Melalui deduksi Leon Duguit dari keadaan yang saling ketergantungan dalam masyarakat (social interdependence) melalui persamaan kepentingan dan pembagian pekerjaan (Hukum milik memenuhi kebutuhan hendak menggunakan kekayaan tertentu kepada penggunaan perorangan atau kolektif yang pasti dan kebutuhan sesudahnya bahwa masyarakat menjamin dan melindungi penggunaannya).
Masyarakat memperkenalkan perbuatan yang sesuai dengan penggunaan kekayaan itu, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan mencegah perbuatan yang berlawanan dengan tujuannya. Jadi milik itu adalah lembaga sosial yang berdasarkan suatu kebutuhan ekonomi di dalam suatu masyarakat yang diatur melalui pembagian kerja. Hasil dan sikap terhadap hukum milik yang bersangkutan adalah sama dengan hasil dan sikap yang tercapai dari pendirian sosial masyarakat.
Teori psychologis dan sosiologis, yaitu mencari dasar milik di dalam suatu instink kehendak untuk memperoleh harta benda, dan atas dasar itu memandang milik sebagai suatu perkembangan sosial atau lembaga sosial. Teori sosial dan utilitis menjelaskan dan membenarkan milik sebagai suatu lembaga yang menjamin suatu maksimum kepentingan atau memuaskan kebutuhan sebagai pembangunan masyarakat. Teori sosial dan ekonomi telah berpaling dari fungsi milik di dalam negara kesejahteraan dan teori ini menetapkan bahwa hak milik suatu kekuasaan buat memakai suatu barang, yang mulanya sebagai lembaga hukum yang adil dan cocok di dalam masyarakat yang di dalamnya milik, kerja, dan penggunaan kerjasama di dalam suatu ketertiban ekonomi.
Kalau demikian halnya, hak milik dapat ditinjau dari tiga sudut pandangan,98 berikut ini :
1. Hak Milik Ditinjau dari Sudut Ekonomi.
Seorang ahli ekonomi akan memandang hak milik sebagai suatu hak yang didasarkan atas hukum atau didefinisikan menurut hukum dan dapat ditegakkan dalam arti terdapat unsur paksaan serta berkaitan dengan hak atas sumber daya dan komoditi. Yang dimaksud dengan sumber daya dan komoditi meliputi sumber daya yang siap pakai dalam artian barang, sehingga dengan demikian mencakup baik migas maupun non migas yang sesuai dengan permintaan konsumen.
Oleh karena hak milik merupakan hak yang dapat dipaksakan, maka akan mempengaruhi mekanisme kehidupan ekonomi yang di dalamnya terdapat sumber daya manusia.
2. Hak Milik Ditinjau dari Sudut Hukum.
Ditinjau dari sudut hukum, maka hak milik pada dasarnya terdiri dari seperangkat hukum atau peraturan perundang-undangan, termasuk di dalamnya kebiasaan yang berlaku pada masyarakat tertentu, dalam waktu tertentu serta tempat atau lokasi tertentu, yang merupakan aturan main bagi hubungan-hubungan yang berkaitan dengan kepemilikan atau penguasaan.
Apabila hak milik tersebut berkaitan dengan kebiasaan, maka hal ini akan sangat menentukan dalam kegiatan bisnis, karena pengertian hak milik dalam masyarakat yang satu berbeda dengan masyarakat yang lain. Dengan demikian, maka masyarakat yang memberikan definisi hak milik. Ma syarakat telah memproduksi hukum untuk menga tur dirinya sendiri dan dalam pemanfaatan hak milik tersebut tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
3. Hak Milik Ditinjau dari Sudut Sosial.
Ditinjau dari segi sosial, hak milik merupakan him punan dari berbagai macam hak yang melekat pad.i sumber daya alam, sumber daya manusia, dan suni ber daya budaya. Hak milik merupakan gabungan hak-hak kepemilikan yang saling berkaitan. Adanya aspek-aspek atau nilai sosial itu akan memperkuat atau membenarkan keberadaan hak milik dalam arti bahwa memang benar barang tersebut milik seseorang yang berhak dan tidak dapat diganggugugat.
