BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kontrak
production sharing mulai dilaksanakan
di Indonesia sejak tahun 1964, yang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun Prp 1964 tentang Perkembangan Minyak dan Gas Bumi Jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang
Pertamina. Timbulnya kontrak production
sharing adalah untuk mengatasi permasalahan keterbatasan modal, teknologi,
dan sumber daya manusia yang dihadapi Pertamina, khususnya dalam menjalankan
eksplorasi dan eksploitasi pertambangan minyak dan gas bumi.
Kontrak
production sharing telah mengalami
beberapa generasi. Generasi kontrak production
sharing dapat dibagi menjadi 4 (empat) generasi, yaitu :
1. Kontrak
production sharing (KPS) Generasi I
(1964-1977)
Kontrak ini
merupakan bentuk awal kontrak production
sharing. Pada tahun 1973/1974 terjadi lonjakan harga minyak dunia, sehingga
pemerintah menetapkan kebijakan bahwa sejak tahun 1974, kontraktor wajib
melaksanakan pembayaran tambahan kepada Pemerintah.
2. Kontrak
production sharing (KPS) Generasi II
(1978-1987)
Pada tahun 1976
Pemerintah Ameerika Serikat mengeluarkan IRS
Ruling yang antara lain menetapkan bahwa penyetoran 60% Net Operating Income KPS (yang sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pertamina merupakan pembayaran
pajak Pertamina dan kontraktor) dianggap sebagai pembayaran royalty, sehingga disarankan agar
kontraktor membayar pajak secara langsung kepada pemerintah. Di samping itu
perlu diterapkan generally accepted
accounting procedure (GAP), yang mana pembatasan pengembalan biaya operasi
(Cost Recovery Ceiling) 40% per tahun
dihapusakan. Untuk KPS yang berproduksi dilakukan amandement.
3. Kontrak
production sharing (KPS) Generasi III
(1988-2002)
Pada tahun 1984
pemerintah menetapkan peraturan perundangan-undangan pajak baru untuk kontrak production sharing (KPS) dengan tarif
48%. Namun, peraturan tersebut baru dapat diterapkan terhadap kontrak production sharing (KPS) yang ditandatangani
pada tahun 1988, karena dalm perundingan-perundingan yang dilakukan, pihak
kontraktor masi mempunyai kecenderungan untuk menggunakan peraturan pajak yang
lama. Dengan demikian pembagian hasil berubah menjadi : minyak : 71,15% untuk
Pertamina ; 28,85% untuk kontraktor. Gas : 42,31% untuk Pertamina ; 57,69%
untuk kontraktor.
4. Kontrak
production sharing (KPS) Generasi IV
(2002-Sekarang)
Momentum
dimulainya kontrak production sharing (KPS) generasi IV, yaitu pada saat
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan gas Bumi.
Struktur dan prinsip dalam undang-undang ini berbeda dengan undang-undang yang
lama. Pada undang-undanng yang lama, yang menjadi para pihak adalah pertamina
dan kontraktor. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi, maka yang menjadi para pihaknya adalah Badan Pelaksana dan
Badan usaha dan atau Badan Usaha tetap.
B.
Identifikasi
dan Rumusan masalah
Dalam penulisan makalah ini tentulah
kami memiliki beberapa perumusan masalah guna meminimalisir keraguan atau
pelebaran masalah. Perumusan masalah ini, yakni sebagai berikut :
1. Siapa
yang menjadi subjek dan objek dalam kontrak production
sharing?
2. Apa
saja hak den kewajiban para pihak dalam kontrak production sharing?
3. Sampai
kapan jangka waktu kontrak production
sharing?
4. Bagaimana
pola penyelesaian sengketa dalam kontrak production
sharing?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah yang kami buat ini yakni, sebagai berikut :
1. Untuk
mengetahui siapa saja subjek dan objek dalam kontrak production sharing
2. Untuk
mengetahui hak den kewajiban para pihak dalam kontrak production sharing
3. Untuk
mengetahui jangka waktu kontrak production
sharing
4. Untuk
mengetahui pola penyelesaian sengketa dalam kontrak production sharing
D.
Manfaat
Penulisan
Dengan
diselesaikannya penulisan makalah ini, penulisan makalah ini diharapkan
hasilnya dapat memberikan manfaat teoritis dan praktis sebagai berikut :
1.
