BAB II
TINJAUAN TEORITIS MENGENAI WANPRESTASI DAN TRANSAKSI
JUAL
BELI MELALUI INTERNET
A. Aspek Hukum Perjanjian Jual Beli
Jual
beli terdapat pada buku III Burgerlijk Wetboek tentang Perikatan.
Menurut Pasal 1313 Burgerlijk Wetboek (BW) perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih.
Sementara itu Subekti, mengatakan
bahwa, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang
lain atau dua orang tersebut saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal
yang menimbulkan suatu perikatan antara dua pihak yang membuatnya
.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, perjanjian adalah suatu perhubungan hukum
mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji untuk
melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain
berhak menuntut pelaksanaan janji itu
. Sedangkan
R. Setiawan mengemukakan bahwa, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dimana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih
.
Menurut Abdulkadir Muhamad, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua
orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam
lapangan harta kekayaan.
Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) Burgerlijk Wetboek yang mengatakan bahwa semua Persetujuan
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Asas kebebasan berkontrak ini maksudnya bahwa setiap orang bebas
menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian, sepanjang tetap memenuhi syarat
sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek tidak melanggar
ketertiban umum dan kesusilaan.
Berdasarkan
Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek dijelaskan bahwa syarat-syarat sah nya suatu
perjanjian yaitu :
1.
Kesepakatan para pihak
Para pihak yang membuat perjanjian telah
sepakat atau saling menyetujui kehendak masing-masing dan mengikatkan dirinya
dengan tidak ada paksaan, kekeliruan dan penipuan. Asas konsensualisme
menganggap bahwa perjanjian terjadi seketika setelah ada kata sepakat, adapun
untuk menentukan kapan suatu kesepakatan itu dapat terjadi, ada beberapa
teori-teori yang akan menjelaskan hal tersebut, antara lain :
a. Uitings
Theory atau teori saat melahirkan kemauan, artinya bahwa perjanjian terjadi
apabila atas penawaran tertentu telah dilahirkan kemauannya dari pihak lain.
Kemauan dari pihak lain tersebut dapat dikatakan telah dilahirkan pada waktu pihak lain mulai
menulis surat
penerimaan atau menyatakan kemauannya.
b. Verzend
Theory atau teori saat pengirim surat
penerimaan, menjelaskan bahwa perjanjian terjadi pada saat surat penerimaan dikirimkan kepada penawar.
c. Onvangs
Theory atau teori saat penerima surat,
penerimaan artinya bahwa perjanjian terjadi pada saat penawar menerima surat penerimaan dari
pihak lain
d. Verneming
Theory atau teori saat megatahui surat
penerimaan, menerangkan bahwa perjanjian baru terjadi apabila penawar telah
membaca atau mengetahui isi surat
penerimaan tersebut.
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Cakap untuk dapat melakukan perbuatan hukum yaitu diantaranya harus telah
dewasa, berdasarkan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
disebutkan bahwa orang yang telah dewasa adalah telah berusia 18 (delapan
belas) tahun atau telah menikah. Kemudian orang yang dinyatakan cakap untuk
melakukan perbuatan hukum dalam hal ini membuat perjanjian ialah orang yang
sehat akal pikiran yaitu orang yang tidak dungu atau tidak memiliki
keterbelakangan mental, tidak sakit jiwa atau gila dan juga bukan orang yang
pemboros (Pasal 433 Burgerlijk Wetboek). Selain itu orang yang cakap
untuk melakukan perbuatan hukum seperti membuat perjanjian adalah orang yang
tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan
perbuatan hukum tertentu, seperti orang yang sedang pailit dilarang untuk
mengadakan perjanjian utang-piutang.
3.
Suatu hal tertentu
Prestasi ialah sesuatu hal tertentu yang dapat menjadi objek dalam suatu
perjanjian. Berdasarkan Pasal 1234 Burgerlijk Wetboek Prestasi terdiri
dari memberi sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Syarat-syarat
objek suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1333 Burgerlijk Wetboek dimana suatu perjanjian harus
:
a. Diperkenankan, artinya tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.
b. Tertentu atau dapat ditentukan, artinya prestasi
tersebut harus dapat ditentukan dengan jelas mengenai jenis maupun jumlahnya,
atau setidak-tidaknya dapat diperhatikan.
c. Mungkin dilakukan, artinya prestasi tersebut harus
mungkin dilakukan menurut kemampuan manusia pada umunya dan kemampuan debitur
pada khususnya.
4.
Suatu sebab yang halal
Menurut Pasal 1335 Burgerlijk Wetboek disebutkan bahwa suatu
perjanjian tanpa sebab atau telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau
terlarang, tidak mempunyai kekuatan. Selain itu di dalam Pasal 1337 Burgerlijk
Wetboek juga dijelasakan bahwa suatu sebab dalam perjanjian tidak boleh
bertentangan undang-undang, ketertiban umum dan juga kesusilaan.
Dari rumusan diatas, jelas bahwa suatu perjanjian jual beli harus
memenuhi keempat syarat diatas. Syarat-syarat ini digolongkan menjadi:
1. Syarat subjektif untuk sahya perjanjian yaitu
kesepakatan para pihak yang melakukan perjanjian dan cakap hukum. Apabila
syarat subjektif ini tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan artinya selama
para pihak tidak membatalkan perjanjian , maka perjanjian masih tetap berlaku.
2.
Syarat obyektif
untuk sahnya perjanjian yaitu sesuatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal,
hal ini berhubungan dengan objek yang diperjanjikan dan yang akan dilaksanakan
oleh para pihak sebagai prestasi atau utang dari para pihak. Apabila syarat
objektif tidak terpenuhi maka perjanjian
batal demi hukum artinya sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian.
Disamping syarat sahnya perjanjian, ada beberapa hal yang berlaku dalam
hukum perikatan, yaitu
:
1. Buku III Buergerlijk Wetboek
Bersifat Terbuka
Asas ini mempunyai arti, bahwa mereka yang tunduk dalam perjanjian bebas
dalam menentukan hak dan kewajibannya. Asas ini disebut juga dengan asas
kebebasan berkontrak, yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, namun demikian asas
kebebasan berkontrak ini tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan
dan peraturan perundang-undangan.
2. Bersifat Pelengkap (optional)
Hukum perjanjian bersifat pelengkap artinya, pasal-pasal dalam hukum
perjanjian boleh disingkirkan apabila pihak-pihak yang membuat perjanjian
menghendaki dan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari
pasal-pasal undang-undang, tetapi apabila dalam perjanjian yang mereka buat
tidak ditentukan, maka berlakulah ketentuan undang-undang.
3. Asas Konsensualisme
Asas ini mempunyai arti, kesepakatan antara kedua belah pihak dimana
suatu perjanjian tercapai sejak lahirnya kesepakatan.
4. Asas Kepribadian
Asas ini
mempunyai arti, bahwa perjanjian hanya mengikat bagi para pihak pembuatnya.
