BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Penulisan
Santet pada umumnya memang sulit untuk
dipahami atau dimengerti makna nya, namun pada dasarnya santet merupakan bagian
dari ilmu gaib yang memang dipercaya atau diyakini oleh beberapa atau sebagian
masyarakat. Santet menurut beberapa opini juga dapat menyebabkan seseorang
sebagai korban dikarenakan penyalahgunaan santet tersebut yang digunakan
sebagai media untuk membuat orang celaka, sakit, atau bahkan kematian. Oleh
karena santet dapat menyebabkan seseorang sebagai korban maka santet dapat
digolongkan sebagai tindak pidana. Tindak Pidana sebagaimana yang dirumuskan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 11 ayat 1 yang merupakan
perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan
dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.
Adapun latar belakang filosofi santet dapat
digolongkan menjadi tindak pidana adalah karena santet diakui dan dipercaya
keberadaannya di masyarakat, dan menimbulkan keresahan, namun tidak dapat
dicegah dan diberantas melalui hukum karena kesulitan dalam hal pembuktiannya.
Dengan alasan tersebut maka perlu dibentuk tindak pidana baru mengenai santet
yang sifatnya mencegah agar perbuatan tersebut tidak terjadi.
Ditinjau dari pengertiannya, kriminalisasi adalah
proses mengangkat perbuatan yang semula bukan perbuatan pidana menjadi
perbuatan yang dapat dipidana.
Proses
kriminalisasi ini terdapat didalam tahap formulasi dari pembaharuan hukum
pidana. Masalah kriminalisasi ini sangat erat kaitannya dengan criminal policy.
Criminal policy adalah usaha yang rasional baik dari masyarakat/pemerintah
untuk menaggulangi tindak pidana baik menggunakan sarana penal maupun non
penal. Seiring berkembangnya zaman, pembaharuan peraturan hukum pidana memang
perlu dilakukan sebagai kebijakan hukum pidana yang dapat disebut pula sebagai
politik hukum pidana.
Pengertian kebijakan atau politik hukum
pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun kriminal. Menurut Prof. Sudarto,
“Politik Hukum” adalah:
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu saat.
b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan
untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai
apa yang dicita-citakan.
Penggunaan upaya hukum termasuk hukum
pidana, sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam
kebijakan penegakan hukum karena tujuanya untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum ini pun termasuk
kedalam kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat.
Sebagai suatu masalah yang termasuk masalah
kebijakan, penggunaan hukum pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan.
Tidak ada kemutlakan dalam bidang kebijakan, karena pada hakikatnya dalam
masalah kebijakan penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif.
Dengan demikian, masalah pengendalian atau
penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana, bukan hanya merupakan
problem sosial tetapi juga masalah kebijakan.
Meninjau masalah santet dalam perspektif
hukum, berarti meninjau sebagai salah satu permasalahan hukum yang perlu adanya
kajian lebih dalam tentang bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap tindak
pidana santet karena santet merupakan perbuatan gaib yang sulit dalam
pembuktianya secara hukum.
Sebagaimana yang kita ketahui, Indonesia
merupakan Negara yang kental akan budaya masyarakatnya. Seperti halnya apa yang
ada pada masyarakat Indonesia di pedalaman, ataupun pribumi. Pola – pola
budaya tersebut melahirkan berbagai macam tardisi, kepercayaan dan juga masih
kental dengan hal –
hal mistik. Kepercayaan masyarakat terkait hal mistik
masih mengakar dengan cukup kuat menjadi sebuah mitos tersendiri di
tengah-tengah masyarakat. Cara pandang masyarakat tentang santet menjadikan
santet seperti sudah membudaya di kalangan masyarakat.
Kekuatan ilmu ghaib atau santet seringkali
digunakan untuk alat memenuhi kepentingan manusia – manusia
yang berdilema. Dan sering fenomena ini kita temui dalam jasa dunia perdukunan
di Indonesia. Jasa yang ditawarkan sangat berfariasi, seperti susuk, sumber
rejeki, cepet jodoh, dan yang menjadi masalah terbesar adalah santet jasa ghaib
ini digunakan untuk ajang perang kasat mata dan berujung pada kekerasan
psikolgis manusia serta kematian bagi manusia yang terkena santet. Sehingga
sering ditemukan adanya masyarakat yang menjadi korban dimana mereka menderita
sakit bahkan kematian yang tidak masuk akal dalam dunia kedokteran sebagai
akibat tukang teluh atau dukun santet. Penyelewangan seperti ini yang menjadi
akar permasalahan dalam penegakan hukum, dan pemberian sanksi untuk aktor
santet.