Secara teoritis, hasil
makalah ini dapat memberikan sumbangan pemikiran pada pengembangan ilmu hukum
di bidang minyak dan gas bumi tentang
kontrak bagi hasil (production sharing).
Selain itu dapat memperluas pandangan ilmiah mengenai kontrak bagi hasil (production sharing).
2.
Secara praktis, sebagai
bahan masukan bagi pembuat Undang-undang di bidang minyak dan gas bumi untuk
melakukan pembaharuan peraturan perundang-undangan serta sistem hukumnya.
Selain itu, sebagai bahan informasi bagi para pelaksana kebijakan dalam
mengambil langkah-langkah perumusan kebijakan mengenai.
E. Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, kami
menggunakan metode yuridis normatif yang berbentuk studi pustaka. Yaitu tekhnik
pengambilan data yang didasarkan pada sumber-sumber sekunder.
F.
Sistematika
Penulisan
Adapun
sistematika penulisan dalam karya tulis ini adalah :
Bab
I : pendahuluan, yang terdiri dari : latar belakang masalah, identifikasi danrumusan
masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika
penulisan
Bab II : pembahasan, yang terdiri
dari :
Bab
III : penutupan, yang terdiri dari :Kesimpulan dan Saran.
DAFTAR
PUSATAKA
BAB
II
TINJAUAN
TEORITIS
A.
Pengertian Kontrak Production Sharing
Istilah kontrak bagi hasil merupakan
terjemahan dari production sharing contrat (bahasas inggris) kontrak ini
dikenal dalamkontrak-kontrak yang di adakan pada bidang minyak dan gas bumi. Di
bidang pertanian juga di kenal dengan kontrak bagi hasil pertanian. Istilah
kontrak production sharing ini dapat di baca dalam pasal 1 angka 19 UU no 22
tahun 2001 tentang “Minyak dan Gas Bumi. Di dalam pasal ini berbunyi bahwa
kontrak kerja adalah Kontrak bagi hasil atau bentuk kerja sama lain dalam
kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan
hasilnya di pergunakan untuk kemakmuran rakyat.”
Pasal ini tidak khusus menjelaskan pengertian kontrak production sharing
tetapi di pokuskan pada konsep teoritis kerja sama di bidang Minyak dan Gas
Bumi. Kerja sama di bidang minyak dan gas bumi dapat di bedakan menjadi dua
(dua) macam, yaitu kontrak production sharing dan kontrak-kontrak lainya. Unsure-unsur dari
kontrak kerja sama ini, yaitu:
1.
Dapat
di lakukan dalam bentuk kontrak production sharing atau bentuk lainya;
2.
Bidang
kegiatanya, yaitu eksplorasi dan eksploitasi;
3.
Syaratnya
harus mengnuntungkan Negara;
4.
Pengunanya
untuk kemakmuran rakyat.
Dalam pasal 1 angka (1) PP no
35 tahun 1994 tenetang syarat-syarat dan pedoman kerja sama kontrak bagi hasil
minyak dan gas bumi di sebutkan pengertian kontrak production sharing (bagi
hasil).
Kontrak production sharing
adalah kerja sama antara pertamina da kontraktor untuk melaksanakan usaha
eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi berdasarkan prinsip pembagian
hasil produksi.
Definisi yang tercantum ini
ada kesamaan dengan definisi yang di kemukakan oleh Soedjono Dirdjosoisworo ia
mengatikan kontrak production sharing adalah “ kerja sama dengan sistem bagi
hasil antara Negara dengan oerusahaan hasil yang sifatnya kontrak. Apabila kontrak telah habis makamesin-mesin yang di
bawa pihak asing tetap tinggal di Indonesia kerja sama dalam bentuk ini
merupakan suatu keredit luar negri di mana pembayaranya di laakaukan dengan
cara bagi hasil terhadap produksi yang telah di hasilkan perusahaan.” (Soedjono
Dirdjosisworo, 1999 : 231-232).
Kesamaan dari kedua definisi
diatas adalah bahwa kontarak production sharing merpuakan perjanjian bagi
hasildi bidang minyak dan gas bumi. Para pihak, yaitu pertamina dan kontarktor.