Menurut Pasal 1315 Burgerlijk Wetboek pada
umumnya tidak seorangpun dapat mengikatkan dirinya atas nama sendiri atau
meminta ditetapkannya suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri
Unsur-unsur
didalam suatu perjanjian yang terdiri dari:
1.
Essentialia
Unsur essentialia adalah
unsur-unsur pokok di dalam suatu persetujuan yang mutlak harus ada, dan tanpa
itu persetujuan tidak mungkin ada.
2.
Naturalia
Unsur naturalia merupakan unsur
yang dianggap telah ada dalam perjanjian sekalipun para pihak tidak menentukan
secara tegas dalam perjanjian, seperti itikad baik para pihak dalam
melaksanakan isi perjanjian dimana undang-undang yang menentukan sebagai ketentuan
yang bersifat mengatur
3.
Accidentalia
Unsur accidentalia ialah unsur tambahan
dalam persetujuan, dan undang-undang tidak mengaturnya.
Di dalam
Burgerlijk Wetboek dikenal beberapa macam perjanjian diantaranya
yaitu
:
1.
Perjanjian Timbal Balik
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban
pokok bagi kedua belah pihak.
2.
Perjanjian Cuma-Cuma
Berdasarkan Pasal 1314 ayat (1) Burgerlijk Wetboek dijelaskan
bahwa suatu persetujuan dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban dan pada ayat
(2) dijelaskan bahwa suatu persetujuan dengan cuma-cuma adalah suatu
persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada
pihak lain tanpa menerima manfaat bagi dirinya sendiri.
3.
Perjanjian Atas Beban
Berdasarkan Pasal 1314 ayat (3) Burgerlijk
Wetboek disebutkan bahwa suatu perjanjian atas beban adalah suatu
perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu artinya bahwa dalam perjanjian atas beban
terhadap prestasi pihak yng satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak
yang lain.
4.
Perjanjian Bernama
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri,
maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama
oleh pembentuk undang-undang.
5.
Perjanjian Tidak Bernama
Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur dalam Burgerlijk
Wetboek dan terdapat
di dalam masyarakat dan tetapi jumlah
perjanjian ini disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya,
seperti perjanjian kerja sama,
perjanjian pemasaran dan perjanjian pengelolaan. Lahirnya perjanjian ini berdasarkan
asas kebebasan berkontrak.
6. Perjanjian Obligatoir
Perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana pihak-pihak
sepakat, mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak
lain. Menurut Burgerlijk Wetboek perjanjian jual beli saja tidak mengakibatkan
beralihnya hak milik atas suatu benda dari penjual kepada pembeli. Fase ini
baru merupakan kesepakatan (konsensual) dan harus diikuti dengan
perjanjian penyerahan (perjanjian kebendaan).
7.
Perjanjian Kebendaan (Zakelijk)
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan
haknya atas suatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban (oblige)
pihak itu menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain (levering, transfer).
Penyerahannya itu sendiri merupakan perjanjian kebendaan. Dalam hal perjanjian
jual beli benda tetap, maka perjanjian jual belinya disebutkan pula perjanjian
jual beli sementara (voorlopig koopcontract). Untuk perjanjian jual beli
benda-benda bergerak maka perjanjian obligatoir dan perjanjian kebendaannya
jatuh bersamaan.
8.
Perjanjian Konsensual
Perjanjian konsensual adalah persesuaian kehendak
untuk mengadakan perikatan dimana diantara kedua belah pihak telah tercapai
kesepakatan. Menurut Burgerlijk Wetboek perjanjian ini sudah mempunyai
kekuatan mengikat ( vide Pasal 1338 Burgerlijk
Wetboek).
9.
Perjanjian Riil
Didalam Burgerlijk Wetboek ada
juga perjanjian-perjanjian yang hanya
berlaku sesudah terjadi penyerahan barang, misalnya perjanjian penitipan
barang ( vide Pasal 1694 Burgerlijk
Wetboek), pinjam pakai (vide Pasal 1740 Burgerlijk Wetboek).
Perjanjian yang terakhir ini dinamakan perjanjian riil.
10.
Perjanjian Liberatoir
Perjanjian dimana para pihak
membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan utang (kwijtschelding) Pasal 1438 Burgerlijk
Wetboek.
11. Perjanjian
Pembuktian (Bewijsovereenkomst)
Perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian mana yang berlaku diantara
mereka.
12. Perjanjian
Untung-untungan
Perjanjian yang objeknya ditentuikan kemudian, misalnya perjanjian
asuransi Pasal 1774 Burgerlijk Wetboek.
13.
Perjanjian Publik
Perjanjian publik yaitu keluruhan perjanjian atau sebagian perjanjian yang
dikuasai oleh hukum publik, dimana salah satu pihak yang bertindak adalah
pemerintah dan pihak lainnya swasta. Keduanya terdapat hubungan atasan dengan
bawahan, (Subordinated) dan tidak berada dalam kedudukan yang sama (Co-ordinated),
misalnya perjanjian ikatan dinas.
14. Perjanjian
Campuran (Contractus Sui Generis)
Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur
perjanjian, perjanjian campuran itu ada berbagai paham.
a.
Paham pertama mengatakan bahwa perjanjian khusus
diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur dari perjanjian khusus
tetap ada (contractus kombinasi).
b.
Paham kedua mengatakan ketentua-ketentuan yang dipakai
adalah ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang paling menentukan (teori
absorbsi).
Dari
beberapa macam perjanjian sebagai mana telah disebutkan diatas perjanjian jual
beli merupakan perjanjian obligatoir dan perjanjian kebendaan, karena dalam
perjanjian jual beli penjual diharuskan melakukan penyerahan suatu benda kepada
pihak lain. Perjanjian jual beli juga termasuk kedalam perjanjian timbal-balik,
perjanjian atas beban dan perjanjian konsensual yang merupakan perjanjian
antara penjual dan pembeli yang dilakukan atas dasar kesepakatan dan diantara
keduanya terdapat hak dan kewajiban yang merupakan kontraprestasi dari pihak
lain.
Perjanjian
jual beli merupakan perjanjian bernama karena perjanjian jual beli telah diatur
dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang yang terdapat dalam Pasal 1457 Burgerlijk Wetboek, sedangkan perjanjian
jual beli yang dilakukan secara elektronik melalui media internet merupakan
perkembangan dari perjanjian jual beli konvensional sebagaimana diatur dalam
Pasal 1457 Burgerlijk Wetboek dan Burgerlijk
Wetboek tidak mengatur secara khusus mengenai hal tersebut.
Hukum
perjanjian yang berlaku di Indonesia
mengenal beberapa asas dalam perjanjian, yaitu
:
1.
Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) yang terkandung dalam Pasal 1338 ayat (1) Burgerlijk Wetboek yang mengatakan bahwa semua Persetujuan
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
Asas kebebasan berkontrak ini
maksudnya bahwa setiap orang bebas menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian,
sepanjang tetap memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam
Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek tidak
melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.
