A. Pengertian Sumber Hukum
Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan
yang mengikat
dan memaksa,
sehingga apabila aturan-aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas
dan nyata bagi pelanggarnya. Yang dimaksud dengan segala sesuatu adalah
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya hukum, faktor-faktor yang
merupakan sumber kekuatan berlakunya hukum secara fomal artinya
darimana hukum itu dapat ditemukan,
darimana asal mulanya hukum, dimana hukum dapat dicari atau hakim menemukan
hukum, sehingga dasar putusannya dapat diketahui bahwa suatu peraturan tertentu
mempunyai kekuatan mengikat atau berlaku dan lain sebagainya.
Aktivitas Hukum Administrasi Negara yang mencakup kegiatan
administrasi negara yang bersifat nasional dan juga internasional sebagai
perkembangan global saat ini,
tentunya menjadikan bahwa sumber hukum administrasi negara dapat berasal dari
sumber hukum nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia dan sumber hukum internasional seperti
perjanjian internasional antara Indonesia dengan negara lain dan juga berupa
konvensi internasional yang telah diratifikasi.
B. Sumber Hukum Materiil dan Sumber Hukum Formil
Sumber
hukum, dapat dibagi atas dua yaitu:
Sumber Hukum Materiil dan Sumber Hukum Formil. Sumber Hukum Materiil yaitu
factor-faktor yang membantu isi dari hukum itu, ini dapat ditinjau dari segi
sejarah, filsafat, agama, sosiologi, dll. Sedangkan
Sumber Hukum Formil, yaitu
sumber hukum yang dilihat dari cara terbentuknya hukum, ada beberapa
bentuk hukum
yaitu undang-undang, yurisprudensi, kebiasaan, doktrin, traktat.
Menurut
Algra sebagaimana dikutip oleh Sudikno (1986: 63), membagi sumber hukum menjadi
dua yaitu sumber hukum materiil dan sumber hukum formil.
1) Sumber Hukum Materiil, ialah
tempat dimana hukum itu diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan factor
yang membantu pembentukan hukum, misalnya hubungan social politik, situasi
social ekonomi, pandangan keagamaan dan kesusilaan, hasil penelitian ilmiah,
perkembangan internasional, keadaan geografis. Contoh: Seorang ahli ekonomi
akan mengatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan ekonomi dalam masyarakat itulah yang
menyebabkan timbulna hukum. Sedangkan bagi seorang ahli kemasyarakatan
(sosiolog) akan mengatakan bahwa yang menjadi sumber hukum ialah
peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat.
2) Sumber Hukum Formal, ialah
tempat atau sumber darimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Ini
berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu berlaku
secara formal.
Van Apeldoorn dalam R. Soeroso (2005:118), membedakan
empat macam sumber hukum, yaitu:
1)
Sumber hukum dalam arti sejarah, yaitu tempat kita dapat menemukan hukumnya
dalam sejarah atau dari segi historis. Sumber hukum dalam arti sejarah ini
dibagi menjadi dua yaitu:
a.
Sumber hukum yang merupakan tempat dapat diketemukan atau dikenalnya hukum
secara historis, dokumen-dokumen kuno, lontar dan sebagainya.
b.
Sumber hukum yang merupakan tempat pembentukan undang-undang mengambil
bahannya.
2) Sumber hukum
dalam arti sosiologis (teleologis) merupakan faktor-faktor yang
menentukan isi hukum positif, seperti misalnya keadaan agama, pandangan agama,
dan sebagainya.
3)
Sumber hukum dalam arti filosofis, dibagi menjadi dua yaitu:
a.
Sumber isi hukum, disini ditanyakan isi hukum itu asalnya dari mana. Ada tiga
pandangan yang mencoba menjawab tantangan pertanyaan ini yaitu:
1.
Pandangan teoritis, yaitu pandangan bahwa isi hukum berasal dari Tuhan
2.
Pandangan hukum kodrat, yaitu pandangan bahwa isi hukum berasal dari akal
manusia
3.
Pandangan mazhab historis, yaitu pandangan bahwa isi hukum berasal dari
kesadaran hukum
b.
Sumber kekuatan mengikat dari hukum, mengapa hukum mempunyai kekuatan mengikat,
mengapa kita tunduk pada hukum. Kekuatan mengikat dari kaedah hukum bukan
semata-mata didasarkan pada kekuatan yang bersifat memaksa, tetapi karena
kebanyakan orang didorong oleh alasan kesusilaan atau kepercayaan.