Sedangkan dalam Undang-undang No. 22 tahun 2001 para pihaknya adalah Badan
Pelaksanaan dengan Badan Usaha dan atau perkata Badan Usaha Tetap. Maka kedua
definisi ini perlu di sempurnakan dan di lengakpi. Dengan demikian, dapat di
katakana bahwa kontark productionshaaring adalah
“perjanjia atau kontrak yang
di buat antara perkata Badan pelaksanaan dengan Badan Usaha dana atau Badan
Usaha Tetap untuk melakukan uasaha eksplorasi dan eksploitas di bidang minyak
dan
gas bumi dengan prinsip bagi hasil.”
Unsur-unsur yang tercantum
dalam definisi ini adalah
1.
Adanya
perjanjian atau kontrak;
2.
Adanya
subjek hukum, yaitu perkata Badan Pelaksana dengan Badan Usaha dan atau Perkata
Badan Usaha Tetap;
Adanya objek, yaitu eksplorasi dan eksploitasi Minyak
dan Gas Bumi. Tujuan eksplorasi adalah untuk memperoleh informasi mengenai
kondisi geologi dalam menemukandan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas
bumi di wilayah kerja yang di tentukan. Tujuan eksploitasi adalah mengasilkan
minyak dan gas bumi;
3.
Kegiatan
di bidang minyak dan gas;
4.
Adanya
prinsip bagi hasil.
Prinsip bagi hasil merupakan prinsip yang mengatur
pembagian hasi yang di peroleh dari eksplorasi dan eksploitasi Minyak dan Gas
Bumi antara badan pelaksanaan dan badan uasaha dan atau badan usaha tetap.
Pembagian hasil ini di rundingkan antara kedua belah pihak dan biasanya di
tuangkan dalam Kontrak Production Sharing.
B.
Prinsip-Prinsip Kontarak Production Sharing Pada Tiap
Generasi :
1.
Generasi
I (1964-1977)
Kontrak ini
merupakan awal Kontrak Production Sharing. Pada tahun 1973/1974 terjadi
lonjakan harga minyak dunia, sehingga pemerintah menetapkan kebijakan bahwa
sejak tahun 1974, kontrak wajib
melaksanakan pembayaran tambahan kepada pemerintah, Prinsip-Prinsip
Kontrak Production Sharing Generasi 1 yaitu:
a.
Manajemen
operaasi di tangan pertamina.
b.
Kontrak
menyediakan seluruh biaya operasi perminyakan.
c.
Kontrak
akan memperoleh kembali seluruh biaiya operasi dengan ketentuan maksimum 40%
setiap bulan.
d.
Dari
60% di bagi menjadi ;
1.
Pertamina
65%, dan
2.
Kontraktor:
35 %
e.
Pertamina
membayar pendapatan kontraktorkepada Pemerintah.
f.
Kontrak
wajib memenuhi kebutuhan bahan bakar Minyak (BBM) untuk dalam negeri secara
proporsional (maksimum 25% bagianya) dengan harga US$ 0.20/barel)
g.
Semua
peralatan dan pasilitas yan gdi beli oleh kontraktor menjadi milik perptamina
h.
Dari
interes kontraktor di tawarkaan kepada Perusahaan Nasional Indonesia setelah
dinyatakan komersial.
i.
Sejak
tahun 1974 sampai tahun 1977, kontraktor diwajibkan memberikan tambahan
pendapatan pada pemerintah.
2.
Generasi
II (1978-1987)
Pada tahun
1976 pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan IRS ruling yang antara lain menetapkan bahwa
penyetoran 60% Net Operting Income KPS (yang sesuai dengan Undang-undang Nomor
8 Tahun 1971 tentang pertamina merupakan pembayaran pajak pertamina dan
kontraktor)
Dianggap
sebagai pembayaran royality, sehingga disarankan agar kontraktor membayar pajak
secara langsung pada pemerintah. Di
samping itu perlu di terapkan generally accaepted accouting procedure (GAP),
yang mana pembatasan pengembalian biaya opersi ( Cost Recoveri Ceiling ) 40%
pertahun di hapuskan. Untuk KPS yang berproduksi di lakukan amademen.
Prinsip-prinsip
pokok Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi II (1978-1987) di sajikan
berikut ini.
a.