Ketika ritual adat yang kental dengan hal
ghaib diselewengkan fungsinya untuk kepentingan tertentu. Dalam hal ini, hukum
Indonesia belum bisa menjelajah dan menetapkan sanksi atas aktifitas santet
yang merugikan sebagian orang. Dan secara sosiologi hukum dapat dijelaskan
bahwa kekuatan –
kekuatan santet atau sihir ada yang bisa dibuktikan
kebenarannya melalui alat – alat praktinya. Serta
belum juga bisa dibuktikan praktiknya dan ini masih terkait dengan kendala
praktik ilmu sihir perdukunan yang kasat mata.
Fenomena dunia perdukunan dan santet ini
lah yang sering kali kaku dalam menafsirkan prosedur hukumnya, karena magis
atau santet dapat dipahami sebagai perilaku kriminal yang merusak dan tidak
terlihat oleh mata telanjang. Merujuk dari apa yang dikatakan oleh Baharudin
(2007) mendefinisikan bahwa santet sebagai tindakan yang merusak kesejahteraan
orang lain dengan motif balas dendam atau sakit hati. Tindakan ini menyebabkan
sakit, kematian, dan berbagai bentuk penderitaan lain serta dikategorikan
sebagai tindak kriminal. Selanjutnya dalam persoalan penegakan hukum Indonesia
yang tertulis rapi dalam UU ternyata menyisahkan cerita baru.
Berdasarkan latar belakang di atas,
penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut dan menuangkannya ke
dalam sebuah makalah yang sederhana ini dengan judul : “Pengaturan Tindak Pidana Santet Dalam Konsep Rancangan Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Di Indonsesia.”
B.
Identifikasi
Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam latar
belakang penulisan, maka penulis membatasi pokok permasalahan dalam penulisan
makalah ini sebagai berikut:
1. Apakah
yang menjadi latar belakang kriminalisasi santet sebagai tindak pidana?
2. Bagaimanakah
perumusan santet sebagai tindak pidana dalam konsep RUU KUHP di Indonesia, KUHP
Papua New Guinea dan Hukum Islam ?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk
mengetahui, memahami, dan menganalisis latar belakang kriminalisasi santet
sebagai tindak pidana.
2. Untuk
mengetahui, memahami, dan menganalisis perumusan santet sebagai tindak pidana
dalam konsep RUU KUHP di Indonesia, KUHP Papua New Guinea dan Hukum Islam.
D.
Kegunaan
Penulisan
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat, yaitu:
1. Secara
teoritis, penulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan serta memeberikan
manfaat serta sebagai bahan masukan bagi pengembangan ilmu hukum khususnya
hukum pidana yang berkaitan dengan pengaturan tindak pidana santet dalam
rancangan undang-undang kitab undang-undang hukum pidana di Indonesia.
2. Secara
praktis, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap masyarakat
agar mengetahui bahwa santet juga dapat diartikan sebagai tindak pidana
sehingga santet tidak lagi menimbulkan keresahan dan dapat dicegah di dalam
kehidupan masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Latar
Belakang Kriminalisasi Santet Sebagai Tindak Pidana
Santet dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
“sihir/magic” diartikan sebagai:
1. Perbuatan
ajaib yang dilakukan dengan pesona dan kekuatan gaib (guna-guna, mantra dan
sebagainya).
2. Ilmu
tentang cara pemakaian kekuatan gaib, ilmu gaib (teluh, tuju dan sebagainya).
Selanjutnya dinyatakan pula bahwa “teluh”
atau tenung adalah ilmu hitam untuk merugikan orang lain, di samping itu
“tenung” juga dapat berarti “kepandaian dan sebagainya untuk mengetahui
(meramalkan) sesuatu yang gaib (seperti meramal nasib)”
Permasalahan santet ini sebenarnya bila
dilihat di masa lalu yaitu ketika zamannya kerajaan Majapahit. Walupun dalam
sistemhukum perundang-undangan saat ini belum dicantumkan hanya dicantumkan
dalam konsep RUU KUHP (Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana). Sebenarnya kalau melihat sistem hukum masa lalu yang pernah ada, yaitu
sistem hukum yang digunakan pada masa Kerajaan Majapahit, di dalam Pasal 13
Peraturan Perundang-undangan Majapahit permasalahan yang berkaitan dengan
tenung/santet dirumuskan sebagai delik.