2.
Asas Konsensualisme
Asas ini tersirat dalam Pasal 1320 Burgerlijk
Wetboek dan Pasal 1338 ayat (1) Burgerlijk
Wetboek. Pada Pasal 1320 Burgerlijk
Wetboek ditunjukan dengan adanya syarat-syarat sah perjanjian yang pertama
yang kesepakatan para pihak untuk membuat perjanjian, dalam hal ini berdasarkan
asas konsensualisme, perjanjian dianggap ada seketika setelah ada kata sepakat,
yang berarti kesepakatan tersebut berlaku sebagai undang-undangnya bagi para
pembuatnya sebagaimana tersirat dalam Pasal 1338 (1) Burgerlijk Wetboek.
3.
Asas Kepercayaan (Vertrouwensbeginsel)
Dalam perjanjian kepercayaan sangat
dibutuhkan agar kedua belah pihak satu sama lain memegang janjinya, untuk
memenuhi prestasinya masing-masing. Tanpa adanya kepercayaan, maka perjanjian
tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Kepercayaan diantara kedua pihak
mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.
4.
Asas Kekuatan Mengikat
Dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Para pihak dalam perjanjian tidak semata-mata terbatas
pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain
sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral.
5.
Asas Persamaan Hukum
Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan dan mengharuskan kedua
pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan. Asas ini
menempatkan para pihak dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun
ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan dan lain-lain.
6.
Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan, asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan
melaksanakan perjanjian. Kreditur
mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut
pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur
memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat
dilihat disini, bahwa kedudukan kreditur
yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik,
sehingga kedudukan kreditur dan
debitur seimbang.
7.
Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum.
Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai
undang-undang bagi para pihak.
8.
Asas Moral
Asas ini telihat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela
dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontraprestasi dari debitur.
9.
Asas Kepatutan
Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 Burgerlijk Wetboek, dalam hal
ini berkaitan dengan isi perjanjian.
10. Asas Kebiasaan
Bahwa
dalam suatu perjanjian tidak hanya menyangkut hal-hal yang telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan saja tapi juga menyangkut kebisaan yang lazim
diikuti.
Perjanjian jual beli diatur dalam
buku III Burgerlijk Wetboek mulai
Pasal 1457 Burgerlijk Wetboek
sampai dengan pasal 1540 Burgerlijk
Wetboek. Berdasarkan 1457 Burgerlijk Wetboek, jual beli adalah suatu perjanjian dengan
mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan
pihak lain untuk harga yang telah diperjanjikan . Berdasarkan rumusan Pasal
1457 Burgerlijk Wetboek tersebut, maka jual beli merupakan suatu
perjanjian yang mana satu pihak (penjual), mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu kebendaan, sedangkan pihak lainnya (pembeli) mengikatkan
dirinya untuk membayar harga dari benda tersebut sebesar yang telah disepakati
bersama.
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah
Agung (SEMA) Nomor III tahun 1963 terdapat beberapa pasal yang sudah tidak
berlaku lagi di Burgerlijk Wetboek
karena dinilai tidak adil dan sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang.
Pasal-pasal yang sudah tidak berlaku tersebut antara lain adalah Pasal 1460 Burgerlijk
Wetboek mengenai risiko yang harus ditanggung pembeli sejak saat pembelian
meskipun penyerahan barang belum dilakukan tapi penjual berhak menuntut
pembayaran uangnya, serta Pasal 1238 Burgerlijk Wetboek tentang
penyertaan lalai terhadap deditur harus dengan surat perintah. Jadi dengan
dicabutnya beberapa ketentuan dalam Burgerlijk Wetboek sebagaimana
diuraikan diatas, maka risiko dalam perjanjian jual beli sebelum waktu
penyerahan ditanggung oleh penjual atau bersama sesuai kesepakatan dan juga
terhadap debitur yang telah dianggap melakukan Wanprestasi tidaklah harus dengan surat perintah dalam hal
penetapannya.
Jual beli merupakan suatu
perjanjian, karena lahirnya jual beli harus didahului oleh adanya perjanjian.
Jual beli merupakan perjanjian timbal balik dimana pihak penjual berjanji untuk
menyerahkan hak milik atas suatu benda sedangkan pembeli berjanji untuk membayar
harganya yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak
milik tersebut.
Perjanjian jual beli dapat dibuat
secara tertulis di hadapan Notaris maupun dibuat secara di bawah tangan dimana
perjanjian tersebut dibuat secara langsung antara penjual dan pembeli, biasanya
cukup dengan sepakat bahwa pembeli akan membayar harganya apabila barang telah
diserahkan oleh penjual kepada pembeli ataupun sebaliknya (asas konsensualisme).
Hal demikian dinyatakan sah menurut hukum, karena hukum di Indonesia menganut
asas kebebasan berkontrak yang berarti setiap orang bebas menentukan bentuk,
macam dan isi perjanjian, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
pertundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum dan kesusilaan. Dengan kata
lain harus tetap memperhatikan syarat sahnya perjanjian yang terdapat dalam
Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek. Sesuai
dengan asas kepatian hukum, bahwa perjanjian apapun yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya seperti yang telah
ditentukan dalam pasal 1338 ayat (1)
Burgerlijk Wetboek.
Perjanjian
jual beli merupakan perjanjian
konsensualisme yang artinya perjanjian
tersebut telah dilahirkan pada saat tercapainya kata sepakat
.
Asas
konsensualisme dari jual beli ini dijelaskan dalam Pasal 1458
Burgerlijk Wetboek yang menyatakan
bahwa, jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika
setelah mereka mencapai kesepakatan tentang harga dan barang yang diperjual
belikan, meskipun barang tersebut belum diserahkan dan harganya pun belum
dibayarkan.
Dalam
perjanjian jual beli terdapat pengaturan
atas barang yang diperjualbelikan, seperti yang tercantum dalam Pasal 1332
Burgerlijk
Wetboek bahwa objek perjanjian hanyalah barang-barang yang dapat
diperdagangkan. Pengertian
jual beli
secara elektronik atau sering juga disebut
E-Commerce
menurut Julian Din dalam bukunya “
E-Commerce:
law and office” yang di adaptasi oleh Haris Faulidi Asnawi, dikatakan bahwa
E-Commerce merupakan suatu transaksi
komersial yang dilakukan penjual dan pembeli atau dengan pihak lain dalam
hubungan perjanjian yang sama untuk mengirimkan sejumlah barang, pelayanan atau
peralihan hak.
Transaksi
komersial ini terdapat dalam media elektronik yang secara fisik tidak memerlukan
pertemuan para pihak yang bertransaksi dan keberadaan media ini dalam
public network atas sistem yang berlawanan dengan
private network.
Pasal
1 angka (3) Rancangan Undang-Undang (RUU) Informasi dan Transaksi Elektronik
dijelaskan mengenai definisi perdagangan secara elektronik yaitu perdagangan
barang maupun jasa yang dilakukan melalui jaringan komputer atau media
elektronik lainnya.
