BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN PADA UMUMNYA DAN
PERJANJIAN JUAL BELI
A.
Mengenai Perjanjian Pada Umumnya
1.
Pengertian Perjanjian
Rumusan mengenai pengertian perjanjian atau
persetujuan ini terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada Buku
III Pasal 1313, yaitu :
“perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Selain perumusan tentang pengertian
perjanjian yang terdapat dalam KUH Perdata tersebut, beberapa Sarjana Hukum
yang memberikan pengertian terhadap isitilah perjanjian ini, yaitu sebagai
berikut :
- Menurut Prof. R. Subekti
“Suatu
perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain
atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”
.
- Menurut Wirjono Prodjodikoro
“Perjanjian
adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak,
dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap untuk melakukan sesuatu hal,
sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”
.
- Menurut Hofmann
“Perikatan
adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subek hukum
sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang dari padanya mengikatkan
dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain,
yang berhak atas sikap yang demikian itu”
.
- Menurut R. Syahrani
“Perikatan
adalah hubungan hukum antara dua pihak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana
pihak yang satu (kreditur) berhak atas prestasi dan pihak yang lain (debitur)
berkewajiban memenuhi prestasi itu”
.
Dari
pengertian-pengertian tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa dalam
suatu perikatan paling sedikit terdapat satu hak dan satu kewajiban. Suatu
persetujuan dapat menimbulkan satu atau beberapa perikatan, tergantung dari
jenis persetujuannya.
Untuk
lebih jelasnya dapat dikemukakan contoh sebagai berikut :
A
menjual rumah kepada B dengan harga yang telah ditentukan dan B menyetujuinya untuk membayar harga
tersebut, dengan kesepakatan itu maka timbul suatu perikatan antara A dengan B
yang menimbulkan :
a.
Kewajiban pada A untuk menyerahkan rumahnya dan pada B
atas penyerahan rumah tersebut.
b.
Hak pada A untuk menerima pembayaran dan kewajiban pada
B untuk membayar pada A.
Jadi suatu
perjanjian adalah merupakan suatu hubungan hukum, yang artinya hubungan yang
diatur dan diakui oleh hukum. Yang mana hubungan hukum tersebut harus
berdasarkan kesopanan, kepatutan dan kesusilaan.
2.
Syarat-syarat Sahnya Perjanjian
Tentang
syarat-syarat yang diperlukan untuk sahnya suatu perjanjian, dengan jelas telah
diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :
a.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
b.
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
c.
Suatu hal tertentu
d.
Suatu sebab yang halal
Ad.a.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Para
pihak dalam perjanjian yaitu, manusia atau badan hukum telah menyatakan
kesepakatan atau persetujuan yang mana akhirnya akan terbentuk suatu pertemuan
kehendak, para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian
kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing,
yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak
ada paksaan, kekeliruan dan penipuan, persetujuan mana yang dapat dinyatakan
secara tegas maupun secara diam-diam
.
Dalam hukum perjanjian adanya suatu azas yang
dinamakan azas konsensualitas yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Istilah ini berasal dari bahasa latin yaitu
Consensus yang berarti
sepakat, maksud dari kata sepakat disini adalah bahwa pada azasnya perjanjian
atau perikatan yang timbul karenanya, itu sudah dilahirkan sejak detik
tercapainya kesepakatan. Azas konsensualitas bukanlah berarti untuk suatu
perjanjian disyaratkan adanya kesepakatan karena hal ini sudah semestinya,
suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, berarti kedua belah pihak sudah
setuju atau sepakat mengenai suatu hal
.
Untuk
menentukan telah terjadinya kata “sepakat” ada beberapa teori yang dikemukakan
oleh para sarjana, yaitu :
- Uitings theorie (teori saat melahirkan
kemauan). Menurut teori ini perjanjian terjadi apabila atas penawaran
telah dilahirkan kemauan menerimanya dari puhak lain. Kemauan ini dapat
dikatakan telah dilahirkan pada waktu pihak lain mulai menulis surat penermaan.
- Verzend theorie (teori saat mengirim surat penerimaan).
Menurut teori ini perjanjian terjadi pada saat surat penerimaan dikirimkan kepada si
penawar.
- Onvangs theorie (teori saat menerima surat penerimaan).
Menurut teori ini perjanjian pada saat menerima surat penerimaan/sampai di alamat
penawar.
- Vernemings theorie (teori saat mengetahui surat penerimaan).
Menurut teori ini perjanjian baru terjadi, apabila si penawar telah
membuka dan membaca surat
penerimaan itu.
Sebagian
besar dari perjanjian-perjanjian ini selalu bersumber pada kata sepakat, yaitu
suatu “persetujuan” antara kedua belah pihak. Dari peristiwa tersebut akan menimbulkan
suatu peristiwa hubungan hukum diantara kedua belah pihak yang mengadakan
perjanjian tersebut dan kedua belah pihak telah terikat oleh isi perjanjian
yang dibuatnya. Adapun bentuk dari perjanjian itu bisa tertulis dan secara
lisan yang berisi suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau
kesanggupan.
