BAB I
PENDAHULUAN
Kebudayaan adalah keseluruhan system gagasan,tindakan
dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik sendiri
manusia dengan belajar. Hal tersebut sudah
berarti seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan karena hanya sedikit tindakan mamnusia dalam
masyarakat yang tidak perlu di biasaka dengan belaar yaitu hanya beberapa
tindakan naluri, beberapa reflex, beberapa tindakan akibat proses fsikologis.
Cara hidup manusi dengan berbagai system tindakan tadi dijadikan sebagai obbjek
penelitian dan analisis oleh ilmu Antropologi sehingga aspek belajar merupakan
aspek pokok. Kata kebudayaan sendiri berasal; dari bahasa Sansekerta buddhayah
yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal, dengan demikian
kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal ynga bersangkutan dengan akal,
sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta karsa dan rasa itu. Dalam istilah antropologi budaya perbedaan itu
ditiadakan, kata budaya disini hany a dipakai sebagai suatu singkatan sajah dengan
kebudayaan dengan arti yang sama.
Kata culture merupakan kata asing yang sama artinya
dengan kebudayaan. Berasal dari kata latin colere yang berarti mengolah,
mengerjakan. Darti arti ini berkembang arti culture sebagai segala daya upaya
serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam
- Rumusan Masalah
- Bagaimana proses terjadinya
cultur universal?
- Apa pengaruh kebudayaan
tapanuli terhadap perkembangan daerah tapanuli itu?
- Apakah keberdaan kebudayaan
dapat menggeser eksistensi suatu kehidupan yang ada dalam masyarakat?
B.
Tujuan
- Mengetahui pengaruh kebudayaan
terhadap eksistensi daerah tapanuli
- Mengidentifikasi pengaruh
kebudayaan terhadap kebudayaan masyarakat tapanuli
- Untuk meningkatkan kesadaran
remaja untuk menjunjung tinggi kebudayaan bangsa sendiri karena
kebudayaan merupakan jati diri bangsa.
BAB II
LANDASAN TEORI
Tapanuli adalah
sebutan untuk daerah di pantai barat Sumatera Utara yang asal katanya dari "Tapian
Nauli", dibatasi oleh Danau Toba dan pegunungan
Bukit Barisan di
tengah dengan pesisir timur Sumatera Utara yang kerap disebut Sumatera Timur atau Melayu Deli. Menurut kepercayaan masyarakat Tapanuli, asal orang Tapanuli
dimulai dari Si Raja Batak (leluhur orang batak) yang bermukim di Kaki Pusuk
Buhit, terletak di sebelah barat Pulau Samosir. Si Raja Batak
mempunyai 2 (dua) orang putra yakni Guru Tatean Bulan dan Si Raja Isumbaon.
Guru Tatean Bulan mempunyai 4 (empat) orang putra yakni Saribu Raja, Limbong
Mulana, Sagala Raja dan Malau Raja. Sementara Si Raja Isumbaon mempunyai 3
(tiga) orang putra yakni Tuan Sorimangaraja, Si Raja Asiasi, dan sungkar
Somalindang. Kemudian keturunannya ini berpencar mendiami daerah-daerah
tertentu di Sumatera Utara, terutama berdiam di kabupaten Tapanuli Utara yang
wilayahnya meliputi Ajibata (berbatasan dengan parapat), pulau Samosir, Pakkat
serta Sarulla.
Pada masa
Pemerintahan Hindia
Belanda, Kabupaten
Tapanuli Utara termasuk kedalam Kepresidenan Tapanuli yang dipimpin
seorang Residen Bangsa Belanda yang berkedudukan di Sibolga. Pada saat itu,
Keresidenan Tapanuli dibagi menjadi 4 (empat) Afdeling (Kabupaten), salah satu
diantaranya adalah Afdeling Batak Landen dengan ibukotanya Tarutung, dan 5
(lima) Onder Afdeling (wilayah) yang meliputi : Onder Afdeling Silindung,
Toba, Samosir, Dairi dan Barus.
Setelah Proklamasi
Kemerdekaan, sejarah perkembangan pemerintahan Republik Indonesia di Kabupaten Tapanuli
Utara diawali dengan terbitnya Besluit Nomor : 1 dari Residen Tapanuli Dr.
Ferdinan Lumbantobing pada tgl. 5 Oktober 1945 yang memuat Pembentukan Daerah
Tapanuli dengan pengangkatan staf pemerintahannya, juga pengangkatan
Kepala-kepala Luhak dalam Daerah Tapanuli. Afdeling Tanah Batak diubah menjadi
LUHAK TANAH BATAK, dan sebagai Kepala Luhak diangkat Bapak Cornelius Sihombing
(alm). Dalam catatan sejarah Tapanuli Utara, beliaulah dianggap sebagai Bupati
pertama Tapanuli Utara. Sesuai dengan Undang-Undang Darurat No. 7 Thn 1956, di Daerah Provinsi
dibentuk daerah otonom kabupaten. Salah satu kabupaten yang dibentuk dalam
Undang-Undang Darurat. tersebut adalah Kabupaten Tapanuli Utara. Mengingat
luasnya wilayah Kabupaten Tapanuli Utara, maka untuk meningkatkan daya guna
pemerintahan dan pemerataan hasil-hasil pembangunan di daerah ini, maka pada
tahun 1964 Kabupaten Tapanuli Utara dimekarkan menjadi 2 (dua) kabupaten, yaitu
Kabupaten Tapanuli Utara dan Dairi. Pemekaran Kabupaten Dairi dari Kabupaten
Tapanuli Utara sesuai dengan UU No. 15 Tahun 1964 tentang Pembentukan Daerah
Tingkat II Dairi.