4)
Sumber hukum dalam arti formil, yaitu sumber hukum yang dilihat dari cara
terjadinya hukum positif merupakan fakta yang menimbulkan hukum yang berlaku
yang mengikat hakim dan masyarakat. Isinya timbul dari kesadaran masyarakat.
Agar dapat berupa peraturan tentang tingkah laku harus dituangkan dalam bentuk
undang-undang, kebiasaan dan traktat atau perjanjian antar negara.
Marhaenis (1981:46), membedakan
sumber hukum menjadi dua yaitu sumber hukum ditinjau dari Filosofis Idiologis
dan sumber hukum dari segi Yuridis.
1) Sumber Hukum Filosofis Idiologis,
ialah sumber hukum yang dilihat dari kepentingan individu, nasional, atau
internasional sesuai dengan falsafah dan idiologi (
way of
life) dari
suatu Negara Seperti liberalisme, komunisme, leninisme,
Pancasila.
2)
Sumber Hukum Yuridis, merupakan penerapan dan penjabaran langsung dari sumber
hukum segi filosofis idiologis, yang diadakan pembedaan antara sumber hukum
formal dan sumber hukum materiil.
a.
Sumber Hukum Materiil, ialah sumber hukum yang dilihat dari segi isinya
misalnya: KUHP segi materiilnya ialah mengatur tentang pidana umum, kejahatan,
dan pelanggaran. KUHPerdata, dari segi materiilnya mengatur tentang masalah
orang sebagai subyek hukum, barang sebagai obyek hukum, perikatan, perjanjian,
pembuktian, dan kadaluarsa.
b. Sumber Hukum Formal, adalah sumber
hukum dilihat dari segi yuridis dalam arti formal yaitu sumber hukum dari segi
bentuknya yang lazim terdiri dari:
Undang-Undang, Kebiasaan, Traktat, Yurisprudensi,
Traktat.
Sebagai sumber hukum formil dari Hukum Administrasi Negara menurut E.
Utrecht., ialah:
1.
Undang-undang/Hukum Administrasi Negara Tertulis
2.
Praktek Administrasi Negara (Hukum Administrasi Negara yang merupakan Hukum
Kebiasaan)
3.
Yurisprudensi baik keputusan yang diberi kesempatan banding (oleh Hakim ataupun
yang tidak ada banding oleh Administrasi negara tersebut)
4.
Doktrin/Pendapat para ahli Hukum Administrasi Negara
1) Undang-Undang (Statute)
Yaitu peraturan tertulis yang
dibuat oleh alat perlengkapan Negara, dan tercantum dalam peraturan
perundang-undangan. Menurut BUYS, undang-undang ini mempunyai dua arti yakni:
Undang-Undang dalam arti formil, yaitu
setiap keputusan yang merupakan undang-undang karena cara pembuatannya. Di
Indonesia UU dalam arti formil ditetapkan oleh presiden bersama-sama DPR,
contoh UUPA, UU tentang APBN, dll.
Undang-Undang dalam arti materiil, yaitu
setiap keputusan pemerintah yang menurut isinya mengikat langsung setiap
penduduk. Contoh: UUPA ditinjau dari segi kekuatan mengikatnya undang-undang
ini mengikat setiap WNI di bidang agraria.
Berdasarkan
amandemen pertama UUD 1945 pada Pasal 5 ayat 1 ditegaskan bahwa “Presiden
berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
Kemudian dalam Pasal 20 ayat 1 disebutkan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat
memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Dan selanjutnya berdasarkan Pasal
20 ayat 2 disebutkan bahwa “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”.
Dengan adanya perubahan UUD 1945
tersebut maka kedudukan DPR jelas merupakan lembaga pemegang kekuasaan
legislatif, sedangkan fungsi inisiatif di bidang legislasi yang dimiliki oleh
Presiden tidak menempatkan Presiden sebagai pemegang kekuasaan utama di bidang
ini. Perubahan ini sekaligus menegaskan bahwa UUD 1945 dengan sungguh-sungguh
menerapkan sistem pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikati
dimana sebelumnya fungsi legislatif dan eksekutif tidak dipisahkan secara tegas
dan masih bersifat tumpang tindih.
Bentuk hukum peraturan daerah
Propinsi, Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa, sama-sama merupakan bentuk
peraturan yang proses pembentukannya melibatkan peran wakil rakyat dan kepala
pemerintahan yang bersangkutan. Khusus untuk tingkat desa, meskipun tidak
terdapat lembaga parlemen sebagaimana mestinya, sebagaimana diatur dalam Pasal
209 dan 210 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dibentuk Badan
Permusyawaratan Desa, dimana ditegaskan bahwa “Badan Permusyawaratan Desa
berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat”.