Ad. b. Adanya kecakapan untuk membuat suatu
perjanjian
Adapun
yang dimaksud dengan kecakapan disini adalah bahwa subjek dalam suatu
perjanjian harus sudah dianggap cakap untuk melakukan perbuatan sandiri menurut
ketentuan hukum. Cakap merupakan syarat umum untuk melakukan perbuatan hukum
secara sah, yaitu harus sudah dewasa, sehat akal fikiran dan tidak dilarang
oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu
.
Selanjutnya
dalam Pasal 1330 KUH Perdata, ada beberapa golongan orang yang dinyatakan tidak
cakap untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum, yaitu :
a.
Orang-orang yang belum dewasa
Belum
dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan
sebelumnya belum kawin.
b.
Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
Orang-orang
yang diletakkan di bawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang selalu
berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap dan boros.
c.
Orang-orang perempuan
Dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang,
dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.
Jadi dengan demikian yang dimaksud
dengan adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan, yaitu bahwa para pihak
di dalam perjanjian tersebut diharuskan :
- Mampu untuk melakukan perbuatan hukum
- Mampu melakukan perjanjian yang hendak dibuatnya
Dengan demikian, syarat
kecakapan untuk membuat suatu perjanjian ini mengandung kesadaran untuk
melindungi baik bagi dirinya, bagi miliknya maupun dalam hubungannya dengan
keselamatan keluarganya
.
Ad. c. Adanya Suatu Hal Tertentu
Suatu hal tertentu dalam perjanjian
adalah barang yang menjadi objek suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUH
Perdata barang yang menjadi objek suatu perjanjian ini harus tertentu,
setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu
ditentukan asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan.
Kemudian dalam Pasal 1332 KUH
Perdata ditentukan bahwa barang-barang yang dapat dijadikan objek perjanjian
hanyalah barang-barang yang dapat diperdagangkan. Lazimnya barang-barang yang
dapat dipergunakan untuk kepentingan umum dianggap sebagai barang-barang di
luar perdagangan, sehingga tak bisa dijadikan objek perjanjian (selanjutnya
lihat Pasal 521, 522, 523 KUH Perdata).
Hal-hal tersebut sangat perlu diperhatikan oleh para
pihak yang membuat perjanjian, karena untuk dapat menentukan atau menetapkan
kewajiban si berhutang (debitur) apabila terjadi suatu perselisihan. Yang
menjadi objek daripada suatu perjanjian tidak selalu harus sudah ada pada saat
perjanjian, akan tetapi bisa juga belum ada.
Ad. d. Adanya Suatu Sebab Yang Halal
Suatu sebab yang halal merupakan syarat yang
terakhir untuk sahnya suatu perjanjian. Mengenai syarat ini Pasal 1335 KUH
Perdata menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat
karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan. Jadi
yang dimaksud dengan sebab dari suatu perjanjian adalah isi dari perjanjian itu
sendiri. Akhirnya Pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa suatu sebab dalam
perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan
ketertiban umum
.
Lebih
lanjut R. Subekti, menggolongkan 4 (keempat) syarat untuk sahnya suatu
perjanjian ke dalam 2 (dua) golongan, yaitu :
- Syarat subjektif, yaitu untuk dua syarat yang
pertama, krena kedua syarat itu mengenai subjek daripada perjanjian.
- Syarat objektif, yaitu untuk dua syarat yang
terahkir, kerena kedua syarat itu mengenai objek daripada perjanjian.
Untuk sahnya suatu perjanjian syarat-syarat tersebut
di atas harus dipenuhi, apabila syarat subjektif tidak dipenuhi, maka
perjanjian dapat dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang tidak cakap
atau yang memberikan kesepakatan secara tidak bebas. Sedangkan kalau syarat
objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum, artinya dari semula
tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidakpernah ada perikatan.
Sehingga tiada dasar untuk saling menuntut di muka hakim (pengadilan).
3.
Unsur-Unsur Perjanjian
Adapun
unsur-unsur / bagian-bagian perjanjian adalah :
a.
Unsur Essentialia
Yaitu bagian-bagian daripada perjanjian yang tanpa itu perjanjian tidak
akan mungkin ada, maksudnya unsur pokok yang harus ada dalam perjanjian.
Misalnya harga adalah essentialia atau inti bagi perjanjian jual beli,
identitas para pihak serta kesepakatan.
b.
Unsur Naturalia
Yaitu bagian-bagian yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
peraturan-peratutan yang bersifat mengatur, maksudnya unsure yang telah ada
dalam perjanjian walaupun tidak dituangkan secara tegas dalam perjanjian
tersebut. Misalnya adanya itikad baik, serta jaminan tidak ada cacad
tersembunyi dalam suatu barang.
c.
Unsur Accidentalia
Yaitu bagian-bagain yang oleh para pihak ditambahkan dalam perjanjian,
dimana undang-undang tidak mengaturnya, misalnya jual beli rumah beserta
alat-alat rumah tangganya.
4.