Pada tahun 1998 untuk kedua kalinya Kabupaten Tapanuli Utara dimekarkan
menjadi 2 (dua) kabupaten, yaitu Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Toba Samosir, sesuai dengan UU No. 12 Tahun 1998 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II
Toba Samosir dan Kabupaten Daerah Tingkat II Mandailing Natal. Kemudian pada
tahun 2003, Kabupaten Tapanuli Utara untuk yang ketiga kalinya dimekarkan
menjadi 2 (dua) kabupaten, yaitu Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbang
Hasundutan sesuai dengan UU No. 9 Tahun
2003 tentang Pembentukan Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Pakpak Bharat, dan
Kabupaten Humbang Hasundutan di Propinsi Sumatera Utara. Pemekaran wilayah
kabupaten ini dimaksudkan untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan,
pelayanan kepada masyarakat dan pelaksanaan pembangunan serta untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat di daerah ini. Sebagaimana
uraian singkat sejarah perkembangan Pemerintahan Republik Indonesia di Kabupaten
Tapanuli Utara diawali dengan terbitnya Besluit No. 1 dari Residen Tapanuli Dr.
Ferdinan Lumbantobing pada tgl. 5 Oktober 1945 yang memuat Pembentukan Daerah
Tapanuli dan pengangkatan Kepala-kepala Luhak dalam daerah Tapanuli, maka
tanggal 5 Oktober ditetapkan menjadi Hari jadi Kabupaten Tapanuli Utara sesuai
dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tapanuli Utara No. 5 Tahun 2003.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Teknologi
Teknologi Masyarakat batak telah mengenal
dan mempergunakan alat-alat sederhana yang dipergunakan untukbercocok tanam
dalam kidupannya. Seperticangkul, bajak (tenggala dalam bahaa Karo), tongkat
tunggal (engkol dalam bahasa Karo), sabit (sabi-sabi) atau ani-ani. Masyarakat
batak juga mempunyi senjata tradisional yaitu, piso surit (sejenis belati), piso
gajah dompak (sebilah keris yang panjang), hujur (sejenis tombak), podang
(sejenis pedang panjang). Unsur teknologi lainnya yaitu kain ulosyang merupakan
kain tenunan yang mempunyai banyak fungsi dalam kehidupan adat Batak.
B.
Mata Pencaharian
Mata Pencaharian pada umumnya masyarakat
batk bercocok tanam padi di sawah dan lading. Ladang didapat dari pembagian
yang didasarkan marga. Setiap keluarga mendapat anah tadi tetapi tidak boleh
menjualnya. Selain tanah ulayat adapun tanah yang dimiliki perseorangan.
Peternakan juga alah satu mata pencaharian suku batak antara lain peternakan
kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek. Penangkapan ikan dilakukan
sebagian penuduk disekitar danau Toba. Sector kerajinan juga berkembang ,
Misalnya tenun, anyaman rotan, ukiran kayu, tembikar yangada kaitannya dengan
pariwisata.
C.
organisasi social
Organisasi social pada masyarakat batak
seseorang hanya bisa menikah pada orang batak yang berbeda klan sehiigga jika
ada yang menikah dia harus menari pasangan hiup dari marganya. Apabila
seseoarang yang menikah bukan dari orang suku batak maka dida harus di adosi
oleh salah satu marga batak (berbeda klain).acara tersebut di lanjutkan dengan
peruses perkawinan yang dii lakukan di gereja Karen mayoritas penduduk batak
beragama keristen. Untuk mahar perkawinan saudaar mempelai wanita yang udah menikah.
D. Bahasa
Unsure budaya bahasa dalam kehidupan dan pergaulan
sehari-hari orang batak merupakan beberaa
logat ialah:
- logat
karo yang di pakai orang karo
- logat
pak-pak yang di pakai oleh orang
papak
- logat
simalungun yang di pakai ole logat simalungun
- logat
toba yang di pakai oeh orang toba, angkola dan mandailing
E.Kesenian
Kesenian sseni tari yaitu tari tor-tor (bersifat
maagis); tari serampang duabelas (bersifat hibburan). Alat music tradisional ;
goong, saga-saga. Hasil kerajinan tenun dari sukku batak adalah kain ulos, kain
inin selalu ditampilkan upacara perkawinan, upacara kematianpenyerahan harta,
warisan, menaynbut tamu yang dihormati dan upacara menari tor-tor. Kain adat
sesuai dengan system keyakinan yang di wariskan nenek moyang.
F. Pengetahuan
Pengetahuan Orang Batak juga mengenal istem
gotong-royong kuno dalam hal bercocok tanam. Dalam bahasa karo aktivitas itu
disebut raron, sedangkan dalam bahasa Toba hal itu disebut Marsiurupan.
Sekelompok orang tetangga atau kerabat dekat bersama-ama mengerjakan tanah dan
masing-masing anggota secara bergiliran, raron itu merupakan satu pranata yang
keanggotaanya sangat sukarela dan lamanya berdiri tergantung kepada persetujuan
pesertanya.
G. Religi
Religi pada abad ke-19 agama islam masuk
daerah pnyebran meliputi batak selatan. Agama Kristen masuk sekitar 1863 dan
penyebarannyameliputi batak utara. Walaupun demikian banyak sekali masyarakat
batak daerah pedesaan yang masih mempertahankan konsep asli religi penduduk
batak. Orang batak mempunyai konsepsi bahwa alam emesta beserta isinya
diciptakan oleh debeta mula, jadi na balon dan bertempat tinggal di atas
langit. Bertempat tingal dan merupakan maha pencipta: silloan na balon berkedudukan
sebagai penguasa dunia makhuk halus. Dalam hubungannya roh dan jiwa. Orang
batak mengenal 3 konsep, yaitu Tondo: Jiwa atau roh Sahala: Jiwa atau rh
kekuatan yang di miiki seseorang Begu:Tndinya orang yang sudh mati. Orang btak
juga percaya akan kekuatan sakti dari jimat yang disebut Tongkat.
