BAB II
PEMBAHASAN
Perumusan Unsur-Unsur Percobaan
dalam KUHP Indonesia dengan KUHP Korea
A.
Asas Percobaan Menurut KUHP Indonesia
Ketentuan mengenai percobaan diatur
dalam Buku I tentang Aturan Umum, Bab IV Pasal 53 dan 54 KUHP.
Pasal 53:
(1) Mencoba melakukan kejahatan
dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan,
dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena
kehendaknya sendiri.
(2) Maksimum pidana pokok terhadap
kejahatan, dalam percobaan dikurangi sepertiga.
(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling alam
lima belas tahun.
(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama
dengan kajahatan selesai.
Pasal 54:
Mencoba melakukan palanggaran tidak
dipidana.
Menurut Jan Remmelink dalam bahasa
sehari-hari, percobaan dimengerti sebagai upaya untuk mencapai tujuan tertentu
tanpa keberhasilan mewujudkannya. “Upaya tanpa keberhasilan”, demikian
dirumuskan pompe, guru besar dari Utrecht. Jika kita mengikuti jalan pikiran di
atas, percobaan melakukan kejahatan dapat digambarkan sebagai suatu tindakan
yang diiktiarkan untuk mewujudkan apa yang oleh undang-undang dikategorikan
sebagai kejahatan, namun tindakan tersebut tidak berhasil mewujudkan tujuan
yang semula hendak dicapai.
Syarat begi percobaan yang dapat
dikenai pidana, seperti yang dituntu oleh undang-undang, adalah bahwa ikhtiar
pelaku harus sudah terwujud melalui rangkaian tindakan permulaan dan bahwa
tidak terwujudnya akibat dari tindakan tersebut berada di luar kehendak si
pelaku.
Sedangkan menurut Wirjono
Prodjodikoro, pada umumnya kata percobaan atau poging berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan pada akhirnya
tidak atau belum tercapai.
Satu-satunya penjelasan yang dapat
diperoleh tentang pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP menyatakan: “Dengan
demikian, maka percobaan untuk melakukan kejahatn itu adalah pelaksanaan untuk
melakukan suatu kejahatan yang telah dimulai akan tetapi ternyata tidak
selesai, ataupun suatu kehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang
telah diwujudakan di dalam suatu permulaan pelaksanaan”.
Pasal 53 hanya menentukan bila
(kapan) percobaan melakukan kejahatan itu terjadi atau dengan kata lain Pasal
53 KUHP hanya menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seorang pelaku
dapat dihukum karena bersalah telah melakukan suatu percobaan. Syarat-syarat
tersebut sebgai berikut:
a. Adanya niat/kehendak dari pelaku.
b. Adanya permulaan pelaksanaan dari
niat/kehendakn itu.
c. Pelaksanaan tidak selesai
semata-mata bukan karena kehendak dari pelaku.
Oleh karena itu, agar seseorang
dapat dihukum melakukan percobaan melakukan kejahatan, ketiga syarat tersebut
harus terbukti ada padanya. Suatu percobaan dianggap telah terjadi jika
memenuhi ketiga syarat tersebut. Pada umumnya bunyi rumusan suatu delik, pelaku
pidana jika tindak pidana yang dilakukannya itu telah selesai diwujudkan,
artinya perbuatan yang dilakukan oleh pelaku telah memenuhi semua unsur tindak
pidana.
Oleh karene itu pembentuk
undang-undang juga merasa perlu mengancam pidana karena telah melakukan suatu
perbuatan walaupun perbuatan tersebut belum memenuhi semua unsur delik sebagaimana
yang telah dirumuskan dalam undang-undang, jika syarat-syarat percobaan
tersebut telah terpenuhi, sehingga undang-undang perlu merumuskan secara
tersendiri tentang sayat-syarat untuk dapat dipidannya suatu percobaan
kejahatan.
Pemberian pidana hanya terbatas
kepada kejahatan, hali ini berdasarkan pada bahwa pelanggaran pada umumnya
tidak dianggap cukup penting untuk dapat dipidana apabila masih dalam keadaan
belum selesai.