Macam-Macam Perjanjian
Adapun macam-macam perjanjian yang dikenal dalam
ilmu pengetahuan hukum adalah :
a.
Perjanjian Obligatoir yaitu : suatu perjanjian yang
hanya membebankan kewajiban kepada para pihak, sehingga dengan perjanjian
ini baru menimbulkan perikatan. Misalnya pada perjanjian jual beli, maka dengan
sahnya perjanjian jual beli belum menyebabkan beralihnya benda atau barang yang
dijual itu tetapi baru akan menimbulkan perikatan yaitu bahwa pihak pembeli
diwajibkan membayar harganya untuk beralihnya barang tersebut secara nyata
harus ada penyerahan baik yuridis maupun nyata.
Yang termasuk perjanjian obligatoir, yaitu :
1)
Perjanjian sepihak dan timbal balik
Perjanjian
timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok kepada kedua
belah pihak. Misalnya jual beli, sewa menyewa.
Perjanjian
sepihak adalah perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak
saja. Misalnya hibah.
2)
Perjanjian cuma-cuma dan atas beban
Perjanjian
cuma-cuma adalah perjanjian dimana salah satu pihak mendapatkan keuntungan dari
pihak yang lain secara cuma-cuma.
Perjanjian
atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi pihak yang satu terdapat
prestasi pihak yang lain dan keduanya saling berhubungan. Misalnya jual beli,
sewa menyewa.
3)
Perjanjian Konsensual, Riil, dan Formil
Perjanjian
konsensual adalah perjanjian yang terjadi dengan kata sepakat.
Perjanjian
riil adalah perjanjian selain diharuskan adanya kata sepakat juga diikuti
dengan penyerahan barang, misalnya penitipan barang.
Perjanjian
formil adalah perjanjian yang harus diadakan dengan bentuk tertentu , seperti
harus dibuat dengan akta notaris, misalnya pendirian PT.
4)
Perjanjian bernama dan tidak bernama.
Perjanjian
bernama adalah perjanjian yang pengaturannya telah diatur dalam Buku III KUH
Perdata.
Perjanjian
tidak bernama adalah perjanjian yang tidak disebutkan dan tidak diatur dalam
dalam KUH Perdata, dimana terdapatnya asas kebebasan berkontrak.
b.
Perjanjian-perjanjian lainnya, yaitu :
1)
Perjanjian Leberatoir
Adalah
perbuatan hukum yang atas dasar sepakat para pihak menghapuskan perikatan yang
telah ada.
2)
Perjanjian kebendaan
Adalah
perjanjian yang diatur dalam Buku II KUH Perdata yang merupakan perjanjian
untuk menyerahkan benda atau menimbulkan, mengubah atau menghapuskan hak-hak
kebendaan.
3)
Perjanjian pembuktian
Adalah
para pihak bebas untuk mengadakan perjanjian mengenai alat-alat pembuktian yang
akan mereka gunakan dalam suatu proses.
5.
Sistem Terbuka dan Sistem Tertutup
Dalam KUH Perdata dikenal ada 2 sistem, yaitu :
a.
Sistem Tertutup
b.
Sistem Terbuka
Ad. a. Sistem Tertutup
Sistem
tertutup terdapat pada Buku II yaitu untuk hukum benda yang sifatnya memaksa,
artinya bahwa macam-macam hak atas benda terbatas, yakni terbatas pada apa yang
hanya disebutkan dalam Buku II KUH Perdata dan peraturan-peraturan mengenai
hak-hak atas benda yang bersifat memaksa dengan perkataan lain bahwa para pihak
tidak diperkenankan untuk mengadakan hak-hak dan peraturan-peraturan yang lain
untuk suatu benda, selain yang telah ditetapkan dalam Buku II KUH Perdata
tersebut.
Ad. b. Sistem Terbuka
Sistem terbuka ini terdapat dalam Buku III KUH
Perdata yang sifatnya mengatur, artinya bahwa hukum perjanjian memberikan
kebebasan yang seluas-luasnya kepada para pihak untuk membuat suatu perjanjian
yang berisi mengenai apa saja, selama perjanjian tersebut tidak bertentangan
dengan undang-undang, kesusilaan dan tidak mengganggu ketertiban umum.
Dalam
sistem ini disebut juga asas kebebasan berkontrak yaitu bahwa setiap orang
bebas untuk menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian dengan syarat tidak
bertentangan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan seperti halnya yang
tercantum dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Pasal-pasal dari hukum perjanjian
merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap (
optional law) yang berarti
bahwa pasal-pasal tersebut dapat dikesampingkan apabila para pihak menghendaki
ketentuan sendiri mengenai kepentingannya, selama kepentingan tersebut tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan tidak mengganggu ketertiban
umum, maka perbuatan para pihak itu sah menurut hukum, sebaliknya apabila para
pihak itu tidak mengatur sendiri dalam kepentingannya itu, berarti para pihak
tersebut tunduk pada undang-undang
.
6.