Untuk melaksanakan peraturan
perundangan yang melibatkan peran para wakil rakyat tersebut, maka kepala
pemerintahan yang bersangkutan juga perlu diberi wewenang untuk membuat
peraturan-peraturan yang bersifat pelaksanaan. Karena itu selain UU, Presiden
juga berwenang mengeluarkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden.
Demikian pula Gubernur, Bupati, Walikota, dan Kepala Desa, selain bersama-sama
para wakil rakyat membentuk peraturan daerah dan peraturan desa, juga berwenang
mengeluarkan peraturan kepala daerah sebagai pelaksanaan terhadap peraturan yang
lebih tinggi tersebut.
2) Kebiasaan (Costum)
Yaitu perbuatan manusia yang
tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama. Apabila suatu kebiasaan
tertentu diterima oleh masyarakat, dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang
dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan
itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum, maka dengan demikian timbulah
suatu kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.
Sudikno (1986:82) menguraikan
bahwa kebiasaan merupakan tindakan menurut pola tingkah laku yang tetap, ajeg,
lazim, normal atau adat dalam masyarakat atau pergaulan hidup tertentu.
Perilaku yang tetap atau ajeg ini berarti merupakan perilaku manusia yang
diulang, dimana perilaku yang diulang itu mempunyai kekuatan normatif, dan
mempunyai kekuatan mengikat. Karena diulang oleh orang banyak maka mengikat
orang-orang lain untuk melakukan hal yang sama, karenanya menimbulkan keyakinan
atau kesadaran bahwa hal itu memang patut dilakukan. Yang menjadikan tingkah
laku itu kebiasaan atau adat adalah kepatutan dan bukan semata-mata unsur
terulangnya atau ajegnya tingkah laku. Karena dirasakan patut inilah maka lalu
diulang, dan patut tidaknya suatu tingkah laku tadi bukan karena pendapat
seseorang tetapi pendapat masyarakat.
Tidak semua kebiasaan itu
mengandung hukum yang baik dan adil. Oleh karena itu belum tentu suatu
kebiasaan atau adat istiadat itu pasti menjadi sumber hukum. Hanya
kebiasan-kebiasaan dan adat istiadat yang baik dan diterima masyarakat yang
sesuai dengan kepribadian masyarakat tersebutlah yang kemudian berkembang
menjadi hukum kebiasaan. Sebaliknya ada kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik dan
ditolak oleh masyarakat, dan ini tentunya tidak akan menjadi hukum kebiasaan
masyarakat, sebagai contoh: kebiasaan begadang, berpakaian seronok, dan
sebagainya.
Sudikno (1986: 84) menyebutkan
bahwa untuk timbulnya kebiasaan diperlukan beberapa syarat tertentu yaitu:
a.
Syarat materiil
Adanya perbuatan tingkah laku yang dilakukan secara berulang-ulang (longa et invetarata consuetindo).
b.
Syarat intelektual
Adanya keyakinan hukum dari masyarakat yang bersangkutan (opinio necessitatis).
c.
Syarat akibat hukum apabila hukum itu dilanggar
Utrecht (1966:120-122), menyebutkan bahwa: “Hukum kebiasaan ialah
kaidah-kaidah yang biarpun tidak ditentukan oleh badan-badan perundang-undangan
–dalam suasana “werkelijkheid” (kenyataan) ditaati
juga, karena orang sanggup menerima kaidah-kaidah itu sebagai hukum dan telah
ternyata kaidah-kaidah tersebut dipertahankan oleh penguasa-penguasa masyarakat
lain yang tidak termasuk lingkungan badan-badan perundang-undangan. Dengan
demikian hukum kebiasaan itu kaidah yang – biarpun tidak tertulis dalam
peraturan perundang-undangan- masih juga sama kuatnya dengan hukum tertulis.
Apalagi bilamana kaidah tersebut menerima perhatian dari pihak pemerintah”.
Di Indonesia kebiasaan itu diatur
dalam beberapa undang-undang yaitu antara lain:
Pasal 1339 KUHPerdata disebutkan
bahwa “Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
perjanjiannya diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”.
Pasal 1346 KUHPerdata disebutkan
bahwa “Apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi
kebiasaan dalam negeri atau di tempat persetujuan telah dibuat”.