Menurut W.G. Vigting yang mengedepankan pemikiran ahli hukum Romawi, yang menyatakan bahwa negara bukan pemilik tanah. Dengan kata lain, hubungan antara tanah dengan negara bukanlah didasarkan kepada hubungan pemilikan. Gaius seorang ahli hukum klasik Romawi yang menyamakan hukum alam (natuurrecht) dengan ius gentium (hukum alam sekunder khusus), menempatkan milik perseorangan (eigendom privaat)
sebagai hukum alam (ius naturale).
Pendapat Gaius didasarkan pada pengelompokan benda-benda, di dalam mana termasuk juga tanah dan membagi benda-benda kedalam dua golongan :
(1) . Res divini iuris, yaitu benda-benda yang berhubung-
an dengan kepentingan dewa-dewa, hal-hal yang suci, dan hal-hal yang sangat diutamakan.
(2) . Res humani iuris, yaitu benda-benda yang berhu-
bungan dengan kepentingan manusia, baik perseorangan maupun masyarakat.
Yang termasuk dalam kategoris res divini iuris ialah :
1. Res Sacrae, yaitu benda-benda yang demi negara disucikan dengan upacara keagamaan untuk dewa-dewa yang ditetapkan melalui undang-undang disebut sebagai benda-benda suci.
2. Res Reiigiosae, yaitu benda-benda yang dibiarkan untuk menjadi kediaman para arwah yang telah meninggal dunia.
3. Res Sanctae, yaitu benda khusus yang memiliki arti penting bagi negara (kota), seperti dinding dan pintu kota yang merupakan benda yang sangat khusus dan penting.
Benda-benda yang masuk dalam res divini iuris pada umumnya, dipandang sebagai benda-benda yang tidak dimiliki oleh siapapun, baik negara maupun pribadi. Yang termasuk dalam res humani iuris adalah semua benda yang secara umum dapat menjadi milik seseorang yang dapat diwariskan, yang meliputi: (a). Res publicae, yaitu semua benda yang diperuntukkan bagi dinas umum (b). Res privatae, yaitu benda-benda yang diperuntukkan dan dimiliki oleh perorangan.
Pandangan yang menyatakan bukan pemilik dari tanah, jelas menunjukkan bahwa yang menjadi pemilik atas tanah adalah manusia alami. Seperti yang dike-mukakan oleh Gaius yang memandang sama hukum alam sama dengan hukum alam sekunder yang menyatakan bahwa milik perorangan merupakan refleksi hukum alam (natuurrecht, ius naturale) dan lebih lanjut dikatakan bahwa manusia secara alami mempunyai kedudukan istimewa. Milik yang dipunyainya, baik tanah maupun apa yang dapat dimilikinya, adalah pantas secara alamiah (natuurlijke billijkheid).
Thomas Aquinas salah satu penganut hukum alam dari aliran Skolastik pada abad pertengahan (400-1500) di Eropah Barat, mengemukakan bahwa milik perorangan sebagai hak yang tidak bertentangan dengan hukum alam. Berkaitan dengan itu, Iman Soetiknjo berdasat kan pendapat W. Baning mengemukakan alasan-alasan Thomas Aquinas tersebut,100 sebagai berikut :1. Setiap orang lebih suka memperoleh sesuatu hal yang menjadi hak miliknya sendiri, daripada sesuatu yang akan menjadi milik bersama. Sebab, setiap orang menghindarkan pekerjaan dan menyerahkan pada orang lain, apabila pekerjaan itu menjadi tugas orang banyak.
