarta:Putaka Marwa.
Hathaut, Hasan.2007.Panduan Seks Islami.Jakarta:Zahra.
Husaein, Abdulrahman.2006.Hitam Putih Poligami.Jakarta:Fakultas
Ekonomi UI.
Sumber internet: