Pada prinsipnya, setiap orang (natuurlijke persoon) merupakan subyek hukum dan setiap subyek hukum, pada prinsip nya menyandang hak dan sekaligus kewajiban. Hanya perilaku manusia yang dapat menyebabkan dilaksanakan suatu hak atau dilanggarnya suatu kewajiban. Dalam hukum perdata, setiap hak dari subyek hukum yang satu mensyaratkan hadirnya kewajiban pada subyek hukum yang lainnya (khususnya dalam hukum perjanjian yang bersifat obligatoir/timbal balik), dan korelasi itu hanya dapat terjadi dan mengikat subyek-subyek hukum tersebut (Pasal 1338 KUHPerdata).
Kapasitas untuk menyadang hak dan kewajiban memberi kepada subyek hukum suatu kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Namun, dalam kenyataan, tidak setiap subyek hukum memenuhi kelayakan untuk melakukan perbuatan hukum. Perkembangan hukum dalam masyarakat modern, baik secara nasional maupun internasional, pengertian orang tidak memadai lagi untuk menampung tentang subyek hukum. Fenomenologi dapat membantu kita untuk melihat manusia sebagai eksistensi dalam koeksistensi, dengan demikian memperlihatkan besarnya kemungkinan bahwa pada titik ekstrim yang satu, individu niscaya diperlakukan sebagai subyek hukum, sedangkan pada titik ekstrim yang lain, negara sebagaimana diwakili oleh pemerintah yang sah juga dapat dipandang sebagai subyek hukum. Tetapi, fenomenologi tidak, dan tampaknya juga tidak akan menolong kita pada rumusan-rumusan yang praktis pada subyek hukum. 15°
Persoalan mengenai subyek hukum, ketika diterapkan kepada manusia pada akhirnya merupakan seperangkat rumusan mengenai kapasitas hukum, yang terdiri dari hak dan kewajiban, suatu subyek hukum pada umumnya adalah penyandang dari hak dan kewajiban tersebut. Dalam kenyataannya, tidak selalu hak dan kewajiban itu hadir dan disandang secara bersamaan. Seperti dalam Pasal 2 ayat (2) KUHPerdata bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendakinya. Artinya, seorang anak yang masih berada dalam kandungan ibunya sudah merupakan individu sebagai subyek hukum, yang logikanya telah menikmati hak perdata, tetapi tidak mungkin menyandang kewajiban perdata. Sebaliknya, pada seorang yang pada gilirannya menjalankan hukuman mati, sebagai akibat dari kewajibannya untuk memikul tanggung jawab atas kejahatan yang telah dibuktikan terhadapnya, segala haknya sebagai subyek hukum praktis sudah tidcik efektif lagi. Haknya, yang masih tersisa adalah melaksanakan kewajiban untuk mati.
Demikian pula dengan orang yang diletakkan di bawah pengampuan, karena akan sia-sia baginya, untuk menjalankan haknya dan sama sia-sia pula bagi pihak ketiga, untuk memaksa siterampu dalam menjalankan kewajibannya, karena yang bersangkutan tidak menyadarinya. Persoalan ini dihadapkan pada pertanyaan yang menarik, apakah si terampu masih dikatakan sebagai seorang manusia. Disatu sisi, hukum dengan jelas membatasi hak dan kewajibannya sebagai person, disisi lain, karena seorang terampu tidak menguasai kesadarannya sendiri dan tidak memahami kebebasannya sendiri, dari sudut pandang eksistensialisme, seorang terampu sebenarnya tidak lagi eksis sebagai manusia. Berkaitan dengan itu Immanuel Kant mengatakan bahwa kebebasan untuk melaksanakan hak, hanya logis bilamana dia merupakan korelat dari tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban. Orang yang berada di bawah pengampuan, bukan tidak mempunyai hak dan kewajiban, dan juga bukan tidak mempunyai kebebasan dan tanggung jawab. Yang terjadi adalah pada orang yang berada di bawah pengampuan, kapasitas-kapasi-tas itu berkurang sampai ketingkat minimal, sehingga si terampu tidak mampu melaksanakan kemanusiaannya secara penuh, oleh karena itu dimasukkan kedalam katagoris sub-existent dan bukannya non existent.