Sementara
itu, Pasal 1 angka (5) Rancangan Undang-Undang (RUU) Informasi dan Transaksi
Elektronik menjelaskan pula mengenai definisi dari kontrak elektronik yaitu
dokumen elektronik yang membuat transaksi dan atau perdagangan elektronik.
Selain
Rancangan Undang-Undang (RUU) Informasi dan Transaksi Elektronik di atas,
prinsip-prinsip UNCITRAL medel
law on
electronic, menjelaskan bahwa
:
1.
Segala bentuk informasi elektronik dalam bentuk data
elektronik memiliki akibat hukum,
keabsahan ataupun kekuatan hukum.
2. Dalam hal adanya suatu informasi harus dalam
bentuk tertulis, maka suatu data elektronik dapat memenuhi syarat.
3.
Dalam hal tanda tangan, maka tanda tangan elektronik
itu merupakan tanda tangan yang sah.
4.
Dalam hal kekuatan pembuktian data yang bersangkutan,
maka data elektronik berupa message memiliki
kekuatan dalam pembuktian.
Jadi, apa yang digariskan dalam prinsip-prinsip UNCITRAL model law on electronic, maka segala
informasi, data, tandatangan dan hal-hal lain yang dijadikan sebagai alat bukti
yang dibuat secara elektronik memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Segala bentuk informasi elektronik
dalam bentuk data elektronik memiliki akibat hukum, keabsahan ataupun kekuatan
hukum.
Masalah-masalah
hukum yang muncul berkaitan dengan hukum kontrak (
Burgerlijk Wetboek) dan dagang (
Wetboek
Van Koophandel) yang tidak lagi memadai untuk mengatur internet atau
E-commerce
:
1. Keabsahan dokumen dan catatan
elektronik tanpa tanda tangan)
2. Bagaimana membedakan objek transaksi dalam bentuk
barang bergerak, tidak bergerak dan benda tidak bertubuh
3. Barang tidak sesuai dengan gambar dan pembayaran melalui credit card
4. Jurisdiksi peradilan
Transaksi
jual beli secara elektronik atau
E-commerce
memiliki karakteristik antara lain
sebagai berikut
:
1.
Terjadinya transaksi antara dua belah pihak.
2.
Adanya pertukaran barang, jasa atau informasi.
3.
Internet merupakan medium utama dalam proses atau
mekanisme perdagangan tersebut.
Ruang
lingkup
E-commerce meliputi aktifitas
ekonomi sebagai berikut
:
1.
Business To
Business, merupakan sistem komunikasi bisnis online antara pelaku bisnis atau dengan kata lain transaksi secara
elektronik antar perusahaan dan dalam kapasitas atau volume produk
relatif besar.
2.
Business To Customer,
merupakan suatu bisnis transaksi secara elektronik yang dilakukan pelaku usaha
kebutuhan tertentu dan pada saat tertentu.
3.
Consumer To
Consumer, merupakan transaksi bisnis secara elektronik yang dilakukan antar
konsumen dengan konsumen lainnya untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu pada
saat tertentu.
Dalam
jual beli secara elektronik para pihak bertemu secara langsung akan tetapi
hanya berhubungan melalui media internet dimana masing-masing pihak menyatakan
keinginannya atau kehendaknya dalam sebuah kontrak atau kesepakatan yang dibuat
secara elektronik.
Ada 6 (enam) komponen
yang terdapat dalam suatu kontrak dagang elektronik, yaitu
:
1.
Kontrak dagang.
2.
Kontrak itu dilaksanakan dengan media internet.
3.
Kehadiran fisik para pihak tidak diperlukan.
4.
Kontrak itu terjadi dalam jaringan publik.
5.
Sistemnya terbuka karena dilakukan melalui internet.
6.
Kontrak itu terlepas dari batas yurisdiksi nasional.
B. Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Jual
Beli
Pasal 1457 Burgerlijk Wetboek menyebutkan
bahwa jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan
dirinya untuk meyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar
harga yang telah dijanjikan. Berdasarkan rumusan tersebut, maka dalam suatu
transaksi jual beli terkandung suatu perjanjian yang melahirkan hak dan
kewajiban bagi para pihak.
Para
pihak yang mengadakan perjanjian disebut kreditur dan debitur, dalam hal ini, kreditur
berhak atas prestasi dan debitur berkewajiban memenuhi prestasi. Debitur
mempunyai kewajiban untuk membayar utang, kewajiban debitur tersebut dapat pula
disebut dengan schuld. Disamping schuld debitur juga mempunyai kewajiban
yang lain yaitu untuk menjamin pelunasan utang debitur kepada kreditur dengan
menggunakan harta kekayaan guna membayar utang tersebut, atau disebut juga haftung. Pihak-pihak dalam perjanjian
jual beli menurut Burgerlijk Wetboek terdiri dari:
1.
Penjual
Burgerlijk Wetboek mengatur hak dan kewajiban penjual yaitu
sebagai berikut:
a.
Penjual wajib menyatakan dengan tegas keinginannya
dalam perjanjian, artinya apabila terdapat klausul dalam perjanjian yang tidak
jelas dan dapat diartikan kedalam berbagai pengertian, maka harus ditafsirkan
kedalam pengertian yang merugikan penjual (vide Pasal 1473 Burgerlijk Wetboek )
b.
Penjual wajib menyerahkan barang dan juga menanggungnya
(vide Pasal 1474 Burgerlijk Wetboek).
