BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi telah
melahirkan berbagai dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif, karena
di satu sisi memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan
peradaban manusia, namun di sisi lain menjadi sarana efektif perbuatan melawan
hukum. Teknologi informasi dan
komunikasi juga telah mengubah perilaku dan pola hidup masyarakat secara
global, dan menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless), serta menimbulkan
perubahan di berbagai bidang kehidupan.
Perkembangan teknologi informasi telah melahirkan beragam jasa di bidang
teknologi informasi dan komunikasi dengan berbagai fasilitasnya, dalam hal ini
internet merupakan bagian dari kemajuan teknologi informasi tersebut, yang
memberi kemudahan dalam berinteraksi tanpa harus berhadapan secara langsung
satu sama lain.
Bangsa Indonesia yang
sedang tumbuh dan berkembang menuju masyarakat industri yang berbasis teknologi
informasi, dalam beberapa hal masih tertinggal.
Kondisi ini disebabkan karena masih relatif rendahnya sumber daya
manusia di Indonesia dalam mengikuti perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi ini, termasuk kemampuan dalam menghadapi masalah hukum yang timbul
akibat penyalahgunaan teknologi informasi
tersebut, yang menimbulkan terjadinya tindak pidana melalui media
internet (cybercrime). Saat ini telah ada beberapa regulasi dalam hukum positif Indonesia di bidang
teknologi informasi, diantaranya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (selanjutnya
disebut Undang-Undang ITE) atau Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 Tentang
Telekomunikasi. Namun demikian, masih
saja muncul kendala dalam penerapannya, karena terkadang antara peraturan yang
satu dengan peraturan lainnya tidak sejalan atau saling bertentangan, sehingga
banyak menimbulkan tafsir hukum yang berbeda-beda dari para penegak hukum di
Indonesia.
Pemanfaatan teknologi
informasi dan komunikasi dalam pembangunan nasional merupakan proses
berkelanjutan dan berkesinambungan di berbagai bidang, tidak terkecuali pada
kegiatan perbankan nasional. Perkembangan teknologi tersebut apabila
dimanfaatkan secara tepat guna diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran masyarakat Indonesia .
Aplikasi teknologi
informasi di bidang perbankan dapat menciptakan suatu sistem pelayanan bank
yang baik, cepat, dan efisien. Pengotomatisan sistem perbankan sebagai jawaban
atas perkembangan teknologi informasi dapat terlihat dari penerapan RTGS (Real Time Gross Settlement) oleh Bank
Indonesia (BI). Bank akan memberikan
pelayanan yang cepat, teliti, dan aman melalui penerapan teknologi informasi
yang tepat. Salah satu contoh penerapan teknologi informasi di bidang perbankan
adalah layanan internet banking.
Kehadiran layanan internet banking
merupakan media alternatif dalam memberikan kemudahan-kemudahan bagi nasabah
suatu bank yang ingin mengedepankan aspek kemudahan, fleksibilitas, efisiensi,
dan kesederhanaan. Nasabah yang ingin melakukan transaksi tidak harus datang ke
bank dan menunggu antrian yang panjang, dengan adanya pelayanan internet banking tersebut, transaksi
dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja. Pelayanan perbankan untuk saat ini
dan yang akan datang diwarnai dengan pemanfaatan teknologi elektronik dalam
kegiatan kerjanya.
Kemudahan yang dilahirkan
melalui penerapan teknologi informasi pada perbankan (internet banking)
diikuti pula dengan risiko dalam penggunaannya. Pada praktiknya, seringkali
analisis cost-risk-benefit pada penerapan internet banking tidak
dipertimbangkan secara komprehensif dan baru dilakukan setelah timbulnya
masalah yang menyebabkan kerugian.
Karakteristik layanan internet
banking untuk memfasilitasi transaksi perbankan yang berbeda dengan layanan
perbankan secara konvensional banyak menimbulkan masalah, karena dalam
pemanfaatan layanan internet banking
ini melibatkan berbagai pihak, baik pihak perbankan, pihak internet service provider, maupun nasabah perbankan yang
bersangkutan.
Saat ini, pengaturan hukum di bidang perbankan tidak dapat lagi
mengantisipasi dinamika bisnis sektor perbankan, termasuk fasilitas internet
banking yang sering disalahgunakan oleh para nasabahnya sehingga
menimbulkan terjadinya tindak pidana
seperti tindak pidana pencucian uang melalui internet (internet
banking).
Munir Fuady mengemukakan
bahwa dalam sejarah hukum bisnis munculnya tindak pidana pencucian uang (money laundering) dimulai dari negara
Amerika Serikat sejak Tahun 1830.
Pada waktu itu banyak orang yang
membeli perusahaan dengan uang hasil kejahatan seperti hasil perjudian,
penjualan narkotika, minuman keras secara illegal dan hasil pelacuran.
Pihak-pihak yang telah terbiasa dengan masalah pencucian uang di Amerika
Serikat, terkenal dengan nama kelompok legendaries Al Capone (Chicago). Mayer Lansky memutihkan uang kotor milik
kelompok Al Capone dengan
mengembangkan pusat perjudian, pelacuran, serta bisnis hiburan malam di Las
Vegas (Nevada). Lalu dikembangkan lagi offshore
banking di Havana (Cuba) dan Bahama. Kegiatan pencucian uang yang dilakukan
oleh kelompok ini menjadikan Mayer Lansky
dijuluki sebagai bapak Money Laundering Modern. Selanjutnya uang tersebut disimpan di
lembaga keuangan seperti bank. Penyimpanan uang tersebut bertujuan agar uang hasil kejahatan itu
menjadi legal.
Kejahatan berkembang
seiring perkembangan teknologi informasi, begitu pula tindak pidana pencucian
uang sering dilakukan melalui internet, dalam hal ini adanya penyalahgunaan
fasilitas internet banking. Sifat
money laundering menjadi universal
dan bersifat transnasional yakni melintasi
batas-batas yurisdiksi negara. Berarti pemahaman hukum pidana
terhadap kejahatan ini tidak lagi terkait dengan asas teritorial suatu negara
saja akan tetapi lebih dari satu hukum nasional yang dilanggar. Uang hasil dari
tindak pidana ini tidak saja disimpan atau dimanfaatkan dalam suatu lembaga
keuangan suatu negara asal, akan tetapi juga dapat ditransfer ke negara lain
dengan berbagai macam cara dan kepentingan, misalnya dengan cara pembayaran
yang dilakukan melalui bank secara elektronik (cyberpayment).. Kegiatan semacam ini melibatkan
lebih dari satu hukum pidana nasional.
Bank Indonesia menyebutkan bahwa tindak pidana penyuapan, korupsi,
perjudian, pemalsuan uang merupakan
pemicu money laundering. Money Laundering dapat menimbulkan
ketidakpercayaan nasabah dan masyarakat
kepada sistem perbankan.
Ada beberapa tindak pidana
money laundering yang terjadi seperti tindak pidana
pencucian uang yang dilakukan oleh mantan Presiden Phillipina Ferdinand Marcos,
dalam hal ini uang hasil tindak pidana korupsi yang dilakukannya disimpan di
bank Credit Suisse, kemudian di transfer ke rekening salah satu
keluarganya. Kasus lain adalah tindak
pidana pencucian uang (money laundering)
yang dilakukan oleh bank seperti kasus Bank
Bank of Credit & Commerce
Internasional (BCCI) Tahun 1991.
Tindak pidana pencucian uang (money
laundering) yang dilakukan BCCI
berhubungan dengan perdagangan obat bius. BCCI bertindak sebagai
penyalur uang hasil transaksi itu, yang disalurkan melalui layanan internet
banking. Namun, pada tahun 1990 Dinas Bea dan Cukai Amerika Serikat
berhasil membongkar jaringan perdagangan obat bius dan pencucian uang (money
laundering) yang melibatkan BCCI tersebut.
Berdasarkan hal tersebut
di atas terlihat bahwa uang hasil tindak pidana pencucian uang (money
laundering) itu telah melalui dua tahap kejahatan, yakni pertama, uang itu
diperoleh dari suatu tindak pidana tertentu, kedua, uang itu dibersihkan
melalui tindak pidana pencucian uang (money
laundering) dengan berbagai cara seperti melalui penyalahgunaan fasilitas internet
banking, sehingga uang itu menjadi
legal. Tindak pidana pencucian uang (money laundering) sebagai kejahatan yang
terorganisir (organized crime) juga
telah banyak terjadi di Indonesia. Secara
umum, hal tersebut terlihat dari semakin tingginya tingkat kejahatan yang
berhubungan dengan tindak pidana pencucian uang ini seperti tindak pidana
korupsi yang banyak terungkap melalui fasilitas perbankan, dalam hal ini internet
banking, peredaran gelap narkoba dan sebagainya. Walaupun saat ini, telah ada ketentuan hukum
yang mengatur tentang tindak pidana pencucian uang (money laundering) yaitu
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, namun kenyataannya, belum
dapat mengatasi kasus pencucian uang yang terjadi di Indonesia secara
keseluruhan. Kendala atas penanganan
kasus-kasus di atas antara lain dalam hal yurisdiksi penuntutan dan pembuktian,
walaupun pembuktian secara elektronik telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, namun pembuktian pada
tindak pidana pencucian uang melalui internet ini tetap mengalami berbagai
kesulitan terutama untuk menemukan adanya unsur melawan hukum, karena tindak
pidana pencucian uang biasanya dilakukan oleh kalangan intelektual, sehingga
akan sulit menemukan bukti-bukti adanya unsur melawan hukum tersebut. Begitu pula mengenai yurisdiksi penuntutannya,
akan sulit ditentukan karena kejahatan pencucian uang melalui internet ini
dapat saja melibatkan lebih dari satu sistem hukum, sehingga harus diketahui
secara benar locus delictinya, korbannya,
dan sebagainya, sehingga dapat menimbulkan kesulitan dalam
penanganannya.
Sampai saat ini, belum ada
pembahasan secara khusus mengenai yurisdiksi tuntutan jaksa atas tindak pidana
pencucian uang melalui internet sebagai kejahatan transnasional. Oleh karena itu, Peneliti tertarik untuk
mencoba membahas hal tersebut, yang dituangkan dalam bentuk skripsi berjudul “Yurisdiksi
Tuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang
Melalui Internet Berdasarkan Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik”.
B.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang
yang telah diuraikan di atas, terdapat
beberapa masalah hukum, sebagai berikut :
1.
Bagaimana
yurisdiksi tuntutan yang dapat dilakukan jaksa dalam menangani tindak pidana
pencucian uang melalui internet sebagai kejahatan transnasional berdasarkan
Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang ?
2.
Bagaimana
Pembuktian dalam tindak pidana pencucian uang melalui internet sebagai
kejahatan transnasional Berdasarkan Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Teknologi Dan Transaksi Elektronik ?
C.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1.
Untuk mengkaji dan menganalisis yurisdiksi tuntutan
yang dapat dilakukan jaksa dalam menangani tindak pidana pencucian uang melalui
internet sebagai kejahatan transnasional berdasarkan Hukum Acara Pidana dan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
2.
Untuk
mengkaji dan menganalisis pembuktian dalam tindak pidana pencucian uang melalui
internet sebagai kejahatan transnasional Berdasarkan Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Teknologi Dan Transaksi Elektronik.
D.
Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah :
1.
Secara
teoritis, hasil penelitian diharapkan
dapat digunakan bagi pengembangan ilmu hukum terutama hukum pidana yang
menyangkut yurisdiksi tuntutan jaksa atas tindak pidana pencucian uang melalui
internet sebagai kejahatan transnasional yang mengandung unsur lintas batas
negara.
2.
Secara
praktis, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak yang
berwenang dalam membuat dan atau memperbaharui peraturan perundang-undangan
mengenai tindak pidana pencucian uang melalui internet sebagai kejahatan
transnasional yang mengandung unsur lintas batas negara.
E. Kerangka Pemikiran
Pada prinsipnya setiap
peristiwa hukum yang terjadi di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang
Dasar 1945. dalam hal ini untuk lebih mempermudah menganalisis, maka akan
digunakan dua grand teori yang berdasarkan kepada Undang-Undang Dasar
1945 yaitu alinia kedua dan alinia ke empat.
Untuk mencapai suatu
sistem keadilan yang baik bagi masyarakat indonesia, dapat dilihat pada alinia kedua Undang-Undang Dasar 1945, yang
mengatakan bahwa :
“Dan perjuangan pergerakan
kemerdekaan Indonesia telah sampailah pada saat yang berbahagia dengan selamat
sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara
Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”
Amanat yang disampaikan
dalam alinia kedua pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut merupakan
kondisi dinamis kehidupan
perekonomian bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan kekuatan nasioanl
dalam menghadapi serta mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan
gangguan yang datang dari luar maupun ancaman dalam negeri secara langsung
maupun tidak langsung untuk menjamin kelangsungan perekonomian bangsa dan
negara Republik Indonesia.
Sistem
perekonomian bangsa Indonesia mengacu pada pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yang
menyebutkan bahwa sistem perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargaan. Secara makro, sistem perekonomian Indonesia
dapat disebut sebagai sistem perekonomian kerakyatan. Tindak pidana pencucian
uang melalui internet sangat mempengaruhi sistem perekonomian bangsa indonesia.
Kemudian dalam
alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa :
“Kemudian daripada itu untuk membentuk
suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, …”.
Amanat
dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut merupakan
konsekuensi hukum yang mengharuskan pemerintah tidak hanya melaksanakan tugas
pemerintahan saja, melainkan juga kesejahteraan sosial melalui pembangunan
nasional. Selain itu, kata “melindungi” mengandung asas perlindungan hukum bagi
segenap bangsa Indonesia untuk mencapai keadilan.
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945 menyatakan bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum, maka semua
peristiwa hukum yang terjadi di Indonesia harus dapat diatur oleh peraturan
perundang-undangan agar tidak terjadi kekosongan hukum dan terciptanya
kepastian hukum. Begitu pula dengan
tindak pidana pencucian uang (money laundering) melalui internet sebagai
bagian dari kejahatan transnasional harus dapat diatasi dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Saat
ini, di Indonesia telah ada Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang, namun demikian harus diperhatikan pula sumber
hukum lain karena pada kenyataannya tindak pidana pencucian uang ini banyak
yang mengandung unsur asing yang akan berpengaruh pada proses penuntutan dan
peradilannya, sementara tindak pidana pencucian uang melalui internet ini
melibatkan hukum nasional lebih dari satu negara, terlebih lagi apabila tindak
pidana pencucian uang ini dilakukan melalui internet.
Mendeskripsikan pencucian
uang sebagai kejahatan transnasional dapat dilihat dari segi kriminalisasi dan
pelaku. Kriminalisasi suatu tindak
pidana merupakan bagian dari proses penegakan hukum pidana, yang dapat
dilakukan melalui tiga tahap diantaranya tahap formulasi. Tahap
ini disebut dengan tahap kebijakan legislatif.