Selanjutnya dalam Pasal 1571
KUHPerdata juga disebutkan bahwa: “Jika perjanjian sewa menyewa tidak dibuat
dengan tertulis, maka perjanjian sewa menyewa tidak berakhir pada waktu yang
ditentukan, melainkan jika pihak yang satu memberitahukan kepada pihak lain
bahwa ia hendak menghentikan perjanjian dengan mengindahkan tenggang waktu yang
diharuskan menurut kebiasaan setempat”.
Mengenai praktek administrasi negara sebagai sumber hukum formil,
dapat dikatakan bahwa praktek itu membentuk hukum administrasi negara kebiasaan
(hukum tidak tertulis). Hukum administrasi negara kebiasaan tersebut dibentuk
dan dipertahankan dalam keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara.
Sebagai suatu sumber hukum formil, maka sering sekali praktek administrasi
negara itu berdiri sendiri (zelfstandig) disamping
undang-undang. Bahkan tidak jarang praktek administrasi negara mengesampingkan
(opzijzetten) peraturan
perundang-undangan yang telah ada.
R. Soeroso (2005: 155) menyatakan
kelemahan dari hukum kebiasaan yaitu 1) bahwa hukum kebiasaan bersifat tidak
tertulis dan oleh karenanya tidak dapat dirumuskan secara jelas dan pada
umumnya sukar menggantinya, dan 2) bahwa hukum kebiasaan tidak menjamin kepastian
hukum dan sering menyulitkan beracara karena hukum kebiasaan mempunyai sifat
aneka ragam.
3) Keptusan-Keputusan Hakim (Yurisprudensi)
Purnadi Purbacaraka menyebutkan bahwa istilah Yurisprudensi berasal
dari kata yurisprudentia (bahasa
latin) yang berarti pengetahuan hukum (rechtsgeleerdheid). Kata
yurisprudensi sebagai istilah teknis Indonesia sama artinya dengan kata “yurisprudentie” dalam bahasa Perancis, yaitu peradilan
tetap atau bukan peradilan. Kata yurisprudensi dalam bahasa Inggris berarti
teori ilmu hukum (algemeene rechtsleer: General theory of law),
sedangkan untuk pengertian yurisprudensi dipergunakan istilah-istilah Case Law atau Judge Made Law.
Dari segi praktek peradilan yurisprudensi adalah keputusan hakim yang selalu
dijadikan pedoman hakim lain dalam memutuskan kasus-kasus yang sama.
Beberapa alasan seorang hakim
mempergunakan putusan hakim yang lain (yurisprudensi) yaitu:
a. Pertimbangan Psikologis
Hal ini biasanya terutama pada
keputusan oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, maka biasanya dalam hal
untuk kasus-kasus yang sama hakim di bawahnya secara psikologis segan jika
tidak mengikuti keputusan hakim di atasnya tersebut.
b. Pertimbangan Praktis
Pertimbangan praktis ini biasanya
didasarkan karena dalam suatu kasus yang sudah pernah dijatuhkan putusan oleh
hakim terdahulu apalagi sudah diperkuat atau dibenarkan oleh pengadilan tinggi
atau MA maka akan lebih praktis apabila hakim berikutnya memberikan putusan
yang sama pula. Di samping itu apabila keputusan hakim yang tingkatannya lebih
rendah memberi keputusan yang menyimpang atau berbeda dari keputusan yang lebih
tinggi untuk kasus yang sama, maka keputusan tersebut biasanya tentu tidak
dibenarkan/dikalahkan pada waktu putusan itu dimintakan banding atau kasasi.
c. Pendapat Yang sama
Pendapat yang sama biasanya
terjadi karena hakim yang bersangkutan sependapat dengan keputusan hakim lain
yang terlebih dahulu untuk kasus yang serupa atau sama.
4) Traktat (Treaty)
Yaitu perjanjian antar negara/perjanjian internasional/perjanjian
yang dilakukan oleh dua negara atau lebih. Akibat perjanjian ini ialah bahwa
pihak-pihak yang bersangkutan terikat pada perjanjian yang mereka adakan itu.
Hal ini disebut Pacta Sun Servada yang berarti bahwa perjanjian mengikat pihak-pihak
yang mengadakan atau setiap perjanjian harus ditaati dan ditepati oleh kedua
belah pihak.