Berakhirnya Perjanjian
Hapusnya suatu persetujuan harus benar-benar
dibedakan daripada hapusnya suatu perikatan, karena suatu perikatan dapat
hapus, sedangkan persetujuannya yang merupakan sumbernya masih tetap ada.
Misalnya pada persetujuan jual beli, dengan dibayarnya harga maka perikatan
mengenai pembayaran menjadi hapus, sedangkan persetujuannya belum, karena
perikatan mengenai penyerahan barang belum terlaksana. Hanya jika semua
perikatan-perikatan daripada persetujuan telah hapus seluruhnya, maka
persetujuannyapun akan berakhir. Dalam hal ini, hapusnya persetujuan sebagai
akibat daripada hapusnya perikatan-perikatannya
.
Sebaliknya
hapusnya suatu persetujuan dapat pula mengakibatkan hapusnya
perikatan-perikatannya, yaitu apabila suatu persetujuan hapus dengan berlaku
surut, misalnya sebagai akibat daripada pembatalan berdasarkan wanprestasi
yaitu Pasal 1266 KUH Perdata, maka semua perikatan yang telah terjadi menjadi
hapus, perikatan-perikatan tersebut tidak perlu lagi dipenuhi dan apa yang
telah dipenuhi harus pula ditiadakan. Akan tetapi, dapat juga terjadi bahwa
persetujuan berakhir atau hapus untuk waktu selanjutnya, jadi
kewajiban-kewajiban yang telah ada tetap ada. Dengan pernyataan mengakhiri
persetujuan, persetujuan sewa menyewa dapat diakhiri, akan tetapi perikatan
untuk membayar uang sewa atas sewa yang dinikmati tidak menjadi hapus karenanya
.
Jadi
suatu persetujuan dapat hapus atau berakhir, karena :
- Ditentukan dalam persetujuan oleh para pihak,
misalnya persetujuan akan berlaku untuk waktu tertentu.
- Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu
persetujuan.
- Para pihak atau Undang-undang dapat menentukan bahwa
dengan terjadinya peristiwa tertentu, maka persetujuan akan hapus.
Misalnya salah satu pihak meninggal, maka persetujuan menjadi hapus:
-
persetujuan kerja (Pasal 1603 j JUH Perdata)
-
persetujuan pemberian kuasa (Pasal 1813 KUH Perdata)
- Suatu pernyataan penghentian perjanjian atau opzegging.
Pernyataan ini dapat dilakukan oleh kedua belah pihak ataupun oleh
salah satu pihak. Pernyataan ini hanya ada dalam perjanjian-perjanjian
yang bersifat sementara, misalnya perjanjian kerja.
- Perjanjian atau persetujuan hapus karena adanya
keputusan hakim.
- Apabila tujuan perjanjian telah tercapai, yaitu semua
kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian.
Hal-hal yang mengakibatkan hapusnya perikatan dalam
KUH Perdata disebutkan dalam Pasal 1381, adalah :
1)
Karena pembayaran
2)
Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan
penyimpanan atau penitipan
3)
Karena pembaharuan utang
4)
Karena perjumpaan utang atau kompensasi
5)
Karena percampuran utang
6)
Karena pembebasan utang
7)
Karena musnahnya barang yang terutang
8)
Karena kebatalan dan pembatalan
9)
Karena berlakunya syarat batal
10) Karena
lewat waktu (daluwarsa).
B.
Mengenai Perjanjian Jual Beli
1.
Pengertian Jual Beli
Perjanjian jual beli yang diatur dalam Bab V Buku
III KUH Perdata tentang perjanjian, memberikan definisi mengenai jual beli yang
tertera dalam Pasal 1457 KUH Perdata, yaitu :
“jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana
pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan
pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.
Dari
definisi yang diberikan oleh Pasal 1457 KUH Perdata tersebut, perjanjian jual
beli membebankan 2 kewajiban, yaitu :
1.
Kewajiban pihak penjual untuk menyerahkan baranganya
yang dijual kepada pembeli.
2.
Kewajiban pihak pembeli untuk membayar harga barang
yang dibeli kepada penjual.
Selain
definisi perjanjian jual beli yang terdapat dalam KUH Perdata tersebut, ternyata
ahli Sarjana Hukum memberikan pendapat mengenai pengertian jual beli, yaitu :
v
Prof. R. Subekti
“Jual beli
adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang satu (si penjual)
berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lain
(si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang
sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut”
.
Yang
harus diserahkan oleh penjual kepada pembeli, adalah hak milik atas barangnya,
jadi bukan sekedar kekuasaan atas barang tadi, yang harus dilakukan adalah
“penyerahan” atau “levering” secara yuridis. Mengenai perkataan harga
yang tertera dalam pasal tersebut, meskipun tidak disebutkan dalam salah satu
pasal undang-undang namun sudah semestinya bahwa harga ini harus berupa
sejumlah uang.