2. Suatu hal, akan diperlukan lebih teratur, apabila pemeliharaan daripada sesuatu diserahkan pada masing-masing orang, sebab apabila semua orang diserahi pemeliharaan semua hal, tanpa diadakan perbedaan akan menimbulkan kekacauan.
3. Diantara orang-orang akan ada perdamaian, disebabkan karena setiap orang akan puas dengan apa yang menjadi miliknya. Itulah sebabnya mengapa dapat dilihat bahwa diantara mereka yang memiliki sesuatu bersama-sama lebih sering timbul pertentangan.
Dengan demikian, hak milik pribadi adalah hak kodrati (natuurrecht) dalam arti bukan hak manusia (een menselijk recht) yang dapat dilepaskan secara sukarela, akan tetapi suatu hak kodrati yang melekat pada diri manusia dan hak itu didasarkan pada lex naturalis, yang sebetulnya adalah lex devina yang termasuk dalam hierarchie der schepping.
Dalam Qadraqesimo Anno 1931 dikenal tiga dalil tentang hak milik pribadi,101 sebagai berikut :
1. Dwi sifat dari hak milik pribadi, yaitu individual dan sosial, apabila sifat sosial atau publik dari hak milik pribadi dipungkiri, maka akan jatuh setidak-tidaknya mendekati apa yang dinamakan individualisme. Sebaliknya, apabila sifat perorangan dari hak milik pribadi diingkari, maka akan jatuh atau mendekati apa yang dinamakan kolektivisme.
2. Harus dapat dibedakan antara hak milik pribadi dan pelaksanaannya. Dikatakan dengan tidak mengutik-utik pembagian milik yang ada, dan tidak melampaui batas haknya sendiri dengan melanggar hak orang lain adalah syarat dari keadilan distributif. Kewajiban pemilik untuk menggunakan hak miliknya secara pantas tidak termasuk syarat keadilan tersebut, tetapi termasuk dalam golongan kebajikan lain, yang tidak dapat dipaksakan oleh undang-undang.
3. Kekuasaan negara untuk ikut campur tangan dalam pelaksanaan hak, dengan kata lain pemerintah negaralah yang harus merumuskan kewajiban itu secara khusus, apabila keadaan mengharuskan, sedangkan hukum kodrat tidak memberi petunjuknya. Negara tidak boleh menggunakan kekuasaannya dengan sewenang-wenang. Negara berwenang ikut campur dalam pelaksanaan penggunaan hak milik pribadi dengan alasan bahwa negara mengabdi kepada kepentingan umum. Pokoknya negara boleh campur tangan apabila perimbangan hak milik merugikan kepentingan umum.
Dengan demikian, hak privat sesungguhnya tidak
dapat dihilangkan disebabkan, karena berikut :
(1) . Hak milik privat adalah hak kodrati yang langsung
timbul dari kepribadian manusia. Untuk dapat hidup dan melangsungkan jenisnya, manusia perlu mengua sai benda-benda yang ada, termasuk di dalamnya ta nah. Dengan menguasai benda-benda itu, baru da pat mengembangkan diri (teori hukum kodrat).
(2) . Mereka yang pertama-tama menduduki tanah yang
tidak ada pemiliknya, menjadi pemilik tanah itu dan karenanya ia mempunyai hak untuk mewariskan tanah tersebut kepada ahli waris (teori akupasi).
(3) . Dilihat dari sikap anggota masyarakat lainnya, yang
membiarkan pengambilan tanah secara terang-terangan atau diam-diam sehingga dapat dikatakan telah ada persetujuan antara mereka untuk mengatur soal hak atas tanah (teori perjanjian).
(4) . Hak milik privat atas tanah diperoleh karena hasil
kerja, dengan cara membuka dan mengusahakan tanah (teori kreasi).
(5) . Hak milik atas tanah dapat dibenarkan, karena me-
rupakan pendorong untuk bekerja keras dan meningkatkan produktivitas tanah yang mempunyai arti yang besar bagi kepentingan rakyat.