Tidak
ada pembatasan pengembalian biaya operasi yang di perhitungkan oleh kontraktor
b.
Setelah
di kurang biaya, pembagian hasil menjadi: 65,91% untuk pertamina; 34,09% untuk
kontraktor. Sedangkan gas: 31,80% untuk pertamina; 68.20% untuk kontraktor
c.
Kontraktor
membayar pajak 65% secara langsung kepada pemerintah
d.
Kontraktor
mendapat insentif;
1.
Harga
ekspor penuh minyak mentah domestic market obligation setelah 5 (lima) tahun
pertama produksi;
2.
Insentif
pengembangan 20% dari modal yang di keluarkan untuk fasilitas produksi
3.
Generasi
III (1988-2002)
Pada tahun 1984 pemerintah menetapkan peraturan perundang-undangan pajak
baru untuk Kontrak Produksion Sharing (KPS) denga tariff 48%. Namun , peraturan
tersebut baru dapat di terapkan terhadap kontrak production sharing (KPS) yang
di tandatangani pada tahun 1988. Karena
dalam perundang-undangan yang di lakukan. Pihak kontarktor masih mempunyai
kecenderungan untuk melakukan peraturan perpajakan yang lama. Dengan demikian
pembagian hasil berubah menjadi: Minyak 71,15%
untuk Pertamina ; 28,85% untuk Kontraktor. Gas : 42,31% untuk Pertamina;
57,68% untuk Kontraktor. Akan tetapi setelah di kurang pajak maka komposisi
pembagaian hasinya adalah untuk masing-masing pihak adalah sebagai berikut:
a.
Minyak
: 68% untuk pertamina; 15% untuk kontraktor;
b.
Gas
70% untuk pertamina dan 30% untuk kontraktor.
4.
Generasi
IV (2002-Sekarang)
Momentum di mulainya kontrak production sharing (KPS)
generasi IV, yaitu pada saat di berlakukanya undang-undang nomer 22 tahun 2001
tentang minyak gas bumi. Struktur dan prinsip bagi hasil dalam undang-undang
ini berneda dengan undang-undang yang lama pada undang-unang yang lama, yang
menjadi para pihak adalah pertamina dan kontraktor sedangkan dalam
undang-undang nomer 22 tahun 2001 minyak dan Gas Bumi, maka yan menjadi para
pihaknya adalah Badan Pelaksana dengan Badan Usaha dan atau Badan Usaha Tetap.
Badan Pelaksana ini terpisah dengan Pertamina. Badan
Pelaksana ini telah terbentuk pada bulan Agustus 2002 dengan nama Badan
Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), yang di kepalai oleh Rachmat
Soedibjo (republika,31 desember 2002) pada tahun 2002, BP Migas ini telah menandatangani 15
kontrakdi bidang migas. Salah satu dari kontrak yang di tandatangani adalah
kontak production sharing (KPS) yang memiliki komitmen infestasi sebesar 35
juta dolar AS. Para pihak dalam kontrak
ini adalah BP migas dengan enilasmo company Indonesia dan unocal Indonesia.
Kedua badan usaha tetap memiliki saham masing-masing 50% untuk wilayah kerja
blok off shore moarabakau lepas panatai maksasar. Sedangkan 14 kontrak lainy
berupa kontrak jual beli gas
Di dalam undag-undang nomer 22 tahun 2001 tidak di atu
secara khusus ntentang komposisi pembagian hasil antara Badan Pelaksana dengan
Badan Usaha dana atau Badan Usaha Tetap pembagian ini akan di atur lebih lanjut dalam peraturan yanglebih rendah serta di tuangkan
dalam kontrak productionsharing (KPS) apabila kita mengacu pada pasal 66 ayat
(2) hukum nomer 22 tahun 2001, maka jelas pada pasal ini disebutkan bahwa
segala peraturan pelaksaanaan dari undang-undang nomer 44 Prp tahun 1960
tentang pertambangan minyak dan gas bumi dan undang-undang nomer 8 tanuh 1971
tentang pertamina masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum
di ganti dengan peraturan yang baru berdasarkan undang-undang ini. Di dalam
pasal 16 peraturan pemerintah nomer 35 tahun 1994 tentang syarat-syarat dan
pedoman kerja sama kontrak bagi hasil minyak dang s bumi di tentukan bahwa yang
menetapkan pembagian hasil itu adalah menteri pertambangan dan energy, apabila
di gunakan ukuran pada generasi III, maka pembagian hasilnya adalah sebagai
berikut
a.