Di zaman Majapahit, perbuatan tenung
dipandang sebagai salah satu dari enam “tatayi”
(kejahatan) berat diancam dengan pidana mati. Demikian pula di dalam beberapa
sumber hukum adat di Indonesia. Misalnya dalam hukum adat Dayak “kanayatan”, dijumpai istilah “nyampokng nyawa” (yaitu, usaha membunuh
orang lain dengan mistik/ guna-guna). “Nyampokng
padi” (perbuatan secara mistik sebagai usaha untuk merusak hasil panen/padi
di lading/sawah orang lain), dan “sarapo”
(perbuatan meletakkan/menyimpan suatu barang ke dalam rumah orang lain secara
tidak wajar, sehingga diartikan seolah-olah perbuatan “nyampokng”).
Selain dari itu perbuatan yang bersifat
mistik/gaib/metafisika sulit diterima dalam sistem hukum yang formal dan
rasional.namun demikian, tidak berarti semua perbuatan yang berhubungan dengan
masalah gaib tidak dapat diatur dalam sistem perundang-undangan yang formal dan
rasional. Misalnya dalam KUHP yang saat ini berlaku dalam Pasal 545-547 ada
ketentuan/larangan mengenai:
a. Perbuatan
(sebagai) pencarian untuk menyatakan oeruntungan/ nasib
seseorang,untukmengadakan permalan atau penafsiran mimpi (Pasal 545).
b. Menjual,
menawarkan,menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan untuk
dijual/dibagikan, jimat-jimat atau benda-benda yang dikatakan olehnya mempunyai
kekuatan gaib (Pasal 546).
c. Saksi
di persidangan memakai jimat-jimat atau benda-benda sakti (Pasal 547).
Dari ketentuan di atas terlihat adanya
hal-hal yang bersifat gaib/superanatural yaitu, peramalan nasib/mimpi dan jimat
atau benda-benda sakti/ berkekuatan gaib. Jadi dalam hal ini hukum formal dapat
atau mungkin saja mengatur hal-hal yang gaib/superanatural, sepanjang yang
diatur bukan substansi gaibnya, tetapi perbuatan yang berhubungan dengan
hal-hal gaib itu.
Permasalahan mengenai santet ini termasuk
ruang lingkup maslah kebijakan /politik hukum pidana (criminal law/penal policy) yang sekaligus juga merupakan bagian
dari masalah kebijakan penegakan hukum (law
enforcement) dan kebijakan kriminil/kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy), dengan sendirinya
bergantung kepada pembuat/ pengambil kebijakan untuk menentukan perlu atau
tidaknya masalah persantetan ini dikriminalisasi/rekriminalisasi.
Salah satu pertimbangan
meng-kriminalisasi-kan suatu perbuatan (khususnya yang berhubungan dengan
masalah persantetan) ialah perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan praktik
persantetan itu termasuk perbuatan yang dipandang sangat
tercela/membahayakan/merugikan kehidupan bermasyarakat atau tidak.
Di zaman Majapahit dan dalam lingkungan
masyarakat adat hal ini merupakan sebuah delik. Bahkan seperti yang dikemukakan
di atas mengenai santet/tenung di masa Majapahit merupakan kejahatan yang berat
yang pantas diancam dengan pidana mati. Keadaan sekarang memang tidak sama
dengan masa lalu. Sehingga alasan itulah yang menjadi pertimbangan untuk
meng-kriminalisasi-kan permasalahan tindak pidana santet ini.
Dalam persoalan mengenai santet ini dalam
politik kriminal, tidak perlu dikaitkan dengan masalah keyakinan/kepercayaan
orang pada ada/tidaknya santet itu. Yang penting adalah, apakah praktik
persantetan itu dalam kenyataannya ada atau tidak dan apakah perlu dicegah atau
tidak dengan hukum pidana. Jadi, sama halnya dengan masalah peramalan
nasib/mimpi dan jimat-jimat yang diatur di dalam KUHP yang telah diuraikan di
atas sebelumnya.
B.
Perumusan
Santet Sebagai Tindak Pidana dalam Konsep RUU KUHP di Indoenesia, KUHP Papua
New Guinea dan Hukum Islam
1.
RUU
KUHP Indonesia
Dalam
upaya mengkriminalisasikan perbuatan yang berhubungan dengan persantetan,
Konsep KUHP Baru hanya menitikberatkan perhatiannya terhadap pencegahan
(prevensi) dilakukannya praktik santet oleh para juru/tukang santet. Yang akan
dicegah/diberantas ialah profesi atau pekerjaan tukang santet yang memberikan
bantuan kepada seseorang untuk menimbulkan kematian atau
mencelakakan/menderitakan orang lain. Dengan perkataan lain, yang akan
dikriminalisasikan ialah perbuatan melawan menawarkan/memberikan jasa dengan
ilmu santet untuk membunuh atau mencelakakan/menderitakan orang lain.