- Penyebaran
Agama Masyarakat Tapanul
- Masuknya
Islam
Dalam
kunjungannya pada tahun 1292, Marco Polo melaporkan bahwa masyarakat Batak
sebagai orang-orang "liar" dan tidak pernah terpengaruh oleh
agama-agama dari luar. Meskipun Ibn Battuta, mengunjungi Sumatera Utara pada
tahun 1345 dan mengislamkan Sultan Al-Malik Al-Dhahir, masyarakat
Batak tidak pernah mengenal Islam sebelum disebarkan oleh pedagang Minangkabau.
Bersamaan dengan usaha dagangnya, banyak pedagang Minangkabau yang melakukan
kawin-mawin dengan perempuan Batak. Hal ini secara perlahan telah meningkatakan
pemeluk Islam di tengah-tengah masyarakat Batak.[8] Pada masa Perang Paderi di awal abad ke-19, pasukan
Minangkabau menyerang tanah Batak dan melakukan pengislaman besar-besaran atas
masyarakat Mandailing dan Angkola. Namun penyerangan Paderi atas wilayah Toba,
tidak dapat mengislamkan masyarakat tersebut, yang pada akhirnya mereka
menganut agama Kristen Protestan.[9] Kerajaan Aceh di utara, juga banyak berperan
dalam mengislamkan masyarakat Karo dan Pakpak. Sementara Simalungun banyak terkena pengaruh Islam dari masyarakat Melayu
di pesisir Sumatera Timur.
- Misionaris
Kristen
Pada tahun
1850, Dewan Injil Belanda menugaskan Herman Neubronner
van der Tuuk untuk menerbitkan buku tata bahasa
dan kamus bahasa Batak - Belanda. Hal ini bertujuan untuk memudahkan misi-misi
kelompok Kristen Belanda dan Jerman berbicara dengan masyarakat Toba dan
Simalungun yang menjadi sasaran pengkristenan mereka.
Misionaris
pertama asal Jerman tiba di
lembah sekitar Danau Toba pada tahun 1861, dan sebuah misi pengkristenan
dijalankan pada tahun 1881 oleh Dr. Ludwig Ingwer Nommensen. Kitab
Perjanjian Baru untuk pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa Batak Toba oleh
Nommensen pada tahun 1869 dan penerjemahan Kitab Perjanjian Lama diselesaikan
oleh P. H. Johannsen pada tahun
1891. Teks terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin di Medan pada tahun
1893. Menurut H. O. Voorma, terjemahan
ini tidak mudah dibaca, agak kaku, dan terdengar aneh dalam bahasa Tapanuli.
Masyarakat
Toba dan Karo menyerap agama Kristen dengan cepat, dan pada awal abad ke-20
telah menjadikan Kristen sebagai identitas budaya. Pada masa ini merupakan
periode kebangkitan kolonialisme Hindia-Belanda, dimana banyak orang Batak/Tapanuli
sudah tidak melakukan perlawanan lagi dengan pemerintahan kolonial. Perlawanan
secara gerilya yang dilakukan oleh orang-orang Batak Toba berakhir pada tahun
1907, setelah pemimpin kharismatik mereka, Sisingamangaraja XII wafat.
2.
Kekerabatan Suku Tapanuli
Masyarakat Tapanuli atau Batak Toba menganut sistem
kekerabatan patrilinieal. Orang Batak Toba mempunyai marga (nama keluarga) yang
biasanya dicantumkan diakhir namanya. Nama marga ini diperoleh dari garis
keturunan ayah (patrilineal) yang selanjutnya akan diteruskan kepada
keturunannya secara terus menerus. Aspek Kehidupan Tapanuli dikelompokkan dalam
9 (sembilan) nilai budaya kekerabatan, yaitu:
ü Kekerabatan yang mencakup hubungan
kasih sayang atas dasar hubungan darah, kerukunan unsur-unsur Dalihan Na Tolu.
Dalihan Natolu merupakan ikatan kekerabatan adat istiadat pada masyarakat
Tapanuli. Falsafah adat Dalihan Natolu yakni Somba Marhulahula (hormat pada
pihak keluarga ibu/istri), Elek Marboru (ramah pada keluarga saudara perempuan)
dan Manat Mardongan Tubu (kompak dalam hubungan semarga). Dalam kehidupan
sehari-hari, falsafah ini dipegang teguh dan hingga kini menjadi landasan
kehidupan sosial dan bermasyarakat di lingkungan orang Tapanuli.
ü Religi, mencakup kehidupan
keagamaan, baik agama tradisional maupun agama yang datang kemudian yang
mengatur hubungannya dengan Maha Pencipta serta hubungannya dengan manusia dan
lingkungan hidupnya.
ü Hagabeon, banyak keturunan dan
panjang umur. Satu ungkapan tradisional Batak Toba yang terkenal yang
disampaikan pada saat upacara pernikahan adalah ungkapan yang mengharapkan agar
kelak pengantin baru dikaruniakan putra 17 dan putri 16. Sumber daya manusia
bagi orang Batak sangat penting. Kekuatan yang tangguh hanya dapat dibangun
dalam jumlah manusia yang banyak. Mengenai umur panjang dalam konsep hagabeon
disebut Saur Matua Bulung (seperti daun, yang gugur setelah tua). Dapat
dibayangkan betapa besar pertambahan jumlah tenaga manusia yang diharapkan oleh
orang Batak, karena selain setiap keluarga diharapkan melahirkan putra-putri
sebanyak 33 orang, juga semuanya diharapkan berusia lanjut.