Pada tahap inilah terjadi proses
kriminalisasi. Pada proses kriminalisasi tidak hanya merumuskan tindak pidana
beserta sanksinya, tetapi juga menentukan atau memberikan sifat apakah tindak pidana
ini tindak pidana konvensional atau transnasional. Apabila tindak pidana itu
bersifat transnasional, hal ini menunjukkan indikasi bahwa tindak pidana itu
melampaui batas negara dan tidak terikat dengan yurisdiksi hukum satu negara
saja, begitu pula dengan kegiatan dan
pelakunya, dalam hal ini pelaku tidak terlepas dari perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Kejahatan transnasional
mengandung pengertian bahwa kejahatan tersebut mengandung unsur asing,
maksudnya dalam pelaksanaan kejahatan itu melibatkan pihak-pihak dari negara
lain, yang terkadang merupakan sebuah jaringan kejahatan termaksud, dengan kata
lain kejahatan transnasional bersifat terorganisir dan merugikan masyarakat
internasional. Melihat sifat kejahatan
transnasional tersebut, maka tindak pidana pencucian uang (money laundering)
sebagai kejahatan transnasional ini tiada lain juga sebuah kejahatan yang
termasuk dalam lingkup hukum pidana internasional.
Pertumbuhan hukum pidana
internasional sebagai disiplin ilmu
hukum berasal dari dua sumber, yaitu dari perkembangan kebiasaan yang terjadi
dalam praktik hukum internasional (custom) dan juga berasal dari
perjanjian-perjanjian internasional (treaties).
Hukum pidana internasional sebagai disiplin hukum memiliki dan telah memenuhi empat unsur
sebagai berikut :
1.
Asas
hukum pidana internasional, yang dapat dibedakan antara asas-asas hukum hukum
yang bersumber pada hukum internasional dan asas-asas hukum yang bersumber pada
hukum pidana nasional. Asas-asas hukum
yang bersumber pada hukum internasional terdiri dari asas-asas yang bersifat
umum seperti pacta sunt servanda dan bersifat khusus seperti yang
diungkapkan oleh Hugo Grotius yaitu asas au dedere au punere yang
berarti terhadap pelaku tindak pidana internasional dapat dipidana oleh negara locus
delicti dalam batas teritorial suatu negara tersebut atau diserahkan atau
diekstradisi kepada negara peminta yang memiliki yurisdiksi untuk mewakili
pelaku tersebut. Selain itu, terdapat
asas au dedere au judicare yang berarti bahwa setiap negara berkewajiban
untuk menuntut dan mengadili pelaku tindak pidana internasional dan
berkewajiban untuk melakukan kerja sama dengan negara lain dalam menangkap,
menahan dan menuntut serta mengadili pelaku tindak pidana internasional
sebagaimana dinyatakan oleh Bassioni.
Perbedaan kedua asas di atas
terletak pada pemahaman dan persepsi mengenai kedaulatan Negara, namun demikian
kedua asas tersebut tidak dapat dipisahkan dan saling mengisi. Sementara itu, asas-asas hukum pidana
internasional juga bersumber pada asas-asas hukum pidana nasional yaitu asas legalitas, asas teritorial, asas
nasionalitas aktif dan pasif, asas universalitas, asas non retroaktif, asas ne
bis in idem dan asas tidak berlaku
surut.
2.
Kaidah-kaidah
hukum pidana internasional, meliputi semua
ketentuan dalam konvensi-konvensi internasional tentang kejahatan
internasional atau kejahatan transnasional, perjanjian-perjanjian
internasional, baik bilateral maupun multilateral mengenai kejahatan internasional
serta ketentuan lain mengenai tindak pidana internasional.
3.
Proses
dan penegakan hukum pidana internasional meliputi ketentuan hukum internasional
mengenai prosedur penegakan hukum pidana internasional, dalam hal ini terdapat
tiga wilayah yurisdiksi yang terdiri
dari yurisdiksi kriminal pertama meliputi kejahatan genocide, yurisdiksi
kriminal kedua meliputi kejahatan pencucian uang (money laundering)
serta yurisdiksi kriminal ketiga seperti terhadap kejahatan agresi.
4.
Objek
hukum pidana internasional adalah tindak pidana
internasional yang telah diatur dalam konvensi-konvensi internasional.
Pada perkembangannya,
Edward M. Wise, menyatakan bahwa pengertian hukum pidana internasional bukan
merupakan pengertian yang kaku dan pasti karena dalam pengertian luas meliputi
tiga topik sebagai berikut :
1.
Topik
pertama mengenai kekuasaan mengadili dari pengadilan negara tertentu terhadap
kasus-kasus yang mengandung unsur asing, termasuk diantaranya masalah ekstradisi.
2.
Topik
kedua mengenai prinsip-prinsip hukum publik internasional yang menetapkan kewajiban
pada negara-negara yang dituangkan dalam hukum pidana nasional atau hukum acara
pidana nasional negara yang bersangkutan yang bersumber dari konvensi dan
perjanjian internasional yang menyangkut masalah tindak pidana pencucian uang.
3.
Topik
ketiga mengenai keutuhan pengertian hukum pidana internasional termasuk
instrument-instrumen yang mendukung penegakan hukum pidana internasional
tersebut.
Ada beberapa dimensi yang
dapat dijadikan pedoman dalam menentukan bahwa suatu kejahatan itu merupakan
kejahatan transnasional, yakni :
1. Tempat
terjadinya kejahatan nasional di luar wilayah negara yang bersangkutan tetapi
menimbulkan akibat dalam wilayahnya, dalam hal ini ada kepentingan satu negara
atau lebih yang terkait dengan kejahatan
itu.
2. Korban
suatu kejahatan nasional tidak
semata-mata dalam wilayah negara itu sendiri tetapi juga terdapat di wilayah
negara lain atau di suatu tempat di luar wilayah negara.
3. Kejahatan
yang terjadi dalam wilayah suatu negara tetapi pelakunya adalah negara yang
bukan warganegaranya.
Selain itu, terdapat beberapa cara yang dapat
dilakukan untuk mengidentifikasi suatu kejahatan sebagai kejahatan
transnasional, yaitu
:
1. Tempat
terjadinya kejahatan
2. Kewarganegaraan pelaku dan atau korbannya
3. Korban
yang berupa harta benda bergerak dan atau benda tidak bergerak milik pihak
asing.
4. Perpaduan
antara butir 1,2 dan 3
5. Tersentuhnya
nilai-nilai kemanusiaan universal, rasa keadilan dan kesadaran hukum umat
manusia
Pada proses penegakan hukum dalam menanggulangi
kejahatan transnasional tidak terlepas dari ketentuan hukum yang berlaku di
negara-negara tersebut serta penerapan beberapa asas-asas hukum pidana nasional
dari negara-negara yang pada dasarnya tidak berbeda antara satu dengan yang
lainnya, antara lain
:
1. Asas
legalitas, merupakan asas utama dalam hukum pidana nasional beberapa negara,
yang menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana apabila atas
perbuatan itu tidak atau belum diatur dalam suatu undang-undang pidana
nasional.
2. Asas
non-retroactive sebagai turunan asas legalitas,
yang menyatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan tidak dapat
diberlakukan terhadap perbuatan yang terjadi sebelum peraturan
perundang-undangan itu berlaku, atau dengan kata lain undang-undang tidak
berlaku surut.
3. Asas
culpabilitas, yang menyatakan bahwa seseorang hanya dapat dipidana apabila
kesalahannya telah dapat dibuktikan berdasarkan peraturan perundang-undangan
pidana yang didakwakan kepadanya melalui proses pemeriksaan oleh badan
peradilan yang memang memiliki wewenang untuk itu.
4. Asas
praduga tak bersalah (presumption of innocent), menegaskan bahwa
seseorang yang diduga melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana wajib
dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dapat dibuktikan berdasarkan suatu
putusan peradilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan pasti.
5. Asas
ne/no bis in idem, menyatakan bahwa orang yang telah diadili dan atau
dijatuhi hukuman yang telah memiliki kekuatan mengikat dan pasti oleh badan
peradilan yang berwenang atas suatu kejahatan atau tindak pidana yang dituduhkan
terhadapnya, tidak boleh diadili dan atau dijatuhi putusan untuk kedua kalinya
atau lebih atas kejahatan atau tindak pidana tersebut.
Asas-asas yang diuraikan
di atas, telah terkandung dalam ketentuan hukum pidana di Indonesia, termasuk
dalam ketentuan yang dapat diberlakukan terhadap tindak pidana pencucian uang
melalui internet sebagai kejahatan transnasional. Pada hukum pidana yang berlaku di Indonesia,
asas legalitas termuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, asas non-retroactive dalam
Pasal 1 ayat (2) KUHP, asas culpabilitas terdapat dalam Pasal 44 ayat (1), (2)
dan (3) KUHP, asas praduga tak bersalah termuat dalam Pasal 8 Undang-Undang
Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan asas no/ne bis in idem terkandung dalam
Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Sementara itu, dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
diberlakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 juncto Undang-Undang
Nomor 73 Tahun 1958, terdapat beberapa asas yang berkaitan dengan penerapan
hukum pada kejahatan transnasional antara lain : Pasal 2 sampai dengan Pasal 9
KUHP mengenai lingkup berlakunya hukum pidana terutama Pasal 9 KUHP yang
menetapkan bahwa berlakunya hukum pidana nasional dibatasi oleh ketentuan hukum
internasional.
Saat ini sistem pembuktian hukum di
Indonesia, khusunya dalam Pasal 184 KUHAP belum mengenal istilah bukti
elektronik/digital evidence sebagai bukti yang sah menurut
undang-undang. Masih banyak perdebatan khususnya antara akademisi dan praktisi
mengenai hal ini. Untuk aspek pidana, asas legalitas menetapkan bahwa tidak ada
suatu perbuatan dapat dipidana jika tidak ada aturan hukum yang mengaturnya (nullum delictum nulla poena sine
previa lege poenali). Untuk itulah dibutuhkan adanya dalil yang
cukup kuat sehingga perdebatan akademisi dan praktisi mengenai hal ini tidak
perlu terjadi lagi. Begitu pula pada
kasus pencucian uang (money
laundering) melalui internet, terdapat alat bukti elektronik, walaupun
dalam Pasal 184 KUHAP tidak diatur, namun berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
mengatur bahwa informasi dan/atau dokumen elektronik adalah alat bukti yang sah
dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah menurut hukum acara yang
berlaku di Indonesia.
Di bawah ini akan diuraikan beberapa hal
yang berhubungan dengan tindak pidana pencucian uang atau money laundering
sebagai berikut :
1. Kriminalisasi pencucian uang
Pada tingkat internasional, ada
suatu konvensi yaitu the United Nation
Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and Psycotropic
Substances of 1988, yang biasa disebut dengan the Vienna Convention, disebut juga
UN Drug Convention 1988.
Konvensi ini mewajibkan para anggotanya untuk menyatakan pidana terhadap
tindakan tertentu yang berhubungan dengan narkotika dan money laundering. Berdasarkan konvensi ini, pemerintah Indonesia
telah meratifikasinya dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997. Implementasi
ratifikasi ini dilakukan melalui pembuatan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan bahwa pencucian uang (money laundering) merupakan suatu tindak pidana.
Selanjutnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 diubah dengan Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2003. Konsideran Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 jelas menyatakan bahwa pencucian uang bukan saja merupakan
kejahatan nasional tetapi juga kejahatan transnasional, oleh karena itu harus
diberantas, antara lain dengan cara melakukan kerja sama regional atau
internasional melalui forum bilateral atau multilateral. Sementara itu, Konsideran Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2003 menyatakan bahwa agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang dapat berjalan
efektif, maka Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 perlu disesuaikan dengan perkembangan hukum pidana tentang pencucian
uang dan standar internasional.
Kriminalisasi tindak pidana berpedoman kepada sifat hukum pidana, yaitu clarity (jelas), certainty (pasti), proportion
(terukur), speedy (cepat) dan prevention (bersifat mencegah).
Kriminalisasi pencucian uang terdapat
dalam Pasal 1 angka (1) juncto Pasal 3
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 (selanjutnya disebut UUTPPU), yang
menyebutkan bahwa pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer,
membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke
luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud
untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah
olah menjadi harta kekayaan yang sah.
Pada dasarnya rumusan tindak pidana pencucian uang dalam UUTPPU dapat
dibedakan atas 2 (dua) kriteria yaitu tindak pidana pencucian uang itu sendiri
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 6 UUTPPU, dan tindak pidana yang
berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam Pasal 8
dan Pasal 9 UUTPPU. Mengenai sanksi
pidana kejahatan pencucian uang diatur dalam Pasal 13 UUTPPU. Sementara itu, UUTPPU juga mengatur tentang
pembentukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
2. Kegiatan dan pelaku tindak pidana pencucian uang
Pencucian uang sebagai
tindak pidana yang terorganisir dan kejahatan transnasional melibatkan beberapa
pihak yang terlibat dan mempunyai tugas masing-masing. Biasanya organisasi
seperti ini disebut dengan sindikat atau jaringan. Agar organisasi ini berjalan dengan sempurna
sesuai dengan rencana perlu adanya kerangka tertentu sebagai sarana. Beberapa
literatur yang membahas pencucian uang mengemukakan bahwa kegiatan pencucian
uang mempunyai kerangka, model, modus
operandi, instrumen, metode, tahapan serta
pelaku tertentu dalam kegiatan
kejahatan merupakan satu paket..
Sarana-sarana ini menjadi pedoman melakukan pencucian uang sehingga untuk
melakukan pencucian uang dapat dipilih dari beberapa alternatif.
3. Model pencucian uang
Schaap, sebagaimana dikutip oleh Munir Fuady
mengemukakan bahwa terdapat beberapa
model untuk melakukan tindak pidana
pencucian uang, yaitu :
a.
Model
dengan operasi Chase. Model ini menyimpan uang di bank di bawah ketentuan
sehingga bebas dari kewajiban lapor transaksi keuangan (Non Currency Transaction Reports) dan melibatkan bank luar negeri
dengan memanfaatkan tax haven.
b.
Model
pizza connection. Model ini memanfaatkan sisa uang yang
ditanam di bank untuk mendapatkan konsesi Pizza, dan melibatkan negara tax
haven dengan memanfaatkan ekspor fiktif.
c.
Model
La Mina. Model ini memanfaatkan
pedagang grosir emas dan permata dalam
negeri dan luar negeri.
d.
Model
dengan penyelundupan uang kontan ke negara lain. Model ini mempergunakan
konspirasi bisnis semu dengan sistem bank paralel.
e.
Model
dengan melakukan perdagangan saham di Bursa Efek.Model ini melakukan kerja sama
dengan lemabaga keuangan yang bergerak di bursa efek.
Ada beberapa modus
operandi pencucian uang antara lain : kerjasama penanaman modal, transfer ke luar negeri, kredit bank Swiss, usaha
tersamar di dalam negeri, perjudian, penyamaran dokumen, atau rekayasa pinjaman
luar negeri. Sementara itu, Siahaan
mengemukakan 3 (tiga) metode yang digunakan dalam melakukan pencucian uang yaitu :
1.
Buy and Sell Conversions, Metode ini dilakukan melalui transaksi
barang dan jasa. Selisih harga yang dibayar kemudian dicuci melalui transaksi
bisnis. Barang atau jasa dapat diubah
menjadi hasil yang legal melalui rekening pribadi atau perusahaan yang
ada di suatu bank.
2.