Alasan Molejatno memasukan percobaan
sebagai delik tersendiri antara lain:
a. Tidak mungkin ada
pertanggungjawaban, kalau seorang itu tidak melakukan percobaan;
b. Perbuatan percobaan dalam KUHP
beberapa kali dirumusakan sebagai percobaan contohnya adalah dalam delik maker.
Misalnya Pasal 104, 106 dan 107 KUHP:
c. Dalam hukum adat tidak dikenal
percobaan sebagi bentuk delik yang tidak sempurna,yang ada hanya delik selesai.
Contoh putusan Pengadilan adat di Palembang di mana seorang laki-laki telah
mengaku menangkap/ mendekap badan seorang gadis dengan maksud mencoba
bersetubuh. Laki-laki itu tidak dipidana karena melakukan percobaan
persetubuhan dengan paksa, tetapi dipidana karena mengkap/ mendekap badan si
gadis.
Syarat yang harus dipenuhi agar
supaya percobaan pada kejahatan itu dapat dihukum sebagai berikut:
a. Ada niat untuk berbuat kejahatan sudah
ada, artinya orang sudah mempunyai pikiran untuk berbuat jahat yang meliputi
sifat sengaja (dolus). Oleh karena
itu, maka percobaan pada kejahatan culpa tidak
mungkin terjadi.
b. Orang yang sudah mulai berbuat
kejahatan itu maksudnya orang itu bukan hanya baru berpikir saja, tetapi harus
sudah mulai bertindak.
c. Perbuatan kejahatan itu tidak samapi
selesai, oleh karena terhalang sebab-sebab yang timbul kemudian tidak selesai,
maksudnya tidak semua unsur-unsur dari kejahatan itu tidak dipenuhi, misalnya
bagi delik materiel, akibat dari delik itu belum terjadi. Sebab-sebab itu tidak
terletak dalam kemauan pembuat kejahatan itu sendiri, maksudnya tidak dari
kemauan sendiri mundur dari mengerjakan kejahatan itu, sebabnya harus dari
luar, misalnya dalam hal akan mencuri karena kepergok/ ketahuan orang dan
sebagainya.menurut undang-undang pidana negeri Jerman syarat ini dikatakan
tidak ada, sehingga di sana berbuat kejahatan tidak selesai karena kemauan
sendiri, dihukum juga.
Sangat penting untuk menetapkan
apakah sesuatu perbuatan benar-benar merupakan perbuatan permulaan pelaksanaan
ataukah baru merupakan perbuatan permulaan pelaksanaan ataukah baru merupakan
perbuatan persiapan saja. Perbuatan
persiapan adalah segala perbuatan yang mendahului perbuatan pelaksanaan,
misalnya membeli senjata yang akan dipakai membunuh orang. Perbuatan-perbuatan
persiapan itu tidak termasuk perbuatan pidana.
Perbuatan pelaksanaan dibedakan dari
persiapan. Jika masih merupakan perbuatan persiapan, tidak dipidana, sedangkan
bilamana telah ada perbuatan pelaksanaan dapat dipidana.
Agar keduanya tidak dianggap sama
maka dapat dipisahkan dan dibedakan melalui ajaran percobaan yang subjektif dan
objektif:
1. Secara subjektif tidak ada
keragu-raguan lagi bahwa pembuat memang bermaksud melakukan tindak pidana
tersebut, dan apa yang telah dilakukan itu telah bersifat melawan hukum, maka
dalam hal demikian telah ada permulaan pelaksanaan melakukan tindak pidana
tertentu.
2. Secara objektif apa yang telah
diperbuat harus mendekat kepada delik yang dituju. Dengan kata lain mampu atau
mengandung potensi untuk mewujudkan tindak pidana itu.
Pada umumya data dikatakan, bahwa
perbuatan itu sudah boleh diakatakan sebagai perbuatan pelaksanaan, apabila
orang telah mulai melakukan suatu anasir atau elemen dari peristiwa pidana,
jika orang belum memulai dengan melakukan suatu anasir atau elemen ini, maka
perbuatannya itu masih harus dipandang sebagai perbuatan persiapan.