ü Hasangapon, kemuliaan, kewibawaan,
kharisma, suatu nilai utama yang member dorongan kuat untuk meraih kejayaan.
ü Hamoraon, kaya raya salah satu nilai
budaya yang mendasari dan mendorong orang Batak Toba atau Tapanuli untuk
mencari harta benda yang banyak.
ü Hamajuon,
kemajuan yang diraih melalui merantau dan menuntut ilmu. Nilai budaya hamajuon ini sangat
kuat mendorong orang Batak Toba bermigrasi ke seluruh pelosok tanah air.
ü Hukum, nilai hukum (patik dohot dan
uhum), budaya menegakkan kebenaran, merupakan budaya yang harus dipegang oleh
Batak Toba.
ü Pengayoman, dalam kehidupan
sosio-kultural orang Batak Toba kurang kuat dibandingkan dengan nilai-nilai
yang disebutkan terdahulu. Hal ini mungkin disebabkan kemandirian yang berkadar
tinggi. Kehadiran pengayoman, pelindung, pemberi kesejahteraan, hanya
diperlukan dalam keadaan yang sangat mendesak.
ü Konflik, sumber konflik pada orang
Batak Toba atau Tapanuli menyangkut perjuangan meraih hasil nilai budaya
lainnya. Antara lain hamoraon yang mau tidak mau merupakan sumber konflik yang
abadi bagi orang Batak Toba.
3.
Upacara-upacara Adat Pada Suku Tapanuli
Jenis upacara adat Tapanuli dimulai
dari masa dalam kandungan, kelahiran, penyapihan, penyakit, malapetaka, hingga
kematian. Peralihan dari setiap tingkat hidup ditandai dengan pelaksanaan suatu
upacara adat khusus.
Upacara adat dilakukan agar terhindar
dari bahaya/ celaka yang akan menimpa, memperoleh berkat, kesehatan dan
keselamatan. Inilah salah satu prinsip yang terdapat di balik pelaksanaan
setiap upacara adat suku Tapanuli.
Beberapa upacara adat antaranya:
mangganje (kehamilan), mangharoan (kelahiran), martutu aek dan yang dijumpai
pada masyarakat Tapanuli di mampe goar (permandian dan pemberian nama),
manulangi (menyulangi), hamatean (kematian), dan mangongkal holi (menggali
tulang belulang).
a. Upacara Kehamilan (Mangganje)
Sebelum si Ibu melahirkan, orangtua
dari si Ibu sebaiknya memberikan makanan adat batak berupa ikan batak jenis
ikan Mahseer dari genus Tor (Dekke Jurung-jurung) dan ulos tondi dengan tujuan
agar si Ibu sehat-sehat pada waktu melahirkan dan anak yang akan dilahirkan
menjadi anak yang berguna bagi nusa dan bangsa serta pada sanak saudara. Jika
waktu untuk melahirkan sudah tiba sanak saudara memanggil “Si Baso” (dukun). Dukun beranak akan memberikan obat
agar si Ibu tidak susah untuk melahirkan yang disebut salusu. Salusu adalah
satu butir telur ayam kampung yang terlebih dahulu didoakan, selesai didoakan
dihembus, kemudian dipecah lalu diberikan kepada si ibu untuk ditelan.
b. Upacara Kelahiran
(Mangharoan)
Setelah si Ibu melahirkan si baso mematok tali pusat bayi
dengan sisik bambu yang tajam dengan beralaskan buah ubi rambat dengan ukuran 3
jari bayi. Kemudian penanaman ari-ari bayi menurut orang Batak Toba biasa
ditanam di tanah yang becek (sawah). Ari-ari dimasukkan dalam tandok kecil yang
dianyam dari pandan bersama dengan 1 biji kemiri, 1 buah jeruk purut dan 7
lembar daun sirih. Setelah bayi lahir si dukun memecahkan kemiri dan
mengunyahnya kemudian memberikannya kepada bayi dengan tujuan untuk
membersihkan kotoran yang dibawa bayi dari kandungan sekaligus membersihkan
perjalanan pencernaan makanan yang pertama yang disebut tilan (kotoran
pertama).
Si dukun memberikan kalung yang berwarna merah, putih, hitam
bersama soit dan hurungan tondi. Soit adalah sebuah anyaman kalung yang
terdapat dari buah sebuah kayu. Hurungan Tondi adalah buah kayu yang bernama
kayu Hurungan Tondi, buah kayu yang bertuliskan tulisan batak. Kalung ini
mempunyai kegunaan agar jauh dari seluruh mara bahaya, tekanan angin, petir dan
seluruh setan jahat.
Untuk perawatan Ibu yang baru melahirkan, diberikan makanan
dugu-dugu. Dugu-dugu adalah sebuah makanan ciri khas Batak Toba pada saat
melahirkan, yang diresep dari bangun-bangun, daging ayam, kemiri dan kelapa.
Makanan ini berfungsi untuk melancarkan peredaran darah bagi si Ibu yang baru
melahirkan membersihkan darah kotor bagi Ibu yang melahirkan menambah,
menghasilkan air susu Ibu dan sekaligus memberikan kekuatan melalui ASI kepada
anaknya.
c. Upacara Permandian dan Pemberian Nama
(Martutu aek)
Upacara yang dilakukan di rumah yang mendapat kelahiran
seorang anak, atau pemberian nama kepada anak. Upacara ini dilakukan pada hari
ketujuh setelah bayi lahir, dalam acara inilah sekaligus pembuatan nama yang
disebut dengan pesta martutu aek yang dipimpin oleh pimpinan agama yaitu ulu
punguan.