Offshore Conversions, dalam
hal ini uang hasil kejahatan dikonversi ke dalam wilayah yang merupakan tempat
yang sangat menyenangkan bagi penghindaran pajak (tax heaven money laundering centers) untuk kemudian didepositokan
di bank yang berada di wilayah tersebut.
3.
Legitimate Business Conversions. Metode ini dilakukan melalui kegiatan bisnis yang sah sebagai cara
pengalihan atau pemanfaatan hasil kejahatan.
Uang tersebut kemudian dikonversi
melalui transfer, cek atau alat pembayaran
lain untuk disimpan di rekening bank atau ditransfer kemudian ke
rekening bank lainnya melalui fasilitas internet banking. Biasanya
pelaku bekerja sama dengan perusahaan yang rekeningnya dapat digunakan sebagai terminal untuk menampung uanghasil
kejahatan.
Di
samping itu,
terdapat 8 (delapan) Instrumen yang
dipergunakan dalam tindak pidana pencucian uang. yaitu :
1.
Bank
dan Lembaga Keuangan lainnya
2.
Perusahaan
Swasta
3.
Real
estate
4.
Deposit
Taking Institution dan Money Changer
5.
Institusi
Penanaman Uang Asing
6.
Pasar
Modal dan Pasar uang. Pasar uang tidak
mempunyai tempat fisik seperti pasar modal. Pasar uang memperdagangkan surat
berharga pemerintah, sertifikat deposito,surat perusahaan seperti aksep, dan
wesel. Lembaga- lembaga yang aktif dalam pasar uang adalah bank komersial, merchant banks, bank dagang, penyalur
uang, dan bank sentral.
7.
Emas
dan Barang Antik
8.
Kantor
konsultan keuangan
Tindak pidana pencucian
uang dilakukan dalam beberapa tahapan sebagai berikut ; Placement, yaitu
menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan
(financial system) atau upaya
menempatkan uang giral (cheque, weselbank, sertifikat deposito,) kembali ke
dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan; selanjutnya proses Layering,
yaitu tindakan mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil
ditempatkan pada penyedia jasa keuangan (terutama bank) sebagai hasil upaya
penempatan (placement ) ke penyedia
jasa keuangan yang lain, biasanya dilakukan melalui proses transfer dengan
menggunakan fasilitas internet banking.
melalui layering, sulit diketahui asal-usul harta kekayaan tersebut;
kemudian dilakukan proses Integration, yaitu penggunaan harta kekayaan
yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk ke dalam sistem
keuangan melalui penempatan atau
transfer, sehingga seolah-olah menjadi harta
kekayaan halal (clean money)
untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan
kejahatan.
Pencucian uang sebagai
kejahatan terorganisir dilakukan oleh orang yang menguasai dunia penyedia jasa
keuangan baik bank maupun non bank. Pencucian uang merupakan kejahatan kerah
putih (white collar crime). Kejahatan kerah putih tidak ada rumusan yang
jelas baik dari sisi kriminologi maupun dalam perundang-undangan. Pergerakan
kejahatan kerah putih sangat luas yang dapat meliputi perekonomian, keuangan
dan biasanya dilakukan secara terorganisir (organized
crime).
Kejahatan kerah putih
dilakukan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi mulai dari manual hingga extra sophisticated atau super canggih
yang memasuki dunia maya (cyberspace)
sehingga kejahatan kerah putih dalam bidang pencucian uang disebut dengan cyber laundering merupakan bagian dari cyber crime yang didukung oleh
pengetahuan tentang bank, bisnis, electronic
banking yang cukup.
Walaupun realisme hukum
adalah suatu kepastian, namun realitas hukum saat ini justru adalah
ketidakpastian dalam penegakan hukum.
Hal ini terlihat pada beragam tafsir hukum yang mengatur kasus tindak
pidana pencucian uang (money laundering) melalui internet ini.
Pencegahan atau upaya preventif dan upaya represif terhadap kejahatan merupakan
bagian dari politik kriminal, sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi
dasar dan reaksi terhadap pelanggaran hukum, termasuk tindak pidana pencucian
uang.
F. Metode Penelitian
Pada penelitian ini,
Peneliti menggunakan metode-metode sebagai berikut :
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian yang dilakukan bersifat
deskriptif analitis yaitu menggambarkan secara sistematis fakta-fakta dan permasalahan hukum yang diteliti
sekaligus menganalisis peraturan perundang-undangan yang berlaku, dihubungkan
dengan teori hukum dan praktis pelaksanaannya, berupa data sekunder bahan hukum
primer antara lain Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
(selanjutnya disebut KUHAP), Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang, kemudian data sekunder bahan hukum sekunder yaitu pendapat para ahli
hukum yang berkaitan dengan yurisdiksi tuntutan jaksa atas tindak pidana pencucian
uang (money laundering) melalui internet sebagai kejahatan transnasional
serta data sekunder bahan hukum tertier seperti kamus hukum.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan
adalah metode pendekatan yuridis normatif, dalam hal ini menguji dan
mengkaji data sekunder yang berkaitan
dengan yurisdiksi tuntutan jaksa atas tindak pidana pencucian uang (money
laundering) melalui internet sebagai kejahatan transnasional, pada tahap
ini dilakukan pula penafsiran hukum secara gramatikal yaitu menafsirkan kata
atau kalimat dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
yurisdiksi tuntutan jaksa dan tindak pidana pencucian uang (money
laundering) melalui internet sebagai kejahatan transnasional, penafsiran
hukum secara sistematis dengan
memperhatikan keterkaitan antara ketentuan yang satu dengan ketentuan lainnya,
baik dalam satu peraturan atau peraturan lainnya, penafsiran hukum secara
otentik yang dapat dilihat langsung pada penjelasan peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan, serta penafsiran hukum secara ekstensif
dengan cara memperluas arti kata dalam suatu ketentuan peraturan
perundang-undangan tertentu.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pada penelitian ini dilakukan teknik pengumpulan
data dengan beberapa cara yaitu :
a.
Penelitian
Kepustakaan (library research), dalam
hal ini Peneliti melakukan penelitian terhadap data sekunder bahan hukum primer
seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
(selanjutnya disebut KUHAP), Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang, kemudian data sekunder bahan hukum sekunder yaitu pendapat para ahli yang berkaitan
dengan tindak pidana pencucian uang (money laundering) melalui internet
sebagai kejahatan transnasional serta data sekunder bahan hukum tertier seperti
kamus hukum.
b.
Penelitian
Lapangan (field research), untuk
menunjang dan melengkapi studi kepustakaan, maka Peneliti melakukan penelitian
lapangan, antara lain melakukan wawancara terstruktur dengan pihak kepolisian,
kejaksaan, pihak perbankan serta browsing melalui internet.
4.
Metode Analisis Data
Seluruh data yang diperoleh dianalisis secara
yuridis kualitatif, maksudnya bahwa analisis dilakukan dengan memperhatikan
hierarki peraturan perundang-undangan
agar peraturan yang satu tidak bertentangan dengan peraturan lainnya,
serta tercapainya kepastian hukum.
5. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di beberapa tempat seperti
: Perpustakaan Fakultas Hukum UNIKOM, Perpustakaan Hukum UNPAD, Kepolisian,
Kejaksaan Negeri, Pihak perbankan serta beberapa website dalam internet.
G.
Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan
disajikan secara sistematis, sebagai berikut :
BAB
I : PENDAHULUAN
Pada bab ini dijelaskan mengenai latar
belakang, identifikasi masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,
perangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN
TEORITIS TENTANG YURISDIKSI TUNTUTAN DAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
MELALUI INTERNET
Pada bab ini diuraikan mengenai
aspek-aspek hukum yurisdiksi tuntutan jaksa dan teori-teori tindak pidana
pencucian uang melalui internet
BAB III : YURISDIKSI TUNTUTAN
ATAS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
MELALUI INTERNET
Pada bab ini diuraikan mengenai proses
pencucian uang melalui internet di beberapa negara, dan proses penuntutan atas
tindak pidana pencucian uang melalui internet
BAB IV : ANALISIS HUKUM TENTANG YURISDIKSI
TUNTUTAN JAKSA ATAS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
MELALUI INTERNET BERDASARKAN HUKUM ACARA PIDANA, UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003 DAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 11 TAHUN 2008
Pada bab ini, dianalisis mengenai yurisdiksi tuntutan atas tindak pidana
pencucian uang melalui internet serta
tindakan hukum yang dapat dilakukan terhadap pelaku tindak pidana
pencucian uang melalui internet sebagai kejahatan transnasional
BAB V : SIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini diuraikan mengenai
simpulan dan saran
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG
YURISDIKSI TUNTUTAN DAN TINDAK
PIDANA PENCUCIAN UANG MELALUI INTERNET
A.
Aspek Hukum Yurisdiksi Tuntutan jaksa
Berdasarkan Pasal 1 ayat 1
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 dimaksud dengan Jaksa adalah pejabat
fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai
Jaksa Penuntut Umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang. Sementara
itu, berdasarkan Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Penuntut Umum
adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penuntutan
dan melaksanakan penetapan hakim, dan menunjuk juga pada Pasal 6 a dan Pasal 6
b KUHAP.
Adanya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tersebut maka dapat dikatakan bahwa
pengertian jaksa menyangkut jabatan, sedangkan Penuntut Umum menyangkut fungsi.
Kejaksaan termasuk salah satu badan
yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang dasar
1945. Untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia
sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni yang
dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun.
Oleh karena itu, pembaharuan Undang-Undang Kejaksaan perlu dilakukan dengan
membentuk Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia.
Pada Pasal 30 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 disebutkan bahwa
kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penuntutan; melaksanakan
penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap; melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan,dan keputusan lepas bersyarat; melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk
itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang
dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik
Sementara itu, dalam Pasal 14 KUHAP
disebutkan bahwa Penuntut Umum mempunyai wewenang menerima dan memeriksa berkas
perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu, mengadakan
prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan
ketentuan pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka
penyempurnaan penyidikan dari penyidik; memberikan perpanjangan penahanan,
melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan
setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; membuat surat dakwaan; melimpahkan perkara ke pengadilan;
menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu
perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun
kepada saksi, untuk dating pada sidang yang telah ditentukan; melakukan
penuntutan; menutup perkara demi kepentingan hukum; mengadakan tindakan lain
dalamlingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan
undang-undang ini; melaksanakan penetapan hakim.
Di samping tugas dan wewenang
kejaksaan di bidang pidana yang tersebut dalam pasal 30 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 diatas, pada pasal 32 juga disebutkan bahwa kejaksaan dapat
diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya, kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan
penegak hukum dan keadilan serta badan negara/instansi lainnya. Selain itu
kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi
pemerintah lainnya, sesuai dengan bunyi pasal 33 dan pasal 34 Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Pasal 1 butir 7 KUHAP, menyatakan
bahwa penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana
ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh
hakim di sidang pengadilan.
Penuntutan adalah wewenang Jaksa/Penuntut Umum, yang berdasarkan yang diatur
dalam pasal 1 butir 6 KUHAP juncto pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004. Menuntut seseorang terdakwa di
muka hakim berarti menyerahkan perkara seseorang terdakwa dengan berkas perkara
kepada hakim dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan kemudian memutus
perkara pidana itu kepada terdakwa.
Jaksa Penuntut Umum melakukan penuntutan berdasarkan hasil penyidikan
perkara. Petunjuk yang disampaikan jaksa penuntut umum dalam rangka
penyempurnaan penyidikan oleh penyidik tersebut yang dikenal dengan proses Pra
Penuntutan (Preprosecution). Tugas jaksa
dalam melakukan Pra Penuntutan diatur dalam pasal 138 ayat (1) dan ayat (2)
KUHAP adalah :
1.
melakukan
penelitian berkas perkara dan memberikan petunjuk guna melengkapi berkas
perkara;
2.
pemantauan
perkembangan penyidikan;
3.
penelitian
ulang berkas perkara;
4.
penelitian
tersangka dan barang bukti pada tahap penyerahan tanggung jawab atas tersangka
dan barang bukti;
5.
serta
pemeriksaan tambahan, dan lain-lain
Pada Bab XV KUHAP mengenai penuntutan, Pasal 137 menyatakan bahwa penuntut umum
berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu
tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan
yang berwenang mengadili. Penuntut umum menentukan kelengkapan suatu perkara hasil penyidikan untuk
selanjutnya dilimpahkan ke pengadilan.
Hal ini diatur dalam pasal 139 KUHAP.
Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan penelitian berkas perkara difokuskan
terhadap kelengkapan formil dan kelengkapan materiil, yaitu :
1.
Kelengkapan
formil, yakni kelengkapan administrasi teknis justisial yang terdapat pada setiap
berkas perkara sesuai dengan keharusan yang harus dipenuhi oleh ketentuan hukum
yang diatur dalam Pasal 121 dan Pasal 75 KUHAP, termasuk semua ketentuan
kebijaksanaan yang telah disepakati oleh instansi penegak hukum dan yang telah
melembaga dalam praktek penegakan hukum;
2.
Kelengkapan
materiil, yakni kelengkapan informasi, data, fakta dan alat bukti yang
diperlukan bagi kepentingan pembuktian. Kelengkapan materiil ialah perbuatan
materiil yang dilakukan tersangka antara lain:
a.
Fakta-fakta yang dilakukan tersangka.
b.
Unsur
tindak pidana dari perbuatan materiil yang dilakukan.
c.
Cara
tindak pidana dilakukan.
d.
Waktu
dan tempat tindak pidana dilakukan.(Tempus Delictie dan Locus Delictie)
Selanjutnya menurut Pasal 140 ayat (1)
KUHAP, dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat
dilakukan penuntutan, dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan. Jika
menurut pertimbangan penuntut umum suatu perkara tidak terdapat cukup bukti
atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, dan perkara
ditutup demi hukum maka penuntut umum dapat memutuskan untuk menghentikan
penuntutan melalui surat ketetapan yang diatur dalam Pasal 140 ayat (2) a
KUHAP.
Pada penuntutan, dikenal 2 asas yaitu
:
1.
Asas
Legalitas, yaitu asas yang mewajibkan kepada penuntut umum untuk melakukan
penuntutan terhadap seseorang yang melanggar peraturan hukum pidana. Asas ini
merupakan penjelmaan dari asas equality before the Law.
2.
Asas
Oportunitas, yaitu asas yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk
tidak melakukan penuntutan terhadap seseorang yang melanggar peraturan hukum
pidana denga jalan mengesampingkan perkara yang sudah ada terang pembuktiannya
untuk kepentingan umum. Pada KUHAP, asas ini dikenal dengan pengesampingan
perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung. Hal ini
dinyatakan dalam penjelasan resmi Pasal 77 KUHAP bahwa penghentian penuntutan
tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi
wewenang Jaksa Agung. KUHAP mengakui eksistensi perwujudan asas oportunitas,
sehingga perwujudan asas oportunitas tidak perlu dipermasalahkan, mengingat
dalam kenyataannya perundang-undanga positif di Indonesia, yaitu penjelasan
resmi pasal 77 KUHAP dan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan RI pasal 35 huruf c secara tegas mengatakan bahwa Jaksa Agung
mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
Maksud dari tujuan undang-undang
memberikan kewenangan pada Jaksa Agung tersebut, adalah untuk menghindarkan
timbulnya penyalahgunaan kekuasaan dalam hal pelaksanaan asas oportunitas,
sehingga dengan demikian satu-satunya pejabat negara yang diberi wewenang
melaksanakan asas oportunitas adalah Jaksa Agung. Menurut penjelasan Pasal 35 huruf c UU No.16
Tahun 2004, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah
B.
Teori-Teori Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Tindak pidana atau strafbaar
feit menurut Profesor Simons adalah suatu tindakan melanggar hukum yang
telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah
dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
Profesor Simons merumuskan tindak pidana seperti diatas adalah karena :
1.
Untuk adanya suatu strafbaar feit itu diisyaratkan
bahwa harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh
undang-undang, dalam hal ini pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban
semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
2.
Agar sesuatu itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut
harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dalam
undang-undang.
3.
Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap
larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan
suatu tindakan melawan hukum
Setiap tindak pidana yang
terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) meliputi unsur-unsurnya,
yang dibagi menjadi dua macam yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur
subjektif adalah unsur yang melekat pada diri pelaku atau yang berhubungan
dengan diri pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang
terkandung di dalam hatinya.
Unsur subjektif ini terdiri dari :
- hal dapat dipertanggungjawabkannya seseorang
terhadap perbuatan yang telah dilakukan;
- kesalahan seseorang;
Sementara itu, unsur objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan
keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari
pelaku itu harus dilakukan. Dikatakan unsur objektif, jika unsur tersebut
terdapat diluar si pembuat yang dapat berupa :
1.
suatu perbuatan, perbuatan mana dapat berupa berbuat
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
2.
suatu akibat
3.
masalah-masalah, keadaan-keadaan, yang semuanya itu
dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang
Tindak pidana pencucian uang merupakan salah satu tindak pidana
sebagaimana telah diuraikan di atas. Pada
tingkat internasional, ada suatu konvensi the
United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and
Psycotropic Substances of 1988, yang biasa disebut dengan the Vienna Convention, disebut juga UN Drug
Convention 1988. Konvensi ini mewajibkan para anggotanya untuk menyatakan
pidana terhadap tindakan tertentu yang berhubungan dengan narkotika dan
pencucian uang (money laundering).
Berdasarkan konvensi ini, pemerintah Indonesia telah meratifikasinya dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997. Implementasi ratifikasi ini dilakukan melalui
pembuatan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang menyatakan bahwa pencucian uang (money
laundering) merupakan suatu
tindak pidana.
Selanjutnya Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003. Konsideran Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
jelas menyatakan bahwa pencucian uang bukan saja merupakan kejahatan nasional
tetapi juga kejahatan transnasional, oleh karena itu harus diberantas, antara
lain dengan cara melakukan kerja sama regional atau internasional melalui forum
bilateral atau multilateral. Sementara
itu, Konsideran Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 menyatakan bahwa agar upaya
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat berjalan efektif, maka Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 perlu disesuaikan dengan
perkembangan hukum pidana tentang pencucian uang dan standar
internasional. Kriminalisasi tindak
pidana berpedoman kepada sifat hukum pidana, yaitu clarity (jelas), certainty (pasti),
proportion (terukur), speedy (cepat) dan prevention (bersifat mencegah).
Berdasarkan Pasal 1 angka
(1) juncto Pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 (selanjutnya disebut
UUTPPU), menyebutkan bahwa pencucian uang adalah perbuatan menempatkan,
mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan,
menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas
harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak
pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta
kekayaan sehingga seolah olah menjadi harta kekayaan yang sah. Pada dasarnya rumusan tindak pidana pencucian
uang dalam UUTPPU dapat dibedakan atas 2 (dua) kriteria yaitu tindak pidana
pencucian uang itu sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 6 UUTPPU,
dan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang
sebagaimana diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UUTPPU. Sanksi pidana kejahatan pencucian uang diatur
dalam Pasal 13 UUTPPU.
Untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian
uang, UU TPPU membentuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
suatu lembaga independen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. PPATK
pada dasarnya adalah unit intelijen keuangan (Financial Inteligent Unit/FIU).
PPATK dibentuk karena keharusan adanya keahlian khusus dalam memberantas tindak pidana pencucian
uang. Kewenangan PPATK, antara lain meminta dan menerima laporan dari penyedia
jasa keuangan, meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau
penuntutan atas tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada
penyidik atau penuntut umum.
Dalam rangka mendeteksi terjadinya tindak pidana
pencucian uang, PPATK berwenang menerima laporan, berupa:
1.
Laporan transaksi keuangan mencurigakan yang
disampaikan oleh penyedia jasa
keuangan (Pasal 1 angka 6 7 dan Pasal 13 UU TPPU);
2.
Laporan yang disampaikan oleh penyedia jasa
keuangan tentang transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah
kumulatif Rp 500 juta atau lebih (Pasal 1 angka 8 dan Pasal 13UU TPPU);
3.
Laporan yang disampakan oleh Direktorat Jenderal
Bea Cukai mengenai pembawaan uang tunai rupiah ke dalam atau ke luar wilayah
negara Republik Indonesia sejumlah Rp 100 juta atau lebih (Pasal 16 UU TPPU).
Selanjutnya dalam proses penegakan hukum, PPATK dapat
melakukan kerjasama serta membantu pihak penyidik dan penuntut umum dengan
informasi yang dimiliki dan kemampuan analisisnya.
Berdasarkan Keppres No.82 Tahun 2003, PPATK juga dapat menerima informasi dari
masyarakat yang terindikasi telah melakukan tindak pidana pencucian uang, atau
informasi dari pihak ketiga baik perorangan maupun entitas mengenai dugaan
tindak pidana pencucian uang oleh sesuatu pihak.
Pasal 8 UU TPPU menyebutkan bahwa Penyedia Jasa
Keuangan yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) UU TPPU, dipidana dengan pidana
denda paling sedikit Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Selain itu dalam Pasal 6 UU TPPU diatur pula bagi setiap orang yang menerima
atau menguasai : penempatan; pentransferan; pembayaran; hibah; sumbangan;
penitipan atau penukaran, harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).
Tindak pidana pencucian
uang tidak hanya dapat dilakukan secara konvensional, tetapi juga dapat
dilakukan melalui penyalahgunaan internet sebagai salah satu kemajuan teknologi
informasi, antara lain melalui layanan internet banking. Sifat money
laundering menjadi universal dan bersifat transnasional yakni
melintasi batas-batas yurisdiksi negara. Berarti pemahaman hukum pidana
terhadap kejahatan ini tidak lagi terkait dengan asas teritorial suatu negara
saja akan tetapi lebih dari satu hukum nasional yang dilanggar. Uang hasil dari
tindak pidana ini tidak saja disimpan atau dimanfaatkan dalam suatu lembaga
keuangan suatu negara asal, akan tetapi juga dapat ditransfer ke negara lain
dengan berbagai macam cara dan kepentingan, misalnya dengan cara pembayaran
yang dilakukan melalui bank secara elektronik (cyberpayment).. Kegiatan semacam ini melibatkan
lebih dari satu hukum pidana nasional.
Bank Indonesia menyebutkan bahwa tindak pidana penyuapan, korupsi,
perjudian, pemalsuan uang merupakan
pemicu money laundering.
Dengan demikian Money Laundering.dikatakan
sebagai kejahatan transnasional.
Kejahatan transnasional
mengandung pengertian bahwa kejahatan tersebut mengandung unsur asing,
maksudnya dalam pelaksanaan kejahatan itu melibatkan pihak-pihak dari negara
lain, yang terkadang merupakan sebuah jaringan kejahatan termaksud, dengan kata
lain kejahatan transnasional bersifat terorganisir dan merugikan masyarakat
internasional. Melihat sifat kejahatan
transnasional tersebut, maka tindak pidana pencucian uang sebagai kejahatan
transnasional ini tiada lain juga sebuah kejahatan yang termasuk dalam lingkup
hukum pidana internasional.
Hukum pidana internasional
sebagai disiplin hukum memiliki dan
telah memenuhi empat unsur sebagai berikut :
1. Asas hukum pidana internasional, dapat
dibedakan antara asas-asas hukum hukum yang bersumber pada hukum internasional
dan asas-asas hukum yang bersumber pada hukum pidana nasional. Asas-asas hukum yang bersumber pada hukum
internasional terdiri dari asas-asas yang bersifat umum seperti pacta sunt servanda
dan bersifat khusus seperti yang diungkapkan oleh Hugo Grotius yaitu asas au
dedere au punere yang berarti terhadap pelaku tindak pidana internasional
dapat dipidana oleh negara tempat locus delicti terjadi dalam batas
teritorial suatu negara tersebut atau diserahkan atau diekstradisi kepada
negara peminta yang memiliki yurisdiksi untuk mewakili pelaku tersebut. Selain itu, terdapat asas au dedere au
judicare yang berarti bahwa setiap negara berkewajiban untuk menuntut dan
mengadili pelaku tindak pidana internasional dan berkewajiban untuk melakukan
kerja sama dengan negara lain dalam menangkap, menahan dan menuntut serta
mengadili pelaku tindak pidana internasional sebagaimana dinyatakan oleh
Bassioni. Perbedaan kedua asas di atas terletak pada pemahaman
dan persepsi mengenai kedaulatan Negara, namun demikian kedua asas tersebut
tidak dapat dipisahkan dan saling mengisi.
Sementara itu, asas-asas hukum pidana internasional juga bersumber pada
asas-asas hukum pidana nasional yaitu
asas legalitas, asas territorial, asas nasionalitas aktif dan pasif, asas
universalitas, asas non retroaktif, asas ne bis in idem dan asas tidak berlaku surut.
2.
Kaidah-kaidah
hukum pidana internasional, meliputi semua
ketentuan dalam konvensi-konvensi internasional tentang kejahatan
internasional atau kejahatan transnasional, perjanjian-perjanjian
internasional, baik bilateral maupun multilateral mengenai kejahatan internasional
serta ketentuan lain mengenai tindak pidana internasional.
3.
Proses
dan penegakan hukum pidana internasional meliputi ketentuan hukum internasional
mengenai prosedur penegakan hukum pidana internasional.
4.
Objek
hukum pidana internasional adalah tindak pidana
internasional yang telah diatur dalam konvensi-konvensi internasional.
Pada perkembangannya,
Edward M. Wise, menyatakan bahwa pengertian hukum pidana internasional bukan
merupakan pengertian yang kaku dan pasti karena dalam pengertian luas meliputi
tiga topik sebagai berikut :
1.
Topik
pertama mengenai kekuasaan mengadili dari pengadilan negara tertentu terhadap
kasus-kasus yang mengandung unsur asing, termasuk diantaranya masalah ekstradisi.
2.
Topik
kedua mengenai prinsip-prinsip hukum publik internasional yang menetapkan
kewajiban pada negara-negara yang dituangkan dalam hukum pidana nasional atau
hukum acara pidana nasional negara yang bersangkutan yang bersumber dari
konvensi dan perjanjian internasional yang menyangkut masalah tindak pidana
pencucian uang.
3.
Topik
ketiga mengenai keutuhan pengertian hukum pidana internasional termasuk
instrument-instrumen yang mendukung penegakan hukum pidana internasional
tersebut.
Istilah kejahatan
transnasional menunjukan adanya kejahatan yang sebenarnya bersifat nasional
namun mengandung unsur asing atau lintas batas negara. Kejahatan itu sebenarnya terjadi dalam batas
wilayah suatu negara (nasional), tetapi dalam beberapa hal terkait kepentingan
negara-negara lain, sehingga tampak adanya dua atau lebih negara yang
berkepentingan atau terkait dengan kejahatan tersebut. Pada praktiknya terdapat banyak faktor yang
menyebabkan adanya kepentingan lebih dari satu negara dalam suatu kejahatan,
baik pelakunya, korbannya, tempat terjadinya kejahatan atau perpaduan unsur-unsur tersebut.
Ada beberapa dimensi yang
dapat dijadikan pedoman dalam menentukan bahwa suatu kejahatan itu merupakan
kejahatan transnasional, yakni :
1. Tempat
terjadinya kejahatan nasional di luar wilayah negara yang bersangkutan tetapi
menimbulkan akibat dalam wilayahnya, dalam hal ini ada kepentingan satu negara
atau lebih yang terkait dengan kejahatan
itu.
2. Korban
suatu kejahatan nasional tidak
semata-mata dalam wilayah negara itu sendiri tetapi juga terdapat di wilayah
negara lain atau di suatu tempat di luar wilayah negara.
3. Kejahatan
yang terjadi dalam wilayah suatu negara tetapi pelakunya adalah negara yang
bukan warganegaranya.
Selain itu, terdapat beberapa cara yang dapat
dilakukan untuk mengidentifikasi suatu kejahatan sebagai kejahatan
transnasional, yaitu
tempat terjadinya kejahatan, kewarganegaraan
pelaku dan atau korbannya, korban yang berupa harta benda bergerak dan
atau benda tidak bergerak milik pihak asing, Perpaduan antara butir 1,2 dan 3,
tersentuhnya nilai-nilai kemanusiaan universal, rasa keadilan dan kesadaran hukum
umat manusia
Pada proses penegakan hukum dalam menanggulangi
kejahatan transnasional tidak terlepas dari ketentuan hukum yang berlaku di
negara-negara tersebut serta penerapan beberapa asas-asas hukum pidana nasional
dari negara-negara yang pada dasarnya tidak berbeda antara satu dengan yang
lainnya, antara lain
:
1. Asas
legalitas, merupakan asas utama dalam hukum pidana nasional beberapa negara,
yang menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana apabila atas
perbuatan itu tidak atau belum diatur dalam suatu undang-undang pidana
nasional.
2. Asas
non-retroactive sebagai turunan asas
legalitas, yang menyatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan tidak dapat
diberlakukan terhadap perbuatan yang terjadi sebelum peraturan
perundang-undangan itu berlaku, atau dengan kata lain undang-undang tidak
berlaku surut.
3. Asas
culpabilitas, yang menyatakan bahwa seseorang hanya dapat dipidana apabila
kesalahannya telah dapat dibuktikan berdasarkan peraturan perundang-undangan
pidana yang didakwakan kepadanya melalui proses pemeriksaan oleh badan
peradilan yang memang memiliki wewenang untuk itu.
4. Asas
praduga tak bersalah (presumption of innocent), menegaskan bahwa
seseorang yang diduga melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana wajib
dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dapat dibuktikan berdasarkan suatu
putusan peradilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan pasti.
5. Asas
ne/no bis in idem, menyatakan bahwa orang yang telah diadili dan atau
dijatuhi hukuman yang telah memiliki kekuatan mengikat dan pasti oleh badan
peradilan yang berwenang atas suatu kejahatan atau tindak pidana yang
dituduhkan terhadapnya, tidak boleh diadili dan atau dijatuhi putusan untuk
kedua kalinya atau lebih atas kejahatan atau tindak pidana tersebut.