Penyerahan barang ini diartikan sebagai suatu pengalihan kekuasaan atas barang
yang telah dijual tersebut dari tangan penjual ke dalam kekuasaan dan kepunyaan
pembeli (vide Pasal 1475 Burgerlijk
Wetboek). Di dalam penyerahan barang ketentuan yang harus di perhatikan
oleh penjual, antara lain:
1)
Penyerahan barang ini dilakukan ditempat dimana barang
berada pada waktu penjualan terjadi, kecuali di perjanjikan lain (vide Pasal
1477 Burgerlijk Wetboek)
2)
Barang yang diserahkan harus dalam keadaan utuh seperti
yang telah dinyatakan dalam perjanjian atau pada saat penjualan (vide Pasal
1481 jo Pasal 1483 Burgerlijk Wetboek)
3)
Penjual wajib menyerahkan segala sesuatu yang menjadi
perlengkapan untuk menggunakan barang yang telah di jualnya tersebut (vide Pasal
1482 Burgerlijk Wetboek)
4)
Penjual tidak diwajibkan menyerahkan barangnya sebelum
pembeli membayar harganya (vide Pasal 1478
Burgerlijk Wetboek)
5) Penjual wajib menjamin pembeli untuk dapat
memiliki barang itu dengan aman dan tentram, serta bertanggung jawab terhadap
cacat-cacat yang tersembunyi yang dapat dijadikan alasan untuk pembatalan
pembelian (vide Pasal 1491, 1504, 1506, 1508, 1509 dan 1510 Burgerlijk Wetboek), akan tetapi penjual tidak diwajibkan
menanggung cacat yang kelihatan oleh pembeli (vide Pasal 1505 Burgerlijk Wetboek)
6) Penjual wajib menanggung kerugian yang diderita
oleh pembeli apabila ternyata barang yang telah diperjualbelikan tersebut harus
disita atau harus diambil dari pembeli karena suatu sengketa, yang disebabkan
tidak ada pemberitahuan terlebih dahulu pada saat mengadakan perjanjian jual
beli (vide Pasal 1492, 1495, 1496, 1497, 1499 Burgerlijk Wetboek)
7) Penjual diwajibkan bertanggung jawab terhadap
segala sesuatu yang merupakan akibat langsung dari pembuatnya sehingga
merugikan pembeli, walaupun didalam perjanjian ditentukan bahwa penjual tidak
menanggung segala risiko dalam jual beli tersebut (vide Pasal 1494 Burgerlijk
Wetboek )
8)
Penjual wajib menggunakan biaya penyerahan barang
artinya apabila dalam perjanjian ditentukan bahwa penyerahan dilakukan di gudang
milik pembeli, maka biaya pengangkutan dari tempat penjual menuju gudang milik
pembeli ditanggung oleh penjual, sedangkan biaya pengambilan dari gudang milik
pembeli menuju ketempat pembeli ditanggung oleh pembeli (vide Pasal 1476 Burgerlijk Wetboek)
9) Penjual wajib mengembalikan harga barang dan biaya menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku, pembeli berhak membatalkan atau meniadakan
pembelian (vide Pasal 1488 Burgerlijk
Wetboek) dengan syarat tuntutan tersebut harus dilakukan paling lambat
dalam waktu 1 (satu) tahun setelah penyerahan barang (vide Pasal 1489 Burgerlijk Wetboek)
10) Penjual
berhak menuntut pembayaran harga pada waktu dan tempat yang telah penyerahan bersama
dalam perjanjian, pada tempat penenyerahan
barang dilakukan (vide Pasal 1513 jo Pasal 1514 Burgerlijk Wetboek)
11)
Penjual berhak atas pembayaran bunga dari harga
pembelian, jika ternyata barang yang telah dijualnya menghasilkan pendapatan
bagi pembeli (vide 1515 Burgerlijk
Wetboek)
12) Penjual
berhak menahan barangnya atau tidak menyerahkan kepada pembeli jika pembeli belum membayar
harganya (vide Pasal 1478 Burgerlijk
Wetboek)
13) Baik
penjual maupun pembeli berhak membuat persetujuan yang isinya memperluas atau
mengurangi kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan dalam undang-undang ini,
bahkan untuk membebaskan penjual dari tanggungan apapun (vide Pasal 1493 Burgerlijk Wetboek)
14)Dalam hal barang yang telah dijual dalam keadaan
menjadi pokok-pokok sengketa dan harus dilelangkan, sedangkan harga lelang
lebih mahal dari harga yang telah dibayar oleh pembeli sehingga menguntungkan
pembeli, maka penjual berhak memperoleh uang sisa dari hasil pelelangan
tersebut (vide Pasal 1497 ayat (2)
Burgerlijk Wetboek)
15)Jika pembeli tidak membayar harga pembelian maka
penjual dapat menuntut pembatalan pembelian menurut ketentuan Pasal 1266 dan
Pasal 1267 Burgerlijk Wetboek
16)Penjual berhak membeli kembali barang yang telah
dijualnya apabila telah diperjanjikan tersebut (vide Pasal 1519 Burgerlijk Wetboek)
2.Pembeli
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Burgerlijk Wetboek, pembeli memiliki hak dan kewajiban diantaranya:
a.
Pembeli mempunyai kewajiban utama yaitu membayar harga
pembelian pada waktu dan tempat yang telah ditentukan dalam perjanjian (vide Pasal
1513 Burgerlijk Wetboek)
b.
Jika tempat pembayaran tidak ditentukan, pembeli
berkewajiban untuk membayar harga barangnya ditempat penyerahan barang
dilakukan (vide Pasal 1514 Burgerlijk
Wetboek)
c.
Pembeli diwajibkan menanggung biaya pengambilan barang,
artinya apabila dalam perjanjian ditentukan bahwa penyerahan dilakukan di
gudang milik pembeli, maka biaya pengambilan barang dari gudang menuju tempat
pembeli ditanggung oleh pembeli, sedangkan biaya pengiriman dari tempat penjual
menuju gudang milik pembeli ditanggung oleh penjual (vide Pasal 1476 Burgerlijk Wetboek)
d.
Walaupun tidak diperjanjikan dengan tegas, pembeli diwajibkan membayar bunga
dari harga pembelian apabila barang yang dibelinya tersebut menghasilkan
pendapatan.
e. Barang
yang harus diserahkan kepada pembeli adalah dalam keadaan utuh seperti pada
saat penjualan atau saat perjanjian diadakan dan sejak penyerahan barang,
segala yang dihasilkan dari barang tersebut menjadi hak pembeli (vide Pasal 1481
dan Pasal 1483 Burgerlijk Wetboek).
f.
Pembeli berhak mendapatkan jaminan untuk dapat memiliki
barang itu dengan aman dan tentram. Serta jaminan terhadap cacat yang
tersembunyi dan sebagainya, yang dapat dijadikan alasan untuk pembatalan
pembelian (vide Pasal 1491 , 1504, 1506, 1509, 1510 Burgerlijk Wetboek
g.
Pembeli berhak menuntut pembatalan pembelian, jika penyerahan
barang tidak dapat dilaksanakan karena akibat kelalaian penjual (vide Pasal 1480
Burgerlijk Wetboek).
h.
Baik penjual maupun pembeli berhak membuat persetujuan
yang isinya memperluas atau mengurangi kewajiban yang telah ditentukan dalam Burgerlijk Wetboek tersebut, bahkan
untuk membebaskan penjual dari tanggungan apapun (vide Pasal 1493 Burgerlijk Wetboek), namun demikian hal
ini dibatasi oleh ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 huruf c Undang-Undang
nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu membayar sesuai dengan
nilai tukar yang disepakati
i.
Jika barang yang telah dibeli oleh pembeli di ambil
oleh orang lain karena suatu hal, maka berdasarkan Pasal 1456 Burgerlijk
Wetboek adalah sebagai berikut:
1) Pembeli dapat menuntut pengembalian uang
harga pembelian dari penjual.
2) Pembeli
dapat menuntut pengembalian hasil yang diperoleh pembeli dari barang tersebut kepada penjual, apabila
barang tersebut di ambil oleh orang lain beserta hasil-hasil yang diperolehnya.
3) Pembeli dapat menuntut
penggantian biaya yang telah di keluarkannya untuk mengurus sengketa.