Sebelum dibawa bepergian bayi tersebut harus terlebih dahulu
diperkenalkan dengan bumi terutama air untuk membersihkan dan ini dilaksanakan
dengan membawa anak tersebut ke umbul mata air disertai dengan bara api tempat
membakar dupa. Setelah bayi dimandikan biasanya dipupus. Pupus adalah mengunyah
1 lembar daun sirih, 1 buah kemiri, 1 biji ladak putih,1 iris jarango.
Selesai dikunyah ditempelkan ke ubun-ubun bayi dan
sebahagian diolesi keseluruh tubuh bayi dengan tujuan untuk memelihara tubuh
bayi agar kuat dan tetap sehat, untuk menjauhkan bayi dari penyakit-penyakit
demam, angin-angin dan sekaligus mengobatinya, untuk menjaga agar tidak mudah
terserang penyakit.
Pada upacara itu anak juga mendapat
ulos parompa. Ulos ini diberikan oleh “tulang” (paman) si bayi, khusus untuk
menggendong bayi itu.
d. Upacara
Menyulangi/Memberi Makan (Manulangi)
Sebelum orang mati, upacara adat yang
dilakukan oleh keturunannya dinamai “manulangi” (memberi makan, menyulangi).
Upacara ini bertujuan untuk mempersiapkan seorang yang sudah tua dan
diperkirakan tidak lama lagi akan meninggal, sehingga jika orang tersebut sudah
meninggal rohnya dapat memasuki persekutuan dengan roh-roh leluhurnya dengan
selamat. Upacara ini dilakukan kepada seseorang yang akan meninggal dalam dalam
kondisi minimal sarimatua (telah memiliki cucu laki-laki dan perempuan).
e. Upacara Kematian (Hamatean)
Upacara kematian dibagi dalam dua tahap. Pertama adalah
pengurasan jenazah menjelang pemakaman, kedua adalah pasahat tondi.
Pemberangkatan jenazah dipimpin oleh Ihutan atau Ulupunguan dengan upacara doa
“Borhat ma ho tu habangsa panjadianmu”, artinya berangkatlah engkau ke tempat
kejadianmu. Satu minggu setelah pemakaman, keluarga yang ditinggal mengadakan
pangurason di rumah. Satu bulan setelah pemakaman, dilanjutkan dengan Upacara
Pasahat Tondi yaitu upacara mengantar roh dalam hati harfiah.
Dalam tradisi Tapanuli, orang yang meninggal perlakuan
khusus, dalam sebuah upacara adat kematian. Upacara adat kematian akan
mengalami tersebut diklasifikasi berdasarkan usia dan status orang yang
meninggal.
Meninggal ketika masih di dalam kandungan (mate di bortian)
belum mendapatkan perlakuan adat (langsung dikubur tanpa peti mati), tetapi
jika meninggal ketika masih bayi (mate poso-poso), meninggal ketika anak-anak
(mate dakdanak), meninggal ketika remaja (mate bulung), dan meninggal ketika
sudah dewasa tapi belum menikah (mate ponggol), keseluruhan kematian tersebut
mendapat perlakuan adat mayatnya ditutupi selembar ulos (kain tenunan khas
masyarakat Batak Toba) sebelum dikuburkan. Ulos penutup mayat untuk mate
poso-poso berasal dari orang tua yang meninggal sedangkan untuk mate dakdanak
dan mate bulung berasal dari tulang (saudara laki-laki ibu) yang meninggal.
Upacara adat kematian akan berbeda, jika telah berumah
tangga namun belum mempunyai anak (mate di paralang-alangan/mate punu), telah
berumah tangga dengan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil (mate
mangkar), telah memiliki anak-anak yang sudah dewasa, bahkan sudah ada yang
kimpoi, namun belum bercucu (mate hatungganeon), telah memiliki cucu, namun
masih ada anaknya yang belum menikah (mate sari matua), dan telah bercucu tidak
harus dari semua anak-anaknya (mate saur matua). Mate Saurmatua menjadi tingkat
tertinggi dari klasifikasi upacara adat kematian suku Tapanuli, karena
meninggal ketika semua anaknya telah berumah tangga. Memang masih ada tingkat
kematian tertinggi di atasnya, yaitu mate saur matua bulung (meninggal ketika
semua anak-anaknya telah berumah tangga, dan telah memberikan tidak hanya cucu,
bahkan cicit dari anaknya laki-laki dan dari anaknya perempuan).
f. Upacara
Menggali Tulang-Belulang (Mangokal Holi)
Dalam adat Tapanuli, status kehormatan
yang dimiliki oleh suatu roh tidaklah bersifat statis. Status dan kehormatan
dapat ditingkatkan lagi lebih ke atas. Peningkatan kemuliaan akan didapatkan
oleh roh itu apabila dia memiliki status “sumangot”. Status sumangot akan
dimilikinya apabila para keturunannya telah membuatkan sebuah makan permanen
yang dipahat dari batu atau dibuat dari semen yang kemudian dihiasi dengan
keramik dengan segala kemegahannya.