B.
Asas Percobaan Menurut KUHP Korea 1953
Ketentuan mengenai percobaan diatur
dalam Pasal 25 sampai 29 yang termasuk dalam “Ketentuan-ketentuan Umum” (Bagian
I).
Pasal 25 Berbunyi:
(1) Where a person commences the execution of a crime but does not complete it or
the result does not occur, he shall be punished for attempt to commit such
crime
(2) The Punishment for an attempted crime may be decreased below that for
the consummated crime.
Dari perumusan tersebut di atas
terlihat bahwa unsur-unsur dapat dipidananya percobaan melakukan kejahatan,
ialah apabila seseorang:
a.
Mulai melaksanakan suatu
kejahatan, dan
b.
Pelaksanaan itu:
-
Tidak
diselesaikannya,atau
-
Akibatnya tidak terjadi
Menurut ketentuan
di atas, percobaan yang dapat dipidana ialah percobaan terhadap kejahatan; tetapi yang dimaksud dengan
kejahatan dalam KUHP Korea ialah tindak pidana pada umumnya.
KUHP Korea terdiri
dari dua bagian yaitu Bagian I mengenai “Ketentuan-ketentuan Umum” (General provisions) dan Bagian II
mengenai “Ketentuan-ketentuan Khusus” (Specific
Provisions) yang merumuskan kejahatan-kejahatan tertentu. Dalam Bagian II
ini dirumuskan 42 kelompok jenis kejahatan yang dapat pula digolongkan dalam
tiga kelompok besar dilihat dari kepentingan-kepentingan yang dilindungi,
yaitu:
a.
Kejahatan
terhadap kepentingan-kepentingan Negara (State-interest)
b.
Kejahatan
terhadap kepentingan-kepentingan Masayarakat (Social-interest)
c.
Kejahatan
terhadap kepentingan-kepentingan Individu (interest
of individuals)
Percobaan
yang dapat dipidana tidaklah terhadap semua jenis kejahatan, karena dalam ketentuan
umum Pasal 29 ditetapkan sebagai berikut:
“The punishment of attempted
crimes will be specifically provided in each Article concerned”
(Pemidanaan untuk percobaan kejahatan akan ditetapkan secara khusus
dalam tiap pasal yang bersangkutan).
Jadi, dalam
Pasal 25 (1) di atas hanya menetapkan syarat-syarat/ unsur-unsur kapan
dikatakan ada percobaan kejahatan yang dapat dipidana; sedangkan menurut Pasal
29 kejahatan-kejahatan mana yang percobaannya dapat dipidana ditetapkan dalam
pasal tersendiri. Dengan perkataan lain, percobaan kejahatan dirumuskan sebagai
delik tersendiri dalam pasal-pasal (kejahatan) yang bersangkutan dalam
ketentuan khusus Bagian II.
Ketentuan
seperti Pasal 29 KUHP Korea ini tidak terdapat di dalam KUHP kita.
Adapun cara merumuskan
delik percobaan dalam KUHP Korea itu misalnya sebagai berikut:
Pasal 87 merumuskan delik pemberontakan (insurrection) dan Pasal 88 merumuskan tentang pembunuhan untuk
tujuan pemberontakan (homicide for the
purpose of insurrection); kemudian Pasal 89-nya menyatakan: “percobaan
melakukan kejahatan-kejahatan dalam dua pasal yang terdahulu dapat dipidana.”
Sebagai
perbandingan perlu pula diketahui percobaan-percobaan kejahatan yang dapat
dipidana menurut KUHP Korea, yaitu antara lain:
a. Terhadap penyerangan/agresi Negara asing, (antara lain
bujuk/bersekongkol dengan Negara asing; bekerja sama dengan musuh; member
keuntungan kepada musuh, spionage);
b. Terhadap penggunaan bahan peledak;
c. Terhadap penahan yang tidak sah;
d. Terhadap perbuatan melarikan diri atau membantu melarikan diri dari penahanan yang
sah;
e. Terhadap kejahatan pembakaran karena kealpaan;
f.