Minyak
: 65% untuk badan pelaksana ; 15% untuk Badan Usaha atas badan Usaha Tetap ;
b.
Gas
: 70% untuk pertamina untuk kontraktor.
Dalam undang-undang tersebut
juga diatur tentang penyerahan pembagian hak badan usaha atau bentuk usaha
tetap untuk memenuhi kebutuhan dalam negri paling banyak 25% ( pasal 22
Undang-Undang nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi)
Setiap
generasi kontrak production sharing (KPS) ternyata berbeda pembagian hasil
antara pertamina dan kontrak perbedaan ini dapat dilihat berikut ini.
1.
Pada
kontrak production sharing (KPS) generasi I (1964-1977) pembagian hasil untuk
minyak dari 60% dibagi menjadi: pertamina 65% dan kontraktor 35%.
2.
Pada
kontrak production sharing (KPS) generasi II
(1978-1987), setelah dikurangi biaya biaya pembagian hasil menjadi :
minyak :65,91% untuk pertamina: 34,09% untuk kontraktor : sedangkan gas :
31,80% untuk pertamina 68,20% untuk kontraktor
3.
Pada
kontrak production sharing (KPS) generasi III (1988 – 2002 ) maka komposisi
pembagian hasilnya untuk masing-masing pihak sebagai berikut:
a.
Minyak:
65% untuk badan pelaksana: 15% untuk badan usaha dan atau badan usaha tetap dan
b.
Gas
70% untuk Pertamina dan 30% untuk kontraktor.
4.
Prinsip
dalam kontrak production sharing (KPS) generasi IV (2002-Sekarang) maka
komposisi pembagian hasilnya untuk masing-masing pihak adalah.
a.
Minyak:
65% untuk Badan pelaksana dan 30% untuk Badan Usaha dan atau Badan Usaha Tetap.
b.
Gas
70% untuk Badan Pelaksana dan 30% untuk Badan Usaha dan atau Badan Usaha Tetap.
C.
Landasan
Hukum Kontrak Production Sharing
landasan
hukum yang mengatur kontrak producion
sharing di bidang pertambanagn minyak dan gas bumi dapat dilihat pada
berbagai peraturan perundang-undangan berikut ini :
1. Undang-Undang
Nomor 14 Prp Tahun1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.
2. Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 1962 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi
Kebutuhan Dalam Negeri.
3. Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pertamina jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1974
tentang Perubahan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pertamina.
4. Undangundang
Nomor 2 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
5. Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 1982 tentang Kewajiban dan Tata Cara Penyetoran
Pendapatan Pemerintah dari Hasil Operasi Pertamina Sendiri dan Kontrak Production Sharing.
6. Peraturan
Pemerintah nomor 35 Tahun 1994 tentang Syarat-Syarat dan Pedoman Kerja Sama
Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi.
7. Keputusan
Presiden Nomor 42 Tahun 1989 tentang Kerja Sama Pertamina dengan Badan Usaha
Pemurnian dan Pengolahan Minyak dan Gas Bumi.
8. Keputusan
Presiden Nomor 169 Tahun 2000 tentang Pokok-Pokok Organisasi Pertamina.
Sejak
berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, maka
Undang-Undang Nomor 14 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi,
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1962 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak
Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang
Pertamina, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1974 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pertamina tidak berlaku lagi. Namun Peraturan
Pelaksanaan dari keempat undang-undang tersebut tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Mintak dan Gas Bumi.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Subjek
dan Objek dalam Kontrak Production
Sharing
Kontrak
production sharing hanya diberikan kepadakehiatan usaha hulu. Kegiatan
usaha hulu ini meliputi eksplorasi dan ekspoitasi. Sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001, maka para pihak yang terkait
dalam kontrak production sharing adalah Pertamina dan Kontraktor.
Konrtaktor itu dapat berasal dari kontrak ddalam negeri dan luar negeri. Dengan
berlakunyya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001, para pihak yang terkait dalam
kontrak production sharing , yaitu negara, yang diwakili oleh Badan
Pelaksana. Sedangkan pihak kedua atau kontraktornya adalah Badan Usaha dan
Badan Usaha Tetap.