Di tempat yang baru itu kemudian
dimasukkan tulang belulang. Tulang-belulang itu digali dari kuburan di dalam
tanah melalui upacara yang dinamakan “mangongkal holi ” (menggali tulang
belulang). Acara ini ditandai dengan pelaksanaan pesta yang besar. Penaikkan
tulang-belulang dari dalam tanah kepada tempat yang tersedia dimakam batu itu
merupakan lambang pemberian penghormatan yang lebih tinggi kepada roh orang
tua. Kemegahan sebuah kuburan merupakan lambang kemuliaan yang diterima oleh
roh orang tua di dunia orang mati. Bagi keturunannya, kemegahan makam itu
merupakna simbol gengsi sosial di tengah-tengah masyarakat Batak Toba lainnya.
Kuburan itu juga merupakan tanda ikatan persekutuan antara roh orangtua dengan
keturunannya.
Di dalam pelaksanaan upacara adat
Tapanuli ada alat penyembahan yang selalu harus dipakai untuk menyempurnakan
upacara tersebut yaitu “Ulos”.
Ulos adalah kain untuk upacara dengan
berbagai fungsi dan tenunannya. Jaman dahulu ulos Batak Toba selalu diawali
dengan permohonan kepada seorang ahli tenun untuk membuatkan satu jenis ulos
tertentu. Si pemesan harus menyediakan tiga lembar daun sirih serta tiga rupa
“itak” (tepung beras yang dikepal) yang tiga warna (putih, kuning, merah)
ditempatkan dalam bakul kecil beserta uang enam rupiah batu. Sesajian (sesajen)
ini didoakan secara animistis barulah ditentukan hari yang baik untuk memulai
menenun ulos itu. Tetapi sekarang pembuatan ulos sama dengan pembuatan pakaian,
tidak ada mantra-mantra atau sesajen.
Menurut fungsinya dalam upacara adat
Tapanuli dikenal bermacam-macam ulos dengan kegunaannya, antara lain:
-
Ulos Tondi. Ulos yang dipakaikan kepada seorang calon ibu yang mengandung tujuh
bulan bayi pertamanya. Dengan dipakaikan ulos tondi ini, diharapkan bayi itu
lahir dengan selamat. Ulos tondi adalah jaminan keselamatan ibu dan bayi.
-
Ulos Parompa. Ulos yang diberikan kepada bayi yang baru lahir. Ulos ini
diberikan oleh “tulang” (paman) si bayi, khusus untuk menggendong bayi itu.
-
Ulos Sampetua. Ulos yang diberikan kepada seseorang yang baru saja mengalami
musibah atau sakit berat, dengan harapan agar ia berusia lanjut.
-
Ulos Saput. Ulos yang diberikan khusus pada acara kematian, biasanya digunakan
untuk menutupi peti mati.
-
Ulos Tujung. Ulos yang diberikan kepada seorang perempuan yang suaminya baru meninggal,
dikenakan selama jangka waktu tertentu.
- Ulos Holong. Ulos yang
diberikan kepada anak yang baru lahir setelah proses pemandian
H.
Pelaksanaan Tugas Kesehatan pada Keluarga Suku Tapanuli
Praktek kesehatan keluarga kepercayaan kuno Tapanuli adalah
syamaisme, yaitu suatu kepercayaan dengan melakukan pemasukan roh ke dalam
tubuh seseorang sehingga roh itu dapat berkata-kata. Orang yang menjadi
perantara disebut Shaman. Shaman bagi orang Tapanuli disebut Si Baso (dukun
wanita). Ketika Baso ini berkata-kata, bahasanya harus ditafsirkan secara khas.
Pembicaraan inilah yang dipercayai akan menjadi pentunjuk
bagi orang untuk pengobatan dan ramalan. Selain Baso, ada juga yang memegang
peranan penting yaitu Datu, biasanya seorang laki-laki. Berlainan dengan Baso,
Datu di dalam kegiatannya tidak hanya menjadi perantara, melainkan langsung
berbicara dengan roh. Datu bertugas mengobati orang sakit.
Menurut kepercayaan orang Tapanuli, apabila seseorang jatuh
sakit, tondi (roh) si sakit pergi kesuatu tempat meninggalkan tubuhnya. Karena
tondi itu pergi, orang tersebut jatuh sakit, agar orang yang sakit dapat
sembuh, tondi nya harus dipanggil kembali agar masuk ke dalam tubuh orang sakit
tersebut (Tondi Mulak Tu Badan). Jika tondi itu sudah dipanggil berulang-ulang
tidak pulang juga, berarti orang tersebut tidak ada harapan untuk sembuh atau
hidup.
Jika ada anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan,
suami sebagai kepala rumah tangga perlu dilibatkan. Keputusan masalah kesehatan
berada di tangan suami, tetapi umumnya suami harus mendiskusikannya terlebih
dahulu dengan istri dan anak-anaknya sebelum mengambil keputusan.
Pelaksanaan tugas kesehatan keluarga suku Tapanuli adalah :
Mengenal Masalah Kesehatan Keluarga
Menurut
perspektif Tapanuli seseorang dikatakan sakit apabila tidak dapat beraktivitas.
Ada 2 jenis penyakit:
- penyakit yang
disebabkan oleh virus atau kuman penyakit, ditandai dengan gejala-gejala
seperti kurang lesu, lemas, nafsu makan berkurang, demam
- penyakit yang kedua
adalah penyakit karena diguna-guna atau disebut ”aziturtur” misalnya penyakit
”gadam” yaitu tidak dapat disembuhkan. Hanya orang yang memiliki keahlian
khusus yang dapat membedakan kedua jenis penyakit ini (Nainggolan, 2009).
Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat
bagi keluarga
Keputusan masalah kesehatan berada di tangan suami, tetapi
umumnya suami harus mendiskusikannya terlebih dahulu dengan istri dan
anak-anaknya sebelum mengambil keputusan. Jika keluarga mengalami keterbatasan
maka keluarga meminta bantuan kepada keluarga besar atau keluarga yang masih
memiliki hubungan marga (Nainggolan dan Pakpahan, 2009).
Memberikan keperawatan anggota keluarga yang sakit atau
yang tidak dapat membantu dirinya sendiri karena cacat atau usianya yang
terlalu muda
Perawatan kepada anggota keluarga yang sakit tergantung
kepada keparahan penyakit. Selama keluarga masih mampu memberikan perawatan di
rumah maka anggota keluarga tidak akan dibawa berobat. Jenis penyakit yang
langsung dibawa berobat muntah mencret, batuk berat, dan jenis penyakit yang
parah lainnya (Nainggolan, 2009).
Mempertahankan suasana rumah yang menguntungkan kesehatan
dan perkembangan kepribadian anggota keluarga.
Sebelum membangun rumah langkah pertama yang dilakukan ada
acara khusus yaitu pada peletakan batu pertama dipecahkan sebuah telur, dengan
harapan rumah tersebut akan memberikan kesejukan dan kenyamanan bagi
penghuninya. Bentuk rumah pada suku Batak Toba yang berjenis rumah panggung,
menandakan keluarga tersebut keluarga yang kaya, karena fungsi dari kolong
rumah adalah kandang binatang ternak, jadi jika memiliki banyak ternak bentuk
rumahnya seperti rumah panggung (Nainggolan, 2009).
Tetapi
alasan lain mengapa bentuk rumah seperti di atas adalah untuk menghalangi hantu
yang mencoba masuk dimalam hari, karena hantu dianggap tidak dapat memanjat
tangga (Pakpahan, 2009).
Dalam
keluarga Tapanuli atau Batak Toba tidak ada jadwal khusus dalam kebersihan,
prinsipnya jika rumah atau lingkungan sekitar kotor harus dibersihkan, tetapi
pada malam hari dilarang menyapu rumah ke arah pintu karena dianggap menolak
rejeki yang datang (Pakpahan, 2009).
Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan
lembaga kesehatan (pemanfaatan fasilitas kesehatan yang ada).
Sejalan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan
pengobatan, lama-kelamaan orang Tapanuli mencari pengobatan ke tenaga kesehatan
atau puskesmas terdekat.
Walaupun
demikian, masih ada yang berobat ke shaman untuk mengatasi masalah kesehatan
keluarga mereka, baik keluarga yang tinggal di pedalaman maupun yang berada di
luar Sumatera Utara
I.
Pengaruh Budaya Asing Terhadap Kebudayaan Masyarakat
Tapanuli
Globalisasi
dapat diartikan suatu proses mendunia atau menuju satu dunia. Peristiwa yang
terjadi di dunia dapat kita saksikan secara langsung tanpa harus mendatanginya.
Kata globalisasi diambil dari kata globe yang berarti bumi tiruan atau dunia
tiruan. Kemudian kata globe menjadi global yang berarti universal atau
keseluruhan yang saling berkaitan. Jadi globalisasi adalah proses menyatunya
warga dunia secara umum dan menyeluruh menjadi kelompok masyarakat.
Menurut sejarah kehidupan manusia,
sejak zaman prasejarah samapai sekarang, terjadi perubahan yang berlangsung
secara bertahap dan berkesinambungan. Manusia pada zaman purba memanfaatkan
kekayaan alam yang tersedia untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Alam dimanfaatkan secara maksimal mungkin sebagai peralatan, perkakas, dan
sumber makanan. Tanah, batu, tumbuhan, dan hewan adalah kebutuhan yang di ambil
dari alam.
Sekarang manusia sudah berbeda. Dengan
adanya ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat, terciptalah alat
transportasi dan komunikasi. Hal ini memungkinkan manusia dapat berkomunikasi
dengan yang lain walaupun sangat jauh.
Arus globalisasi saat ini telah
menimbulkan pengaruh terhadap perkembangan budaya bangsa Indonesia . Derasnya
arus informasi dan telekomunikasi ternyata menimbulkan sebuah kecenderungan
yang mengarah terhadap memudarnya nilai-nilai pelestarian budaya. Perkembangan
3T (Transportasi, Telekomunikasi, dan Teknologi) mengkibatkan berkurangnya
keinginan untuk melestarikan budaya negeri sendiri . Budaya Indonesia yang
dulunya ramah-tamah, gotong royong dan sopan berganti dengan budaya barat,
misalnya pergaulan bebas. Di Tapanuli (Sumatera Utara) misalnya, duapuluh tahun
yang lalu, anak-anak remajanya masih banyak yang berminat untuk belajar tari
tor-tor dan tagading (alat musik batak). Hampir setiap minggu dan dalam acara
ritual kehidupan, remaja di sana selalu diundang pentas sebagai hiburan budaya
yang meriah. Saat ini, ketika teknologi semakin maju, ironisnya
kebudayaan-kebudayaan daerah tersebut semakin lenyap di masyarakat, bahkan
hanya dapat disaksikan di masyarakat Tapanuli Padahal kebudayaan-kebudayaan
daerah tersebut, bila dikelola dengan baik selain dapat menjadi pariwisata
budaya yang menghasilkan pendapatan untuk pemerintah baik pusat maupun daerah,
juga dapat menjadi lahan pekerjaan yang menjanjikan bagi masyarakat sekitarnya.