Penerapan
Pasal 293 tentang penyantetan dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) menimbulkan berbagai tanggapan Pro dan Kontra. Ada sebagian
yang menganggap bahwa kriminalisasi santet hanya dapat menimbulkan fitnah, hal
ini dikarenakan belum ada bukti yang nyata untuk bisa memperkuat dan
membuktikan sebuah kasus santet, namun bukan hal itu yang dimaksud apabila
dilihat dari segi delik formilnya. Oleh sebab kesulitan pembuktian itulah maka
Pasal 293 (dulu Pasal 292 RUU tahun 2004) menggunakan rumusan tindak pidana
secara formil, yang bukan mempidana perbuatan santetnya melainkan mempidana
perbuatan-perbuatan tertentu yang sesungguhnya merupakan perbuatan-perbuatan
sebelum perbuatan itu benar-benar dilakukan.
Pasal 293 RUU KUHP 2013 merumuskan:
(1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekatan gaib,
memberitahukan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang
lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian,
penderitaan mental dan fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1)
melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai
mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per
tiga).
Rumusan tindak pidananya terdapat pada ayat
(1), yang jika dirinci terdiri dari unsur-unsur berikut:
a. Perbuatannya;
1. Menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib;
2. Memberitahukan harapan;
3. Menawarkan jasa
4. Memberikan bantuan jasa
b. Objeknya;
Pada
orang lain bahwa karena perbuatnnya dapat menimbulkan penyakit, kematian, dan
penderitaan mental atau fisik seseorang.
Mungkin perumusan sementara di atas masih
dirasakn kurang memuaskan, namun yang
jelas ingin dijaring dengan perumusan itu ialah praktik tukang santet/tenung
yang menawarkan/memberikan jasa kepada orang lain untuk melakukan kejahatan,
khususnya yang menimbulkan kematian/penderitaan. Dalam perumusan Pasal 293
Konsep di atas disejajarkan ke dalam delik-delik mengenai “penawaran bantuan untuk melakukan tindak pidana”.
Untuk jelasnya dikutipkan bunyi Pasal 291 RUU KUHP:
Setiap
orang yang dengan lisan atau tulisan menawarkan untuk memberi keterangan,
kesempatan, atau sarana untuk melakukan tindak pidana, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II.
Jadi diadakannya perumusan Pasal 293 RUU
KUHP sebenarnya dimaksudkan untuk memperluas jankauan Pasal 291 di ata kepada
bentuk yang lebih khusus dan berdiri sendiri terlihat pula secara tersebar di
dalam beberapa Pasal KUHP sekarang, antara lain:
a. Pasal
333 (4) : member tempat untuk perampasan kemerdekaan yang melawan hukum.
b. Pasal
349 : dokter/bidan yang melakukan atau membantu melakukan delik-delik abortus
provokatus.
c. Pasal
415 : menolong/membantu seorang pejabat yang menggelapkan uang atau surat
berharga.
d. Pasal
417 : menolong/ membantu seorang pejabat yang menggelapkan, menghancurkan,
merusak atau membuat tidak dapat dipakai barang-barang bukti.
Dibandingkan
dengan perumusan delik-delik pemberian bantuan yang sudah ada di dalam KUHP,
memang perumusan delik di dalam Pasal 293 RUU KUHP dirasakan kurang tegas atau
agak samar, dalam arti tidak begitu mudah ditangkap bahwa yang dimaksud yang
dilarang ialah perbuatan menawarkan/memberikan bantuan jasa dengan ilmu
santet/kekuatan magis untuk menimbulkan kematian atau penderitaan orang lain.
Dalam
Pasal 293 ini pun mempunyai beberapa kelemahan diantaranya:
a. Perumusan/pemberian
jasa persantetan untuk tujuan-tujuan jahat lain yang tidak bermaksud
menimbulkan kematian/penderitaan orang lain.
b. Praktik
persantetan atau perbuatan menyantet/menenung yang dilakukan oleh orang yang
mempunyai kekuatan magis atau oleh tukang santetnya itu sendiri, tanpa
perminataan orang lain.
Mengenai
perbuatan menyantet/menenung yang dilakukan oleh si pelaku itu sendiri,
berdasarkan bentuk perumusan di dalam Pasal 13 Peraturan Perundang-undangan
Majapahit sebagai berikut:
Barang siapa menulis nama orang lain di
atas kain orang mati atau di atas peti mati, atau di atas dodot yang berbentuk
boneka atau barang siapa yang menanam boneka tepung yang bertuliskan nama di
kuburan,menyangsangkannya di atas pohon, di tempat sangar, atau di jalan
simpang, orang yang demikian itu sedang menjalankan tenung yang sangat
berbahaya.