Asas-asas yang diuraikan
di atas, telah terkandung dalam ketentuan hukum pidana di Indonesia, termasuk
dalam ketentuan yang dapat diberlakukan terhadap tindak pidana pencucian uang
sebagai kejahatan transnasional. Pada
hukum pidana yang berlaku di Indonesia, asas legalitas termuat dalam Pasal 1
ayat (1) KUHP, asas non-retroactive dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP tentang asas
legalitas di atas, asas culpabilitas terdapat dalam Pasal 44 ayat (1), (2) dan
(3) KUHP, asas praduga tak bersalah termuat dalam Pasal 8 Undang-Undang Pokok Kekuasaan
Kehakiman, dan asas no/ne bis in idem terkandung dalam Undang-Undang Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
Sementara itu, dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
diberlakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 juncto Undang-Undang
Nomor 73 Tahun 1958, terdapat beberapa asas yang berkaitan dengan penerapan
hukum pada kejahatan transnasional antara lain : Pasal 2 sampai dengan Pasal 9
KUHP mengenai lingkup berlakunya hukum pidana terutama Pasal 9 KUHP yang
menetapkan bahwa berlakunya hukum pidana nasional dibatasi oleh ketentuan hukum
internasional.
Kejahatan terorganisir
adalah suatu jenis kejahatan kerah putih yang dilakukan oleh para mafia dalam
suatu jaringan yang terorganisir rapi pada suatu organisasi bawah tanah, baik
mafia preman maupun mafia intelek yang melakukan berbagai jenis kejahatan
dengan tujuan akhir yaitu mencari uang, baik dilakukan melalui bisnis gelap
atau terang-terangan.
Kejahatan terorganisir (organized crime) harus dibedakan dengan
kejahatan organisasi (organizational crime), karena yang dimaksud dengan
organizational crime adalah kejahatan yang dilakukan oleh organisasi,
baik berbentuk badan hukum atau non badan hukum, sedangkan organized crime
adalah tindakan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang memiliki kegiatan
utama yang berlawanan dengan hukum (pidana) dengan tujuan mencari keuntungan
secara ilegal dengan menggunakan kekuasaan yang tidak sah, melakukan pemerasan,
bahkan manipulasi finansial.
Contoh kejahatan terorganisir antara lain pencucian uang, mafia
pembobolan bank, peredaran gelap narkoba,
dan sebagainya. Oleh karena itu,
tindak pidana pencucian uang juga berkaitan dengan kejahatan terorganisir dan melibatkan lebih dari suatu negara
sehingga dianggap sebagai kejahatan transnasional.
Berbicara mengenai kejahatan
transnasional, tentu berkaitan pula dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana. Pada kasus-kasus yang merupakan kejahatan
transnasional diperlukan adanya kerja sama
antarnegara untuk mempermudah penanganan proses penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan atas suatu masalah pidana yang timbul baik di
Negara Peminta maupun Negara Diminta.
Untuk memberikan dasar hukum yang kuat mengenai kerja sama antarnegara
dalam bentuk bantuan timbal balik dalam masalah pidana diperlukan perangkat
hukum yang dapat dijadikan pedoman bagi Pemerintah Republik Indonesia untuk
membuat perjanjian dan melaksanakan permintaan bantuan kerja sama dari negara
asing. Perangkat hukum tersebut berupa undang-undang yang mengatur beberapa
asas atau prinsip, prosedur dan persyaratan permintaan bantuan, serta proses
hukum acaranya. Asas atau prinsip
bantuan timbal balik dalam masalah pidana dalam Undang-Undang di atas
didasarkan pada ketentuan hukum acara pidana, perjanjian antar negara yang
dibuat, serta konvensi dan kebiasaan internasional. Bantuan timbal balik dalam
masalah pidana dapat dilakukan berdasarkan suatu perjanjian dan jika belum ada
perjanjian, maka bantuan dapat dilakukan atas dasar hubungan baik. Undang-Undang ini tidak memberikan wewenang
untuk mengadakan ekstradisi atau penyerahan orang, penangkapan atau penahanan
dengan maksud untuk ekstradisi atau penyerahan orang, pengalihan narapidana,
atau pengalihan perkara.
Di samping itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 termaksud
mengatur secara rinci mengenai permintaan bantuan timbal balik dalam masalah
pidana dari Pemerintah Republik Indonesia kepada Negara Diminta dan sebaliknya
yang antara lain menyangkut pengajuan permintaan bantuan, persyaratan
permintaan, bantuan untuk mencari atau mengindentifikasi orang, bantuan untuk
mendapatkan alat bukti, dan bantuan untuk mengupayakan kehadiran orang.
BAB III
YURISDIKSI TUNTUTAN ATAS
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
MELALUI INTERNET
A. Pengertian
internet (Cyber Space)
Untuk membahas mengenai Cyber Law, terlebih dahulu perlu
dijelaskan satu istilah Cyber Space
(ruang maya) yang erat kaitannya dengan Cyber
Law, karena Cyber Space lah yang
akan menjadi objek atau concern dari Cyber Law.
Istilah Cyber Space pertama kali diperkenalkan oleh William Gibson seorang
penulis fiksi ilmiah (Science fiction)
dalam novelnya yang berjudul Neuromancer.
Istilah yang sama kemudian diulanginya dalam novel yang lain yaitu Virtual
Light.
Menurut Gibson, cyberspace “…was a consensual
hallucination that felt and looked like a physical space but actually was a
computer-generated construct representing abstract data”.
Pada perkembangan selanjutnya seiring
dengan meluasnya penggunaan komputer istilah ini kemudian dipergunakan untuk
menunjuk sebuah ruang elektronik (electronic
space), yaitu masyarakat virtual yang terbentuk melalui komunikasi jaringan
komputer (interconnected computer
networks). Pada saat ini, cyberspace
sebagaimana dikemukakan oleh Cavazos dan Morin adalah : “…represents a vas array of computer systems accessible from remote
physical locations”.
Aktivitas yang potensial untuk
dilakukan di cyberspace tidak dapat
diperkirakan secara pasti. Sebab, kemajuan teknologi informasi berjalan terlalu
cepat dan sulit diprediksi. Namun, saat ini kita mengenal ada beberapa
aktivitas utama yang sudah dilakukan di cyberspace
seperti Commercial On-line Services,
Bulletin Board System, Conferencing
Systems, Internet Relay Chat, Usenet, Email list, dan entertainment.
Oleh karena itu orang kemudian
menyimpulkan bahwa cyberspace itu
tidak lain adalah Internet. Dengan karakteristik seperti ini kemudian ada juga
yang menyebut cyber space dengan
istilah virtual community (masyarakat
maya) atau virtual world (dunia maya).
Dengan kondisi virtual (maya) itu
orang kemudian berasumsi bahwa aktivitas di Internet itu tidak bisa dilepaskan
dari manusia dan akibat hukumnya juga mengenai masyarakat yang ada di physical world (dunia maya), akan tetapi
Virtual Community memiliki
kompleksitas karakteristik yang aneh, sebab semua aktifitas yang di lakukan
atas dasar ketidak tahuan, dengan demikian dalam komunikasi orang tidak dapat
mengetahui identitas lawan, sehingga kiranya kawan ternyata menyerang, kiranya
minta amal ternyata merampok dan kiranya partner
ternyata penjarah bertangan dingin. Maka muncullah kemudian pemikiran mengenai
perangkat hukum yang mengatur komunitas maya tersebut, sebab tanpa aturan yang
jelas dan tegas, kejahatan demi kejahatan itu akan semakin meresahkan dan
merugikan orang banyak (masyarakat).
Perbedaan yang kemudian muncul adalah
apakah kita akan memakai hukum konvensional (The
existing law) atau kah menciptakan hukum baru yang khusus mengatur masalah
ini. Salah satu kesulitan apabila memakai sistem hukum tradisional disebabkan
karena dua hal yaitu :
1. Karakteristik aktivitas di Internet
yang bersifat lintas-batas dan,
2. Sistem hukum tradisional (The existing law) yang justru bertumpu
pada batasan - batasan teritorial maka dianggap tidak cukup memadai untuk menjawab
persoalan - persoalan hukum yang muncul akibat aktivitas di Internet.
Paling tidak muncul tiga kelompok yang
masih memperdebatkan persoalan tersebut, yakni :
1. Kelompok Pertama, secara total menolak
setiap usaha untuk membuat aturan hukum bagi aktivitas - aktivitas di Internet
yang didasarkan atas sistem hukum tradisional/konvensional. Mereka beralasan
bahwa Internet yang layaknya sebuah “Surga Demokrasi” (democratic paradise) yang menyajikan wahana bagi adanya
lalu-lintas ide secara bebas dan terbuka. Dengan pendirian seperti ini, maka
Internet harus diatur sepenuhnya oleh sistem hukum baru yang didasarkan atas
norma - norma hukum yang baru pula. Kelemahan utama dari kelompok ini adalah
mereka menafikan fakta, meskipun aktivitas Internet itu sepenuhnya beroperasi
secara virtual, namun masih tetap melibatkan masyarakat di dunia nyata.
2. Kelompok Kedua, berpendapat bahwa
penerapan sistem hukum tradisional untuk mengatur aktivitas - aktivitas di
Internet sangat mendesak untuk dilakukan. Dengan pertimbangan pragmatis yang
didasarkan atas meluasnya akibat yang ditimbulkan oleh Internet. Untuk itu
semua yang paling mungkin adalah mengaplikasikan sistem hukum tradisional yang
saat ini berlaku. Kelemahan utama kelompok ini merupakan kebalikan dari
kelompok pertama, yaitu mereka menafikan fakta bahwa aktivitas - aktivitas di
Internet menyajikan realitas dan persoalan baru yang merupakan fenomena khas
masyarakat informasi yang tidak sepenuhnya dapat direspon oleh sistem hukum
tradisional.
3. Kelompok Ketiga, tampaknya merupakan
sintesis dari kedua kelompok di atas. Mereka berpendapat bahwa aturan hukum
yang akan mengatur mengenai aktivitas di Internet harus dibentuk secara
evolutif dengan cara menerapkan prinsip - prinsip common law yang dilakukan secara hati - hati dan dengan
menitikberatkan kepada aspek - aspek tertentu dalam aktivitas cyber space yang menyebabkan kekhasan
dalam transaksi - transaksi di Internet. Kelompok ini memiliki pendirian yang
cukup moderat dan realistis, karena memang ada beberapa prinsip hukum
tradisional yang masih dapat merespon persoalan hukum yang timbul dari
aktivitas Internet disamping juga fakta.
Cyber
Law didasarkan atas
satu konstruksi hukum yang mensintesiskan prinsip - prinsip hukum tradisional
dengan norma - norma hukum baru yang terbentuk akibat dari aktivitas -
aktivitas manusia lewat Internet.
Secara akademis, terminologi cyber law tampaknya belum menjadi
terminologi yang sepenuhnya dapat diterima. Hal ini terbukti dengan dipakainya
terminologi lain untuk tujuan yang sama seperti The law of the Internet, Law and the Information Superhighway,
Information Technology Law, The Law of Information, dan sebagainya.
Di Indonesia sendiri tampaknya ada
satu istilah yang disepakati atau paling tidak hanya sekedar terjemahan atas
terminologi cyber law. Sampai saat
ini ada beberapa istilah yang dimaksudkan sebagai terjemahan dari cyber law, misalnya, Hukum Sistem
Informasi, Hukum Informasi, dan Hukum Telematika (Telekomunikasi dan
Informatika). Istilah (Indonesia) manapun yang akan dipakai tidak menjadi
persoalan. Yang penting, didalamnya memuat atau membicarakan mengenai aspek -
aspek hukum yang berkaitan dengan aktivitas manusia di Internet. Oleh karena
itu dapat dipahami apabila sampai saat ini di kalangan peminat dan pemerhati
masalah hukum yang berkaitan dengan Internet di Indonesia masih menggunakan
istilah cyber law.
Lahirnya pemikiran untuk membentuk
satu aturan hukum yang dapat merespon persoalan - persoalan hukum yang muncul
akibat dari pemanfaatan Internet terutama disebabkan oleh sistem hukum
tradisional yang tidak sepenuhnya mampu merespon persoalan - persoalan tersebut
dan karakteristik dari Internet itu sendiri. Hal ini pada gilirannya akan
melemahkan atau bahkan mengusangkan konsep - konsep hukum yang sudah mapan
seperti kedaulatan dan yuridiksi.
Kedua konsep itu berada pada posisi
yang dilematis ketika harus berhadapan dengan kenyataan bahwa para pelaku yang
terlihat dalam pemanfaatan Internet tidak lagi tunduk pada batasan
kewarganegaraan dan kedaulatan suatu negara. Dalam kaitan ini Aron Mefford
seorang pakar cyberlaw dari Michigan State University sampai pada
kesimpulan bahwa dengan meluasnya pemanfaatan Internet sebenarnya telah menjadi
semacam paradigma shift dalam
menentukan jati diri pelaku suatu perbuatan hukum dari citizens menjadi netizens.
Dilema yang dihadapi oleh hukum
tradisional dalam menghadapi fenomena cyberspace
ini merupakan alasan utama perlunya membentuk satu regulasi yang cukup
akomodatif terhadap akibat pemanfaatan Internet. Aturan hukum yang akan
dibentuk itu harus diarahkan untuk memenuhi kebutuhan hukum (the legal needs) para pihak yang
terlibat dalam transaksi - transaksi lewat Internet. Untuk itu, kecenderungan
untuk menyetujui proposal dari Mefford
lebih kuat, yang mengusulkan Lex
Informatica (Independent Net Law) sebagai Foundations of Law on the Internet. Proposal Mefford ini tampaknya diilhami oleh pemikiran mengenai Lex Mercatoria yang merupakan satu
sistem hukum yang dibentuk secara evolutif
untuk merespon kebutuhan - kebutuhan hukum (the
legal needs) para pelaku transaksi dagang yang mendapati kenyataan sistem
hukum nasional tidak cukup memadai dalam menjawab realitas - realitas yang
ditemui dalam transaksi perdagangan nasional.
Dengan demikian maka cyber law dapat didefinisikan sebagai
seperangkat aturan yang berkaitan dengan persoalan - persoalan yang muncul
akibat dari pemanfaatan Internet.
Bagi Indonesia berbicara mengenai
urgensi cyber law di saat pemerintah
dan masyarakat dihadapkan kepada krisis yang bersifat multi dimensional
tentunya kedengaran sangat aneh dan mungkin saja di tuduh sebagai mengada ada. Namun, apabila melihat fakta meskipun
Indonesia tengah dirundung berbagai persoalan yang sangat rumit dan kompleks,
masyarakat Indonesia meskipun baru sebagian kecil sudah melibatkan diri dalam mainstream budaya masyarakat informasi.
Pemakaian Internet sekarang sudah hampir merata di kota - kota besar di
Indonesia dan dalam waktu yang tidak lama lagi, bukan tidak mungkin Internet
akan segera menjangkau sampai ke kota - kota kecil. Publikasi mengenai E-Commerce yang sangat gencar dilakukan
oleh On-line company sedikit banyak
telah membawa masyarakat kepada budaya masa depan.
Dilihat dari ukuran yang
menitikberatkan kepada skala prioritas yang dihadapi oleh pemerintah dan
masyarakat Indonesia saat ini maka cyber
law jelas tidak akan masuk dalam prioritas. Namun, apabila kita melihat
bahwa Internet sekarang sudah menjadi bagian penting dalam sektor - sektor
tertentu khususnya perdagangan misalnya, On-line
banking atau scripless trading
yang sekarang sudah diberlakukan di Bursa Efek Jakarta, pemerintah dan
masyarakat tidak bisa hanya berpikir dengan ukuran skala prioritas.