Terhadap
beberapa jenis kejahatan sarana lalu-lintas;
g. Terhadap kejahatan opium;
h. Terhadap kejahatan yang berhubungan dengan keuangan;
i.
Terhadap
kejahatan yang berhubungan dengan pos;
j.
Terhadap
kejahatan yang berhubungan dengan dokumen;
k. Terhadap pembunuhan penculikan dan sebagainya.
Menarik untuk
diperhatikan mengenai unsur-unsur criminal
attempt dalam Pasal 25 (1) di atas, yaitu tidak dimasukannya unsur-unsur
adanya niat dan pelaksanaan tidak selesai bukan semata-mata karena kehendak
sendiri seperti terdapat dalam rumusan Pasal 53 KUHP Indonesia.
Rumusan dalam
KUHP Korea itu mengingatkan kita pada usul perumusan delik percobaan dari Prof.
Mulyatno pada Kongres Persahi II di Surabaya tahun 1964, yaitu:
Ada delik
percobaan jika seseorang:
a. Telah mulai melaksanakan kejahatan yang dituju;
b. Tetapi pelaksanaan itu menjadi tidak selesai.
Menurut Prof.
Mulyatno percobaan mengandung dua inti yaitu segi subjektif (adanya niat untuk
melakukan kejahatan tertentu) dan segi objektif (adanya permulaan pelaksanaan
untuk melakukan kejahatan). Menurut beliau kedua inti percobaan itu terlihat
dalam rumusan yang diusulkan beliau itu, yaitu dalam kata-kata “mulai
melaksanakan kejahatan yang dituju”. Dalam rmusan tersebut dinyatakan baik segi
subjektif (yaitu kejahatan yang dituju) maupun segi objektif (yaitu mulai
melaksanakan).
Mengenai
pelaksanaan keajahatan tidak selesai, Pasal 26 KUHP Korea merumuskannya sebagai
berikut:
“Where a person, after commencing the execution of a
crime, voluntary desist from his criminal conduct or prevents the consummtion
there of, the punishment shall be mitigated or remitted”
(Apabila seseorang, setelah melakukan kejahatan, dengan sengaja atau
sukarela menghentikan perbuatannya itu atau mencegah selesainya pelaksanaan
kejahatan itu, pidananya akan dikurangi atau dihapuskan).
Dari rumusan
tersebut terlihat bahwa apabila pelaksanaan dari percobaan kejahatan itu tidak
selesai karena kehendak sendiri dari si pelaku, yaitu dengan sengaja/ secara
sukarela:
a. Menghentikan perbuatan jahatnya, atau
b. Mencegah selesainya pelaksanaan kejahatan itu.
Maka terhadap si pelaku pidanya dapat dikurangi atau
dihapuskan.
Jadi, tidak
selesainya percobaan atas kehendak sendiri menurut KUHP Korea, tidak secara
otomatis dapat merupakan alasan penghapus pidana, tetapi dapat juga menjadi alasan
pengurangan/peringanan pidana. Ini berbeda dengan KUHP Indonesia.
Dapat puala
kiranya dicatat bahwa “tidak selesainya perbuatan karena kehendak sendiri”
menurut Pasal 26 dia atas dapat berupa:
a. Ricktriit
atau pengunduran
diri secara sukarela, dan
b. Tatiger
Reue atau tindakan
penyelesaian.
Bagaimanakah
apabila selesainya/sempurnanya delik itu tidak mungkin terjadi karena adanya
kekeliruan alat maupun objeknya, atau dengan kata lain bagaimana apabila ada
percobaan tidak mampu karena alat maupun objeknya. Mengenai hal ini Pasal 27
KUHP Korea merumuskan sebagai berikut:
“Even where the
consummation of a crime is impossible owing to a mistake of the means or
objects chosen for its commission, punishment shall be imposed in the event
that there is a risk, but the sentence may be reduced or remitted”
(Meskipun selesainya/sempurnaya suatu kejahatan itu
tidak mungkin terjadi karena suatu kekeliruan alat ayng digunakan atau objek
yang dipilih untuk perbuatannya, pidana akan dikenakan dalam peristiwa di mana
ada suatu risiko/kemungkinan rugi, tetapi pidana itu dapat dikurangi atau
dihapuskan).