4) Pembeli
juga dapat menuntut penggantian biaya kerugian dan bunga serta biaya perkara mengenai pembelian dan
penyerahan dalam perjanjian jual beli tersebut.
Dari
beberapa diuraikan di atas mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam jual beli,
maka perjanjian jual beli merupakan perjanjian timbal balik yang mana pihak
yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang
lain mengikatkan dirinya untuk membayar harga yang telah diperjanjikan. Dalam
perjanjian jual beli ini biasanya kewajiban pembeli merupakan hak dari penjual.
Menurut
Subekti, penjual mempunyai dua kewajiban pokok yaitu, pertama menyerahkan
barangnya serta mungkin pembeli untuk dapat memiliki barang itu dengan tentram,
dan kedua bertanggung jawab terhadap cacat yang tersembunyi, kemudian
kewajiban pembeli adalah untuk membayar harga
pada waktu dan tempat yang telah ditentukan
.
Berdasarkan
Pasal 1480 Burgerlijk Wetboek menyebutkan bahwa jika penyerahan karena
kelalaian penjual tidak dapat dilaksanakan, maka pembeli dapat menuntut
pembatalan pembelian, selanjutnya menurut ketentuan dalam Pasal 1266 Burgerlijk Wetboek dan Pasal 1267 Burgerlijk Wetboek, apabila barang
tersebut sudah diserahkan, maka pembeli dapat menuntut penjual untuk
bertanggung jawab jika ada pihak lain yang membantah hak milik penjual atas
barang, yang telah dibeli oleh pembeli atau jika ternyata pada barang tersebut
terdapat cacat tersembunyi.
Proses
transaksi jual beli dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan
menggunakan media internet, dalam hal ini para pihak tidak bertemu secara
langsung tetapi hanya berhubungan melalui media internet yang mana
masing-masing pihak menyatakan keinginan-keinginan atau kehendak yang dibuat
secara elektronik. Adapun para pihak dalam jual beli secara elektronik biasanya
terdiri dari
:
1.
Merchant atau
Penjual
Merchant ialah setiap
perusahaan, sekelompok orang atau individu yang menawarkan produk atau jasanya
dengan menggunakan internet sebagai media komunikasi atau
alat untuk mempromosikan produk miliknya
kepada konsumen. Dalam jual beli secara elektronik melalui media internet, prinsip
merchant atau penjual adalah mencari
dan menyaring calon pembeli sebanyak-banyaknya, selain itu
merchant mempunyai kewajiban antara lain
:
- Menyediakan Informasi
Website dan e-mail merupakan dua cara yang sering digunakan
dalam melakukan transaksi perdagangan melalui internet, oleh karena itu merchant harus mempunyai pusat basis
data (corporate database), yang berisi informasi mengenai produk dan jasa perusahaan beserta
semua rekaman mengenai interaksi antara merchant
dan customer.
b. Menyediakan daftar atau katalog barang.
Daftar atau katalog barang harus disertai dengan deskripsi produk yang
akan dijual tersebut dalam web atau situs khusus yang telah dibuat oleh merchant. Model transaksi ini dikenal
dengan istilah order form dan shoping cart.
c.
Menyediakan sarana pembayaran
Pembayaran dilakukan sesuai dengan layanan yang disediakan oleh merchant, misalnnya dengan credit card dan sebagainya.
Pembayaran dengan kartu kredit yang mana didalam sistem pembayaran
seperti ini melibatkan beberapa pihak dalam transaksi, yaitu:
1)
Customer
sebagai pemegang kartu kredit (car
holder)
2)
Bank penerbitan kartu kredit (issuer), dalam hal ini logo bank tersebut harus tercantum pada
kartu dan bank tersebut melakukan lisensi merk (brand) dari institusi kartu kredit, seperti Visa, Mastercard atau
Maestro dan sebagainya.
3)
Merchant
sebagai penerima kartu kredit Autodebit, Merchant
ini memiliki hubungan dengan sebuah bank (acquirer).
4)
Bank (acquirer),
ialah bank merchant yang memiliki Account untuk menampung uang dari customer atau cardholder.
Adapun langkah-langkah yang dapat di lakukan dalam transaksi online
dan menggunakan kartu kredit, ialah:
1)
Customer
memilih produk yang akan dibeli pada Website
merchant.
2)
Setelah total harga yang harus dibayar telah ditentukan
kemudian customer memasukan informasi
kartu kredit pada form slip pembelian yang telah disediakan pada Website merchant.
3)
Informasi tersebut selanjutnya dikirim ke web server merchant bersama informasi pembelian
lainnya.
4)
Kemudian melalui sistem gateway pihak penjual akan melakukan proses otorisasi.
5)
Merchant
melakukan otorisasi ke acquirer untuk
selanjutnya diteruskan ke issuer
melalui jaringan kredit atau debit.
6)
Setelah memeriksa validitas
informasi kartu kredit atau debit, issuer
akan mengirimkan hasil otorisasi kembali ke acquirer
7)
Acquirer
selanjutnya mengirimkan hasil otorisasi kepada merchant dan diinformasikan kepada customer melalui Website merchant
8)
Jika otorisasi berhasil, selanjutnya merchant mengesahkan transaksi tersebut
dan mengirim produk yang telah disepakati.
d.
Menyerahkan Barang
Apabila serangkaian proses pembayaran telah dilalui dan merchant dipastikan telah menerima
pembayaran dari customer, maka merchant diwajibkan untuk menyerahkan
barang sesuai dengan yang disepakati kepada customer.
e.
Merchant
wajib menjamin customer untuk dapat
memiliki barang yang telah dibelinya itu dengan aman dan tentram, serta bertanggung
jawab terhadap cacat-cacat yang tersembunyi dan sebagainya.
Selain
kewajiban-kewajiban sebagaimana telah dijelaskan di atas
merchant juga melalui hak-hak antara lain
:
a.
Merchant
berhak mengetahui informasi yang benar mengenai customer, misalnya informasi data pribadi customer, nomor rekening dan sebagainya. Hal ini ditujukan semata
untuk melancarkan bertransaksi.
b.
Merchant
berhak mendapatkan pembayaran dari customer
sebagaimana telah disepakati bersama dalam perjanjian
c.
Merchant juga
berhak mendapatkan perlindungan hak atas perbuatan customer yang tidak mempunyai itikad baik.
2.
Customer atau
pihak pembeli
Customer atau pembeli adalah pihak
pembeli produk berupa barang atau jasa dari
merchant
secara elektronik yang dilakukan melakukan media internet
.
Prinsip
customer berusaha sedapat
mungkin mencari produk atau jasa terbaik yang diinginkan dan mencoba untuk
mencari tahu penilaian orang lain terhadap produk atau jasa tersebut. Ada
dua hal utama yang bisa dilakukan
customer dalam proses transaksi melalui
media internet yaitu,
- customer
dapat melihat produk atau jasa
yang diiklankan oleh perusahaan melalui web sitenya
- customer dapat mencari data atau informasi
tertentu yang dibutuhkan sehubungan dengan proses transaksi jual beli
yang akan dilakukannya, jika tertarik dengan produk atau jasa yang
ditawarkan, customer dapat
mengadakan transaksi dengan cara melakukan pesanan secara elektronik (online order ).