Barang siapa menuiskan nama orang lain di
atas tulang, di atas tengkorak dengan sarang, darah atau trikatuka dan
kemudidan merendamnya di dalam air, atau
menanmnya di tempat penyimksaan, perbuatan itu disebut menenung.
Apabila
dilihat dari Pasal 13 Peraturan Perundang-undangan Majapahit, maka dapatlah
diketahui unsur-unsur daripada tenung/menenung, unusr-unsur tersebut ialah:
1. Unsur-unsur
tenung :
a. Menulis
nama orang lain: di atas kain orang mati, di atas peti mati, di atas dodot yang
berbentuk boneka;
b. Menanam
boneka tepung yang bertuliskan nama di kuburan; dan
c. Menyangsangkan
: di atas pohon, di tempat sangar atau di jalan simpang.
2. Unsur-unsur
menenung :
a. Menuliskan
nama orang : di atas tulang, di atas tengkorak;
b. Nama
itu ditulis dengan arang, darah dan trikatuka;
c. Merendamnya
di dalam air; dan
d. Menanamnya
di tempat penyiksaan.
2.
KUHP
Papua New Guinea
Salah
satu negara tetangga Indonesia memiliki Undang-undang Tindak Pidana Sihir
sebagai lex specialis dari KUHP Negara trsebut. Negara tersebut adalah Papua
Nugini atau Papua New Guinea. Di Papua Nugini, tindak pidana sihir terdapat
pada Bab 274 tentang Undang-Undang Sihir Tahun 1971. Undang-undang tersebut
memberikat pengertian perbuatan menyihir yang berarti setiap perbuatan (meliputi satu upacara tradisional atau upacara agama)
itu dimaksudkan untuk bawakan, atau yang mengaku untuk dapat atau disesuaikan
untuk bawakan, kekuatan dari ilmu sihir ke dalam aksi, atau untuk membuat
mereka kemungkinan atau membawa mereka ke dalam akibat . Selain itu, di
dalam undang undang tersebut juga memberikan pengertian tentang sihir (ilmu
sihir) dan penyihir (tukang sihir).
“tukang sihir ” seseorang berarti barang siapa yang
melakukan tagihan hutang dengan menggunakan ilmu sihir atau (b)secara langsung
atau secara tidak langsung berpura-pura untuk memiliki, menggenggam sendiri di
luar pagar untuk mempunyai atau menyatakan untuk memiliki, kekuatan dari ilmu
sihir; “ilmu sihir ” meliputi (tanpa
perubahan keadaan umum dari ekspresi itu) apa itu dikenal, dalam berbagai
bahasa dan bagian dari negara, seperti guna-guna, sihir, keterpikatan, puri
puri, mura mura dikana, vada, mea mea, sanguma atau malira, apakah atau tidak
berhubungan dengan atau terkait ke hal-hal yang gaib.
Jenis jenis pidana di dalam undang undang Sihir
tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Ilmu sihir umumnya :
(1)
bagian Ini tidak menerapkan jika dimana
ilmu sihir yang dilibatkan adalah ilmu sihir tidak bersalah hanyalah.
(2)
barang siapa, secara langsung atau secara
tidak langsung, pura-pura, menyatkan
sendiri di muka umum , atau menyaatakan seorang tukang sihir adalah bersalah
dari satu penyerangan.
(3)
Seseorang yang mempengaruhi atau mencoba
untuk mempengaruhi perbuatan dari orang lain oleh penggunaan atau penggunaan
terancam dari orang-orang yang berwenang atau jasa dari satu tukang sihir
seperti halnya adalah bersalah dari satu penyerangan.
Hukuman:
Pada hukuman pada indictment–imprisonment untuk satu masa tidak dua tahun
pelebih. Pada rangkuman conviction–imprisonment untuk satu masa tidak tahun
sesuatu pelebih.
b.
Perbuatan jahat dari ilmu sihir:
Barang
siapa:
(1)
apakah apapun ulah dari ilmu sihir
melarang; atau
(2)
bantuan, sekutu, nasehat atau memperoleh,
atau dengan akta atau penghilangan adalah bagaimanapun juga dengan sadar
terkait di atau pihak ke, melakukan dari apapun akta demikian,
adalah bersalah dari satu penyerangan.
Hukuman:
Pada hukuman pada indictment–imprisonment untuk satu masa tidak lima tahun
pelebih.
Pada rangkuman conviction–imprisonment untuk satu masa tidak tahun sesuatu
pelebih.
c.