Berdasarkan
pasal di atas, maka percobaan yang tidak mungkin diselesaikan karena
ketidakmampuan alat atau objeknya tetap dapat dipidana, hanya saja pidananya
dikurangi dengan syarat “telah ada/timbul risiko atau kerugian”. Namun selain
itu mungkin juga tidak dipidana. Hal ini semua tergantung pada penilaian hakim.
Ketentuan seperti di atas tidak ada dalam KUHP Indonesia.
Mengenai
perbuatan persiapan atau persekongkolan untuk melakukan kejahatan yang tidak
sampai pada tahap permulaan perbuatan, menurut Pasal 28 tidak dapat dipidana
kecuali ditentukan lain dalam undang-undang.
Rumusan
secara eksplisit seperti ini tidak terdapat dalam KUHP Indonesia.
Mengenai
pidana percobaan, dalam Pasal 25 (2) KUHP Korea di atas ditentukan bahwa
pidananya dapat dikurangi dibawah ancaman pidana untuk kejahatan yang
selesai/sempurna. Berapa jumlah pengurangan pidananya tidak ditentukan secara
pasti oleh undang-undang. Jadi,hal ini berbeda dengan sistem KUHP Indonesia.
Perbedaan mengenai masalah
percobaan yang diatur dalam KUHP Indonesia dengan KUHP Korea
No.
|
Perumusan Konsep
|
KUHP Indonesia
|
KUHP Korea
|
1.
|
Pengaturan mengenai percobaan
|
Buku I Aturan Umum, Bab IV Pasal 53 dan 54
|
Bagian I Ketentuan-ketentuan Umum Pasal 25 sampai 29
|
2.
|
Unsur-unsur percobaan
|
a.
Adanya niat/kehendak dari pelaku.
b.
Adanya permulaan pelaksanaan dari
niat/kehendakn itu.
c. Pelaksanaan tidak selesai
semata-mata bukan karena kehendak dari pelaku.
|
a.
Mulai melaksanakan suatu
kejahatan, dan
b.
Pelaksanaan itu:
-
Tidak
diselesaikannya,atau
-
Akibatnya tidak terjadi
|
3.
|
Unsur niat dan pelaksanaan tidak selesai karena kehendak sendiri
|
Dalam KUHP Indonesia mencantumkan unsur-unsur niat dan pelaksanaan
tidak selesai karena kehendak sendiri
|
Dalam KUHP Korea tidak mencantumkan adanya unsur niat dan pelaksanaan
tidak selesai karena kehendak sendiri
|
4.
|
Pemberian pidana
|
Terbatas pada
kejahatan
|
Terbatas pada
kejahatan umum dan khusus
|
5.
|
Pelaksanaa tidak selesai
|
Karena diluar kehendak
si pelaku
|
Karena kehendak
sendiri
|
6.
|
Pelaksaan tidak selesai karena alat atau objek
|
Dalam KUHP Indonesia dipidana
|
Dalam KUHP Korea dipidana dikurangi dengan kerugian
|
7.
|
Perumusan permulaan perbuatan
|
Tidak dicantumkan secara eksplisit
|
Dicantumkan secara eksplisit
|
8.
|
Pidana percobaan selesai
|
a.
Maksimum
pidana dikurangi sepertiga
b. Pidana mati atau seumur hidup maksimum pidananya 15
Tahun
c.
Pidana
tambahan sama dengan kejahatan selesai
|
a. Maksimum pidana dikurangi dibawah ancaman pidana
b. Dalam KUHP Korea mengenai pidana mati/seumur hidup
serta pidana tambahan tidak disebutkan.
|