Customer mempunyai-mempunyai
kewajiban, yaitu
:
a.
Customer
harus memberikan informasi dengan benar sesuai yang diperlukan merchant misalnya customer wajib mengisi data mengenai dirinya.
b.
Melakukan
pembayaran sebagaimana yang telah disepakati bersama antara costumer dan merchant.
Selain itu,
customer mempunyai
hak yang antara lain
:
a.
Memperoleh
informasi yang benar mengenai produk, baik barang atau jasa yang ditawarkan
oleh merchant, termasuk juga
informasi mengenai semua rekaman mengenai interaksi antara merchant dengan customer.
b.
Memperoleh data
daftar atau katalog barang yang disertai dengan deskripsi produk yang akan
dijual tersebut dalam web atau situs
khusus yang telah dibuat oleh merchant.
c.
Memperoleh sarana pembayaran sesuai dengan layanan yang
disediakan oleh merchant, misalnya Credit Card dan sebagainya.
d.
Apabila
serangkaian proses pembayaran telah dilalui dengan merchant dipastikan telah menerima pembayaran dari customer. Maka customer berhak atas barang pada waktu dan tempat yang telah
disepakati dengan merchant.
e.
Customer juga
berhak mendapat jaminan dari merchant
dapat memiliki barang yang telah dibelinya itu dengan aman dan tentram serta
dari cacat-cacat yang tersembunyi dan juga berhak mendapatkan perlindungan
hukum atas itikad tidak baik pihak merchant.
3.
Pihak ketiga atau bank, baik sebagai penerbit kartu
kredit atau debit (
issuer) atau sebagai
bank (
acquirer) dimana
merchant memiliki
account
yang akan menampung uang dari
customer
atau
cardholder.
Dalam hal ini pihak ketiga atau bank
berfungsi sebagai penghubung atau perantara dari
merchant dan
customer,
karena baik
merchant maupun
customer merupakan nasabah dari
bank
tersebut. Adapun mengenai hak dan
kewajiban dari pihak ketiga ini ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara
bank dan nasabah yang
pada saat pertamaa
kali
merchant atau
customer menjadi nasabah dari bank
tersebut.
4.
Provider atau penyedian
jasa layanan internet, merupakan pihak yang terkait secara langsung dalam
perjanjian jual beli secara elektronik yang dilakukan melalui internet, tapi provider mempunyai kewajiban untuk menyediakan layanan
akses internet selama 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 ( tujuh ) hari
dalam seminggu non stop kepada customer, berdasarkan perjanjian yang dibuat antara provider dengan merchant.
Pasal
1 poin (5) Rancangan Undang-Undang (RUU) Informasi dan Transaksi Elektronik
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian elektronik atau kontak
elektronik untuk dokumen elektronik yang membuat transaksi dan atau perdagangan
elektronik. Dalam buku III Burgerlijk Wetboek, terdapat pengaturan
mengenai perjanjian bernama yang diatur dalam bab V sampai dengan bab XVII, sedangkan perjanjian
yang dibuat secara elektronik termasuk perjanjian jual beli secara elektronik
tidak diatur dalam Burgerlijk Wetboek, yang berdasarkan doktrin merupakan
perjanjian tidak bernama sebagai perwujudan dari kebebasan berkontrak
sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 (1) Burgerlijk Wetboek.
Hukum
di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak yang berarti tiap orang bebas
menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian jual beli yang mereka buat,
sepanjang isi perjanjian tersebut memenuhi syarat sahnya perjanjian yang
terdapat dalam Pasal 1320 Burgerlijk
Wetboek, tidak bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang
berlaku, ketertiban umum dan kesusilaan. Selain itu, Burgerlijk Wetboek di
Indonesia juga menganut asas kepastian hukum, yang menegaskan bahwa perjanjian
apapun yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak
yang membuatnya seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 1338 ayat 1 Burgerlijk Wetboek.
Pasal
6 ayat (1) Rancangan Undang-Undang (RUU) Informasi dan Transaksi Elektronik
menjelaskan bahwa setiap perdagangan
yang dilakukan secara elektronik memiliki akibat hukum yang sama dengan
perdagangan pada umumnya, Pasal 1457 Burgerlijk Wetboek menegaskan bahwa jual beli merupakan suatu
perjanjian oleh karena itu lahirnya jual beli secara elektronik harus didahului
adanya perjanjian. Berdasarkan penjelasan diatas, maka syarat-syarat dan akibat
hukum dari perjanjian jual beli secara elektronik sama dengan perjanjian jual beli
biasa sebagaimana telah diatur dalam buku III Burgerlijk Wetboek .
Merchant mempunyai dua kewajiban pokok yaitu menyerahkan barangnya
serta menjamin customer untuk dapat
memiliki barang untuk itu dengan tentram, sedangkan kewajiban customer
adalah untuk membayar harga pada
waktu dan tempat yang telah ditentukan. Selain merchant
dan customer, pihak ketiga atau bank
juga mempunyai hak dan kewajiban antara
lain bahwa pihak-pihak ketiga atau bank berkewajiban mencairkan sejumlah
dana yang telah disetujui oleh customer dibayarkan kepada merchant dan menjamin bahwa penyerahan
dana tersebut benar-benar aman dan sampai kepada yang berhak menerimanya yaitu merchant. Disamping itu, pihak ketiga atau bank juga berhak atas
penggantian biaya administrasi dalam rangka melakukan proses pembayaran dalam
perjanjian jual beli tersebut.
C. Aspek Hukum Wanprestasi Dalam Jual Beli
Prestasi adalah suatu yang wajib
harus dipenuhi dalam setiap perikatan, apabila debitur tidak memenuhi prestasi
sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian maka ia dikatakan wanprestasi.
Menurut Ridwan Syahrani,
Wanprestasi seorang debitur dapat
berupa 4 (empat) macam yaitu
:
1.
Sama sekali tidak memenuhi prestasi, artinya debitur
sama sekali tidak memenuhi perikatan atau dengan kata lain debitur tidak
melaksanakan isi perjanjian sebagaimana mestinya.
2.
Tidak tunai memenuhi prestasi atau prestasi dipenuhi
sebagian, artinya bahwa debitur telah memenuhi prestasi tetapi hanya sebagian
saja, sedangkan sebagian yang lain belum dibayarkan atau belum dilaksanakan.
3.
Terlambat memenuhi prestasi, bahwa debitur tidak memenuhi
prestasi pada waktu yang ditentukan dalam perjanjian walaupun ia memenuhi
prestasi secara keseluruhan.
4.
Keliru memenuhi prestasi, artinya bahwa debitur
memenuhi prestasi dengan barang atau objek perjanjian yang salah. Dengan kata
lain prestasi yang dibayarkan bukanlah yang ditentukan dalam perjanjian ataupun
bukanlah yang diinginkan oleh kreditur.