Badan
Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan kegiatan
pengendalian usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi. Fungs Bdan Pelaksana ini
adalah melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha hulu agar pengamnilan
sumber daya alam minyak dan gas bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan
penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besarya kemakmuran rakyat
(Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Mintak dan Gas
Bumi; Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Mnyak dan Gas Bumi).
Tugas
Badan Pelaksana diatur dalam Pasal 44 yat (3) UndangUndang Nomor 22 tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumijo. Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun
2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Badan
Usaha adalah perusahaan berbenuk badan hukum yag menjalankan jenis usaha
bersifat tetap atau terus-menerus didirikan sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan RI.
Dari definisi Badan Usaha ini dapat dikemukakan ciri Badan Usaha yang bergerak dalam kegiatan minyak dan gas bumi,
yaitu :
1. berbentuk
badan hukum,
2. menjalankan
usaha tetap dan terus-menerus,
3. didirikan
sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan
4. bekerja
dan berkedudukan dalam wilaya Negara Kesatuan RI.
Badan
Usaha Tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar
wilayah Negara Kesauan RI yang melakukan kegiatan di wilayah Negara Kesatuan RI dan wajib mematuhi
peraturan perundang-undangan yang berlaku di RI. Ciri Badan Usaha Tetap yaitu :
1. berbadan
hukum asing (di luar wilayah Negara Kesatuan RI),
2. melakukan
kegiatannya di wilayah Indonesia, dan
3. wajib
mematuhi peraturan yang berlaku.
Objek
dari kontrak production sharing adalh
kegiatan usaha minyak dan gas bumi, terutama kegiatan usaha hulu yang mencakup eksplorasi dan eksploitasi. Eksplorasi adalah
kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologis untuk
menemukan dan memperoleh perkiraan cadang minyak dan gas bumi di wilayah kerja
yang ditentukan. Eksploitasi adalah
rangakaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak dan gas bumi dari
wilayah kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian
sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk
pemisahan dan pemurnian miyak dan gas bumi di lapangan, serta kegiatan lain
yang mendukungya.
B.
Hak-Hak dan
Kewajiban Para Pihak Dalam Kontrak Production Sharing
Hak
dan kewajiban badan usaha dan atau badan usaha tetap yang melaksanakan kegiatan
usaha hulu berdasarkan kontrak production
sharing diatur dalam pasal 31 undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang
minyak dan gas bumi.ada 2 macam kewajiban dari badan usaha dan badan usaha
tetap,yaitu:
1.
Membayar
pajak yang merupakan penerimaan Negara,dan
2. Membayar bukan pajak yang
merupakan penerimaan Negara,
Penerimaan
Negara yang berupa pajak ,terdiri atas:
1.
Pajak-pajak;
2. Bea masuk dan pungutan
lain atas impor dan cukai;
3. Pajak daerah dan
distribusi daerah
Penerimaan Negara bukan
pajak ,terdiri atas :
1.
Bagian
Negara ,merupakan bagian produksi yang diserahkan oleh badan usaha atau usaha
tetap kepada Negara sebagai pemilik sumber daya minyak dan gas bumi;
2. Iuran tetap,yaitu iuran
yang dibayar oleh badan usha atau atau usaha tetap kepada Negara sebagai
pemilik sumber daya minyak dan gas bumi sesuai luas wilayah kerja dan sebagai
imbalan ataskesempatan untuk melakukan kegiatan eksp;orasi dan eksploitasi;
3. Iuran eksplorasi dan
eksploitasi merupakan iuran yang dibayarkan oleh badan usaha atau usaha tetap
kepada Negara sebagai kompensasi atas
pengambilan kekayaan alam minyak dan gas bumi yang tak terbarukan;n-badan
4. bonus-bonus
dalah penerimaan dari bonus-bonus atau penandatanganan bonus kompensasi data
,bonus produksi dan bonus-bonus dalam bentuk apapun yang diperoleh badan
pelaksana dalam rangka kontrak production sharing.