Mencoba untuk melakukan penyerangan atas pertolongan
ilmu sihir:
(1)
Kalau satu ulah dari ilmu sihir
dimaksudkan untuk menghasilkan atau mengaku untuk menghasilkan apapun hasil
tidak sah, orang melakukan akta adalah bersalah dari satu coba untuk
menghasilkan hasil itu dan adalah yang dapat dihukum bersesuaian.
(2)
apapun Sekalipun di lain hukum, fakta yang
hasil tidak sah lakukan sesungguhnya ikuti ulah dari ilmu sihir tidak mencegah
satu beban dari satu penyerangan tercoba dibawakan di bawah Subseksi (1 ), tapi
tidak ada apapun di pengaruh bagian ini operasi dari Bagian 20
d.
Mengurus unsur penyerangan menggunakan
ilmu sihir, dan sebagainya:
(1)
bagian Ini tidak menerapkan dimana ulah
dari ilmu sihir melibatkan adalah satu ulah dari tidak berdosa ilmu sihir
hanyalah.
(2)
Seseorang siapa tidak dengan sah urus ke
orang lain atau ke satu binatang.
(a)
apapun unsur yang telah subjek perbuat dan lakukan dari ilmu
sihir; atau
(b)
apapun unsur pada sepanjang atau di
pemenuhan dari perbuatan/melakukan ilmu sihir, adalah bersalah dari satu
penyerangan.
Hukuman:
Hukuman penjara untuk satu masa tidak delapan tahun pelebih.
e.
Laporan palsu dari ilmu sihir, dan sebagainya.
(1)
bagian Ini tidak menerapkan jika dimana
ilmu sihir yang melibatkan atau tuduhan terbelit adalah ilmu sihir tidak
bersalah hanyalah.
(2)
Fitnah Menindak 1962 tidak berlaku bagi
atau dalam hubungan dengan satu penyerangan melawan Subseksi (3 ) atau (4 ).
(3)
(3 ) Seseorang siapa (terkecuali pada
sepanjang, atau dengan maksud institusi dari, berproses sah atau di apapun
kasus other dimana demikian satu pendakwaan atau ancaman adalah istimewa
atau pemaaf di mata hukum) dengan licik menuduh, untuk sepertiga person,
atau ancam untuk menuduh of– orang lain.
(a)
adalah satu tukang sihir atau melaksanakan
atau mempunyai terlaksana satu ulah dari ilmu sihir; atau
(b)
atau telah dikaitkan di, atau satu pihak ke,
satu ulah dari ilmu sihir, adalah bersalah dari satu penyerangan.
Hukuman:
Hukuman penjara untuk satu masa tidak tahun sesuatu pelebih.
f.
Pemilikan dari penerapan dengan ilmu sihir
melarang.
Seseorang siapa, tanpa permintaan maaf sah menurut hukum (bukti dari yang
mana berada di atas dia), punya pada pemilikannya satu implement
(1)
terbuat atau diadaptasi untuk pergunakan
pada satu tertentu ulah dari melarang ilmu sihir; atau
(2)
dimaksud untuk pergunakan pada satu ulah
dari ilmu sihir melarang, adalah bersalah dari satu penyerangan.
Hukuman:
Hukuman penjara untuk satu masa tidak tahun sesuatu pelebih.
Adapun
jenis-jenis tindak pidana sihir beserta pidana di dalam Undang-undang sihir
Papua Nugini menurut Laporan Komisi Pembaharuan Hukum dalam praktik sebagai
berikut:
1. Berpura-pura
sebagai penyihir, pidana penjara pada Pengadilan Negeri 1 tahun, pidana penjara
pada Mahkamah Agung 2 tahun penjara.
2. Menggunakan
sihir untuk mempengaruhi orang lain, pidana penjara pada Pengadilan Negeri 1 tahun,
pidana penjara pada Mahkamah Agung 2 tahun.
3. Melakukan
sihir jahat dan membantu melakukan sihir jahat tersebut, pidana penjara pada
Pengadilan Negeri 1 tahun, pidana penjara pada Mahkamah Agung 5 tahun.
4. Menyediakan
sesuatu untuk melakukan sihir jahat, pidana penjara 8 tahun.
5. Memiliki
peralatan untuk melakukan sihir jahat, pidana penjara 1 tahun.
6. Percobaan
melakukan sihir, pidananya tergantung pada jenis kejahatan yang dilakukan.
7. Berpura-pura
melakukan sihir atau memberikan ramalan atas nasib, pidana penjara 1 tahun.