Menurut
Mariam Darus Badrul Zaman, dijelaskan wujud dari tidak memenuhi perikatan itu
ada 3 (tiga) macam, yaitu
:
1.
Debitur sama sekali tidak memenuhi prestasi
2.
Debitur terlambat memenuhi prestasi
3.
Debitur keliru atau tidak pantas memenuhi prestasi.
Konsekuensi
dari tidak dipenuhinya perikatan ialah bahwa kreditur atau pihak lain yang
dirugikan dapat meminta ganti kerugian atas biaya-biaya yang telah dikeluarkannya,
kerugian atau kerusakan barang miliknya dan juga barang atas keuntungan yang
seharusnya akan didapatkan dan telah diperhitungkan. Pasal 1267 Burgerlijk
Wetboek mennngatur bahwa apabila terjadi wanprestasi maka kreditur dapat memilih diantara kemungkinan
tuntutan, antara lain yaitu :
1.
pemenuhan perikatan
2. pemenuhan perikatan dengan ganti kerugian
3. ganti kerugiannya saja
4. pembatalan perjanjian
5. pembatalan perjanjian dengan ganti kerugian.
Apabila
debitur hanya menuntut ganti kerugian saja maka ia dianggap telah melepaskan
haknya untuk meminta pemenuhan dan pembatalan perjanjian, sedangkan apabila
kreditur hanya menuntut pemenuhan perikatan maka tuntutan ini sebenarnya bukan
sebagai sanksi atas kelalaian, sebab pemenuhan perikatan memang sejak semula
harus dilaksanakan oleh debitur.
Dalam
hal adanya kewajiban ganti rugi oleh debitur, sebelumnya debitur harus terlebih
dahulu dinyatakan dalam keadaan lalai (Ingebrekestelling). Lembaga
pernyataan lalai ini adalah merupakan upaya hukum untuk sampai pada suatu fase yang
mana debitur dinyatakan ingkar janji atau telah melakukan wanprestasi.
Pasal 1243 Burgerlijk Wetboek menyebutkan
bahwa penggantian biaya rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu
perikatan, mulai diwajibkan apabila debitur telah dinyatakan lalai dalam
memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus
diberikan atau dibuatnya dalam tenggang waktu tertentu dilampauinya.
Menurut
Mariam Darus Badrul Zaman, maksud dari keadaan lalai ialah peringatan atau
penyertaan dari kreditur tentang saat selambat-lambatnya debitur wajib memenuhi
prestasi apabila saat debitur dilampauinya maka debitur dinyatakan telah ingkar
janji atau
Wanprestasi
.
Sedangkan Ridwan Syahrani, berpendapat bahwa perjanjian dimana prestasinya
berupa memberi sesuatu atau untuk berbuat sesuatu, apabila debitur tidak
memenuhi kewajibannya, maka untuk pemenuhan prestasi tersebut debitur harus
lebih dahulu diberi teguran agar ia memenuhi kewajibannya, debitur yang tidak
memenuhi prestasi setelah diberi teguran maka ia dianggap telah
wanprestasi
.
Akan tetapi apabila
wanprestasi
tersebut terjadi pada perjanjian yang prestasinya dapat seketika dipenuhi,
barang yang akan dijual sudah ada maka prestasi itu dapat dituntut supaya
dipenuhi seketika. Akan tetapi apabila prestasi dalam perjanjian itu tidak
dapat dipenuhi seketika, misalnya barang-barang yang akan dijual belum datang
atau belum ada maka kepada debitur atau penjual diberi waktu untuk memenuhi
prestasi tersebut.
Pengaturan
mengenai cara memberikan teguran terhadap debitur untuk memenuhi prestasi,
diatur dalam Pasal 1238 Burgerlijk Wetboek , namun setelah dikeluarkannya
Surat Edaran Mahkamah Agung ( SEMA ) Nomor 3 Tahun 1963 tertanggal 5 September
1963, maka ketentuan Pasal 1238 tersebut menjadi tidak berlaku lagi. Dalam SEMA
nomor 3 Tahun 1968 dinyatakan bahwa pengiriman turunan surat gugatan
kepada debitur atau tergugat dapat dianggap pengihan karena debitur atau
tergugat masih menghindarkan terkabulkannya gugatan dengan membayar hutangnya sebelum
hari sidang pengadilan.
Berdasarkan
Pasal 1243 Burgerlijk Wetboek, ganti
kerugian adalah penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tidak dipenuhinya
suatu perjanjian, barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan
lalai memenuhi perjanjiannya tetap melalaikannya atau sesuatu yang harus
diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu
yang telah dilampaukannya.
Sanksi
yang dapat dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi prestasi dalam suatu
perikatan untuk memberikan penggantian kerugian berupa biaya, rugi dan bunga disebut
juga dengan ganti rugi. Biaya adalah segala pengeluaran atas ongkos yang
nyata-nyata telah dikeluarkan oleh kreditur sedangkan rugi adalah segala
kerugian karena musnahnya atau rusaknya barang-barang kreditur akibat kelalaian
debitur, sementara itu bunga ialah segala keuangan yang diharapkan akan diperoleh
atau sah di perhitungkan.
Menurut
Mariam Darus Badrul Zaman rugi adalah apabila undang-undang menyebutkan rugi
maka yang dimaksud atas kerugian nyata yang dapat diperkirakan pada saat
perikatan itu diadakan yang timbul sebagai akibat ingkar janji jumlahnya
ditentukan dan perbandingan keadaan kekayaan antara sebelum dan sesudah terjadi
ingkar janji
.
Akibat
wanprestasi yang dilakukan debitur, dapat menimbulkan kerugian bagi kreditur.
Sanksi atau akibat-akibat hukum bagi debitur yang wanprestasi ada 4 (empat)
macam, yaitu
:
1.Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang
diderita oleh kreditur.
2. Pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti kerugian.
3. Peralihan risiko kepada debitur sejak saat terjandinya wanprestasi.
4. Pembayaran biaya perkara apabila diperkirakan di muka hakim.
Seoranhg
debitur yang dianggap telah melakukan wanprestasi
dapat dituntut untuk membayar ganti kerugian, namun jumlah besarnya ganti
kerugian yang dapat dituntut pemenuhannya kepada debitur dibatasi oleh
undang-undang. Pasal 1248 Burgerlijk Wetboek menjelaskan, bahwa jika hal
tak dipenuhinya perikatan itu disebabkan karena tipu daya pihak yang berhutang,
maka penggantian biaya, rugi dan bunga sekedar mengenai kerugian yang diterima
oleh pihak yang berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah
terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tidak dipenuhinya
perikatan tersebut.
Haris Faulisi, Op.Cit.,
hlm.16.
Pagih P Dwi Atmojo, Internet Untuk Bisnis I, Yogyakarta:
Dirkomnet Training, 2002, hlm.6.