Dari
perkataan jual beli dapat dilihat adanya perbuatan dari satu pihak dinamakan
menjual, sedangkan dari pihak yang lain dinamakan membeli. Dari kedua perbuatan
tersebut dapat diketahui bahwa jual beli merupakan suatu perjanjian timbal
balik. Istilah yang mencakup dua perbuatan yang bertimbal balik itu adalah
sesuai dengan istilah Belanda “
koop en verkoop” yang juga mengandung
pengertian bahwa pihak yang satu “
verkoopt” (menjual) sedang yang
lainnya “
koopt” (membeli). Dalam bahasa Inggris jual beli disebut dengan
hanya “
sale” saja yang berarti “penjualan” (hanya dilihat dari sudutnya
si penjual), begitu pula dalam bahasa Perancis disebut hanya dengan “
vente”
yang juga berarti “penjualan”, sedangkan dalam bahasa Jerman dipakainya perkataan
“
kauf” yang berarti “pembelian”
.
Barang
yang menjadi objek perjanjian jual beli harus cukup tertentu, setidak-tidaknya
dapat ditentukan wujud dan jumlahnya pada saat ia akan diserahkan hak miliknya
kepada si pembeli. Dengan demikian adalah sah menurut hukum misalnya jual beli
mengenai panenan yang akan diperoleh pada suatu waktu dari sebidang tanah
tertentu
.
Jual
beli yang dilakukan dengan percobaan atau mengenai barang-barang yang biasanya
dicoba terlebih dahulu, selalu dianggap telah dibuat dengan suatu syarat
tangguh (Pasal 1463 KUH Perdata). Dengan demikian maka jual beli mengenai
sebuah lemari es, meskipun barang dan harga yang sudah disetujui, baru jadi
kalau barangnya sudah dicoba dan memuaskan
.
Jadi dapat disimpulkan pada hakekatnya jual beli itu
merupakan suatu persesuaian kehendak yang bertimbal balik antara penjual dan
pembeli mengenai harga dan barang.
2.
Subjek dan Objek Perjanjian Jual Beli
A.
Subjek Perjanjian Jual Beli
Jual
beli merupakan suatu perjanjian yang timbul disebabkan oleh adanya hubungan
hukum mengenai harta kekayaan antara dua pihak atau lebih. Pendukung perjanjian
sekurang-kurangnya harus ada dua orang tertentu, masing-masing orang menduduki
tempat yang berbeda. Satu orang menjadi pihak kreditur dan yang lain menjadi
pihak debitur. Kreditur dan debitur itulah yang menjadi subjek perjanjian.
Kreditur mempunyai hak atas prestasi dan debitur wajib memenuhi pelaksanaan
prestasi terhadap kreditur
.
Dalam
jual beli yang menjadi kreditur adalah pembeli dan yang menjadi debitur adalah
penjual. Ini tidak tidak benar karena hanya menggambarkan sepihak saja,
sedangkan jual beli adalah perjanjian timbal balik, baik penjual maupun pembeli
sesuai dengan teori dan praktek hukum terdiri dari, yaitu :
1.
Individu sebagai persoon atau manusia tertentu;
a.
Natuurlijke persoon atau manusia tertenntu.
Subjek jual beli berupa orang atau manusia
harus memenuhi syarat tertentu untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum
secara sah. Seseorang harus cakap untuk melakukan tindakan hukum, tidak lemah
pikirannya, tidak berada dibawah pengampuan atau perwalian. Apabila anak belum
dewasa, orang tua aatau wali dari anak tersebut yang harus bertindak.
b.
Rechts persoon atau badan hukum.
Subjek jual beli yang merupakan badan hukum,
dapat berupa kooperasi dan yayasan. Kooperasi adalah suatu gabungan orang yang
dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai satu subjek hukum
tersendiri. Sedangkan yayasan adalah suatu badan hukum dilahirkan oleh suatu
pernyataan untuk suatu tujuan tertentu. Dalam pergaulan hukum, yayasan
bertindak pendukung hak dan kewajiban tersendiri.
3.
Persoon yang dapat diganti.
Mengenai persoon kreditur yang dapat
diganti, berarti kreditur yang menjadi subjek semula telah ditetapkan dalam
perjanjian,sewaktu-waktu dapat diganti kedudukannya dengan kreditur baru.
Perjanjian yang dapat diganti ini dapat dijumpai dalam bentuk perjanjian “aan
order” atau perjanjian atas perintah. Demikian juga dalam perjanjian “aan
tonder” atau perjanjian atas nama .
B.
Objek Perjanjian Jual Beli
Berdasarkan
Pasal 1457 KUH Perdata yang menyatakan bahwa objek perjanjian jual beli adalah
benda (zaak) atau menurut istilah lain merupakan suatu kebendaan dan
hanya benda yang berada dalam perdagangan (Pasal 1332 KUH Perdata).
Menurut
Pasal 499 KUH Perdata kebendaan ialah tiap-tiap barang atau tiap-tiap hak yang
dapat dikuasai oleh hak milik, berarti bahwa yang menjadi objek jual beli tidak hanya barang-barang yang
berwujud saja, tetapi juga benda-benda tak berwujud, misalnya suatu hak piutang,
saham, perusahaan dagang atau dengan kata lain segala sesuatu yang bernilai
harta kekayaan. Berdasarkan pasal tersebut, pengertian benda secara yuridis
ialah segala sesuatu yang dapat menjadi object
eigendom (hak milik). Penggolongan benda berdasarkan pasal tersebut dapat
dibedakan menjadi benda berwujud dan tidak berwujud.