Dalam hal ini pemerintah dan
masyarakat khususnya para profesional dan perguruan tinggi harus berpikir preventif, directive, dan futuristik. Disamping di sektor
perdagangan, dalam level tertentu Internet telah memainkan peranan penting
dalam urusan politik khususnya dalam penggalangan opini publik di kalangan
menengah. Pihak luar negeri misalnya Australia dengan sangat cerdik telah memanfaatkan
Internet sebagai media yang ampuh dalam penggalangan opini publik dalam kasus
Timor-Timur. Apabila Indonesia tidak menaruh perhatian atas fenomena ini, maka
dikemudian hari Indonesia akan mendapati kenyataan transaksi - transaksi lewat
Internet yang sekarang sudah berlangsung akan berjalan tanpa suatu aturan yang
jelas.
Jelasnya, urgensi cyber law bagi Indonesia terletak pada keharusan Indonesia untuk
mengarahkan transaksi - transaksi lewat Internet saat ini agar sesuai dengan
standar etik dan hukum yang disepakati dan keharusan untuk meletakkan dasar
legal dan kultural bagi masyarakat Indonesia untuk masuk dan menjadi pelaku
dalam masyarakat informasi. Untuk menuju ke arah itu, maka dalam bidang hukum
pemerintah harus melakukan kebijakan sebagai berikut :
1. Menetapkan Prinsip-Prinsip Pembentukan dan
Pengembangan Cyber Law, antara lain
sebagai berikut :
a.
Melibatkan
berbagai unsur yang terkait; pemerintah, swasta, profesional, dan perguruan
tinggi;
b.
Memakai
pendekatan yang moderat (jalan tengah) untuk mensintesiskan antara prinsip
c.
prinsip
hukum tradisional dan norma - norma hukum baru yang akan dibentuk;
d.
Memperhatikan
keunikan dari cyberspace/Internet;
e.
Mendorong
adanya kerjasama internasional mengingat sifat Internet yang beroperasi secara
virtual dan lintas batas;
f.
Menempatkan
sektor swasta sebagai leader dalam persoalan - persoalan yang menyangkut
industri dan perdagangan;
g.
Pemerintah
harus mengambil peran dan tanggung jawab yang jelas untuk persoalan yang menyangkut
kepentingan publik;
h.
Aturan
hukum yang akan dibentuk tidak bersifat restriktif, melainkan harus bersifat
preventif, direktif, dan futuristik.
2. Melakukan pengkajian terhadap
perundang - undangan nasional yang memiliki kaitan baik langsung maupun tidak
langsung dengan munculnya persoalan - persoalan hukum akibat dari transaksi di
Internet.
B.
Proses Pencucian Uang Melalui Internet
Seiring perkembangan
teknologi dan informasi, menimbulkan dampak positif yaitu memberi kemudahan
bagi masyarakat untuk melakukan aktifitasnya melalui internet. Setiap orang dapat berhubungan dengan pihak
lain tanpa harus bertatap muka, sehingga dunia menjadi tanpa batas (borderless). Selain dampak positif terdapat pula dampak
negatif yang timbul dari perkembangan teknologi dan informasi ini yakni menjadi
sarana untuk melakukan perbuatan melanggar hukum baik secara perdata maupun
pidana. Tindak pidana pencucian uang merupakan salah satu kejahatan yang
dimungkinkan dapat dilakukan melalui internet sebagai wujud adanya perkembangan
teknologi dan informasi.
Ada beberapa model tindak
pidana pencucian uang, yaitu :
- Model
dengan operasi Chase. Model
ini menyimpan uang di bank di bawah
ketentuan sehingga bebas dari kewajiban lapor transaksi keuangan (Non Currency Transaction Reports)
dan melibatkan bank luar negeri dengan memanfaatkan tax haven.
- Model pizza connection. Model ini
memanfaatkan sisa uang yang ditanam di bank untuk mendapatkan konsesi
Pizza, dan melibatkan negara tax haven dengan memanfaatkan ekspor
fiktif.
- Model La Mina. Model ini memanfaatkan
pedagang grosir emas dan permata
dalam negeri dan luar negeri.
- Model
dengan penyelundupan uang kontan ke negara lain. Model ini mempergunakan
konspirasi bisnis semu dengan sistem bank paralel.
- Model
dengan melakukan perdagangan saham di Bursa Efek.Model ini melakukan kerja
sama dengan lemabaga keuangan yang bergerak di bursa efek.
Selain model tindak pidana
pencucian uang, terdapat beberapa modus operandi pencucian uang antara lain :
kerjasama penanaman modal, transfer ke
luar negeri, kredit bank Swiss, usaha tersamar di dalam negeri, perjudian,
penyamaran dokumen, atau rekayasa pinjaman luar negeri. Sementara itu, terdapat pula 3 (tiga) metode
yang digunakan dalam melakukan pencucian uang
yaitu :
1
Buy and Sell Conversions, Metode ini dilakukan melalui transaksi
barang dan jasa. Selisih harga yang dibayar kemudian dicuci melalui transaksi
bisnis. Barang atau jasa dapat diubah
menjadi hasil yang legal melalui rekening pribadi atau perusahaan yang
ada di suatu bank.
2
Offshore Conversions, dalam hal ini uang hasil kejahatan
dikonversi ke dalam wilayah yang merupakan tempat yang sangat menyenangkan bagi
penghindaran pajak (tax heaven money
laundering centers) untuk kemudian didepositokan di bank yang berada di
wilayah tersebut.
3
Legitimate Business Conversions. Metode ini dilakukan melalui kegiatan bisnis yang sah sebagai cara
pengalihan atau pemanfaatan hasil kejahatan.
Uang tersebut kemudian dikonversi
melalui transfer, cek atau alat pembayaran
lain untuk disimpan di rekening bank atau ditransfer kemudian ke
rekening bank lainnya melalui fasilitas internet banking. Biasanya
pelaku bekerja sama dengan perusahaan yang rekeningnya dapat digunakan sebagai terminal untuk menampung uanghasil
kejahatan.
Di
samping itu,
terdapat 8 (delapan) Instrumen yang
dipergunakan dalam tindak pidana pencucian uang. yaitu :
1.
Bank
dan Lembaga Keuangan lainnya
2.
Perusahaan
Swasta
3.
Real
estate
4.
Deposit
Taking Institution dan Money Changer
5.
Institusi
Penanaman Uang Asing
6.
Pasar
Modal dan Pasar uang. Pasar uang tidak
mempunyai empat fisik seperti pasar modal. Pasar uang memperdagangkan surat
berharga pemerintah, sertifikat deposito,surat perusahaan seperti aksep, dan
wesel. Lembaga- lembaga yang aktif dalam pasar uang adalah bank komersial, merchant banks, bank dagang, penyalur
uang, dan bank sentral.
7.
Emas
dan Barang Antik
8.
Kantor
konsultan keuangan
Tindak pidana pencucian
uang dilakukan dalam beberapa tahapan sebagai berikut ;
1
Placement, yaitu menempatkan uang tunai yang berasal
dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial system) atau upaya menempatkan uang giral (cheque,
weselbank, sertifikat deposito,) kembali ke dalam sistem keuangan, terutama
sistem perbankan;
2
Layering,
yaitu tindakan
mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil
ditempatkan pada penyedia jasa keuangan (terutama bank) sebagai hasil upaya
penempatan (placement ) ke penyedia
jasa keuangan yang lain, biasanya dilakukan melalui proses transfer dengan
menggunakan fasilitas internet banking.
melalui layering, sehingga sulit untuk mengetahui asal-usul harta
kekayaan tersebut;
3
Integration, yaitu penggunaan harta kekayaan yang
berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk ke dalam sistem
keuangan melalui penempatan atau
transfer, seolah-olah menjadi harta
kekayaan halal (clean money)
untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan
kejahatan.
Setelah melewati review yang dilakukan oleh
negara-negara yang tergabung dalam Financial
Action Task Force on Money Laundering (FATF), Indonesia pada bulan
Juni 2001 untuk pertama kalinya dimasukkan ke dalam NCCTs (Non-Cooperative Countries and
Territories). Predikat sebagai NCCTs diberikan kepada suatu
negara atau teritori yang dianggap tidak mau bekerja sama dalam upaya global
memerangi kejahatan pencucian uang (money laundering). Tindakan FATF
kepada Indonesia itu didasarkan atas beberapa pertimbangan yaitu belum adanya
peraturan perundang-undangan yang menyatakan pencucian uang sebagai tindak pidana,
ketidakjelasan pengaturan lembaga keuangan terutama lembaga keuangan non bank,
terbatasnya sumber daya yang dimiliki, serta minimnya kerjasama internasional
dalam upaya memerangi kejahatan pencucian uang tersebut.
Dimasukkannya Indonesia ke dalam daftar NCCTs telah
membawa konsekuensi negatif tersendiri baik secara ekonomis maupun politis.
Secara ekonomis, masuk ke dalam daftar NCCT’s mengakibatkan mahalnya biaya yang
ditanggung oleh industri keuangan Indonesia khususnya perbankan nasional
apabila melakukan transaksi dengan mitranya di luar negeri (risk premium). Biaya
ini tentunya menjadi beban tambahan bagi perekonomian yang pada
gilirannya mengurangi daya saing produk-produk Indonesia di luar negeri.
Sementara itu, secara politis, masuknya Indonesia ke dalam NCCT’s dapat
menggangu pergaulan Indonesia di dunia internasional.
Selanjutnya Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang diundangkan pada
tanggal 17 April 2002. Undang-Undang
tersebut bukan saja telah menyatakan,
bahwa perbuatan pencucian uang merupakan suatu tindak pidana, tetapi juga telah
melahirkan suatu lembaga baru yang bernama Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK). Banyak pihak yang turut menentukan keberhasilan
pelaksanaan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang tersebut, yaitu PPATK;
aparat penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Bea Cukai,
juga para regulator yaitu Bank
Indonesia, Departemen Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal, penyedia jasa
keuangan, yaitu perbankan, asuransi, perusahaan pembiayaan , dana
pensiun,perusahaan efek, pengelola reksa dana; media masa ;dan masyarakat. Sebenarnya upaya pencegahan dan pemberantasan
pencucian uang secara parsial dan sporadis telah dilakukan bangsa Indonesia
sebelum dikeluarkannya undang-undang TTPU tersebut, misalnya terlihat dalam
ketentuan yang dikeluarkan Bank Indonesia yaitu Peraturan Bank Indonesia
tentang Prinsip Mengenal Nasabah.
Dewasa ini perlawanan terhadap kegiatan pencucian uang
(money laundering)
secara internasional semakin meningkat, bahkan di banyak negara maupun secara
regional hal tersebut telah menjadi salah satu agenda politik yang selalu
dibahas. Beberapa hal yang mendorong sejumlah pemerintah untuk memerangi pencucian
uang terutama adalah kepedulian terhadap kejahatan yang terorganisir (organized crime) yang
hasilnya selama ini belum terjamah oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku di samping adanya tekanan internasional terhadap negara yang belum
menerapkan ketentuan anti money
laundering dengan sepenuhnya,
seperti yang dialami oleh Filipina dan Indonesia.
Pada tahun 2001, Indonesia dimasukkan ke
dalam Non-Cooperative
Countries and Territories (NCCTs) oleh Financial Action Task Force on Money Laundering
(FATF) karena dinilai tidak memenuhi forty
Recommendations. Kondisi inilah yang membangun kesadaran Pemerintah
Indonesia akan pentingnya memiliki rezim anti pencucian uang yang efektif. Baru
pada tanggal 11 Februari 2005 yang lalu, Indonesia telah berhasil keluar dari
daftar NCCTs karena Indonesia dinilai telah berhasil memenuhi syarat minimal
suatu rezim anti pencucian uang berdasarkan standar yang mereka keluarkan yang
dikenal dengan FATF 40+9 Recommendation.
C. Proses Penuntutan Atas Tindak
Pidana Pencucian Uang Melalui Internet
Kejahatan transnasional
mengandung pengertian bahwa kejahatan tersebut mengandung unsur asing,
maksudnya dalam pelaksanaan kejahatan itu melibatkan pihak-pihak dari negara
lain, yang terkadang merupakan sebuah jaringan kejahatan termaksud, dengan kata
lain kejahatan transnasional bersifat terorganisir dan merugikan masyarakat
internasional. Melihat sifat kejahatan
transnasional tersebut, maka tindak pidana pencucian uang (money laundering)
sebagai kejahatan transnasional ini tiada lain juga sebuah kejahatan yang
termasuk dalam lingkup hukum pidana internasional.
Tindak pidana pencucian
uang sebagai kejahatan transnasional dalam penuntutannya dapat menggunakan
beberapa asas seperti asas au dedere au punere yang berarti terhadap
pelaku tindak pidana internasional dapat dipidana oleh negara locus delicti dalam
batas teritorial suatu negara tersebut atau diserahkan atau diekstradisi kepada
negara peminta yang memiliki yurisdiksi untuk mewakili pelaku tersebut. Selain itu, terdapat asas au dedere au
judicare yang berarti bahwa setiap negara berkewajiban untuk menuntut dan
mengadili pelaku tindak pidana internasional dan berkewajiban untuk melakukan
kerja sama dengan negara lain dalam menangkap, menahan dan menuntut serta
mengadili pelaku tindak pidana internasional.
Perbedaan kedua asas di atas
terletak pada pemahaman dan persepsi mengenai kedaulatan negara, namun demikian
kedua asas tersebut tidak dapat dipisahkan dan saling mengisi.
Sementara itu, asas-asas
hukum pidana internasional juga bersumber pada asas-asas hukum pidana
nasional yaitu asas legalitas
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 KUHP, asas teritorial, asas nasionalitas aktif
dan pasif, asas universalitas (Pasal 2sampai Pasal 9 KUHP), asas non retroaktif
(Pasal 1 ayat 2 KUHP), asas ne bis in idem dan
asas tidak berlaku surut.
Tindak pidana pencucian
uang melalui internet sebagai kejahatan transnasional memiliki yurisdiksi
penuntutan yang khusus dibanding tindak pidana biasa. Negara lain memiliki kewenangan untuk
menuntut tindak pidana pencucian uang tersebut apabila ada hal-hal yang
berkaitan dengan pencucian uang termaksud berkaitan pula dengan negara
itu, dalam hal ini dapat pula berlaku
asas retro active. Pada kasus pencucian uang yang dilakukan melalui internet,
penyidikan dilakukan oleh Polisi, dana dapat
berlaku peradilan in absentia, diakuinya terobosan terhadap rahasia
bank, serta dianut pembuktian terbalik.
yurisdiksi penuntutannya, akan sulit ditentukan karena kejahatan
pencucian uang melalui internet ini dapat saja melibatkan lebih dari satu
sistem hukum, sehingga harus diketahui secara benar locus delictinya,
korbannya, dan sebagainya
Pada praktiknya, pencucian
uang juga tergolong kejahatan terorganisir (organized crime) dan kejahatan
kerah putih (white collar crime), bahkan juga berdimensi internasipnal
(transnasional crime). Selain itu, praktik pencucian uang dipandang pula
sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime). Kejahatan di bidang perpajakan adalah salah
satu kejahatan asal (predicate crime) dari tindak pidana pencucian uang
(TPPU). Harta kekayaan yang diperoleh
dari hasil tindak pidana di bidang perpajakan seperti penggelapan pajak,
kemudian ditempatkan pada bank dalam bentuk deposito, atau dipindahkan ke bank
dapat luar negeri dengan fasilitas wire
transfer sehingga membuat penegak hukum kita sernakin sulit melacaknya. Untuk
mengamankan operasional perbankan, FATF (The Forty Recommendations FATF on
Money Laundering, 2003) mengkategorikan beberapa risiko yang akan dihadapi
oleh industri perbankan dan PJK lainnya terkait dengan penggunaan institusi PJK
sebagai sarana pencucian uang.
