Pengertian Hukum Harta Kekayaan
Dalam membicarakan hukum harta kekayaan, tentu saja tidak boleh lepas rari pemahaman pengertian dari hukum perdata. Hal ini disebabkan karena hukum harta kekayaan merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari hukum perdata.
Hukum perdata adalah hukum yang mengatur tentang kepentingan antara warga negara perseorangan yang satu dengan warga perseorangan yang lain. Vollmar juga memberikan pengertian hukum perdata sebagai Suiatu aturan atau norma-norma yang memberikan pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan-kepentingan zereorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang dengan yang lain dari orang-orang di dalam suatu masyarakat tertentu, terutama yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas (Hukum)
Istilah perdata, pertama sekali diperkenalkan oleh Djojodiguno, sebagai terjemahan dari burgerlijk. Secara etimologi, kata perdata berasal dari Bahasa Jawa Kuno, yakni padudon, yang berarti sengketa. Dengan demikian istilah perdata, pada dasarnya sudah dikenal di Indonesia, sebelum adanya Burgerlijk Wetboek (BW) pada tahun 1848. Selanjutnya kata "perdata" dipakai sebagai terjemahan burgerlijk recht atau civil law maupun privat recht.
Dalam perundang-undangan, istilah perdata pertama kali dikenal dalam Konstitusi RIS yang menyebutkan dua istilah burgerlijke doodyang artinya kematian perdata dan istilah burgerlijke zaken artinya hak-hak keperdataan. Selanjutnya pada 1957, R. Soebekti yang pada saat itu adalah Ketua Mahkamah Agung Rl, menterjemahkan Burgerlijk Wetboek (BW), meskipun terjemahan tersebut bukanlah terjemahan resmi, namun hingga pada saat ini putusan hakim yang mengacu kepada KUHPerdata yang merupakan terjemahan tidak resmi dari R. Soebekti, tidak pernah diperso-alkan, akan tetapi itu tidak berarti putusan hakim itu tidak sah, karena sesuai dengan asas res judicata pro veritate habetur, (apa yang diputuskan oleh hakim harus dianggap benar) dan putusan seperti itu sering diulang-ulang sehingga lama-kelamaan akan menimbulkan kekuatan normatif (die normatieve kraft des fachtishcen).
Dalam kaitannya dengan kebiasaan dan hukum kebiasaan, terdapat perbedaan di antara keduanya. Dalam hal kebiasaan, perilaku yang diulang-ulang menimbulkan kesadaran bahwa hal itu seyogianya dilaku-kan. Berbeda dengan hukum kebiasaan, bahwa perilaku yang diulang-ulang menimbulkan kesadaran hukum, apabila tidak dilakukan ada akibat hukumnya.
Dapat disimpulkan dalam doktrin dikatakan bahwa syarat terjadinya hukum kebiasaan ada dua, yaitu:
1. Longa et inventerata consuetude, yaitu perilaku yang diulang-ulang untuk waktu yang lama dan untuk banyak orang,
2. Opinio necessitates, artinya memberi kesadaran pada orang lain untuk mengikutinya.