Menuduh orang lain
melakukan sihir, pidana penjara 1 tahun
Menurut Komisi
Pembaharuan untuk Reformasi Hukum (Law Reform Commission) Papua Nugini
(dibentuk berdasarkan Undang-undang Komisi Pembaharuan untuk Reformasi Hukum
Papua Nugini Tahun 1975) ketika memberi penafsiran terhadap ketentuan Part V,
bukti dalam kasus sihir tidak ditentukan secara ketat, dalam artian majelis
hakimlah dalam kasus per kasus yang akan melakukan pemeriksaan dalam proses
peradilan, atau dengan kata lain pengamatan hakim dipersidangan juga dapat
berperan sebagai alat bukti tersendiri.
Selain itu
kepemilikan instrumen sihir harus menjadi bukti bahwa ia melakukan perbuatan
sihir ketika bukti lain tidak ditemukan. Dengan demikian standar alat bukti
adalah adanya kepemilikan perangkat atau benda-benda sihir dan pengamatan hakim
saat persidangan. Undang-undang sihir ini menurut pemberitaan terakhir, yaitu
menurut Radio New Zealand tanggal 29 Mei 2013, telah dicabut oleh pemerintah
Papua Nugini dan menggantikannya dengan pidana mati.
3.
Hukum
Islam
Adapun kalangan yang menolak pasal santet masuk KUHP
kerap menyebut bahwa kalau A menuduh B menyantet dirinya, maka itu tidak bisa
dibuktikan. Sehingga adanya pasal KUHP akan sia-sia. Oleh karena itu, dibiarkan
saja. Namun cara berfikir ini berarti akan membiarkan adanya santet di
masyarakat yang meresahkan. Juga adanya kasus-kasus main hakim sendiri oleh
masyarakat yang sudah tidak tahan dengan beredarnya gosip-gosip bahwa si
fulan tukang santet yang telah membunuh banyak orang dengan santetnya. Artinya
KUHP tidak tahu caranya mengatasi bahaya santet di masyarakat. Jika demikian,
maka KUHP adalah hukum yang tidak tahu mengatasi masalah atau bahasa
Arabnya “Hukuml Jahliyyah” (lihat QS.Al Maidah 50).
Menurutt hukum pidana Islam yang merupakan hukum Allah
Yang Maha Kuasa, Tuhan YME, sihir adalah perkara yang dilarang. Dalam QS. Al
Baqarah 102, Allah mengistilahkan penggunaan sihir sebagai perbuatan kafir dan
sihir adalah ajaran syetan. Artinya, sihir masuk kategori perbuatan kriminal
(jarimah) maka harus dicegah dengan hukuman (uqubat).
Di dalam kitab Al Umm Juz I/256, Imam As
Syafi’i meriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin al Khaththab r.a. memerintahkan
pejabatnya menghukum mati para tukang sihir dan tercatat pejabat
pemerintah waktu itu mengeksekusi tiga orang tukang sihir.
Menurut Imam As Syafi’i, jika diajukan ke mahkamah,
maka hakim harus meminta tukang sihir menggambarkan sihirnya. Jika sihirnya
berupa kata-kata yang jelas-jelas kufur, maka tukang sihir itu diminta
bertobat. Bila tidak mau bertobat, dia dihukum mati dan hartanya disita negara.
Kalau mantra-mantra tukang sihir tidak menunjukkan kekufuran dan tidak
mencelakakan orang, maka dia dilarang saja tapi tidak dihukum. Jika dia
mengulangi mantra sihir itu, maka dia dihukum ta’zir, berupa hukum
cambuk, penjara, atau kerja paksa. Jika dia tahu bahwa sihirnya membahayakan
orang walau tidak sampai mematikan, maka dia dihukum ta’zir.
Namun jika dia mengerjakan sihir yang mematikan
sasaran dan dia memang sengaja menyihirnya hingga mati, maka penyihir itu
dihukum mati sebagai qishash. Kecuali jika wali korban memilih
memaafkannya dengan mengambil diyat atau ganti rugi senilai 1000 dinar atau 2,4
miliar rupiah. Jika dia mengaku salah sasaran, maka dia wajib bayar diayat dan
tidak diqishash. Kalau dia mengaku memang menyihirnya tapi sihirnya hanya
menimbulkan penyakit, tidak mematikan, maka ahli waris korban harus bersumpah
bahwa mayyit meninggal karena terkena sihirnya dan ahli waris berhak dapat
diyat, bukan qishash.
Menurut Al Mawardi dalam Al Hawi al Kabir Juz
13/97-98, seorang yang dituduh tukang sebagai sihir tidak boleh dihakimi massa.
Dia diajukan ke pengadilan dan akan ditanya oleh hakim apakah benar yang
didakwakan?.Jika dia menolak, maka dia diminta bersumpah bahwa dia bukan tukang
sihir dan tidak menyihir. Maka dia akan dibebaskan dari tuduhan setelah
bersumpah.