Tahun 2006 Indonesia terpilih sebagai tuan rumah
(host) penyelenggaraan Sidang IPCO-Interpol ke 19 Kawasan Asia Pasifik di
Jakarta (The 19th ARC IPCO Interpol) berdasarkan keputusan yang telah
disepakati bersama oleh seluruh peserta yang hadir pada Sidang IPCO-Interpol ke
18 Kawasan Asia Pasifik di Manila, Filipina pada tahun 2004. Hasilnya antara
lain penggalangan kerjasama dengan negara-negara anggota Interpol Kawasan Asia
dalam penanganan terorisme, narkoba, penyeludupan dan perdagangan manusia,
korupsi, illegal logging, illegal fishing, dan illegal mining, serta
ketenagakerjaan lintas batas wilayah perbatasan antar negara. Sejalan dengan
topik utama yang akan didiskusikan oleh para delegasi dalam The 19th ARC IPCO
Interpol tersebut, termasuk pencucian uang (money laundering).
Penyelenggaraan Sidang IPCO-Interpol ke 19 di Indonesia ini diharapkan
membuahkan hasil yang positif antara lain:
- terjalinnya
kerjasama operasional berdasarkan persahabatan yang lebih erat dan konkrit
di antara negara-negara anggota Interpol khususnya di Kawasan Asia Pasifik
dalam memerangi kejahatan lintas negara (cross-border crime)
- peningkatan
pertukaran informasi dalam rangka pencegahan dan pemberanatasan
cross-border crime di antara negara-negara anggota Interpol Kawasan Asia
Pasifik;
- terbentuknya
komitmen yang kuat dalam bentuk kerjasama yang konkrit dalam upaya
pencegahan dan pemberantasan cross-border crime dengan prioritas pada
penanganan kasus terorisme, narkoba, korupsi, pencucian uang dan
perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) pada khususnya dan Warga Negara
Indonesia (WNI) serta Badan Hukum Indonesia (BHI) di luar negeri pada
umumnya;
- perluasan
akses sistem komunikasi global ICSG 1-24/7 kepada instansi terkait di luar
kepolisian negara-negara anggota IPCO-Interpol khususnya di Kawasan Asia
Pasifik; dan
- tukar-menukar
perigalaman terbaik, wawasan dan pengetahuan tentang manajemen krisis guna
meningkatkan kapasitas negara-negara anggota IPCO-Interpol dalam hal
manajemen krisis, terutama yang terkait dengan tugas dan fungsi aparat
kepolisian dan penegak hukum lainnya.
BAB IV
ANALISIS HUKUM TENTANG
YURISDIKSI TUNTUTAN JAKSA ATAS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
MELALUI INTERNET BERDASARKAN HUKUM ACARA PIDANA, UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003 DAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 11 TAHUN 2008
A.
Yurisdiksi Tuntutan Atas Tindak Pidana Pencucian Uang Melalui Internet
Berdasarkan Hukum Acara Pidana
Tindak pidana pencucian
uang sebagai kejahatan transnasional dalam penuntutannya dapat menggunakan
beberapa asas seperti asas au dedere au punere yang berarti terhadap
pelaku tindak pidana internasional dapat dipidana oleh negara locus delicti dalam
batas teritorial suatu negara tersebut atau diserahkan atau diekstradisi kepada
negara peminta yang memiliki yurisdiksi untuk mewakili pelaku tersebut. Selain itu, terdapat asas au dedere au
judicare yang berarti bahwa setiap negara berkewajiban untuk menuntut dan
mengadili pelaku tindak pidana internasional dan berkewajiban untuk melakukan
kerja sama dengan negara lain dalam menangkap, menahan dan menuntut serta
mengadili pelaku tindak pidana internasional.
Perbedaan kedua asas di atas
terletak pada pemahaman dan persepsi mengenai kedaulatan negara, namun demikian
kedua asas tersebut tidak dapat dipisahkan dan saling mengisi.
Pada Bab XV KUHAP mengenai penuntutan,
Pasal 137 menyatakan bahwa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan
terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah
hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili,
termasuk pada kasus pencucian uang. Penuntut umum menentukan kelengkapan suatu perkara hasil penyidikan untuk
selanjutnya dilimpahkan ke pengadilan.
Hal ini diatur dalam pasal 139 KUHAP.
Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan penelitian berkas perkara difokuskan
terhadap kelengkapan formil dan kelengkapan materiil, yaitu :
1.
Kelengkapan
formil, yakni kelengkapan administrasi teknis justisial yang terdapat pada
setiap berkas perkara sesuai dengan keharusan yang harus dipenuhi oleh
ketentuan hukum yang diatur dalam Pasal 121 dan Pasal 75 KUHAP, termasuk semua
ketentuan kebijaksanaan yang telah disepakati oleh instansi penegak hukum dan
yang telah melembaga dalam praktek penegakan hukum;
2.
Kelengkapan
materiil, yakni kelengkapan informasi, data, fakta dan alat bukti yang
diperlukan bagi kepentingan pembuktian. Kelengkapan materiil ialah perbuatan
materiil yang dilakukan tersangka antara lain:
i.
Fakta-fakta
yang dilakukan tersangka, dalam hal ini terjadinya suatu tindak pidana lain
yang menghasilkan sejumlah uang.
j.
Unsur
tindak pidana dari perbuatan materiil yang dilakukan.
k.
Cara
tindak pidana dilakukan, baik pada tindak pidana sebelumnya maupun pencucian
uangnya, misalnya melalui transfer ke suatu bank baik di dalam maupun di luar
negeri.
l.
Waktu
dan tempat tindak pidana dilakukan.(Tempus Delictie dan Locus Delictie)
Selanjutnya menurut Pasal 140 ayat (1)
KUHAP, dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan
penuntutan, dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan. Jika menurut
pertimbangan penuntut umum suatu perkara tidak terdapat cukup bukti atau
peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, dan perkara ditutup
demi hukum maka penuntut umum dapat memutuskan untuk menghentikan penuntutan
melalui surat ketetapan yang diatur dalam Pasal 140 ayat (2) a KUHAP.
Pada penuntutan, dikenal 2 asas yaitu
:
1. Asas Legalitas, yaitu asas yang
mewajibkan kepada penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap seseorang
yang melanggar peraturan hukum pidana. Asas ini merupakan penjelmaan dari asas
equality before the Law.
2. Asas Oportunitas, yaitu asas yang
memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk tidak melakukan penuntutan
terhadap seseorang yang melanggar peraturan hukum pidana denga jalan
mengesampingkan perkara yang sudah ada terang pembuktiannya untuk kepentingan
umum.
B.
Tindakan
Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang Melalui Internet Sebagai
Kejahatan Transnasional Dihubungkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Dan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
Tindak pidana pencucian
uang merupakan suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan
sengaja oleh seseorang dan atas hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan yang
oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat
dihukum. Tindak pidana pencucian uang
merupakan suatu perbuatan pidana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang selanjutnya diubah dengan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, dalam hal ini pencucian uang telah dinyatakan sebagai
suatu tindakan yang dapat dihukum. Agar
suatu perbuatan yang dianggap pencucian uang dapat dihukum, maka tindakan
tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dalam
Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, baik unsur subjektif maupun unsur
objektifnya. Unsur subjektif adalah unsur yang
melekat pada diri pelaku atau yang berhubungan dengan diri pelaku, dan termasuk
ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sementara
itu, unsur objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan,
yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari pelaku itu harus
dilakukan.
Berdasarkan Pasal 1 angka
(1) juncto Pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 (selanjutnya disebut
UUTPPU), menyebutkan bahwa pencucian uang adalah perbuatan menempatkan,
mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan,
menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas
harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak
pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta
kekayaan sehingga seolah olah menjadi harta kekayaan yang sah. Melihat rumusan di atas, unsur subjektif
tindak pidana pencucian uang adalah “patut menduga” serta adanya “maksud”
menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah olah
menjadi harta kekayaan yang sah, sedangkan unsur objeketifnya adalah
menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,
menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan
lainnya atas harta kekayaan tersebut.
Tindak pidana pencucian uang merupakan salah satu tindak pidana
sebagaimana telah diuraikan di atas. Pada
tingkat internasional, ada suatu konvensi the
United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and
Psycotropic Substances of 1988, yang biasa disebut dengan the Vienna Convention, disebut juga UN Drug
Convention 1988. Konvensi ini mewajibkan para anggotanya untuk menyatakan
pidana terhadap tindakan tertentu yang berhubungan dengan narkotika dan
pencucian uang (money laundering).
Berdasarkan konvensi ini, pemerintah Indonesia telah meratifikasinya dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997. Implementasi ratifikasi ini dilakukan melalui
pembuatan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang menyatakan bahwa pencucian uang (money
laundering) merupakan suatu
tindak pidana. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 diubah dengan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003.
Tindakan hukum yang dapat dilakukan terhadap pelaku
tindak pidana pencucian uang ini diatur dalam Pasal 13 UU TPPU. Untuk mencegah dan memberantas tindak pidana
pencucian uang, UU TPPU membentuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) suatu lembaga independen yang bertanggung jawab langsung
kepada Presiden. PPATK pada dasarnya adalah unit intelijen keuangan (Financial
Inteligent Unit/FIU). PPATK dibentuk karena keharusan adanya keahlian
khusus dalam memberantas tindak pidana
pencucian uang. Kewenangan PPATK, antara
lain meminta dan menerima laporan dari
penyedia jasa keuangan, meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau
penuntutan atas tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada
penyidik atau penuntut umum.
Dalam rangka mendeteksi terjadinya tindak pidana
pencucian uang, PPATK berwenang menerima laporan, berupa:
1.
Laporan transaksi keuangan mencurigakan yang
disampaikan oleh penyedia jasa
keuangan (Pasal 1 angka 6 dan 7 serta Pasal 13 UU TPPU);
2.
Laporan yang disampaikan oleh penyedia jasa
keuangan tentang transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah
kumulatif Rp 500 juta atau lebih (Pasal 1 angka 8 dan Pasal 13UU TPPU);
3.
Laporan yang disampakan oleh Direktorat Jenderal
Bea Cukai mengenai pembawaan uang tunai rupiah ke dalam atau ke luar wilayah
negara Republik Indonesia sejumlah Rp 100 juta atau lebih (Pasal 16 UU TPPU).
Proses penegakan hukum, PPATK dapat melakukan
kerjasama serta membantu pihak penyidik dan penuntut umum dengan informasi yang
dimiliki dan kemampuan analisisnya.
Berdasarkan Keppres No.82 Tahun 2003, PPATK juga dapat menerima
informasi dari masyarakat yang terindikasi telah melakukan tindak pidana
pencucian uang, atau informasi dari pihak ketiga baik perorangan maupun entitas
mengenai dugaan tindak pidana pencucian uang oleh sesuatu pihak.
Pasal 8 UU TPPU menyebutkan bahwa Penyedia Jasa
Keuangan yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) UU TPPU, dipidana dengan pidana denda paling
sedikit Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Selain itu dalam Pasal 6 UU TPPU diatur pula bagi setiap orang yang menerima
atau menguasai : penempatan; pentransferan; pembayaran; hibah; sumbangan;
penitipan atau penukaran, harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).
Proses penanganan
tindak pidana pencucian uang melalui
internet sebagai kejahatan transnasional tidak terlepas dari peranan Penyedia
Jasa Keuangan (PJK) dan Masyarakat antara lain memberikan informasi awal.
Laporan dan informasi tersebut adalah :
1.
Laporan dari PJK sesuai Pasal 13 UU TPPU, tentang
kewajiban pelaporan PJK kepada PPATK berupa Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan
(LTKM) atau Suspicious Transaction Report (STR) dan Laporan Tranksaksi
Keuangan Tunai (LTKT) atau Cash Transaction Report (CTR) kepada
PPATK. Laporan-laporan tersebut diterima
oleh Direktorat Kepatuhan, untuk selanjutnya diteruskan ke Direktorat Analisis
setelah melalui pengecekan kelengkapan laporan tersebut. Sesuai Pasal 1 angka 7
UU TPPU, LTKM adalah transaksi keuangan yang menyimpang dari profil,
karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan transaksi keuangan oleh nasabah yang
patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang
bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan
ketentuan undang-undang. Apabila
PJK mengetahui salah satu dari 3 (tiga) unsur transaksi keuangan mencurigakan,
telah cukup bagi PJK untuk menyampaikannya kepada PPATK sebagai LTKM. LTKM ini
sifatnya lebih pada informasi transaksi keuangan dan belum memiliki kualitas
sebagai indikasi terjadainya tindak pidana. PJK tidak memiliki kapasitas untuk
menilai suatu transaksi memiliki indikasi pidana. Oleh karena itu PPATK
berkewajiban untuk melakukan analisis LTKM ini untuk mengidentifikasi ada
tidaknya indikasi pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya. Untuk
melakukan analisis ini, salah satu data pendukungnya adalah LTKT dari
PJK. Pada penanganan perkara tindak pidana pencucian uang melalui internet,
peran PJK sangat membantu, baik di dalam memberikan keterangan mengenai nasabah
maupun simpanannya, dan membantu PPATK serta instansi penegak hukum untuk
mentrasfer aliran dana dari pihak yang dimintakan oleh PPATK dan instansi
penegak hukum. Laporan dari masyarakat mengenai adanya indikasi tindak pidana
yang diterima PPATK dapat dilakukan melalui surat secara tertulis dan melalui
media internet (www.ppatk.go.id , icon : contuct-us@ppatk.go.id).
2.
Informasi dari aparat penegak hukum dalam penanganan
suatu perkara pencucian uang oleh penyidik, seringkali harta kekayaan hasil
tindak pidana terindikasi oleh pelakunya disembunyikan atau disamarkan melalui
berbagai perbuatan khususnya melalui institusi keuangan seperti : penempatan
pada bank dalam bentuk deposito, giro atau tabungan serta pentransferan ke bank
lainnya; pembelian polis asuransi; pembelian surat berharga pasar uang dan
pasar modal; atau perbuatan lain seperti membelanjakan, menukarkan atau dibawa
ke luar negeri.
3.