Ada beberapa macam traktat (treaty) yaitu:
a. Traktat bilateral atau traktat binasional atau twee zijdig
Yaitu apabila perjanjian
dilakukan oleh dua negara. Contoh: Traktat antara pemerintah Indonesia dengan
Pemerintah Malaysia tentang Perjanjian ekstradisi menyangkut kejahatan kriminal
biasa dan kejahatan politik.
b. Traktat Multilateral
Yaitu perjanjian yang dilakukan
oleh banyak negara. Contoh: Perjanjian kerjasama beberapa negara di bidang
pertahanan dan ideologi seperti NATO.
c. Traktat Kolektif atau traktat Terbuka
Yaitu perjanjian yang dilakukan
oleh oleh beberapa negara atau multilateral yang kemudian terbuka untuk negara
lain terikat pada perjanjian tersebut. Contoh: Perjanjian dalam PBB dimana
negara lain, terbuka untuk ikut menjadi anggota PBB yang terikat pada
perjanjian yang ditetapkan oleh PBB tersebut.
Adapun pelaksanaan pembuatan
traktat tersebut dilakukan dalam beberapa tahap dimana setiap negara mungkin
saja berbeda, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
1.
Tahap Perundingan
Tahap ini merupakan tahap yang
paling awal biasa dilakukan oleh negara-negara yang akan mengadakan perjanjian.
Perundingan dapat dilakukan secara lisan atau tertulis atau melalui teknologi
informasi lainnya. Perundingan juga dapat dilakukan dengan melalui utusan
masing-masing negara untuk bertemu dan berunding baik melalui suatu konferensi,
kongres, muktamar atau sidang.
2.
Tahap Penutupan
Tahap penutupan biasanya apabila tahap perundingan telah tercapai
kata sepakat atau persetujuan, maka perundingan ditutup dengan suatu naskah
dalam bentuk teks tertulis yang dikenal dengan istilah “Piagam Hasil
Perundingan” atau “Sluitings-Oorkonde”. Piagam
penutupan ini ditandatangani oleh masing-masing utusan negara yang mengadakan
perjanjian.
3.
Tahap Pengesahan atau ratifikasi
Persetujuan piagam hasil
perundingan tersebut kemudian oleh masing-masing negara (biasanya tiap negara
menerapkan mekanisme yang berbeda) untuk dimintakan persetujuan oleh
lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan untuk itu.
4.
Tahap Pertukaran Piagam
Pertukaran piagam atau peletakkan
piagam dalam perjanjian bilateral maka naskah piagam yang telah diratifikasi
atau telah disahkan oleh negara masing-masing dipertukarkan antara kedua negara
yang bersangkutan. Sedangkan dalam traktat kolektif atau terbuka peletakkan
naskah piagam tersebut diganti dengan peletakkan surat-surat piagam yang telah
disahkan masing-masing negara itu, dalam dua kemungkinan yaitu disimpan oleh
salah satu negara berdasarkan persetujuan bersama yang sebelumnya dinyatakan
dalam traktat atau disimpan dalam arsip markas besar PBB yaitu pada Sekretaris
Jenderal PBB.
5) Pendapat Sarjana Hukum (Doktrin)
Biasanya hakim dalam memutuskan
perkaranya didasarkan kepada undang-undang, perjanjian internasional dan
yurisprudensi. Apabila ternyata ketiga sumber tersebut tidak dapat memberi
semua jawaban mengenai hukumnya, maka hukumnya dicari pada pendapat para
sarjana hukum atau ilmu hukum. Jadi doktrin adalah pendapat para sarjana hukum
yang terkemuka yang besar pengaruhnya terhadap hakim, dalam mengambil
keputusannya. Di Indonesia dalam hukum Islam banyak ajaran-ajaran dari Imam
Syafi’i yang digunakan oleh hakim pada pengadilan Agama dalam pengambilan
putusan-putusannya.
C. Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan
Menurut
Tap MPRS XX Tahun 1966 tentang Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong
mengenai sumber tertib Hukum RI dan tata urut perundangan Republik Indonesia
adalah sebagai berikut:
1. UUD 1945
2. Ketetapan MPR
3. Undang-Undang/Perpu
4. Peraturan Pemerintah
5. keputusan Presiden
6. Peraturan Menteri
7. Instruksi Menteri
Untuk menata kembali struktur dan
hirarki peraturan perundang-undangan tersebut, berdasarkan Tap MPR RI No. III
tahun 2000 disusun suatu struktur baru peraturan perundang-undangan dengan
urutan sebagai berikut:
1. UUD 1945
2. Ketetapan MPR
3. Undang-Undang (UU)
4. Perpu
4. Peraturan Pemerintah (PP)
5. Keputusan Presiden (Keppres)
6. Peraturan Daerah (Perda)
Dan terakhir berdasarkan
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, yang berisi hirarkhi perundang-undangan, maka urutan
peraturan perundangan RI adalah sebagai berikut:
1. UUD 1945
2. Undang-undang (UU)/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah:
a.