Menurut
Prof. Riduan Syahrani, dalam sistem KUH Perdata benda dapat dibedakan sebagai
berikut :
A.
Benda bergerak dan benda tak bergerak
Benda tak bergerak dapat dilihat menurut
sifatnya, tujuan pemakaiannya, dan menurut penetapan undang-undang. Benda tak
bergerak menurut sifatnya dibagi menjadi 3 macam yaitu tanah, segala sesuatu
yang bersatu dengan tanah karena tumbuh dan berakar secara bercabang, dan
segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena didirikan diatas tanah itu
yaitu karena tertanam dan terpaku. Benda tak bergerak menurut tujuan
pemakaiannya misalnya mesin-mesin dalam kolam, pada suatu perkebunan, dan
barang reruntuhan dari suatu bangunan. Benda tak bergerak menurut penetapan
undang-undang antara lain hak-hak atau penagihan mengenai suatu benda yang tak
bergerak, kapal-kapal yang berukuran 20 meter kubik keatas. Benda bergerak ada
2 golongan yaitu benda yang menurut sifatnya dan benda menurut penetapan
undang-undang. Benda bergerak menurut sifatnya dalam arti benda itu dapat
berpindah atau dipindahkan dari suatu tempat ketempat yang lain. Benda bergerak
menurut penetapan undang-undang adalah sgala hak atas benda bergerak.
B.
Benda yang musnah dan benda yang tetap ada
Benda yang dapat musnah terletak pada
kemusnahannya, misalnya barang-barang makanan dan minuman baru memebri manfaat
bagi kesehatan. Benda yang tetap ada adalah benda-benda yang dalam pemakaiannya
tidak mengakibatkan benda itu menjadi musnah, tetapi akan memberi manfaat bagi
sipemakai.
C.
Benda yang dapat diganti dan benda yang tidak dapat
diganti
Mengenai benda yang dapat diganti dan tidak
dapat diganti diatu secara tegas dalam Pasal 1694 KUH Perdata pengembalian
barang oleh yang dititipi harus in natura artinya tidak boleh diganti
dengan benda yang lain.
D.
Benda yang dapat dibagi dan benda yang tak dapat dibagi
Benda yang dapat dibagi adalah benda yang
apabila wujudnya dibagi tidak mengakibatkan hilangnya hakikat dari benda itu
sendiri, misalnya beras, gula. Sedangkan benda yang tidak dapat diganti adalah
benda yang apabila wujudnya dibagi mengakibatkan hilangnya hakikat dari benda
itu, misalnya kuda, sapi.
E.
Benda yang diperdagangkan dan benda yang tak
diperdagangkan
Benda yang diperdagangkan adalah benda-benda
yang dapat dijadikan objek (pokok) suatu perjanjian. sedangkan benda yang tak
diperdagangkan adalah benda-benda yang tak dapat dijadikan sebagai objek suatu
perjanjian
Hukum
benda yang termuat dalam Buku II KUH Perdata tersebut diatas adalah hukum yang
mengatur hubungan antara seseorang dengan benda. Hubungan tersebut akan
menimbulkan hak atas benda atau hak kebendaan, yakni hak yang memberikan
kekuasaan langsung kepada seseorang yang berhak untuk menguasai sesuatu benda
di dalam tangan siapapun juga benda itu berada. Hak kebendaan itu bersifat
mutlak yang berarti bahwa hak seseorang atas benda itu dapat dipertahankan
terhadap siapapun juga
.
3. Hak dan Kewajiban Para Pihak
A.
Hak dan
Kewajiban Penjual
Hak-hak
penjual adalah :
1.
Hak untuk menyatakan batal demi hukum
Berdasarkan Pasal 1518 KUH Perdata perjanjian
jual beli barang dagangan dan barang perabot rumah yang tidak diambil oleh
pembeli dalam jangka waktu yang telah ditetapkan tanpa memberi peringatan
terlebih dahulu kepada pihak pembeli.
2.
Menurut Pasal 1478 KUH Perdata, penjual berhak untuk
tidak menyerahkan barang yang dijualnya, jika si pembeli belum membayar
harganya, sedangkan si penjual tidak telah mengijinkan penundaan pembayaran
kepadanya. Inilah tangkisan yang disebut dengan “
execptio non adempleti
contractus” adalah tangkisan yang menyatakan bahwa ia (debitur) tidak
melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya justru oleh karena kreditur
sendiri tidak melaksanakan perjanjian itu sebagaimana mestinya
.
Kewajiban-Kewajiban Penjual
Menurut
Pasal 1474 KUH Perdata ada 2 (dua) kewajiban utama bagi penjual, yaitu :
3.
Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual
belikan
4.
Menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan
menanggung terhadap cacad-cacad tersembunyi.