Hal lain yang merupakan pengaruh globalisasi adalah dalam pemakaian bahasa
indonesia yang baik dan benar (bahasa juga salah satu budaya bangsa). Sudah
lazim di Indonesia untuk menyebut orang kedua tunggal dengan Bapak, Ibu, Pak,
Bu, Saudara, Anda dibandingkan dengan kau atau kamu sebagai pertimbangan nilai
rasa. Sekarang ada kecenderungan di kalangan anak muda yang lebih suka
menggunakan bahasa Indonesia dialek Jakarta seperti penyebutan kata gue (saya)
dan lu (kamu). Selain itu kita sering dengar anak muda mengunakan bahasa
Indonesia dengan dicampur-campur bahasa inggris seperti OK, No problem dan
Yes’, bahkan kata-kata makian (umpatan) sekalipun yang sering kita dengar di
film-film barat, sering diucapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kata-kata ini
disebarkan melalui media TV dalam film-film, iklan dan sinetron bersamaan
dengan disebarkannya gaya hidup dan fashion . Gaya berpakaian remaja Indonesia
yang dulunya menjunjung tinggi norma kesopanan telah berubah mengikuti
perkembangan jaman. Ada kecenderungan bagi remaja putri di kota-kota besar
memakai pakaian minim dan ketat yang memamerkan bagian tubuh tertentu. Budaya
perpakaian minim ini dianut dari film-film dan majalah-majalah luar negeri yang
ditransformasikan kedalam sinetron-sinetron Indonesia . Derasnya arus
informasi, yang juga ditandai dengan hadirnya internet, turut serta
`menyumbang` bagi perubahan cara berpakaian. Pakaian mini dan ketat telah
menjadi trend dilingkungan anak muda. Salah satu keberhasilan penyebaran
kebudayaan Barat ialah meluasnya anggapan bahwa ilmu dan teknologi yang
berkembang di Barat merupakan suatu yang universal. Masuknya budaya barat
(dalam kemasan ilmu dan teknologi) diterima dengan `baik`. Pada sisi inilah
globalisasi telah merasuki berbagai sistem nilai sosial dan budaya Timur
(termasuk Indonesia ) sehingga terbuka pula konflik nilai antara teknologi dan
nilai-nilai ketimuran.
Dampak Positif
Globalisasi sebagai akibat dari kemajuan
IPTEK, memberikan manfaat yang begitu besar bagi kehidupan manusia
di dunia. Sebagai contoh masyarakat dapat memperoleh informasi secara mudah dan
memiliki wawasan yang luas. Prubahan sosialpun akibat globalisasi saat ini
meliputi :
1. Makanan :Ditandai
dengan marak nya makanan-makanan instan.
2. Pakaiaan :Masyarakat
di negara berkembang cenderung biasanya mengikuti trend perkembangan di negara
maju.
3. Perilaku :Berupa
pudarnya budaya gotong royong, hal ini mencolok pada masyarakat perkotaan.
4. Gaya
Hidup : Gencarnya iklan mempengaruhi masyarakat
untuk memiliki suatu barang yang mutakhir. Orang berlomba lomba memiliki barang
baru guna meningkatkan gengsi.
Dampak Negatif
1. Orang cenderung
sangat individualis
2. Masuknya budaya
asing tidak sesuai dengan budaya bangsa
3. Budaya konsumtif
4. Sarana hiburan yang
melalaikan dan membuat malas
5. Budaya permisif
6. Menurunnya ikatan
rohani
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Tak ada satu pun bangsa dan negara
yang mampu menolak kebudayaan. kebudayaan haruslah dihadapi sebagai kenyataan
yang harus diterima dan harus
dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat karena kebudayaan meruupakan jati
diri bangsa maupun jati diri daerah tersebut. kebudayaan tidak hanya terjadi di
bidang ekonomi, melainkan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, yaitu
social, politik, teknologi, lingkungan, budaya, dan sebagainya.Teknologi
informasi banyak sekali berperan di hampir seluruh aspek kehidupan kita
sekarang ini. Perkembangan sektor teknologi informasi dan telekomunikasi
merupakan sektor yang paling dominan, di bandingkan dengan perkembangan sektor
teknologi lainnya. Siapa saja yang menguasai teknologi ini, maka dia akan
menjadi pemimpin dalam dunianya.
Kita sebagai pelajar harus
mempersiapkan diri kita, agar kita tidak di sebut sebagai pealajar Indonesia
yang gagap akan teknologi. Dan tentunya hal tersebut memerlukan perjuangan yang
keras untuk dapat menguasainya. Karena siap atau tidak siap semuanya sudah ada
di depan mata kita. Bagi masyarakat yang mencoba mengembangkan seni/kebudayaan tradisional menjadi bagian dari
kehidupan modern, tentu akan terus berupaya memodifikasi bentuk-bentuk seni
yang masih berpolakan masa lalu untuk dijadikan komoditi yang dapat dikonsumsi
masyarakat modern. Karena seenarnya kebudayaan itu indah dan mahal. Kesenian
adalah kekayaan bangsa Indonesia yang tidak ternilai harganya dan tidak
dimiliki bangsa-bangsa asing. Oleh sebab itu, sebagai generasi muda, yang merupakan
pewaris budaya bangsa, hendaknya memelihara seni budaya kita demi masa depan
anak cucu.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayah.Zuliyani 1997 Ensiklopedia Suku Bangsa di
Indonesia.jakarta: LP3ES koentjaraningrat 1971 manusia dan kebudayaan di
Indonesia.jakarta: DjambatanMelalatoa,M. junus 1997 Ensiklopedi suku bangsa di
Indonesia. Jakarta: departemen pendidikan dan kebudayaan
Indonesia's
Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape. Institute
of Southeast Asian Studies. 28 April 2003. ISBN 9812302123.