Jelas hukum syariat Islam sebagai hukum Allah Yang
Maha Kuasa sangat bisa mengatasi kejahatan santet, sihir, teluh, atau apapun
namanya untuk melindungi keselamatan jiwa dan menjaga ketertiban
masyarakat. Ini perlu masuk KUHP. Lebih perlu lagi, seluruh pasal dalam RUU
KUHP distandarisasi oleh para ulama ahli syariah dengan hukum syariat Allah
yang Maha Tahu cara mengatasi seluruh masalah manusia. Kesanalah para anggota
DPR belajar, bukan studi banding ke Eropa.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasrakan uraian yang telah dipaparkan
di atas maka penulis mengambil kesimpulan bahwa:
1. Latar
belakang mengenai kriminalisasi tindak pidana santet ialah, pertama pertimbangan meng-kriminalisasi-kan suatu
perbuatan (khususnya yang berhubungan dengan masalah persantetan) ialah
perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan praktik persantetan itu termasuk
perbuatan yang dipandang sangat tercela/membahayakan/merugikan kehidupan
bermasyarakat atau tidak. Di zaman Majapahit dan dalam lingkungan masyarakat
adat hal ini merupakan sebuah delik. Bahkan seperti yang dikemukakan di atas
mengenai santet/tenung di masa Majapahit merupakan kejahatan yang berat yang
pantas diancam dengan pidana mati. Keadaan sekarang memang tidak sama dengan
masa lalu. Sehingga alasan itulah yang menjadi pertimbangan untuk
meng-kriminalisasi-kan permasalaha tindak pidana santet ini.
Kedua, karena secara
filosofi santet diakui dan dipercaya keberadaannya di masyarakat, dan
menimbulkan keresahan, namun tidak dapat dicegah dan diberantas melalui hukum
karena kesulitan dalam hal pembuktiannya. Dengan alasan tersebut maka perlu
dibentuk tindak pidana baru mengenai santet yang sifatnya mencegah agar
perbuatan tersebut tidak terjadi.
2. Pada
hakikatnya ketiga sistem hukum ini sama-sama mempunyai aturan yang mengatur
mengenai perumusan tindak pidana santet ini:
Untuk Indonesia
sendiri tindak pidana santet diatur dalam RUU KUHP, walaupun kenyataannya demikian,
tapi dalam RUU KUHP mengenai santet sendiri masih ada beberapa kekurangan,
serta yang disayangkan para pembuat undang-undag/legislative sampai saat ini
sudah hamper setengah abad belum saja merampungkan RUU KUHP yang sekarang masih
terus digodog.
Untuk Papua New
Guinea senidri sudah lama sekali mempunyai aturan mengenai tindak pidana sihir
ini yaitu terdapat pada Bab 274 tentang Undang-Undang Sihir Tahun 1971. Serta
jenis-jenis tindak pidana sihir ini pun sudah diatur. Indonesia sampai saat ini
hanya mempunyai aturan yang berupa RUU saja.
Untuk Hukum Islam
sendiri mengenai ketentuan tentang sihir ini merupakan hukum yang mengatur
samapi ke detail-detailnya, elas
hukum syariat Islam sebagai hukum Allah Yang Maha Kuasa sangat bisa mengatasi
kejahatan santet, sihir, teluh, atau apapun namanya untuk melindungi
keselamatan jiwa dan menjaga ketertiban masyarakat.
B.
Saran
1. Kepada
pembuat undang-undang/legislative diharapkan segera merampungkan dan
mengesahkan RUU KUHP ini, soalnya bagaimanapun juga RUU KUHP ini merupakan
aturan umum yang mengatur segala sesuatu mengenai tindak pidana. Agar khususnya
mengenai tindak pidana santet bisa dicegah dan ditanggulangi apabila aturannya
sudah berlaku.
2. Diharapkan
juga kelemahan-kelamahan khsususnya dalam rumusan tindak pidana santet
diperbaiki dan disesuaikan dengan kebutuhan.
3. Lebih perlu lagi, seluruh pasal dalam RUU
KUHP khususnya mengenai sihir, santet atau yang semisalnya distandarisasi oleh
para ulama ahli syariah dengan hukum syariat Allah yang Maha Tahu cara mengatasi
seluruh masalah manusia.
4. Untuk
anggota DPR ketika melakukan studi banding, maka menurut hemat penulis syariat
hukum islam lah yang harus dijadikan studi banding, dalam hal ini studi banding
ke Negara-negara yang sudah menggunakan syariat islam dalam aturan mengenai
tindak pidananya, jangan studi banding ke Eropa, sehingga menghabiskan anggaran
saja.