Menurut Pasal 26 UU TPPU, tugas PPATK antara lain:
mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi laporan dan informasi-informasi
di atas. Di samping itu, PPATK dapat
memberikan rekomendasi kepada Pemerintah sehubungan dengan pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang, melaporkan hasil analisis terhadap
transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada
Kepolisian untuk kepentingan penyidikan dan Kejaksaan untuk kepentingan
penuntutan dan pengawasan, membuat dan menyampaikan laporan mengenai kegiatan
analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala kepada
Presiden, DPR dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan bagi
Penyedia Jasa Keuangan (PJK). Dalam melakukan analisis, PPATK
mengumpulkan informasi dari berbagai pihak baik dari FIU negara lain maupun
dari instansi dalam negeri yang telah atau belum menandatangani MoU dengan
PPATK agar hasil analisis tersebut memeiliki nilai tambah untuk kemudahan
proses penegakan hukum. Pasal 27 UUTPPU
memberikan kewenangan kepada PPATK antara lain: meminta dan menerima laporan
dari PJK, meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan
terhadap tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada penyidik
atau penuntut umum.
Pada proses penegakan hukum dalam menanggulangi
kejahatan transnasional tidak terlepas dari ketentuan hukum yang berlaku di
negara-negara tersebut serta penerapan beberapa asas-asas hukum pidana nasional
dari negara-negara yang pada dasarnya tidak berbeda antara satu dengan yang
lainnya, antara lain :
1. Asas
legalitas,
2. Asas
non-retroactive sebagai turunan asas
legalitas,
3. Asas
culpabilitas,
4. Asas
praduga tak bersalah (presumption of innocent),
5. Asas
ne/no bis in idem,
Asas-asas yang diuraikan di atas, telah terkandung
dalam ketentuan hukum pidana di Indonesia, termasuk dalam ketentuan yang dapat
diberlakukan terhadap tindak pidana pencucian uang sebagai kejahatan
transnasional. Pada hukum pidana yang
berlaku di Indonesia, asas legalitas termuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, asas
non-retroactive dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP tentang asas legalitas di atas,
asas culpabilitas terdapat dalam Pasal 44 ayat (1), (2) dan (3) KUHP, asas
praduga tak bersalah termuat dalam Pasal 8 Undang-Undang Pokok Kekuasaan
Kehakiman, dan asas no/ne bis in idem terkandung dalam Undang-Undang Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
Sementara itu, dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
diberlakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 juncto Undang-Undang
Nomor 73 Tahun 1958, terdapat beberapa asas yang berkaitan dengan penerapan
hukum pada kejahatan transnasional antara lain : Pasal 2 sampai dengan Pasal 9
KUHP mengenai lingkup berlakunya hukum pidana terutama Pasal 9 KUHP yang
menetapkan bahwa berlakunya hukum pidana nasional dibatasi oleh ketentuan hukum
internasional.
Berbicara mengenai kejahatan
transnasional, tentu berkaitan pula dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana. Pada kasus pencucian uang sebagai kejahatan transnasional diperlukan adanya kerja sama antarnegara untuk mempermudah penanganan proses
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan atas suatu masalah
pidana yang timbul baik di Negara Peminta maupun Negara Diminta. Untuk memberikan dasar hukum yang kuat
mengenai kerja sama antarnegara dalam bentuk bantuan timbal balik dalam masalah
pidana diperlukan perangkat hukum yang dapat dijadikan pedoman bagi Pemerintah
Republik Indonesia untuk membuat perjanjian dan melaksanakan permintaan bantuan
kerja sama dari negara asing. Perangkat hukum tersebut berupa undang-undang
yang mengatur beberapa asas atau prinsip, prosedur dan persyaratan permintaan
bantuan, serta proses hukum acaranya.
Asas atau prinsip bantuan timbal balik dalam masalah pidana dalam
Undang-Undang di atas didasarkan pada ketentuan hukum acara pidana, perjanjian
antar negara yang dibuat, serta konvensi dan kebiasaan internasional. Bantuan
timbal balik dalam masalah pidana dapat dilakukan berdasarkan suatu perjanjian
dan jika belum ada perjanjian, maka bantuan dapat dilakukan atas dasar hubungan
baik. Undang-Undang ini tidak memberikan
wewenang untuk mengadakan ekstradisi atau penyerahan orang, penangkapan atau
penahanan dengan maksud untuk ekstradisi atau penyerahan orang, pengalihan
narapidana, atau pengalihan perkara.
Di samping itu, Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2006 termaksud mengatur secara rinci mengenai permintaan bantuan timbal
balik dalam masalah pidana dari Pemerintah Republik Indonesia kepada Negara
Diminta dan sebaliknya yang antara lain menyangkut pengajuan permintaan
bantuan, persyaratan permintaan, bantuan untuk mencari atau mengindentifikasi
orang, bantuan untuk mendapatkan alat bukti, dan bantuan untuk mengupayakan
kehadiran orang.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan analisis pada
bagian sebelumnya, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Penanganan tindak
pidana pencucian uang melalui internet sebagai kejahatan
transnasional dapat dilakukan berdasarkan kepada ketentuan Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2003 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang
Pencucian Uang. Proses penanganan perkara tindak pidana pencucian
uang secara umum tidak berbeda dengan penanganan perkara tindak pidana lainnya.
Hanya saja, dalam penanganan perkara tindak pidana pencucian uang melalui
internet ini melibatkan satu institusi yang relatif baru yaitu Pusat Pelaporan
Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Keterlibatan PPATK lebih pada
pemberian informasi keuangan yang bersifat rahasia (financial intelligence) kepada penegak hukum
terutama kepada penyidik tindak pidana pencucian uang, yaitu penyidik
Polisi. Proses penanganan tindak pidana
pencucian uang melalui internet sebagai
kejahatan transnasional tidak terlepas dari peranan Penyedia Jasa Keuangan
(PJK) dan masyarakat antara lain memberikan informasi awal. Laporan dari PJK sesuai Pasal 13 UU TPPU,
tentang kewajiban pelaporan PJK kepada PPATK berupa Laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan (LTKM) atau Suspicious Transaction Report (STR) dan Laporan
Tranksaksi Keuangan Tunai (LTKT) atau Cash Transaction Report (CTR)
kepada PPATK. Laporan-laporan tersebut
diterima oleh Direktorat Kepatuhan, untuk selanjutnya diteruskan ke Direktorat
Analisis setelah melalui pengecekan kelengkapan laporan tersebut. Apabila PJK mengetahui adanya transaksi keuangan mencurigakan, telah cukup
bagi PJK untuk menyampaikannya kepada PPATK sebagai LTKM. PJK tidak memiliki
kapasitas untuk menilai suatu transaksi memiliki indikasi pidana. Oleh karena
itu PPATK berkewajiban untuk melakukan analisis LTKM ini untuk mengidentifikasi
ada tidaknya indikasi pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya. Untuk
melakukan analisis ini, salah satu data pendukungnya adalah LTKT dari
PJK. Pada penanganan perkara tindak pidana pencucian uang melalui internet,
peran PJK sangat membantu, baik di dalam memberikan keterangan mengenai nasabah
maupun simpanannya, dan membantu PPATK serta instansi penegak hukum untuk
mentrasfer aliran dana dari pihak yang dimintakan oleh PPATK dan instansi
penegak hukum. Di samping itu,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 termaksud mengatur secara rinci mengenai
permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dari Pemerintah Republik
Indonesia kepada Negara Diminta dan sebaliknya yang antara lain menyangkut
pengajuan permintaan bantuan, persyaratan permintaan, bantuan untuk mencari
atau mengindentifikasi orang, bantuan untuk mendapatkan alat bukti, dan bantuan
untuk mengupayakan kehadiran orang.
2. Tindakan hukum yang dapat dilakukan terhadap
pelaku tindak pidana pencucian uang ini diatur dalam Pasal 13 UU TPPU. Untuk mencegah dan memberantas tindak pidana
pencucian uang, UU TPPU membentuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) suatu lembaga independen yang bertanggung jawab langsung
kepada Presiden. PPATK pada dasarnya adalah unit intelijen keuangan (Financial
Inteligent Unit/FIU). PPATK dibentuk karena keharusan adanya keahlian
khusus dalam memberantas tindak pidana
pencucian uang. Kewenangan PPATK.
Kemudian pada pasal 2 sampai dengan pasal 9 KUHP juga mengatur mengenai asas
nasional akti,pasif dan universal, dimana asas ini dapat melibatkan pihak asing
untuk mengungkap kasus pencucian uang melalui internet sebagai kejahatan
transnasional.
B. Saran
Ada
beberapa saran yang disampaikan Penulis antara lain :
1.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang tindak pidana pencucian uang ini diharapkan dapat selalu mengakomodir
semua kasus pencucian uang termasuk yang dilakukan melalui internet dan sebagai
kejahatan transnasional, berdasarkan hasil analisis dapat ditemukan pasal-pasal
yang kurang efektif dalam menangani kasus tindak pidana pencucian uang melalui
internet ini, antara lain pada pasal 184 KUHAP mengenai alat bukti suatu tindak
pidana. pada kasus pencucian uang melalui internet, pasal 184 KUHAP ini mengacu
kepada pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE tentang alat bukti
elektronik. Kemudian pada pasal 42 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang
ITE juga mengatur mengenai proses penyidikan, akan tetapi dalam pasal ini tidak
mengatur secara jelas mengenai proses penyidikan.
2.
Peraturan perundang-undangan yang menangani
kasus tindak pidana pencucian uang melalui internet ini belum sepenuhnya dapat
menjerat para pelaku tindak pidana pencucian uang melalui internet, sehingga
peraturan termaksud kiranya dapat, diperbaiki, diperbaharui atau dipertahankan sesuai
dengan teori Pembinaan Hukum dari Mochtar Kusumaatmadja.
3.
Perlu adanya peningkatan kualitas sumber daya
manusia dari para penegak hukum
khususnya dalam penanganan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan melalui
internet sebagai kejahatan transnasional
4.
Perlu adanya komunikasi yang efektif antara para
penegak hukum khususnya dalam penanganan tindak pidana pencucian uang yang
dilakukan melalui internet sebagai kejahatan transnasional
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
:
Abdulkadir Muhammad dan
Rilda Murniati. Segi Hukum Lembaga
Keuangan Dan Perbankan. Citra Aditya Bhakti. Bandung. 2000.
Anthon F. Susanto. Wajah Peradilan Kita : Konstruksi Sosial
Tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana.
Refika Aditama. Bandung. 2004
Bassiouni,M. Cherif
(Editor). International Crminal Law (volume I). Transnational Publisher
Inc. New York.1986.
I Wayan Parthiana. Hukum
Pidana Internasional. Yrama Widya. Bandung. 2006.
__________. Ekstradisi
Dalam Hukum Internasional Dan Hukum Nasional Indonesia. Mandar Maju.
Bandung.1990.
Mochtar Kusumaatmadja. Hukum, Masyarakat, Dan Pembinaan Hukum
Nasional. Bina Cipta. Bandung. 1976.
Moeljatno. Dasar-Dasar Hukum PIdana. Rineka Cipta. Jakarta. 1993.
Muladi.
Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana.
Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 1995.
Munir Fuady. Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata).
Citra Aditya Bhakti. Jakarta. 2006.
__________. Hukum Bisnis dalam Teori Dan Praktek.
Citra Aditya Bhakti. Bandung. 1996.
M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
: Penyidikan dan Penuntutan. Sinar Grafika. Jakarta. 2003.
__________.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
:Pemeriksaan SidangPengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali.
Sinar Grafika. Jakarta.2003.
Otje Salman S. dan
Anthon F. Susanto. Teori Hukum:Mengingat,
Mengumpulkan, dan membuka Kembali. Refika Aditama. Bandung. 2004.
Romli Atmasasmita. Sistem Peradilan Pidana Perspektif
Eksistensialisme dan Abolisionisme. Putra Abardin bandung. 2000.
__________. Pengantar
Hukum Pidana Internasional. Refika Aditama. Bandung. 2000.
__________. Kapita
Selekta Hukum Pidanan Internasional. Refika Aditama. Bandung. 2004.
Soejono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum.UI-Press. Jakarta. 1996.
Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni. Bandung. 1986.
Thomas Suyatno. Kelembagaan Perbankan. Penerbit Sekolah
Tinggi Ilmu Ekonomi. Jakarta. 1999.
Peraturan
Perundang-undangan :
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
Tentang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang perubahan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Undang-Undang No.11
Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
Sudarmadji. Makalah
yang berjudul “Essensi dan Cakupan UU Tentang
Pencucian Uang di Indonesia, disampaikan pada seminar nasional Sosialisasi
UU No 25 Tahun 2003 Kerjasama Kajian Hukum dan Bisnis Fakultas Hukum Unsri
dengan PT. Bank Pembangunan Daerah Sumsel, tgl 15 Juli 2003
Tim Bank
Indonesia. Makalah yang berjudul Peranan bank Indonesia dalam Pencegahan
Tindak Pidana Pencucian Uang”. Disampaikan pada Seminar Nasional Penegakan
Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) Dalam Era
Globalisasi, di Bandung, 23 Juni 2007.
PPATK. Makalah yang berjudul “Penegakan Hukum
Tindak Pidana Pencucian Uang” Disampaikan pada Seminar Nasional Penegakan
Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) Dalam Era
Globalisasi, di Bandung, 23 Juni 2007.
DAFTAR
RIWAYAT HIDUP
Nama : Jaya Wardhana
Tempat/tanggal lahir :
Aceh, 20 November 1984
Jenis Kelamin :
Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Jl. Cicendo No. 9 Asrama Mahasiswa Aceh Wisma
Teuku Umar Bandung.
No Telp :
081320525467 / 081572076802
Pendidikan Formil
Tahun
2004 s.d sekarang
|
:
|
UNIKOM,
Jurusan Ilmu Hukum (S1)
|
Tahun
2001 s.d 2004
|
:
|
SMU
Negeri 9 Tunas Bangsa Banda Aceh
|
Tahun
1998 s.d 2001
|
:
|
SLTP
Negeri 1 Kota Jantho Aceh Besar
|
Tahun
1992 s.d 1998
|
:
|
SD
Negeri Data Geumpung Aceh Besar
|
Tahun
1990 s.d 1992
|
:
|
Tk
Bhayangkara Banda Aceh
|
Pendidikan Non Formal
§
Cisco
Certifified Network Associate (CCNA) Angakatan
I BiNus Center Bandung 2008-2009
§
Peserta
pada pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa Aceh (LKMA) tahun 2008
§
Peserta
LK I. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Tahun 2007
§
Peserta
pada Seminar “Aspek Hukum Dalam Masalah Information, Communication, And
Technology” tahun 2009
§
Panitia
dalam kegiatan “pelatihan manajeman kemahasiswaan” tahun 2006
§
Panitia
Semiloka Forum Masyarakat Aceh Se-jawa (FOMAJA) dengan tema “ Ekonomi Dan
Politik Aceh Pasca BRR 2008 Masalah Dan Solusinya” tahun 2008
§
Panitia
Semiloka Forum Masyarakat Aceh Se-jawa (FOMAJA) dengan tema “POLITIK DAN
EKONOMI ACEH PASCA PILKADA 2006” Tahun 2007
§
Peserta
pada Kegiatan Ilmiah Studium Generale “Cyber Dan Teknologi Informasi Sebagai
Pola Ilmiah Pokok Pada Program Kekhususan Fakultas Hukum Universitas Komputer
Indonesia” Tahun 2004
§
Peserta
pada diskusi interaktif dengan tema “Potret Buram Pergaulan Remaja” Tahun 2007.