Sejak
berlakunya otonomi daerah,pemerintah pusat berkewaajiban unuk mendistribusikan
kembali penerimaan Negara dari hasil minyak bumi dan gas bumi kepada pemerintah
provinsi dan kabupaten atau kota yang mempunyai sumber daya alam
tersebut.besarnya bagian yang diterima oleh pemerintah provinsi dan kabupaten
atau kota telah ditentukan dalam pasal 6 ayat (6) undang-undang nomor 25 tahun
1999 tentang perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah.di
dalam paal itu di tentukan 2(dua) macam sumber daya alam,yaitu sumber daya alam
minyak dan gas.bagian dari masing-masing pihak disajikan berikut ini.
1. Minyak bumi
Bagian
pemerintah pusat dari minyak bumi
sebanyak 85%;pemerintah daerah sebesar 15%.dari pembagian sebanyak 15%
maka bagian dari pemerintah provinsi yang bersangkutan sebanyak 3% (tiga persen);bagian kabupaten
atau kota pengahsil sebesar 6%;dan bagian kabupaten atau kota lainnya dalam
provnsi yang bersangkutan sebesar 6%
2.
Gas
alam
Bagian
pemerintah pusat dari gas alam sebesar 70%;pemerintah daerah sebesar 30%.dari
pembagian sebanyak 30%,maka bagian dari pemerintah provinsi yang bersangkutan
sebanyak 6% (enam persen);bagian kabupaten atau kota penghasil sebesar 12%;dan
bagian kabupaten atau kota lainnya dalam provinsi yang bersangklutan
sebesar12%.
Bagian
yang diterima oleh daerah sangat kecil.hal ini disbabkan biaya yang dikeluarkan
untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya minyak dan gas bumi
sangat besar dan diperlikan teknologi yang canggih.biasanya dalam melakukan
eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam tersebut harus mengadakan kontrak
production sharing dengan perusahaan domestic atau perusahaan asing.perusahaan
asing ini memiliki modal dan skill,sehingga mereka juga mempunyai hak untuk
mendapat bagian dari kontrak production sharing.haknya dalah menierima bagian
yang telah disepakati antara badan pelaksana dengan badan usha atau badan usaha
tetap,sbagaimana yang tercnatum dalam kontrak production sharing.
C.
Jangak Waktu Kontak Production Sharing
Jangka
waktu kontrak production sharing telah ditentukan dalam pasal 14 sampi dengan
pasal 15 undang-undang nomor 22 tahun
2001 tentang minyak dan gas bumi.jangka waktukontrak tersebut dilaksanakan
paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak ditandatanganinya dan diperpanjang untuk jangka waktu paling
lama 30 tahun.jangka waktu terdiri dari jangka waktu eksplorasi dan jangka
waktu eksploitasi .eksplorasi dalah
kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan
memperoleh perkiraan cadangan minyak dan
gas bumi di wilayah kerja yang di tentukan .jangka waktu kegiatan eksplorasi
dilaksanakn 6(enam) Tahun
dan dapat diperpanjang hanya 1(satu)kali periode yang dilaksanakan paling lama
4(empat) tahun,jadi total jangka waktu eksplorasi adalah selama 10
tahun.eksploitasi adalah suatu rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mengahasilkan
minyak dan gas bumi dari wilayah kerja yang ditentukan.eksploitasi itu terdiri
dari atas penegeboran dan penyelesaian sumur,pembangunan saran pengangkutan,penyimpanan, dan pengolahan untuk
pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi dilapangan serta kegiatan lain yang
mendukung.
D.
Pola Penyelesaian Sengketa
Di
dalam undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak ditemukan pasal
yang mengatur tentang penyelesaian sengketa,jika terjadi sengketa antara badan
usaha atau badan usaha tetap dengan baan pelaksana terhadap substansi kontrak
production sharing.pola peyelesaian sengketa telah ditentukan dan dituangkan
dalam kontrak production sharing yang dibuat para pihak.
Pola penyelesaian
sengketa dapat ditemukan dalam standar
kontrak tentang Kontrak Production Sharing,yang dibuat antara
pertamina dengan kontrak .hal ini dituangkan dalam section XI tentang
consutation and arbitration dalam
section ini ada 2 (dua) hal yang diatur,yaitu
tentang konsultasi antara pertamina dan kontraktor dan arbitrase.