Ad. 1. Kewajiban menyerahkan hak milik
Kewajiban
menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan
untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjual belikan itu dari si
penjual kepada si pembeli.
KUH Perdata mengenal adanya 3 (tiga) macam
barang dalam hal penyerahan hak milik, yaitu :
A.
Untuk barang bergerak
Dilakukan dengan penyerahan nyata atau
penyerahan kekuasaan atas barang itu, dalam Pasal 612 KUH perdata yang berbunyi
:
“Penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh,
dilakukan dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama
pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan, dalam mana kebendaan
itu berada”.
“Penyerahan tak perlu dilalakukan, apabila
kebendaan yang harus diserahkan dengan alasan hak lain telah dikuasai oleh
orang yang hendak menerimanya”.
B.
Untuk barang tetap (tak bergerak)
Dilakukan dengan Akta Notaris atau dengan
perbuatan yang dinamakan “balik nama”. Dalam Pasal 616 KUH Perdata, menyebutkan
bahwa :
“Penyerahan atau penunjukan akan kebendaan
tak bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan dengan
cara seperti ditentukan dalam Pasal 620 KUH Perdata”.
Pasal 620 KUH Perdata berbunyi :
“Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan termuat dalam tiga
pasal yang lalu, pengumuman termaksud diatas dilakukan dengan memindahkan sebuah
salinan otentik yang lengkap dari akta otentik atau keputusan yang bersangkutan
ke kantor penyimpanan hipotik, yang mana dalam lingkungannya barang-barang tak
bergerak yang harus diserahkan itu berada dan dengan membukukannya dalam
register”.
C.
Untuk barang tak bertubuh
Penyerahan piutang atas nama dan hak lainnya
dengan akta notaries atau akta dibawah tangan (cessie) yang harus
diberitahukan kepada debitur, atau secara tertulis distujui dan diakuinya
(sesuai dengan Pasal 613 KUH Perdata).
Dalam dunia perdagangan penyerahan piutang
dilakukan secara praktis, yaitu : penyerahan piutang atas tunjuk atau atas bawa
(aan toonder) dilakukan dengan penyerahan nyata, dan penyerahan piutang
atas perintah (aan order) dilakukan dengan endosement.
Ad. 2. Kewajiban menanggung kenikmatan
tenteram dan menanggung terhadap cacad tersembunyi
Kewajiban
untuk menanggung kenikmatan tenteram merupakan konsekuensi daripada jaminan
yang oleh penjual diberikan kepada pembeli bahwa barang yang dijual dan di
lever
itu adalah sungguh-sungguh miliknya sendiri yang bebas dari sesuatu pihak
.
Bahwa
dalam perjanjian jual beli, penjual tidak akan diwajibkan menanggung sesuatu
apapun, namun ada pembatasannya, yaitu :
a.
Meskipun telah diperjanjikan bahwa si penjual tidak
akan menanggung sesuatu apapun, namun ia tetap bertanggung jawab tentanng apa
yang berupa akibat dari sesuatu perbuatannya yang telah dilakukan olehnya,
semua persetujuan yang bertentangan dengan ini adalah batal (sesuai Pasal 1494
KUH Perdata).
b.
Si penjual dalam hal adanya janji yang sama, jika
terjadi suatu penghukuman terhadap si pembeli untuk menyerahkan barangnya
kepada orang lain, diwajibkan mengembalikan harga pembelian, kecuali apabila si
pembeli ini pada waktu pembelian dilakukan, mengetahui tentang adanya putusan hakim
untuk menyerahkan barang yang dibelinya itu atau jika ia telah membeli barang
itu dengan pernyataan tegas akan memikul sendiri untung ruginya (Pasal 1495 KUH
Perdata).
Jika hal tersebut tidak ada diperjanjikan, si pembeli berhak
untuk menuntut kembali dari si penjual :
1.
Pengembalian uang harga pembelian
2.
Pengembalian hasil-hasil jika ia diwajibkan menyerahkan
hasil-hasil itu kepada si pemilik sejati yang melakukan tuntutan penyerahan
3.
Biaya yang dikeuarkan berhubung dengan gugatan si
pembeli untuk ditanggung begitu pula biaya yang telah dikeluarkan oleh
penggugat asal
4.
Penggantian kerugian beserta biaya perkara mengenai
pembelian dan penyerahannya, sekedar itu telah dibayar oleh si pembeli.
Apabila
si penjual mengetahui adanya cacad tersembunyi yang tidak ia beritahukan kepada
pembeli, maka berdasarkan Pasal 1508 KUH Perdata, ia wajib untuk :
1.
Mengembalikan uang harga pembelian
2.
Mengembalikan hasil-hasil, jika ia diwajibkan
menyerahkan hasil-hasil itu kepada si pemilik sejati yang melakukan penuntutan
penyerahan
3.
Mengganti segala biaya kerugian dan bunganya kepada
pembeli.
B.