Peraturan Daerah Propinsi dibuat oleh DPRD Propinsi bersama dengan gubernur
b.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh DPRD Kabupaten/Kota bersama
Bupati/Walikota
c.
Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau
nama lainnya bersama.
Sebelum dikeluarkannya UU No. 10
Tahun 2004 tersebut, tata urut dan penamaan bentuk-bentuk peraturan mengalami
banyak kerancuan. Sebagai contoh adalah di beberapa kementerian, digunakan
istilah Peraturan Menteri tetapi di beberapa kementerian lainnya digunakan
istilah Keputusan Menteri, padahal jelas-jelas isinya memuat materi-materi yang
mengatur kepentingan publik seperti di lingkungan Departemen Pendidikan
Nasional yang mengatur mengenai penyelenggaraan pendidikan nasional, dan
sebagainya. Disamping itu untuk mengatur secara bersama berkenaan dengan
materi-materi yang bersifat lintas departemen, berkembang pula kebiasaan
menerbitkan Keputusan Bersama antar Menteri, atau peraturan dalam bentuk Surat
Edaran, padahal bentuk keputusan bersama dan surat edaran itu jelas tidak ada
dasar hukumnya. Kemudian mengenai Ketetapan MPR, apakah ketetapan MPR itu
termasuk peraturan atau bukan, karena isinya sering sama dengan Keputusan
Presiden yang hanya bersifat penetapan biasa.
Keluarnya UU No. 10 Tahun 2004
itu sebenarnya merupakan upaya penyempurnaan dalam rangka penataan kembali
sumber tertib hukum dan bentuk-bentuk serta tata urut peraturan
perundang-undangan Republik Indonesia di masa yang akan datang.
D. Latihan
Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan baik dan benar!
1.
Jelaskan pengertian sumber hukum pada umumnya!
2.
Sebutkan dan jelaskan yang menjadi sumber hukum material dan sumber hukum
formal!
3.
Sebutkan dan jelaskan sumber-sumber hukum administrasi negara!
4.
Jelaskan tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
saat ini!
5.
Mengapa jurisprudensi dijadikan sebagai salah satu sumber hukum administrasi
negara!
E. Rangkuman
Sumber hukum adalah segala
sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mengikat dan memaksa, sehingga
apabila aturan-aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan
nyata bagi pelanggarnya.
Sumber hukum, dapat dibagi atas dua yaitu: Sumber Hukum Materiil dan
Sumber Hukum Formil. Sumber Hukum Materiil yaitu faktor-faktor yang membantu
isi dari hukum itu, ini dapat ditinjau dari segi sejarah, filsafat, agama,
sosiologi, dll. Sedangkan Sumber Hukum Formil, yaitu sumber hukum yang dilihat
dari cara terbentuknya hukum, ada beberapa bentuk hukum yaitu undang-undang,
yurisprudensi, kebiasaan, doktrin, traktat.
Undang-Undang (Statute) yaitu
peraturan tertulis yang dibuat oleh alat perlengkapan Negara, dan tercantum
dalam peraturan perundang-undangan.
Kebiasaan (Costum) yaitu perbuatan manusia yang tetap
dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama. Apabila suatu kebiasaan tertentu
diterima oleh masyarakat, dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan
sedemikian rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itu
dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum, maka dengan demikian timbulah suatu
kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.
Yurisprudensi adalah keputusan hakim yang selalu
dijadikan pedoman hakim lain dalam memutusakan kasus-kasus yang sama.
Traktat (Treaty) yaitu
perjanjian antar negara/ perjanjian internasional/perjanjian yang dilakukan
oleh dua negara atau lebih.
Doktrin adalah
pendapat para sarjana hukum yang terkemuka yang besar pengaruhnya terhadap
hakim, dalam mengambil keputusannya.
Berdasarkan Undang-Undang No. 10
Tahun 2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang
berisi hirarkhi perundang-undangan, maka urutan peraturan perundangan RI adalah
sebagai berikut:
1. UUD 1945
2. Undang-undang (UU)/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah:
a.
Peraturan Daerah Propinsi dibuat oleh DPRD Propinsi bersama dengan gubernur
b.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh DPRD Kabupaten/Kota bersama
Bupati/Walikota
c.
Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau
nama lainnya bersama.