Konsultasi ini
diatur dalam secrion XI.I. konsultasi antara pertamina dan kontraktor dapat
dilakukan pada waktu-waktu terentu.tujuannya untuk:
1.
Membahas
perkembangan pengoperasian minyak dan gas,
2. Membuat pertimbangan baru
atau kebijakan baru,dan atau
3. Kemungkinan risiko yang
akan dihadapi pada mas mendatang.
Pola penyelesain
sengketa yang diatur dalam section XI.2 dapat dilakukan dalam 2 tahap,yaitu
1.
Tahap
perdamaian dan
2. Arbitrase.
Pada
tahap perdamaian para pihak harus menjelaskan dan memusyawarahkan tentang
perselisihan yang timbul diantara mereka.mereka akan melihat pada penafsiaran
terhada[ substansi kontrak dan pelaksanaan kontrak..merka tetap berusaha untuk
menyelesaikan persoalan itu secara damai.
Jika cara damai
tidak dapat diselesaikan diantara mereka maka pertamina dan kontraktor dapat
menyelesaikannya melalui cara arbitrase.jumlah waitnya terdiri atas 3 orang
dengan komposisi sebagai berikut:
1.
Satu
orang wasit yang berasal dari pihak pertamina
2. Satu orang wasit yang
berasal dari pihak kontraktor
3. Satu orang wasit (arbiter)
yang netral,yang dipilih dan ditunjuk oleh pihak pertamina dan kontraktor
Keberadaan
arbiter dari para pihak dan seorang arbiter ang netral diharapkan nantinya akan
dapat menyelesaikan perselisihan yang muncul antara pertamina dan
kontraktor.apabila para arbiter (wasit) yang ditunjuk tidak dapat menyelesaikan persoalan antarmereka maka para
pihak dapat mengajukan persoalan tersebut kepada presiden dari international
chamber of commerce (ICC) (kamar dagang intersional) di paris .kegiatan dari
international chamber of commerce (ICC)
dalam bidang arbitrase,yaitu memberikan suatu metode penyelesaian sengketa yang
murah dan cepat (an inexpensive and quick method for settelement of dispute)
(huala adolf dan a chandrawulan,1995:185).ICC inilah yang merupakan aturan
hukum untuk menyelesaikan sengketa antara pertamina dan kontraktor.prosedur dan
syarat –syaratnya dapat dilihat pada kontrak joint venture.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada dasarnya kontrak bagi hasil merupakan bentuk kerja sama lain dalam
kegiatan eksplorasi dan ekploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnay
di pergunakan kemakmuran rakyat. Momentum di mulainya kontrak production sharing (KPS) yaitu pada
saat berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi.
Struktur dalam bagi hasil dalam undang –undang ini berbeda debgan undang
–undang yang lama. Pada undang-undang yang lama, yang menjadi para pihak
dadalah pertamina dan kontraktor. Sedangkn dalam Undang-Undang Nomer 22 tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi maka para pihaknya adalah badan pelksana dan
badan usaha dan atau badana usaha tetap.
B.
Saran
Sebaiknya bagian yang di terima oleh daerah
pendapatanya menjadi lebih tinggi
mengingat bagian yang di terima oleh daerah ini sangat kecil hal ini di
sebabkan biaya yang di keluarkan untuk melakukan ekplorasi dan ekploitasi
sumber daya minyak sangat besar dan di perlukan teknologi yang sangat canggih,
dalam hal melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam tersebut di
adakan kontrak production sharing dengan perusahaan domestic dan perusahaan
asing. Karena perusahaan asing memiliki modal dan skil yang tinggi, sehingga
mereka mempunya hak untuk mendapatkan bagian yang tinggi pula, oleh karena itu
di harapkan agar baik pihak pemerintah lebiih menggalakan baik sumber daya
manusi terlebih skil dan modal agar pendapatan dari eksplorasi dan eksploitasi lebih
menguntungkan pihak pemerintah dan maupun perusahaan domestic.
DAFTAR
PUSTAKA
H.S,
Salim 2005. Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001
Undang-Undang Nomor 14
Prp Tahun 1960
Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 1962
Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1962
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1971
Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1974
Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 1982
Peraturan
Pemerintah nomor 35 Tahun 1994
Keputusan
Presiden Nomor 42 Tahun 1989
Keputusan
Presiden Nomor 169 Tahun 2000