Hak dan Kewajiban Pembeli
Hak-hak Pembeli
Dalam
suatu perjanjian jual beli, para pihak mempunyai hak dan kewajiban yang harus
dipikul untuk memenuhi suatu prestasi perjanjian. Hak pembeli adalah :
Menurut
Pasal 1514 KUH Perdata menyebutkan bahwa : jika pada waktu membuat perjanjian
tidak ditetapkan tentang itu, maka si pembeli harus membayar di tempat dan pada
waktu dimana penyerahan harus dilakukan.
Jadi,
hak-hak dari si pembeli adalah :
1.
Untuk menerima barang yang dibelinya dari penjual
2.
Untuk mendapat jaminan dari penjual mengenai kenikmatan
tenteram dan damai dan tidak adanya cacad tersembunyi.
Kewajiban-kewajiban Pembeli
Kewajiban
utama si pembeli adalah membayar harga pembelian pada waktu dan ditempat
sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian, harga tersebut harus berupa sejumlah
uang. Adapun kewajiban-kewajiban dari pembeli adalah :
1.
Membayar harga barang yang dibelinya pada waktu dan
ditempat menurut perjanjian jual beli (Pasal 1513), bila mana hal itu tidak
ditetapkan dalam perjanjian, maka menurut Pasal 1514 KUH Perdata pembayaran
dilakukan ditempat dan pada saat penyerahan barang.
2.
Membayar bunga dari harga pembelian bilamana barang
yang dibelinya dan sudah diserahkan kepadanya, akan tetapi belum dibayar
olehnya, memberi hasil atau pendapatan lainnya, walaupun tidak ada ketentuan
mengenai hal itu dalam perjanjian jual beli (Pasal 1515 KUH Perdata).
4. Beralihnya Kepemilikan dalam Jual Beli
mengenai
penggolongan atas benda yang paling penting menurut hukum perdata di Indonesia,
adalah penggolongan atas benda yang bergerak dan tak bergerak, juga dikenal
dengan adanya pengalihan atas benda bergerak dan tak bergerak.
Perbedaan-perbedaan pokok antara benda bergerak dan tak bergerak adalah sebagai
berikut :
a.
Mengenai hak bezit, berdasarkan Pasal 1977 Ayat
(1) KUH Perdata menetukan barang siapa yang menguasai benda bergerak dianggap
sebagai pemilik. Jadi bezitter dari benda bergerak adalah eigenaar
dari benda tersebut.
b.
Mengenai pembebanan (bezwaring) terhadap benda
bergerak harus dilakukan pand/gadai, sedangkan terhadap benda tak
bergerak harus dilakukan dengan hypotik.
c.
Mengenai penyerahan (Levering) berdasrkan Pasal
612 KUH perdata menetukan bahwa penyerahan benda bergerak dapat dilakukan
dengan penyerahan nyata, sedangkan penyerahan benda tak bergerak menurut Pasal
616 KUH Perdata harus dilakukan dengan balik nama pada daftar umum.
d.
Mengenai daluwarsa (verjaring) terhadap benda
bergerak tidak dikenal daluwarsa sebab bezit disini sama dengan eigendom
atas benda bergerak itu, sedangkan benda-benda tak bergerak menengenal verjaring.
e.
Mengenai penyitaan (beslag), revindicatoir geslag yaitu
penyitaan untuk menuntut kembali barangnya sendiri hanya dapat dilakukan
terhadap baranng-barang bergerak, sedangkan executoir beslag adalah
penyitaan untuk melaksanakan keputusan pengadilan harus dilakukan terlebih
dahulu pada barang bergerak, apabila tidak mencukupi maka dilakukan terhadap
barang tak bergerak.
Dalam
hal beralihnya kepemilikan dalam jual beli, dalam KUH Perdata dilakukan dengan
penyerahan (
levering), mengenai
levering dari benda bergerak yang
tak berwujud berupa hak-hak piutang dapat dibedakan atas 3 macam, yaitu :
1.
Levering dari suatu piutang aan toonder
(atas tunjuk atau atas bawa), menurut Pasal 613 Ayat (3) KUH Perdata dilakukan
dengan penyerahan surat
itu.
2.
Levering dari surat piutang op naam (atas nama),
menurut Pasal 613 Ayat (1) KUH Perdata dilakukan dengan cara membuat akta
otentik atau dibawah tangan (yang dinamakan cessie). Yang dimaksud
disini tidak lain adalah penggantian kedudukan berpiutang dari kreditur lama
yang dinamakan “cedent” kepada kreditur baru yang dinamakan “cessionaries”.
Sedangkan debitur dinamakan “cessus”. Agar supaya peralihan piutang ini
berlaku terhadap debitur, maka akta cessie itu harus diberitahukan
kepadanya secara resmi. Hak piutang dianggap telah beralih dari kreditur lama
kepada kreditur baru pada saat akta cessie dibuat, tidak pada waktu akta
cessie diberitahukan kepada cessus.
3.
Levering dari piutang aan order (atas
perintah), menurut Pasal 613 Ayat (3) KUH Perdata dilakukan dengan penyerahan surat itu disertai dengan
endosemen, yakni dengan menulis dibalik surat
piutang yang menyatakan kepada siapa piutang tersebut dialihkan.